Thursday, October 29, 2009

Syurga Di Telapak Kaki Ibu


Alhamdulillah... kerna aku masih berkesempatan mengerah jemari aku untuk menaip untuk kalian. Selesai kisah cinta truna dara... untuk renungan anak2, emak2 mahupun bapak2 satu kisah tauladan yang biasa kita dengar... tapi... sering kita terlupakan...


SUATU HARI Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sedang berkumpul bersama sahabatnya di masjid. Tiba tiba datang seorang lelaki dan mengatakan:

"Assalamu'alaikum!"

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat spontan menjawab : "Wa'alaikumussalam warahmatullah!"

"Duhai Rasulullah, Abdullah bin Salam sakit kuat dan sedang sakarat menjemput maut. Dia memanggilmu!, kata lelaki itu. Sebaik saja mendengar apa yang dikatakan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam terus bangkit.

"Bangkitlah kalian semua, mari kita tengok saudara kita!," ajak Rasulullah Shallaullahu 'alaihi wasallam kepada para sahabatnya. Sampai di sana Abdullah bin Salam terbaring tidak berdaya, nafasnya tersekat sekat. Melihat hal itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mendekat dan membimbing Albdullah untuk mengucapkan syahadah: "Abdullah, mari ucapkan Laa ilaha illallah Muhammadurrasulullah!" Beliau mengucapkan kalimah itu pada telinga Abdullah bin Salam tiga kali. Tapi Abdullah bin Salam tidak boleh mengucapkannya. Mulutnya seperti terkunci.

"La haula wala quwwata illa billahil 'aliyyil adzim!" kata Rasulullah Shallaullahu 'alaihi wasallam.

"Bilal, pergilah ke tempat isterinya dan tanyakan padanya apa yang telah diperbuat Albdullah selama di dunia dan apa pekerjaannya." Perintah Rasulullah Shallaullahu 'alahi wasallam pada Bilal. Bilal terus pergi menemui isteri Abdullah, isterinya mengatakan :

"Selama hidup bersamanya aku tidak pernah melihat dia meninggalkan solat bersama Rasulullah. Hampir setiap hari ia memberikan sedekah. Tapi ia ada sedikit masalah dengan ibunya!" Lalu Bilal kembali menemui Rasulullah Shallaullahu 'alaihi wasallam dan mengkhabarkan apa yang dikatakan isterinya.

Rasulullah terus bersabda: "Bawalah ibunya ke mari!"

Bilal terus bergegas untuk menemui ibu Abdullah bin Salam. Sampai di sana ibunya bertanya:

"Ada apa kau kemari?"

"Anakmu Abdullah sedang sakarat menjemput kematiannya. Aku datang kemari untuk memintakan maaf atas kesalahan kalian berdua dan memperbaiki hubungan kalian," kata Bilal.

"Aku tidak akan memaafkan kederhakannya. Ia telah menyakitiku. aku tak akan memaafkannya di dunia mahupun di akhirat!" jawab ibunya tegas.

Lalu Bilal kembali menghadap Rasulullah dan menceritakan segala yang dikatakan ibu Abdullah bin Salam. Mendengar keterangan itu Rasulullah bersabda:

"Umar, Ali, kalian berdua kembalilah ke tempat ibunya dan bawa dia kemari!"

Tanpa bicara kedua sahabat utama itu terus berangkat ke rumah ibu Abdullah bin Salam. sampai di sana sang ibu bertanya: "Wahai Umar dan Ali, ada apa kau datang kemari?"

"Wahai ibu, Rasulullah Shallaullahu 'alaihi wasallam memanggilmu." jawab Umar.

"Untuk apa beliau memanggilku?" kata sang ibu.

"Nanti kau juga akan tahu, yang penting ikutlah kami menemui Rasulullah Shallaullahu 'alaihi wasallam." tukas Umar.

Mereka bertiga akhirnya sampai di hadapan Rasulullah Shallaullahu 'alahi wasallam yang berada berdekatan Abdullah bin Salam yang sedang menanti detik detik kematiannya. Rasulullah Shallaullahu 'alaihi wasallam berkata:

"Wahai ibu, lihatlah anakmu yang sedang diambang kematian! Maafkanlah dia."

"Aku tidak akan memaafkannya, baik di dunia dan di akhirat." kata sang ibu.

"Maafkanlah. Apakah kau tidak kasihan padanya, dia sampai tidak dapat mengucapkan dua kalimat syahadat!" kata Rasulullah.

"Bagaimana aku akan memaafkannya. Dia memukulku dan mengusirku dari rumahnya kerana mementingkan isterinya." Sang ibu bertegas tidak mahu memaafkan dosa anaknya.

Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di samping Abdullah.

"Untuk apa Rasulullah?" tanya sang ibu.

"Untuk membakar anakmu! Kerana kau tidak mahu memaafkan dia." jawab Rasulullah.

Melihat anaknya akan dibakar hidup hidup hati ibu Abdullah bin Salam akhirnya luluh.

"Baiklah, demi kebenaran risalahmu duhai Rasulullah, aku memaafkan segala kesalahan puteraku!"

Setelah itu Rasulullah mendekati Abdullah bin Salam dan berkata: "Abdullah, ucapkanlah shahadat!"

Lalu mulut Abdullah berkumat kamit dan mengucapkan dua kalimat syahadat dengan jelas. Setelah itu rohnya berpisah dari tubuhnya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun," ucap Rasulullah dan para sahabat. Setelah itu jenazah Abdullah dimandikan, dikafani dan disolati. Di Masjid Rasulullah bersanda:

"Wahai kaum muslimin sekalian, ingatlah, orang yang mementingkan isterinya dan menyia nyiakan ibunya sehingga ibunya tidak ridha padanya akan terancam mati tidak bersyahadat."

****

Begitulah betapa pentingnya berbakti pada kedua orang tua terutama pada ibu yang telah bersusah payah mengandung dan melahirkan ke dunia. Dalam sebuah hadis bahkan Rasulullah Shallaullahu 'alahi wasallam bersabda: "Syurga berada di telapak kaki ibu."


Kisah di atas berdasarkan hadis yang diriwayatkan sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Dalam riwayat yang lain nama sahabat yang wafat dan nyaris dibakar oleh Rasulullah itu adalah "Alqamah".

Pada nukilan lainnya, Pak Habiburrahman menulis 'ibuku, ibuku, ibuku... kemudian baru ayahku'

Tuesday, October 27, 2009

Waktu merangkak meninggalkan sunyi, memintal benang hari dan menyulamnya menjadi lembaran baru.
Waktu telah memberikan kesempatan, tetapi sekaligus mengajarkan betapa tipisnya hijab kesempatan terhadap kesempitan.
Waktu memberikan umur, sekaligus memendekkannya menuju uzur.
Misteri waktu telah banyak menyisakan kekecewaan dan keputusasaan, sehingga yang tertinggal hanyalah ratap keputusasaan dan penyesalan.
Tuhan bersumpah demi waktu, sebab rahsianya hanya ada dalam tiga kata,
sedangkan semua rahsia bumi hanyalah berada antara ketiganya.
Kelmarin telah pergi, hari ini datang dan lusa segera menjelang.
Kelmarin adalah hari penyesalan,
sekarang adalah hari bertaubat
dan
esok adalah hari keputusan.


aku selit le ckit petikan dlm novel Syahadat Cinta utk renungan bersama...

Monday, October 26, 2009

Di Atas Sajadah Cinta (7)

Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tidak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat jiwanya nestapa. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali kali dia pengsan. Ketika keadaannya kritis, seorang jemaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dan bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istighfar dan.... Afirah.

Khabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seluruh pelusuk kota Kufah. Angin pun meniupkan khabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek:

Kepada Zahid,

Assalamu'alaikum,

Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sedarmu. Tidak boleh ku ingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama lamanya.

Zahid,

Kalau kau mahu. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengubati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita boleh memadu cinta. Atau, kau datang ke bilikku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.

Wassalam.

Afirah.

Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang boleh dipercayai. Ia berpesan agar surat itu terus sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawapan Zahid saat itu juga.

Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak banyaknya. Dengan berlinangan air mata ia menulis balasan untuk Afirah:

Kepada Afirah,

Salamullahi 'alaiki,

Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata mata kerana rasa cintaku padamu. Sakitku ini kerana aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diredhai Allah 'Azza waJalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang mengheret kepada kenistaan dosa dan murkaNya.

Afirah,

Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengubati kahausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari syurga. Bukan air timah dari neraka. Afirah: "Inni akhaafu in 'ashaitu Rabbi adzaaba yaumin 'adhim!" [Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku derhaka pada Rabb-ku. (Az Zumar:13)]

Afirah,

Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang boleh aku lakukan saat ini kecuali menangis padaNya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmanNya:

Wanita wanita yang tidak baik adalah untuk lelaki yang tidak baik, dan lelaki yang tidak baik adalah buat wanita wanita yang tidak baik (pula), dan wanita wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik dan lelaki lelaki yang baik adalah untuk wanita wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (iaitu syurga).

Karana aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik, maka aku akan berusaha berada dalam kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allah-lah yang menentukan.

Afirah,

Bersama surat ini aku sertakan serbanku, semoga dapat jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.

Wassalam.

Selesai membaca jawapan Zahid itu, Afirah menangis. Ia menangis bukan kerana kecewa tapi menangis kerana menemukan sesuatu yang sangat berharga, iaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda soleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.

Sejak itu ia meninggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Serban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat di mana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Siang ia berpuasa, malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, iaitu cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar benar larut dalam samudera cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat Afirah:

Kepada Zahid,

Assalamu'alaikum,

Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar buat hambaNya yang bertaqwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam, secepatnya.

Wassalam.

Afitah.

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga bunga cinta bermekaran dalam hatinya . Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdala.

- TAMAT-

moga nurani kita turut basah setelah menamatkan pembacaan ini... Amin!

Sunday, October 25, 2009

Di Atas Sajadah Cinta (6)

Pagi hari, selesai solat Dhuha, Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas iaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afirah keluar sekejap untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai, ia mendengar dengan teliti pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, iaitu melamar Afirah.

Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan saksama jawapan ayahnya. Keheningan mencengkam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala, ia pasrah dengan jawapan yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawapan ayah Afirah:

"Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk puteranya Yasir beberapa hari lalu, dan aku telah menerimanya."

Zahid hanya mampu menganggukkan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarinya. Ia tidak boleh menyembunyikan hirisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pengsan saat itu juga.

inilah dikata orang dugaan cinta... tapi klu takut dilambung ombak... jgn berumah di tepi pantai
pun samalah gak dgn jgn bermain api... guna je electricity... heheheee

Thursday, October 22, 2009

Di Atas Sajadah Cinta (5)

text-align: justify;">Sementara itu di dalam masjid Kufah, kelihatan Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam solat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma pagi tadi, ia tidak boleh mengendalikan gelora hatinya.

Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam solat, dalam bacaan Al-Qur'an dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencuba berulang kali menepis jauh jauh aura pesona Afirah dengan melakukan solat sekhusyuk khusyuknya, namun usaha itu sia sia.

"Ilahi, kasihanilah hambaMu yang lemah ini. Engkau Maha Tahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cintaMu. Namun Engkau juga tahu hatiku ini tidak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarikan wajah dan suaranya, ya Ilahi, berilah padaku cawan kwsejukan untuk meletakkan embun embun cinta yang menitis nitis dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau redhai. Aku serahkan hidup matiku untukMu." Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.

Zahid terus meratap dan menghiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azabNya. Rasa cinta dan rindunya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajat ia pengsan.

Menjelang Subuh, ia terbangun. Ia tersentak terkejut. Ia belum solat tahajjud. Beberapa orang kelihatan sedang asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam solatnya.

"Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di syurga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!"

Ia lalu bangkit, berwudhu', dan solat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa:

"Ilahi, hamba mohon redhaMu dan syurga. Amin! Ilahi, lindungi hamba dari murkaMu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba terhadap Afirah padaMu, hamba terlalu lemah untuk menanggugnya. Amin! Ilahi, hamba mohon ampunanMu, rahmatMu, cintaMu, dan redhaMu. Amin!"

moga bisa dimanafaatkan pada diri kita yang senantiasa teraba raba....

Wednesday, October 21, 2009

Di Atas Sajadah Cinta (4)



mari kita hayati gelora jiwa teruna dara seterusnya...

Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara similir mengalir.

Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca kaca. Hatinya basah. Fikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian pagi tadi di kebun kurma, hatinya terasa gundah gulana. Wajah bersih Zahid bagai tidak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang ramai tentang kesolehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Pagi tadi, ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan kewibawaannya. Tiba tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata :

"Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri saraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku mungkiri, aku telah jatuh hati pada hambaMu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya."

Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba tiba ia tersenyum:

"Ah sapu tanganku ada padanya. Ia juga pasti mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari."

Hatinya berbunga bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.


Tuesday, October 20, 2009

Di Atas Sajadah Cinta (3)


Keesokan harinya.

Selesai solat Dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menziarahi saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat ayat suci Al-Qur'an. Ia singgah sebentar di pasar untuk membeli anggur dan epal buat saudaranya yang sakit.

Zahid berjalan melalui kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahawa kebun itu milik saudagar kaya. Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan lahan bayangan itu menjadi seorang yang sedang menunggang kuda. Lalu sayup sayup telinganya menangkap suara :

"Toloong! Toloong!!"

Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang berada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.

"Toloong! Toloong!!"

Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas dapat menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.

"Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak boleh dikendalikan!"

Sebaik saja mendengar jeritan tolong itu Zahid terasa tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat cepat ia menenangkan diri dan membaca salawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Ketika kuda itu sudah sangat hampir, ia mengangkat tangan kanannya dan berseru dengan kuat :

"Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!"

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu merigkik dan berhenti seketika. Prempuan yang berada di atas punggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya :

"Assalamu'aklaiki. Kau tidak apa apa?"

Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup purdah hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab perlahan.

"Alahamdulillah, tidak apa apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terseliuh waktu jatuh."

"Syukurlah kalau begitu."

Dua mata bening di sebalik purdah itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Meyedari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka purdahnya. Dan nampaklah wajah cantik nan mempesona.

"Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalu boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mahu ke mana Tuan?"

Zahid mengangkat mukanya. Tak lalai matanya menatap wajah putih bersih mempesona. Hatinya bergetar hebat. Saraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tidak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersedar, ia cepat cepat menundukkan kepalanya. "Inna lillah. Astaghfirullah", gemuruh hatinya.

"Namaku Zahid, aku dari masjid mahu mengunjungi saudaraku yang sakit."

"Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?"

"Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain", kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.

"Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa gesa? Kau mahu ke mana? Perbincangan kita belum selesai!"

"Aku mahu meneruskan perjalananku!"

Tiba tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid menggelabah. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.

"Tuan, aku hanya mahu beritahu, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mahu, silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih, aku mahu menghadiahkan ini."

Gadis itu lalu menghulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.

"Tidak usah."

"Terimalah, tidak apa apa! Kalau Tuan tidak terima, aku tidak akan memberi jalan!"

Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu meninggalkannya sambil menutup kembali mukanya dengan purdah. Zahid melangkahkan kedua kakinya meneruskan perjalanan.

akan bersambung... (psstt bila aku ada kelapangan...)

Monday, October 19, 2009

Di Atas Sajadah Cinta (2)

meh kita sambung pembacaan kita na...

Pada saat yang sama, di sebuah khemah mewah, tidak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman temannya. Tidak jauh darinya, seorang penari melenggang lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.

"Ayuh bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!" bisik temannya.

"Be... benarkah?"

"Benar. Ayuh cepatlah. Dia penari tercantik di kota ini. Jangan kau sia siakan kesempatan ini, Yasir!"

"Baiklah. Bersenang senang dengannya memang impianku. Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari menghulurkan tangan kanannua dan yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari nari diiringi irama seruling dan gendang. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ke telinga Yasir:

"Apakah anda punya waktu malam ini bersamaku?"

Yasir tersenyum dan mengganggukkan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memcah hati. Irama seruling melengking lengking. Aroma arak menyentuh nurani. hati dan fikiran jadi mati.

sabar ekk senang senang nti aku sambung kisah ni lagi... tunggu.....

Wednesday, October 14, 2009

Di Atas Sajadah Cinta (1)

Sebenarnya aku tak tau nk boh post ape... tetiba je aku teringat pd sebuah buku yg aku bli. Lama dah aku bli... kalau biaq berhujan berpanas... udah lusuh le aku rasa. Korang bayangkan le.. udah lebih setahun tu menghuni rak buku aku... tapi.... ada tapinya... aku tak pernah baca pun. Betapa masa aku tak terurus rupanya... Biasanya aku nie jenis yg pantang dapat buku... klu blh jam2 tu jugak nak perabih baca. Tapi tu le... masa tak mengizinkan. Apa kata moh kita baca same2.. nak tak???

Inilah kisahnya...

Kota Kufah diterangi oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebahagian rumah telah menutup pintu dan tingkapnya. Namun sisa sisa kehidupan kota Kufah masih terasa.

Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat ayat suci Al' - Qur'an. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang orang memanggilnya "Zahid" atau "Si Ahli Zuhud", kerana kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebahagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat mengumpul maklumat dan pusat perhatian.

Pemuda itu terus leka dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala nyala di hadapannya. Namun jika is sampai pada ayat ayat ni'mat dan syurga, embun sejuk dari langit terasa bagai menyimbah sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.

Tatkala sampai pada surah Asy Syams, ia menangis:

fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.
qad aflaha man zakkaaha.

wa qad khoba man dassaaha....

(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,
sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya...)

Hatinya tertanya tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya? Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi."

Ayat itu ia ulang berkali kali. Hatinya bergetar hebat. tubuhnya bergoncang. Akhirnya ia pengsan.

Sementara itu, dipinggir kota kelihatan sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu lampu yang terang dari kejauhan nampak berkelip kelip bagai bintang gemerlapan. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan haiwan ternak yang tidak terhitung jumlahnya. Dalam salah satu kamarnya, kelihatan seorang gadis jelita sedang menari nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu nampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh mempesona. gadis itu terus menari sambil mendedangkan syair syair cinta :

in kuntu 'asyiqatul lail fa ka'si
musyriqun bi dhau'

wal hubb al wariq...

(jika aku pencinta malam maka
gelasku memancarkan cahayadan
cinta yang mekar...)


Gadis itu terus menari nari dengan riangnya. Hatinya berbunga bunga. Di ruang tengah, kedua orang tuanya, bibir tersenyum mendengar syair yang didendangkan puterinya. Sang ibu berkata : "Abu Afirah, puteri kita sudah semakin dewasa. Kau dengarkanlah baik baik syair syair yang ia dendangkan."

"Ya, itu syair syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan siang tadi di pasar aku berjumpa dengan Abu Yssir. Dia melamar Afirah untuk puteranya, Yasir."

"Bagaimana, kau terima atau...?"

"Ya jelas terus saja aku terima. Dia kan masih kerabat sendiri dan kita banyak terhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.

"Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?"

"Tidak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling padan untuk Afirah adalah Yasir."

"Tapi, engkau tentu tahu bahawa Yasir itu pemuda yang tidak baik."

"Ah, itu mudah. Nanti jika sudah beristerikan Afirah dia pasti juga akan bertaubat! Yang penting dia kaya-raya."

bersambung...