tag:blogger.com,1999:blog-87837874084342537622024-03-14T13:44:19.422+08:00RINA-RKTS"RUMAH KECIL TIANG SERIBU"
... jangan diragu pada ingatan... sedang kotak minda masih segar memutar kenangan...RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.comBlogger37125tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-45848721893200732122011-03-28T15:10:00.002+08:002011-03-30T10:40:20.903+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (15) Pesona Gadis Aceh<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(51, 204, 0);"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-weight: bold;"><span style="font-weight: bold;">Silakan terus dengan pembacaannya... Mohon doanya aku punya kelapangan di lain waktu....</span></span></span></span></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;"><br /><br /></span></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">SEBAIK</span> sampai di SIC, Azzam terus membuat kuah untuk baksonya. Beberapa siswa SIC minta merasa bebola bakso yang telah jadi. Ia tidak memenuhi permintaan mereka. Sebab jika satu anak diberi, yang lain pasti akan minta. Dengan bijak ia menjawab :</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Jangan risau, nanti kalian semua akan mendapat bahagiannya, masing masing anak satu mangkuk bakso. Sabar sedikit ya."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />Seorang anak yang terkenal suka mengusik membantah :<br /><br />"Walah minta satu saja tidak boleh. Dasar kedekut!"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam tersenyum mendengarnya. Ia tidak terkejut mendengarnya. Sudah selalu dan biasa terjadi. Maka ia tidak menjawab apa apa. Sebab setelah majlis selesau nanti dan masih ada sisa bakso, anak anak itu akan minta lagi. Biasanya ia akan memperkenankan permintaan mereka. Dan mereka akan berkata padanya : "Bang Insinyur memang pemurah dan baik hati. Terima kasih ya bang."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Majlis di SIC selesai tepat pukul dua belas tengah hari. Dan majlis itu Azzam mendapat keuntungan bersih sebanyak tujuh puluh dolar. Azzam terus pulang ke Mutsallats. Nasir ternyata telah ada di rumah. Sedang menanak nasi dan memasak telur mata kerbau.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Eh Kang Azzam, baru pulang. Teman teman ada di mana Kang, kenapa sepi?" tanya Nasir santai sambil membalik telur mata kerbaunya. Kelihatannya ia sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi di rumah itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mereka sedang berada di hospital Rab'ah." jawab Azzam sambil meletakkan periuk besar dan perkakasnya pada tempatnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Di hospital? Siapa yang sakit Kang?" Nasir terkejut. Pandangan matanya beralih dari telur mata kerbaunya ke wajah Azzam.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Fadhil." Ucap Azzam datar.<br /><br />"Fadhil?! Sakit apa Kang?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sudahlah, kau makanlah dulu. Fadhil akan baik baik saja. Sudahlah, nanti ku ceritakan semuanya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam maduk ke biliknya untuk beristirehat. Sementara Nasir makan dengan sangat lahap. Nasi panas, telur mata kerbau dan kicap terasa begitu nikmat bagi pemuda yang pernah belajar di Pesantren Buntet Cirebon itu. Guratan keletihan masih nampak jelas di wajahnya. Namun guratan keletihan itu masih belum seberapa jika dibandingkan guratan keletihan pada wajah Azzam yang kini menelentangkan tubuhnya di atas tempat tidurnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam memejamkan mata, tapi fikirannya mengembara ke mana mana. Mengembara ke ruang ruang keletihan demi keletihan, tanggungjawab demi tanggungjawab, bakti demi bakti. Perjalanan hidup yang harus ditempuhnya di Cairo adalah kerja keras, titisan keringat, mata yang kurang tidur, fikiran yang penuh, dan doa yang dibalut tangis jiwa. Ingatannya pada ibu dan adik adiknya adalah tanggung jawab sebagai seorang lelaki sejati yang beriman. Ingatan pada ayahnya adalah kewajipan bakti seorang anak mengalirkan doa pembuka rahmat Allah di alam baka.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kang, apa yang sebenarnya terjadi pada Fadhil?" Nasir duduk di samping Azzam. Ia tahu Azzam tidak tidyr. Azzam bangkit perlahan lalu duduk.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Lebih tepat kalau kau bertanya, apa sebebnarnya yang telah terjadi di rumah ini," jawab Azzam. Nasir diam saja, ia tahu Azzam belum selesai bicara. Justeru baru memulai bicara. "Malam tadi terjadi peristiwa besar di rumah ini. Peristiwa yang tidak lain adalah getah dari tindakan ketidak hati hatianmu," lanjut Azzam. Nasir terkejut mendengarnya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Tindakan saya yang mana Kang?!" tanya Nasir dengan nada protes.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam lalu menceritakan semua yang terjadi dengan detail. Tidak dikurangi dan tidak juga dilebihi. Mata Nasir berkaca kaca. Ia baru mengerti dengan 'tindakan ketidak hati hatiannya' yang dimaksudkan Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maafkan saya kang. Saya tidak tahu kalau akan sampai terjadi seperti ini. Saya beruntung dapat tinggal satu rumah bersama orang yang berjiwa menjaga dan melindungi seperti kamu. Sekarang apakah yang senaiknya yang perlu saya buat, Kang?" Ucap Nasir dengan disertai tasa penyesalan yang dalam.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Untuk sementara, selama kau di Mesir hapuskan nama Wail El Ahdali dari ingatanmu. Dan bergaullah dengan orang Mesir dan orang asing sewajarnya saja. Jangan terlalu akrab. bergaul sewajarnya selain membuat kita waspada, juga membuat kita lebih dihormati di negeri orang. Yang jelas mungkin kau sedang dicari mabahits. Bersikap biasa saja. Jika suatu hari diperiksa mabahits, jawablah yang wajar saja. Yakinkan mereka bahawa kau tidak berbuat yang bukan bukan di tanah air mereka ini. Yakinkan mereka bahawa tumpuanmu adalah hanya untuk belajar di Al-Azhar. Jangan pernah mengisyaratkab kau kenal dan mempunyai hubungan dengan Wail El Ahdali." Azzam menasihati panjang lebar. Nasihat yang sangat penting bagi orang yang terlalu akrab dengan siapa saja seperti Nasir. Sikap akrab yang terkadang berlebihan, sehingga berpeluang mengundang hal hal yang tidak diinginkan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baik Kang. Tapi Wail itu orangnya baik Kang. Dia bukan penjahat. Aku pernah ke rumahnya di daerah Mahallet Marhum, dekat Tanta."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku tidak mengatakan Wail itu tidak baik Sir. Aku percaya bahawa teman teman mu baik. Tapi yang terbaik bigi kita saat ini adalah tidak kenal Wail dulu. Amn Daulah Mesir merasa mempunyai urusan dengan Wail. Kita biarkan itu sebagai urusan mereka. Kita di sini adalah tetamu. Dia orang Mesir. Dia lebih tahu Mesir daripada kita. Wail pasti mempunyai cara untuk menyelesaikan urusannya. Kita urus saja urusan kita sebaik baiknya. Bukankah urusan kita sendiri masih banyak?" tegas Azzam.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ya Kang."<br /><br />"Sekarang kita ke Mustasyfa Rab'ah."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baik Kanh. Aku mandi dulu sebentar dan ganti pakaian ya Kang? Pagi tadi aku belum mandi."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ya. Tapi cepat ya."<br /><br />"Ya Kang."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ketika Nasir mandi, Azzam teringat akan tempe yang ia serahkan pembuatannya pada Rio. Ia harus memeriksanya untuk lebih merasa yakin bahawa pekerjaan anak buahnya beres seperti yang ia harapkan. Ia melihat beberapa calon calon tempe di rak. Ia ambul satu, ia teliti.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Bagus. Rio boleh diharapkan," lirihnya.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia merasa tenang, jika suatu saat nanti ia tidak boleh membuat sendiri tempenya, ia boleh menyerahkannya pada Rio. Dengan begitu bisnesnya akan tetap lancar. Dan Rio juga senang, sebab dia akan mendapat tambahan gaji.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Nasir mandi dengan bagitu cepat. Entah apa yang ia lakukan di bilik mandi. Rasanya baru masuk, sudah keluar pula. Ia terus masuk ke biliknya dan mengganti pakaian.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sepuluh minit kemudian, mereka berdua sudah keluar rumah. Mereka berjalan kaki menuju jalan raya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">sebaik ada bas nombor 65, mereka naik. Selama dalam perjalanan yang tidak lama itu Azzam tertidur. Nasir masih didera rasa bersalah. Malam tadi ia hampir mahu nekad tetap mengizinkan Wail menginap di rumah. Namun ia ingat, jika Azzam marah, maka seisi rumah pasti akan juga marah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Kerana itulah, sebaik selesai makan roti dan kabab, ia mengajak Wail jalan kaki ke Tub Ramli. Ia dan Wail akhirnya menginap di rumah Mat Nazri, mahasiswa berasal dari Pahang, Malaysia yang sama sama agen tiket Malaysia Air Lines. Mat Nazri percaya saja padanya, bahkan sangat senang dengan kedatangan Wail. Mereke bertiga tidak tidur. Sebab Wail banyak bercerita tentang masa kecilnya dan juga kedamaian desanya. Cerita yang seronok didengar dan mengasyikkan, kerana Wail sering menyelitkan dengan lawak lawak yang menyegarkan. Ia masih teringat cerita Wail tentang Abu Nuwas. Wail berkata :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Waktu kecil dulu aku paling suka mendengarcerita cerita lucu Abu Nuwas. Yang paling menarik membawakan cerita adalah Ammu Husni. Dulu dia yang mengajari anak anak desa kami membaca Al-Quran. Sekarang dia bekerja di Kementrian Wakaf di cairo. Saya masih ingat satu cerita dari Ammu Husni tentang Abu Nawas. Cerita yang jika saya mengingatkannya masih boleh tertawa, paling tidak tersenyum sendiri. Ammu Husni bercerita begini :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">'Suatu petang Khalifah Harun Ar rasyid berjalan jalan mencari angin di luar istananya. Ia jalan melalui pasar. Di sana, ia bertembung dengan Abu Nuwas. Sang Khalifah sangat terkejut melihat Abu nuwas membawa sebuah botol yang kelihatannya berisi arak dalam ukuran yang besar. Untuk meyakinkan apa yang dilihatnya, sang Khalifah pun menghampiri Abu Nuwas.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Sejak bila kamu jadi pemabuk Abu Nuwas?" selidik Khalifah.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya tidak pernah mabuk. Khalifah jangan sembarangan menuduh sesuka hati!" jawab Abu Nuwas berbelit.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Lalu apa yang kamu bawa itu?"<br /><br />"Botol."<br /><br />"Lalu apa isi botol itu?"<br /><br />"Susu, Khalifah."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Susu kok warnanya merah? Sungguh aneh, bukankah di mana mana susu warnanya putih?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Harap maklum Khalifah. Susu ini mulanya berwarna putih. Tapi kerana malu pada Khalifah, jadi berubah merah. Ia lebih pemalu daripada gadis pingitan, Khalifah," jawab Abu Nuwas diplomatik.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Mendengar jawapan Abu nuwas itu, Sang Khalifah tertawa terbahak bahak. kenapa boleh susu memiliki sifat malu. Sungguh jawapan yang bodoh, namun menyegarkan. Sang Khalifah lalu meneruskan perjalanannya setelah tahu ternyata yang dibawa Abu Nuwas memang bukan arak, tapi minuman sejenis sirap dari kurma.'</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Nasir tersenyum sendiri. Cerita tentang abu Nuwas, yang kalau di Indonesia lebih dikenali dengan Abu Nawas, sudah sangat sering ia dengar. Tapi cerita tentang susu yang boleh ebrubah merah warnanya kerana malu, baru ia dengar saat itu. Mesir memang kaya dengan cerita cerita lucu, di samping juga kaya akan kisah romantik dan juga epik yang menggetarkan jiwa.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Beberapa puluh meter sebelum sampai Mahattah Rab'ah, ia membangunkan Azzam. Azzam bangun dengan mata merah. Mereka turun dan terus ke hospital. Di depan bilik Fadhil, mereka melihat Nanang dan Ali berdiri di samping pintu.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Kenapa di luar? Siapa yang di dalam?" tanya Azzam.<br /><br />"Fadhil sedang ditunggui dua perempuan," jawab Nanang.<br /><br />"Cut Mala, adik perempuannya dan Cut Rika teman Cut Mala."<br /><br />"Fadhil bagaimana keadaannya?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sudah sedar. Kata doktor akan baik baik saja. Tapi pagi tadi sempat <span style="color: rgb(204, 102, 0);">diinfus</span> dengan vitamin otak. Setelah di-scan, ada gegaran ringan. Mungkin kerana kepalanya terhantuk di lantai waktu dia terjatuh malam tadi. Oh ya Kang, dia menanyakan kamu terus sejak sedar," kata Nanang menjelaskan.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Baik, kalau begitu aku masuk dulu."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam terus masuk. Dua mahasiswi bertudung duduk di samping Fadhil. yang bertudung biru muda bercakap cakap dengan Fadhil. Sementara yang bertudung putih membaca majalah.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Assalamu'alaikum?" sapa Azzam.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Seketika yang ada di bilik itu menjawab salam. Fadhil tersenyum melihat siapa yang datang. Ia terus berkata pada gadis bertudung biru muda :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Dik Mala, itu Kang Azzam, senior saya di rumah." Gadis bertudung biru mengangguk kepada Azzam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Azzam juga melakukan hal yang sama sambil memperkenalkan diri :</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ya, saya Azzam."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya adiknya bang Fadhil. Cut Mala. Lengkapnya Cut Malahayati." Tukas gadis bertudung biru berwajah putih bersih. Azzam melihat sesaat, ia tertegun sesaat. Baru kali ini ia bertatap muka dan melihat terus wajah adik perempuan Fadhil yang membuat Hafez hampir gila. Ia harus mengakui, memang mempesona. Ia terus menundukkan kepala, lalu tanpa sedar ia mengalihkan pandangan ke arah gadis yang satunya yang sedang menghadap ke arahnya dengan menundukkan kepala.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Dia teman Mala. Masih ada hubungan keluarga dengan saya meskipun jauh. Namanya Cut Rika." fadhil memperkenalkan. Sebab ia tahu teman adiknya itu sangat pemalu. Azzam hanya mengangguk angguk. Gadis yang bernama Cut Rika itu diam saja. Maka Azzam mengalihkan perhatiannya pada Fadhil.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Bagaimana keadaan Dhil?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baik kang. Tidak ada yang perlu dicemaskan. tapi aku perlu berbicara dengan kamu tentang satu hal penting." jawab Fadhil.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Apa itu?" tanya Azzam penasaran.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sebentar Kang," jawab Fadhil sambil memberi isyarat kepada adiknya agar ia dan temannya meninggalkan bilik. Setelah keduanya keluar, Fadhil berkata :</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Boleh tak kang saya pulang petang ini?"<br /><br />"Kenapa Dhil? kau masih perlu rawatan?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Terus terang Kang, saya tidak mempunyai wang. Adik saya juga. Kami tidak mungkin minta ibu kami di Indonesia."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sudahlah, kau jangan memikirkan hal itu dulu. Biar hal itu aku yang memikirkan, yang penting kamu sihat kembali. Ujian tidak lama lagi. Ingat itu."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kalau boleh pulang secepatnya. Cubalah bicara dengan doktor, jika dia datang nanti."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Baiklah."<br /><br />"Terima kasih Kang."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, sama sama. Adikmu biar masuk kembali ya. Soalnya, ia kelihatan ingin terus dekat denganmu. Aku dan teman teman solat Ashar dulu."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Iya Kang."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam beranjak keluar memanggil dua gadis Aceh, lalu mengajak teman serumahnya solat Ashar. Sebab saat itu azan sedang berkumandang.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Setelah Ashar, doktor datang. Azzam membicarakan kemungkinan Fadhil dibawa pulang.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Dia boleh pulang, paling cepat besok siang." Jelas doktor berambut putih meyakinkan.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Menjelang Maghrib, Cut Mala dan Cut Rika minta diri. Tidak lama setelah Azzam dan Nanang juga minta diri. Untuk jaga malam, Nasir dan Ali menawarkan diri. Atas permintaan Azzam, Hafez memanh sejak awal tidak perlu diberitahu dahulu. Biar dia menyelesaikan urusannya di Katamea dulu. Azzam tidak ingin Hafez tahu lalu terus ke hospital dan bertemu Cut Mala.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />Saat Azzam pergi pada Fadhil, dengan nada bergurau Fadhil berkata :<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Menurutmu Cut Mala, adikku, cantik tidak Kang?" Azzam menjawab dengan gurauan :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tanyakan saja pada Nasir, dia paling tahu tentang perempuan cantik. Kelihatannya tadi, dia memerhatikan adikmu itu."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />Nasir tidak menduga akan jadi sasaran tembak. Serta merta ia berkata :<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, kalau belum ada yang mengkhitbah, cantik sih. Tapi kalau sudah ada yang mengkhitbah, ya, tidak cantiklah!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam tersenyum lalu pergi. Ia jadi teringat dua orang adiknya kembali. Husna dan Lia. Apa mereka secantik Cut Mala, atau malah lebih cantik? Tiba tiba ia malu pada diri sendiri. Hatinya benar benar mengakui pesona gadis Aceh bertudung biru mda itu tadi. Fadhil memang telah berkali kali bercerita tentang adiknya yang baru setahun setengah menyusulnya kuliah di Cairo. Namun baru petang itu ia bertatap muka dengan gadis yang kata Fadhil, saat di Madrasah Aliyah pernah menjuarai MTQ (Musabaqah Tilawah Al-Qur'an) se-Tanah Rencong, Aceh. Ia boleh memahami kenapa Hafez sedemikian jatuh hati padanya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">Terjemahan Corner :</span><br /><br /><span style="color: rgb(204, 102, 0);">1. Diinfus - Dimasuk melalui tiub</span><br /><br /><br /></span></span><br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-68712488768414318982011-03-14T15:50:00.000+08:002011-03-14T15:50:39.548+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (14) Hari Yang Menegangkan<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-style: italic;">Ni tak sempat nk edit pebenda... Ada masa je aku publish... Pandai2 koranglah ye... Mana yg tak betul ejaan harap beno dimaapkan...</span></span></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">MATAHARI</span> pagi mulai menyinari bumi Kinanah. Sinarnya hangat, sehangat celoteh anak anak Mesir yang keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Di rumah Azzam suasana tegang belum hilang. Fadhil belum juga sedar sampai jam enam pagi.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Bagaimana ini Kang?" tanya Nanang cemas.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Azzam berfikir sebentar. Memang dia yang harus memutuskan. Sebab ia yang paling tua di rumah itu.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Kita bawa ke hospital. Kau cari teksi sana sama Ali. Fadhil biar aku yang tunggu!" kata Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Baik Kang."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Nanang dan Ali lalu keluar untuk mencari teksi. Lima belas minit kemudian mereka kembali dengan membawa teksi. Pagi itu juga Fadhil mereka bawa ke <span style="color: rgb(204, 102, 0);">Mustasyfa</span> Rab'ah El Adawea. Doktor yang memeriksa mengatakan, fadhil harus dirawat di hospital.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Pagi itu menjadi pagi yang sangat sibuk bagi Azzam. Ia teringat bahawa ia harus menyelesaikan pekerjaan pekerjaannya. Rendaman kacang soya yang harus ia olah jadi tempe. Tempe tempe yang sudah jadi yang harus ia agihkan. Kemudian acara di Sekolah Indonesia cairo (SIC) yang memesan bakso padanya. Jam sebelas ia dan baksonya harus siap di SIC. Jika tidak ia akan dimarahi ramai orang.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia merasa perlu membahagikan tugas dan pekerjaan. yang boleh dilakukan orang lain biar dilakukan orang lain. Sementara ia akan menangani yang hanya boleh ia tangani. Ia bertindak segera. Ia meminta Ali menjaga Fadhil. Nanang ia minta menghubungi KMA (Keluarga Mahasiswa Aceh), juga adik perempuannya yang tinggal di Makram Abied. Sementara ia sendiri harus segera kembali ke rumah untuk menyelesaikan pekerjaannya.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Aku kembali ke sini selepas Zohor, insya Allah. habis dari KMA, kau terus balik ke sini ya Nang?" kata Azzam.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />Nanang mengangguk.<br /><br />"Nasir bagaimana Kang?" Tanya Ali.<br /><br />"Biar aku yang mengurus. baik, aku tinggal dulu." Jawab Azzam.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Sampai di rumah, Azzam terus menghubungi Anam, Yayan dan Rio. Tiga orang yang selama ini ikut mengedar tempe tempenya. Agar mudah Azzam membahagi wilayah operasi mereka. Tugas mereka sebenarnya menjadi mudah, kerana hanya menghantar ke rumah rumah para pelanggan yang telah dirintis Azzam. Namun mereka juga diberi kebebasan mencari pelanggan baru di wilayahnya masing masing. Manakala Anam, Azzam memberi kepercayaannya beroperasi di Abdul Rasul, Rab'ah, Haidar Tuni. Sedangkan Yayan, beroperasi di Masakin Ustman, Hay Zuhur dan Hay Sabe'. Adapun Rio beroperasi di Katamea.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Tiga mahasiswa itu terus datang. Azzam meminta mereka segera mengedar tempe tempe yang telah jadi ke wilayah masing masing, kecuali Rio.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Sementara Rio, kau membantuku membuat tempe saja." Ujar Azzam pada Rio. Rio pun mengangguk setuju. Azzam terus memberi petunjuk pada Rio. Pertama ia minta Rio merebus kacang soya yang direndam sampai matang.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Tanda kacang soyanya sudah masak, jika wapnya sudah berbau kacang soya," jelas Azzam pada Rio. "Jika sudah masak, tapiskan sampai dingin. baru diletakkan raginya," lanjut Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Raginya sebanyak mana Kang?" tanya Rio.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Jangan banyak banyak. Ini ragi keras. Begini saja." jawab Azzam sambil memberi contoh sukatan ragi dengan mengambil ragi dengan tangannya.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Baru setelah itu dibungkus dengan plastik itu. Ukurannya seperti bias," terang Azzam. Untuk membuat tempe, Azzam hanya boleh percaya pada Rio. Anak dari Tuban itulah yang paling sering membantunya membungkus tempe. Dan hasil bungkusannya kemas dan rapi.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Setelah semuanya ia rasa beres, ia menyiapkan segala keperluannya untuk membuat bakso. Semua barang dan alat yang ia perlukan, ia masukkan ke dalam periuk besar. Lalu ia memanggil teksi. Dengan teksi ia membawa periuk besar itu menuju SIC yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Dalam perjalanan, ingatannya tertuju pada fadhil yang saat ia tinggalkan masih pengsan. Ia berharap tidak terjadi apa apa dengannya.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">******</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"></span></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Pukul lapan Furqan baru terbangun. Ia sangat terkejut. Bagaimana boleh terjadi? Seharusnya ia bangun pukul empat. Bagaimana boleh tertidur sampai pukul lapan. Ia merasa ada yang sangat menyiksanya. Ia tidak hanya kehilangan solat Tahajjud. namun ia juga kehilangan solat Subuhnya.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia beristighfar berulang kali. Belum juga kekejutannya reda. Ia terkejut dengan keadaannya.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(51, 51, 255);">"Laa haula wa la quwwata illa billaj! Inna lillah!"</span> Ia berkata setengah teriak. Ia terkejut bagai kejutan elektrik. bagaimana mungkin ia boleh tidur tanpa pakaian. Tidur hanya bertutupkan selimut saja. padahal ia tidur bukan dalam keadaan seperti itu. Ia tidur dengan baju panjang dan seluar panjang. Ia melihat baju panjang dan seluar panjangnya bersepah di lantai. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Apakah waktu tidur tadi dia mengigau dan melepaskan pakainnya tanpa sedar. Ia merasa tidak yakin. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia bangun tidur dengan keadaan yang menurutnya sangat memalukan</span></span><span style="font-size:85%;">.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia terus bangkit, mencuci muka dan mengambil air wudhu'. Ia harus segera mengqadha' solat Subuh. Fikirannya benar benar kacau. Hatinya tidak tenang. Ia solat dengan tidak boleh khusyu' sama sekali. Perasaan berdosa kerana solat tidak tepat pada waktunya terus berlegar di fikirannya. Pagi yang bagi sebahagian besar penduduk kota Cairo sangat cerah itu, baginya terasa sangat suram.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Perasaan terkejutnya tidak berhenti sampai di situ. Selesai solat ia ingin menghidupkan laptopnya dan untuk mendengarkan nasyid Raihan dengan winamp, namun ia tersentak dengan adanya sebuah foto di atas laptopnya yang terletak di atas meja. Foto itu adalah foto dirinya dengan seorang perempuan berambut perang dalam keadaan sangat memalukan. Foto yang membuatnya gementar dan didera kecemasan luar biasa, juga rasa geram yang menyala. Sesaat ia bingung harus berbuat apa. Ia sendiri tidak tahu perempuan berambut perang itu siapa? Bagaimana itu semua boleh terjadi? Dan dirinya? apa yang sebenarnya telah dilakukan perempuan itu pada dirinya? Dan apa yang telah dilakukannya dengan perempauan itu?</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Serta merta ia ditimpa rasa sedih yang menusuk nusuk jiwa. Air matanya meleleh. Ia merasa telah ternoda. Harga diri dan kehormatannya telah hancur. Ia merasa tidak memiliki apa apa. Ia merasa menjadi manusia paling kotor dan terhina di dunia. Sesaat lamanya ia bingung. Ia didera rasa cemas dan ketakutan yang begitu besar sehingga ia tidak tahu harus berbuat apa? Foto itu ia rasakan bagaikan pedang yang siap memenggal lehernya. Dunia terasa hitam pekat baginya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia berusaha mengendalikan dirinya. Ia meyakinkan dirinya bahawa ia adalah seorang lelaki. Ya. Seorang lelaki sejati tepatnya. Seorang yang berani menghadapi masalah yang ada di hadapannya. Ia adalah Mantan Ketua PPMI yang disegani. Ia harus boleh menguasai diri. Harus boleh bertindak tepat, cepat dengan akal yang sihat. Ia amati foto itu sekali lagi. Ia membalikkan. Ia menagkap sesuatu. Sebuah pesanan ringkas :</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-weight: bold;">Please read "myoptions.doc" in ur notebook!</span><br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Furqan terus menyalakan laptopnya dan mencari fail yang berjudul myoptions.doc. Lalu ketemu. Ia buka. Sebuah pesanan dengan bahasa Arab muncul di layar laptopnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-weight: bold;">Tuan Furqan, setelah bangun dari tidur anda pasti terkejut dengan keadaanmu dan dengan apa yang kau temukan. Saya sudah tahu siapa anda. Tidak usah berbelit belit. Kita terus ke inti masalah. Ini murni masalah bisnes. Bisnes kecil kecilan antara Tuan dan saya. saya sudah mempunyai foto foto "menarik" dengan Tuan. Jika Tuan ingin foto foto ini tidak jadi bahan perbincangan umum, maka sebaiknya Tuan melakukan dua hal ini :</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-weight: bold;">Pertama, jangan lapor kepada polis.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-weight: bold;">Kedua, silakan transfer wang sebanyak 200,000 USD ke nombor akaun ini : 68978967605323 Banca Commerciale Italiana Roma (Jangan dupa dicatat, sebab sebaik fail ini Tuan tutup, fail ini akan terus musnah). Saya beri tempoh waktu 2 x 24 jam untuk mentrasfer.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-weight: bold;">Ketiga, setelah wang masuk akaun saya, maka saya akan kirim seluruh filem negatif dari foto foto tersebut dan saya jamin tidak ada yang saya simpan.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-weight: bold;">Terima kasih atas kerjasamanya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-weight: bold;">Miss Italiana.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Furqan terpaku di depan layar laptopnya. Ia ditekan. Ia mahu diperas ugut. Ia tidak percaya ini akan terjadi padanya. Ini berlaku seperti di filem filem yang pernah ia tonton. Siapakab Miss Italiana itu? Tiba tiba ia teringat Sarah. Apakah ini semua ada hubungannya dengan undangan Sarah? Juga kekecewaan Sarah? Siapakah Sarah sebenarnya? Benarkah ia puteri Prof. Sa'duddin seperti yang diakuinya? Akal sihatnya mulai berjalan. Namun ia tetap dicengkam kecemasan dan ketakutan. Ia seperti diseret masuk ke dalam dunia yang kelam.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold; color: rgb(204, 102, 0);">Tejemahan Corner :</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(204, 102, 0);">1. Mustasyfa - Hospital</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-13278488362039502992011-03-11T14:50:00.000+08:002011-03-11T14:53:43.870+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (13) Tetamu Tak Diundang<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 153, 0);font-size:85%;" >Waktu malas bikin kerja... ini yg aku usahakan... jiwa aku damai dgn ini... moga kalian juga sedemikian dlm pembacaan... </span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">MALAM</span> itu Anna tidak boleh tidur gara gara pertanyaan Laila tentang lamaran Furqan itu. Fikirannya tidak tenang. Sudah tiga bulan lamaran itu disampaikan kak Zulfa kepadanya, tapi ia belum juga boleh mengambil keputusan. Ini adalah waktu terlama baginya dalam menimbang sesuatu. Entah kenapa kali ini tidak mudah baginya untuk mengatakan 'tidak', seperti sebelum sebelumnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia benar benar belum menemukan alasan untuk menolak lamaran Mantan Ketua PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia) yang terkenal cerdas dan kaya itu. Juga tidak mudah mengatakan 'ya'. Ia belum merasakan kemantapan hati untuk menjadi pendamping hidupnya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa tidak juga merasakan kemantapan hati. Ia tidak mungkin melangkah tanpa kemantapan hati. Baginya menerima lamaran seseorang kemudian bernikah adalah ibadah. Dan ibadah tidak sempurna jika tidak disertai kemantapan hati dan jiwa.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Jarum jam dinding di biliknya menunjukkan pukul dua dinihari. Matanya tidak mahu terpejam. Bagaimana jika Furqan, atau kak Zulfa mendesaknya lagi untuk memberi kepastian? ia bangkit dari katil. Duduk dan menunduk. Kedua matanya yang sedikit merah mengguratkan rasa kepenatannya. namun sama sekali tidak mengurangi pesona kecantikannya. Dari kamr sebelah, sayup sayup ia mendengar suara detak keyboard komputer. Dari kamar Wan Aina. Mahasiswi berasal dari Selangor, Malaysia yang pernah belajar di Diniyah Putri Padang Panjang itu memang seorang yang bekerja keras.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Anna tahu bahawa gadis Melayu pencinta lagu lagu Ummi Kultsum itu beristirehat hanya dua jam. Ia sangat bangga padanya. Wajar, jika tahun pertama M.A. Al-Azhar dilaluinya dengan mudah. Tidak ada satu mata kuliah pun yang tertinggal. Anna beranjak ke kamar Wan Aina. Mengetuk pintunya perlahan.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">"Masuk saja!" Suara Wan Aina dari dalam kamar.</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Anna membuka pintu dan masuk perlahan. Wan Aina duduk di depan komputer tanpa bertudung. Rambutnya dipotong pendek. Sedikit di atas bahu. Matanya terfokus pada buku yang ia letakkan di samping kanan monitor komputernya. Sementara sepuluh jarinya yang lentik menari nari indah di atas tuts tuts keyboard komputer. Anna mendekat berdiri di samping Wan Aina.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">"Terjemah apa Wan?"</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ini Kak, terjemahkan cerpenya Ibrahim Ashi," jawab Wan Aina. Ia memang biasa memanggil Anna kakak, "Nak ku kirim ke majalah sastera milik Dewan Bahasa dan Pustaka diKL," lanjut Wan Aina sambil sesekali membetulkan tulisan yang salah.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">"Apa judulnya Fat?"</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"</span></span><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-style: italic;font-size:85%;" >Alal Mughtasal</span><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">. Sebuah cerpen yang penuh kritik sosial. Ada kalimat dari Ibrahim Ashi yang menggelitik sekali." Jelas Wan Aina sambil tetap mengetik.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">"Kalimat apa itu Wan?"</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ibrahim Ashi menulis: </span></span><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-style: italic;font-size:85%;" >Orang orang kaya tidak mati mati.... Orang orang kaya boleh menyuap Izrail</span><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ada ada sja saterawan itu. Eh Fat, sembang sembang kamu pernah tidak dikhitbah seseorang?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Apa Kak? Dikhitbah?" Wan Aina menghentikan jari jemarinya. Ia memalingkan wajahnya ke Anna.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya. Dikhitbah. Dilamar. Pernah tak kamu dilamar seseorang untuk dijadikan isterinya." Anna mengulang pertanyaan dengan lebih jelas.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">"Ya pernahlah. Sudah dua kali. Tapi dua duanya aku tolak mentah mentah!"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Kenapa?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Sebab aku tidak yakin boleh mencintai dia."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Meskipun agamanya baik?"</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya. Yang ku cari adalah yang agamanya baik dan aku yakin boleh mencintainnya. Aku dapat berbakti padanya dengan penuh rasa suka, rasa cinta dan ikglas. kenapa Kak Anna tiba tiba bertanya khitbah padaku? Apa ada orang yang mengkhitbah lagi?"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">"Iya. Tapi yang ini membuatku susah."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Kenapa?"</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku belum yakin boleh mencintainya. Namun aku juga masih merasa berat jika menolaknya." Terang Anna pada Wan Aina. Selama ini Wan Aina adalah teman yang paling aman diajak bicara dari hati ke hati. Ia sangat dewasa dan boleh menjaga rahsia.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Menurutku kakak tidak usah tergesa gesa. Kak Anna tunggu dulu sampai benar benar sedia mengambil keputusan yang matang. Jika yang mengkhitbah tidak sabar, ya biar mundur. Jangan tergesa gesa memutuskan Kak. Tergesa gesa itu datangnya dari syaitan. Menentukan siapa yang jadi pasangan hidup kita itu ibarat sama dengan menentukan nasib kita selanjutnya. Harus benar benar matang dan penuh pertimbangan. Oh ya Kak, bagaimana tiketnya? Sudah selesai?"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">"Besok saya bayar insya Allah. Dua hari lagi boleh saya ambil."</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baguslah. Tiker Aina sudah Aina ambil. Kita jadi ke Kuala Lumpur awal pekan depan, insya Allah. Hari Ahad kita ikuti seminar sehari tentang Ulama Perempuan di Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW, PPMI, Wihdah dan ICMI di Auditorium Shalah Kamil. Hari Isninnya kita terbang ke KL. Keluarga saya akan menanti kita di Air Port. Kak Anna tak usah risau. Saya sudah cerita semua pada mereka. Mereka sangat gembira dengan kedatangan Kakak."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Terima kasih Wan. Mungkin dengan pergi ke Malaysia fikiranku boleh lebih jernih dan tenang. Dan ku fikir masalah khitbah ini perlu aku musyawarahkan dengan abah dan ummiku di Indonesia."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">"Itu lebih baik Kak."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Kau sudah Tahajjud Wan?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Belum Kak."</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kita Tahajuud bersama yuk. Kita bergantian jadi imam, biar sekalian </span></span><span style="color: rgb(204, 102, 0); font-style: italic;font-size:85%;" >muraja'ah</span><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Boleh Kak. Tapi aku selesaikan satu halaman ini dulu ya. Kakak ambil wudhu' dan solat dulu saja di bilik kakak. Nanti saya ke sana."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><br /><span style="font-style: italic;">"Baiklah." Jawab Anna dan terus bergegas mengambil wudhu'.</span><br /><br /></span><div style="text-align: center; font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">******</span><br /></span></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Jam loceng di bilik Azzam terus berdering. Azzam masih tidur nyenyak. Jarum menunjukkan pukul dua empat puluh minit. Tidak lama kemudian jam loceng itu berhenti. Lima minit kemudian jam loceng yang satunya berdering. Sudah menjadi kebiasaan Azzam memasang dua jam loceng untuk mengejutkannya agar boleh bangun malam. Ia masih ingat pesanan ibunya sebelum berangkat ke Mesir.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />"Jangan tinggalkan solat malam!"<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Jam loceng kedua sudah dua minit berdering, Azzam tidak juga bangun. Tiba tiba...</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />Dar.. dar.. dar...!<br /><br />Azzam tersentak. Seluruh penghuni tumah ini juga terbangun terkejut! Dan...<br /><br />Dar... dar... dar...!<br /><br /><span style="color: rgb(204, 102, 0);">Iftahil baab! Iftahil baab!</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ada suara mengetuk pintu dengan keras disertai perintah untuk membuka pintu juga dengan suara keras. Mata Azzam masih berkunang kunang. Kepalanya masih terasa sangat berat. Namun telinganya boleh menangkap jelas suara perintah membuka pintu itu. Ia boleh menangkap dengan jelas itu adalah suara orang Mesir. Belum sempat beranjak dari tempat tidur, ketukan keras kembali terdengar.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />Dar... dar... dar....!<br /><br /></span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="color: rgb(204, 102, 0);">Iftahil baab! Iftahil baab!</span></span><span style="font-size:85%;"><br /></span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />Ia tersedar dengan membawa kemarahan di ubun ubun kepalanya.<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Orang Mesir tidak tahu adab dan sopan santun. Malam malam mengetuk ngetuk rumah orang seenaknya. Memang rumah neneknya apa!" Geramnya pada diri sendiri seraya berjalan cepat ke ruang tamu. Teman temannya yang lain sudah bangun. Hafez mengikutinya di belakang. Ketika ia hendak membuka pintu, ketukan di pintu mengejutkannya :</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />Dar... dar... dar....!<br /><br /></span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="color: rgb(204, 102, 0);">Iftahil baab! Iftahil baab!</span></span><span style="font-size:85%;"><br /></span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />Spontan ia berteriak keras :<br /><br /><span style="color: rgb(204, 102, 0);">"Na'am, ya alilal adab!"</span><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Lalu membuka pintu. Sebaik saja pintu terbuka ia terkejut bukan kepalang. Seorang berpakaian seragam hitam terus menudingkan senjata kepadanya dan membentak:</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />"Mana Wail!"<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia mundur. Ali menyalakan lampu. Seketika tiga orang berseragam hitam menerajang masuk dan terus menutup pintu. Azzam berusaha tenang, meskipun hatinya takut saat itu.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Di rumah ini tidak ada yang bernama Wail! Kami juga tidak mengenali Wail kecuali Wail Kafuri, penyanyi pop yang terkenal itu." Jawab Azzam tenang dengan suara sedikit bergetar.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Jangan bohong! Kami yakin Wail El Ahdali ada di rumah ini! Kami akan periksa. Jika ia ada di rumah ini, kalian semua akan kami bawa! Kami <span style="color: rgb(204, 102, 0);">mabahits</span> dari <span style="color: rgb(204, 102, 0);">Amn Daulah</span>! Orang Mesir tinggi besar dan berkumis tipis itu menjelaskan siapa mereka dengan nada ancaman yang membuat Azzam tersedar dengan siapa dia berhadapan.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam terus pasrah. Jika Nasir mengabaikan perintahnya dan Wail masih ada di situ, menginap di situ, maka habislah orang satu rumah. Ia sangat berharap Nasir mematuhi perintahnya. Entah kenapa, ia yakin Wail tidak ada di situ, maka dengan tegas ia menjawab :</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Kapten, meskipun kalian mabahits, kalian tidak boleh sesuka hati masuk ke rumah kami tanpa izin. Tidak boleh sesuka hati menginjak injak kehormatan kami. Kami tidak kenal siapa itu Wail yang kalian maksudkan. Di rumah ini tidak ada yang bernama Wail. Sebaiknya kalian segera keluar dari rumah ini. Kerana kami tidak mengizinkan kalian masuk!"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Sebaiknya kau diam saja di tempatmu. jangan macam macam!" bentak si Kumis Tipis pada Azzam, lalu memerintahkan tiga anak buahnya untuk memeriksa seluruh sudut ruangan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ali, Nanang dan Fadhil berdiri gementar. Bibir mereka biru. Tidak sepatah kata pun mereka ucapkan. Tidak terasa ada yang membasahi seluar Fadhil. Anak Aceh itu didera ketakutan yang amat sangat. Trauma beberapa tahun silam terus hadir kembali. Kejadian waktu itu terus mengingatkannya pada kejadian tujuh tahun silam di Aceh, waktu rumahnya didatangi tentera berseragam tengah malam. Mereka menuduh ayahnya sebagai anggota gerakan pengacau keamanan yang dianggap paling menyengsarakan rakyat Aceh dan dianggap membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ayahnya yang hanya seorang guru mengaji biasa, dan pedagang biasa, jadi sasaran (soal siasat) tentera tentera itu. Ayahnya lalu dibawa pergi. Satu bulan kemudian tentera tentera itu datang lagi membawa ayahnya ke rumah dalam keadaan antara hidup dan mati. Satu hari berikutnya ayahnya meninggal dunia di pangkuannya dengan meninggalkan pesanan ringkas :</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Jangan menyimpan dendam. Jadilah Muslim sejati! Jadilah orang Aceh sejati!:</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Tiba tiba Fadhil merasa tulang tulangnya seperti hilang. Ia merasa seperti lumpuh. Lalu ingatannya hilang. Ia pengsan. Tubuhnya terjelepuk di atas lantai. Azzam terkejut. Demikian juga Ali dan Nanang. Azzam terpaku sesaat di tempatnya. Ia ragu ragu untuk mendekati Fadhil. Namun sebagai ketua rumah tangga ia harus bertanggung jawab. Maka dengan cepat ia melihat keadaan Fadhil. Ali dan Nanang masih mematung di tempatnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Jika ada apa apa dengan temanku ini, kalian harus bertanggungjawab. Jika misalnya ia terkena serangan jantung dan mati, maka kalianlah pembunuhnya dan itu akan diselesaikan secara diplomatik!" Geram Azzam sambil memandang si Kumis Tipis. Lalu ia memeriksa denyutan nadinya. Masih ada. Si Kumis Tipis ikut memeriksa lalu berkata :</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />"Dia hanya terkejut. Tidak apa apa. Nanti dia sedar!"<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Tiga orang intelijen berseragam hitam masih memeriksa di dalam bilik. Mereka meneliti keadaan bilik dengan teliti. Termasuk buku buku yang ada di semua bilik. Lima belas minit kemudian, mereka keluar dan memberikan laporan pada si Kumis Tipis.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Komandan, yang kita cari tidak ada di rumah ini. Setelah kami periksa juga tidak ada yang mencurigakan. Buku buku yang mereka baca biasa saja!"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Hmm bagitu ya! Tapi kenapa aku masih merasa laporan kepada kita bahawa Wail ke sini adalah benar. Tukang sayur itu sangat tajam dan jarang meleset!" Kata si Kumis Tipis yang ternyata adalah komandan operasi mabahits itu.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam mendengar dengan teliti. Kalimat terakhir yang disampaikan sang komandan menjadi catatan baginya. Tukang sayur yang mana yang menjadi anggota mabahits itu. Azzam meminta Ali dan Nanang mengangkat Fadhil ke tempat tidurnya. Dalam hati ia bersyukur. Nasir dan Wail yang beberapa jam yang lalu ada di sini, waktu itu tidak ada di situ.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Komandan berkumis tipis itu melakukan pemeriksaan sekali lagi dengan lebih teliti. Ia juga melihat ke bawah tempat tidur, bilik mandi, dapur dan dua balkoni. Ia tidak menemukan apa yang ia cari. Ia lalu mengorek ngorek tempat sampah. Dan menemukan sesuatu. Beberapa batang besi mencucuk kanan, dan bungkusan roti. Ia bawa barang bukti yang membuatnya merasa menang.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Di bilik Fadhil, Azzam memberitahu kepada Ali dan Nanag agar lebih banyak diam. Biar dia nanti yang bicara menghadapi para mabahits itu. Mereka diminta mengiyakan apa yang dikatakannya dan menidakkan apa yang ditidakannya. Azzam menduga komandan mabahits itu akan melakukan penyelidikan serius dan akan menyoal siasat dirinya dan teman temannya untuk mendapatkan apa yang dicari. Ia sendiri tidak mahu tahu apa urusan mabahits Mesir itu dengan Wail, pemuda yang dibawa Nasir. Yang paling pemting baginya adalah menyelamatkan dirinya dan seluruh anggota keluarganya dari bahaya yang sedang mengancam mereka.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />Dugaan Azzam benar.<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Kalian bertiga kemari! Temanmu yang pengsan itu biar ditunggu oleh anak buahku. Tenang, aku akan bertanggungjawab jika ada apa apa berlaku terhadap temanmu yang penakut itu!" Kata komandan itu pada Azzam, Ali dan Nanang tegas.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam bangkit ke ruang tamu diikuti Ali dan Nanang. Meskipun ia sebenarnya sangat marah dan jengkel, tapi ia sedar bahawa dirinya tinggal di negeri orang.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam duduk di hadapan sang komandan. Ali dan Nanang duduk di sampingnya. Sang komandan memegang besi mencucuk kabab sambil tersenyum :</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />"Tolong jawab, siapa yang membeli kabab dan roti ini?"<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam terus sedar akan digiring ke mana ia dan teman temannya. Maka dengan tegas Azzam menjawab :</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Saya!" Dalam hati ia meneruskan : "Tidak mebelinya." Sebab ia tahu yang membeli adalah orang yang dicari mabahits itu.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />"Kamu?!" Komandan itu terkejut dengan ketegasan Azzam.<br /><br />"Ya." tegas Azzam. Ali dan Nanang tegang.<br /><br />"Benarkah perkataannya? Hei kau, siapa namamu?" tanya komandan kepada Ali.<br /><br />"Nama saya Ali. Jika dia yang mengatakan "ya" bererti ya." Jawab Ali perlahan.<br /><br />"Apa kau tahu bila dia membelinya?"<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Persisnya saya tidak tahu. saya tidur awal tadi. Dan dia selalu tidur paling akhir. Boleh jadi waktu saya tidur dia membeli kabab dan roti itu untuk mengisi perutnya yang lapar. Sebab dia tidak boleh tidur jika perutnya lapar." Jawab Ali datar dan lancar. Komandan itu mengerutkan dahi. Dengan sedikit mengejek Azzam berkomentar santai :</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Malam ini adalah malam yang tak akan kami lupakan. Selama ini kami merasa berada di sebuah negara yang sangat menjaga sopan santun. Dugaan kami ternyata keliru. Malam ini kami dibangunkan dengan paksa hanya untuk ditanya tentang siapa yang membeli tusuk kabab. Kenapa tidak memerintahkan kepada semua penjual kabab agar setiap pembelinya menyerahkan tanda pengenal diri untuk didaftarkan. Sehingga dengan mudah akan diketahui siapa saja yang membeli kabab."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Kata kata Azzam itu membuat telinga komandan mabahits panas. Serta merta ia menunjukkan bahawa dialah sebenarnya sang tuan rumah.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Tolong tunjukkan pasport kalian! Saya ingin tahu apakah kalian membawa dokumen yang sah berada di negeri ini!" Kata sang komandan dengan nada marah.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Sebentar. Kami ambilkan!" Jawab Azzam. Lalu ia bangkit menuju biliknya untuk mengambil pasport. Hal yang sama dilakukan oleh Ali dan Nanang. Mereka bertiga menyerahkan pasport kepada komandan itu. Sang komandan lalu memeriksa pasport pasport itu dengan teliti. Tidak ada yang tidak beres. Namun komandan itu masih belum puas hati.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />"Kalian satu rumah ini berapa orang?" Selidik komandan itu.<br /><br />Dengan tegas Azzam menjawab : "Lima orang!"<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam tidak berani berbohong. Sebab ia yakin komandan itu akan mencari kepastian dengan melihat aqad kontrak sewa rumah. Yang biasanya, pada aqad kontrak itu, tertera berapa orang yang menyewa rumah itu.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Lima orang?" Ulang komandan.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />"Bererti dua orang tidak ada di rumah?"<br /><br />"Di mana mereka?"<br /><br />Azzam pura pura bertanya pada Ali : "Di mana mereka Ali?"<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ali menjawab jujur seperti yang ia ketahui : "Yang satu pergi Tanta dan yang satunya di Katamea."</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />"Di Tanta dan Katamea?" Ulang komandan.<br /><br />"Ya." Jawab Ali tegas.<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Untuk apa kira kira teman kamu pergi ke Tanta? Dan untuk apa pergi ke Katamea," tanya komandan dengan tetap mengarahkan pandangan kepada Ali.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Ya, biasanya berkunjungan ke rumah teman. Sesama orang Indonesia. Mahasiswa Indonesia kan tidak hanya di Cairo."</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />"Siapa nama teman kalian yang ke Tanta itu?"<br /><br />"Nasir."<br /><br />"Yang ke Katamea?"<br /><br />"Hafez."<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Tolong saya ingin lihat surat aqad perjanjian sewa rumah ini!" Pinta Sang Komandan.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Dugaan Azzam kembali benar. Azzam terus bergegas mengambil surat yang diminta. Sejurus kemudian surat aqad sewa rumah itu telah berada di tangan sang komandan berkumis tipis. Surat itu diteliti dengan teliti terutama nama nama penghuni rumah. Semua seduai dengan keterangan Azzam. Komandan itu mengangguk anggukkan kepala.</span><br /><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Mungkin benar kata anak buah saya, kami salah rumah. Kami minta maaf atas kelancangan kami malam ini. Kami minta diri!" Kata sang komandan dengan wajah lebih bersahabat.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Bagaimana dengan teman kami yang kalian buat pengsan. Kami minta dipertanggungjawabkan!" tukas Azzam.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Dia tidak apa apa. Hanya ketakutan saja. Kau lihat kan dia sampai terkencing. Nanti dia akan sedar dan kembali normal. Anggap saja ini sebagai latihan membina mental dia," jawab komandan itu diplomatik.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Kalau ada apa apa dengan dia bagaimana? Apa kalian akan lepas tangan begitu sja? Kalau kalian tidak mahu bertanggungjawab, kejadian ini akan kami bawa ke pengadilan. Akan kami tulis di surat khabar surat khabar dunia. Kami akan minta wartawan yang boleh menulis untuk menulisnya." Azzam tidak mahu kalah, sebab ia merasa benar. Sudah menjadi watak Azzam untuk sebuah kebenaran ia sedia berlawan sampai mati.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Baiklah. Jika ada apa apa temui saya di pejabat mabahits Abbasea. Nama saya Hosam. Lengkapnya Leftenan Kolonel Hosam Qatimi. Saya akan urus semua. Sekarang kau rawat dia dulu. Jangan banyak berbuat masalah di Mesir. Izin kalian di sini hanya untuk belajar. Ingat itu!"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Tanpa menunggu jawapan Azzam, komandan itu bangkit dan mengajak ketiga tiga anak buahnya meninggalkan rumah itu. Ali dan Nanang cepat cepat ke bilik Fadhil. Azzam mengucap hamdalah dalam hati. Ia tidak boleh membayangkan apa yang akan dialaminya jika Wail El Ahdali jadi menginap di situ. Ia menyandarkan punggungnya ke kerusi. Tiba tiba ia teringat sesuatu : Nasir dalam bahaya. Dalam bahaya jika terus bersama Wail. Tetapi, di mana Nasir berada malam itu? Ia tidak tahu. Yang jelas ia harus secepatnya tahu di mana Nasir berada. Baru ia boleh mengambil langkah.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam melihat jam dinding. Sudah jam empat setengah lebih dan ia belum solat malam. Ia pernah mendengar dari seorang ulama bahawa solat malam dapat menghapuskan kegelisahan dan mendatangkan ketenangan. Ia ingin solat beberapa rakaat saja, baru ikut mengurus Fadhil yang masih pengsan.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br /><br /><span style="color: rgb(204, 102, 0); font-weight: bold;">Tejemahan Corner :</span><br /><br /><span style="color: rgb(204, 102, 0);">1.</span> </span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="color: rgb(204, 102, 0);">Muraja'ah - Mengulang hafalan (Al-Qur'an)<br />2. Iftahil baab! Iftahil baab! - Buka pintu! Buka pintu!<br />3. Na'am, ya alilal adab! - Ya, hai orang yang kurang ajar!<br />4. Mabahits - Perisik<br />5. Amn Daulah - Keamanan Negara<br /></span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-5137192843938690322011-03-10T17:45:00.002+08:002011-03-14T10:51:03.082+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (12) Formula Kejayaan<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;"><br />FURQAN</span> baru saja pulang dari masjid ketika <span style="color: rgb(102, 102, 102);">hand phone</span>nya berdering. Ia lihat di layar. Panggilan dari Indonesia. Ibunya.<br /><br />"Ini ibu Nak."<br /><br />"Ya ada apa Bu?"<br /><br />"Mungkin ayah dan ibu tidak boleh ke Cairo."<br /><br />"Kenapa Bu? Apakah Ibu tidak mahu melihat munaqasyah M.A. Furqan yang seumur hidup cuma sekali?"<br /><br />"Sebenarnya ayah dan ibu teringin sangat pergi. Tapi ini kakakmu sedang berada di rumah sakit."<br /><br />"Ada apa dengan kakak Bu?"<br /><br />"Kakakmu mengalami pendarahan serius. Padahal usia kandungannya baru lima bulan. Ia perlu ibu di sampingnya.<br /><br />Sebab suaminya sedang ditugaskan di Aceh. Ia tidak boleh minta cuti untuk menunggu isterinya."<br /><br />"Kalau ibu tidak boleh, apakah ayah tidak boleh ke Cairo sendiri?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ayahmu tidak mahu pergi sendirian tanpa ibu. Sudahlah, kami yang di Indonesia mendoakanmu semoga kau lulus munaqasyah dengan hasil yang terbaik. Rakamkan saja guna handycam, biar nanti ibu dan ayah boleh melihat."</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Iya Bu, baik. Semoga kakak dan kandungannya selamat."<br /><br />"Amin."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ada rasa kecewa yang menyusup ke dalam hatinya. Ia ingin sekali, munaqasyah tesis M.A.nya dihadiri oleh kedua orang tuanya. Ia telah menyiapkan semuanya. Termasuk pergi ke Alexandaria bersama ayah dan ibunya setelah selesai sidang. Tapi benarlah kata orang bijak, manusia boleh merancang dan merencanakan, namun Tuhanlah yang menentukan.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia mengambil nafas panjang. Meskipun kecewa, ia tidak ingin rasa kecewanya mempengaruhi tumpuannya menyiapkan diri menghadapi pertarungan dalam sidang tesisnya. Sudah setengah dari isi tesisnya yang ia baca. Ia merasa perlu istirehat. Perutnya juga terasa lapar.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia melihat jam tangannya. Jam menunjukkan pukul tujuh suku. Ia teringat undangan makan malam Sara. Tapi ia ragu. Ia belum kenal siapa itu Sara. Ia juga merasa undangan itu tidaklah terlalu penting. Meskipun Sara adalah puteri Prof. Dr. Sa'duddin. Ia tidak mahu kehilangan fokus. Ia tidak mahu kehilangan konsentrasi. Ia teringat pesanan guru bahasa Inggerisnya waktu di Pesantren Modern dulu. Pesanan yang membuatnya sangat terinspirasi dan tergugah :</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(102, 102, 102);">The formula for success is simple : practice and concentration then more practice and more concentration</span>. (Formula kejayaan adalah ringkas saja, iaitu praktik dan tumpuan, kemudian meningkatkan praktik dan meningkatkan tumpuan).</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Undangan Sara ia anggap sebagai hal yang akan merosakkan konsentrasinya. Dan itu bererti hal yang akan merosakkan kejayaannya. Maka ia putuskan untuk tidak mempedulikannya sama sekali. Ia memilih untuk makan malam bersendirian di restoran hotel. Lalu kembali ke bilik untuk berehat melihat Nile TV sebentar, lalu tidur. Ia jadualkan jam tiga pagi untuk bangun.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia turun ke restoran. Memilih meja yang masih kosong berdekatan tingkap kaca yang menghadap ke sungai Nil. Panorama malam sungai Nil begitu indah. Suasananya begitu romanatis. Entah kenapa ia tiba tiba teringat lamarannya terhadap Anna Althafunnisa. Wajah Anna berkelibat di depan matanya. Wajah yang luar biasa daya pesonanya. Ia merasa di dunia ini tidak ada gadis yang seperti Anna. Ia sangat yakin lamarannya akan dipertimbangkan oleh Anna. Ia bahkan yakin lamarannya diterima.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Ia sudah tahu reputasi dan sepakterajangku selama ini," gumamnya.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia merasa akan sangat berbahagia jika suatu saat nanti boleh makan berdua di tempat yang begitu romantis dan indah bersama Anna. Anna yang telah ia sunting menjadi isterinya. Ia merasa keindahan tempat itu masih kurang tanpa adanya Anna. Ia geleng geleng kepala sendiri.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ini sudah dosa. Astaghfirullah. Saya tidak boleh membayangkan yang tidak tidak," gumamnya dalam hati. Sementara matanya masih asyik melihat panorama Sungai Nil dengan lampu lampu yang berjajar di tepinya. Indah seperti taburan mutiara.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Boleh saya duduk di sini?" Suara itu mengejutkan lamunannya. Ia terhenyak sesaat. Yang berbicara dengan bahasa Indonesia itu adalah pelancong Jepun yang sudah dua kali ia temui. Rambutnya kerinting mengerbang, berkaca mata minus agak tebal.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Oh boleh. Silakan," jawabnya agak gugup.<br /><br />"Terima kasih."<br /><br />"Anda boleh berbahasa Indonesia?" tanyanya dengan nada hairan.<br /><br />"Saat di SMA (Sek. Men. Atas) dulu saya pernah iku program pertukaran pelajar. Dan saya ditempatkan di Indonesia selama satu tahun."<br /><br />"Di mana?"<br /><br />"Di Yogyakarta."<br /><br />"Oh pantas. Anda juga boleh berbahasa Arab."<br /><br />"Boleh juga."<br /><br />"Wah, boleh juga. Berapa lama anda belajar bahasa Arab?"<br /><br />"Satu tahun. Saya belajar bahasa Arab di Universiti Aleppo, Suriah."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Furqan mengangguk anggukan kepala. Dalam hati ia kagum dengan orang Jepun di hadapannya. Bahasa Indonesianya bagus. Ia yakin bahasa Arabnya bagus. Bahasa Inggerisnya sangat lancar. Sebab ketika berkenalan di lift, orang Jepun itu menggunakan bahasa Inggeris.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Kalau boleh saya tahu, apakah rancangan anda ketika berada di Cairo ini?" tanya Furqan.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Emm, pertama, memang untuk jalan jalan. Saya sudah pergi ke Luxor. Sant Caterine, dan Alexandaria. Kedua, saya sedang mengadakan penelitian sejarah."</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Penelitian apa kalau boleh saya tahu."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Saya sedang meneliti bagaimana cara beribadahnya orang orang Mesir kuno yang menyembah matahari. Apa persamaan dan perbezaannya dengan orang orang Jepun yang juga mendewakan matahari. Apakah ada interaksi antara Mesir kuno dan Jepun kuno? Apakah dewa matahari yang disembah orang Mesir dan orang Jepun memiliki sifat sifat dan deskripsi yang sama. Di samping itu saya juga menemani adik saya."</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Yang bersamamu itu."<br /><br />"Iya. Namanya Fujita Kotsuhito. Anda masih ingat nama saya?"<br /><br />"Masih, nama anda Eiji Kotsuhiko kan?"<br /><br />"Ya. Ingatan anda kuat. Anda berbakat jadi intelektual dal ilmuan besar."<br /><br />"Terima kasih."<br /><br />"Adik saya sedang tertarik pada Islam."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ya. Itu setelah dia membaca buku buku karangan Maryam Jamela dalam bahasa Inggeris. Kebetulan ia kuliah di Fakulti Sastera, jurusan Santera Inggeris. Kalau saya jurusan Sejarah. Kami sama sama di Kyoto University. Ia ingin lebih tahu tentang Islam. Apakah anda boleh membantu mempertemukan dia dengan orang yang tepat?"</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Boleh boleh. Oh ya. Anda mahu makan?"<br /><br />"Wah, iya. Kerana asyik bersembang sampai lupa makan. Jom."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Keduanya lalu bangkit dan mengambil makanan. Orang Jepun itu memilih spagheti. Sedangkan Furqan memilih nasi daging khas Yaman dengan ulam gargit dan buah Zaitun. Minumannya ia pilih <span style="color: rgb(153, 0, 0);">syai bil halib</span> panas. Keduanya kembali ke tempat mereka semula.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Sewaktu di Jogja, saya paling suka makan Cap Jay rebus," kata Eiji.<br /><br />"Oh ya/"<br /><br />"Menurutku Cap Jay rebus termasuk makanan paling enak di dunia."<br /><br />"Oh ya."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Sewaktu di Jogja dulu, saya mempunyai langganan Cap Jay di daerah Sapen. Belakang IAIN Suka. Cap Jay Mbah Giman. Rasanya mantap."</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Wah, jadi teringin hendak ke Jogja."<br /><br />"Tapi mungkin kau takan dapat merasakan Cap Jay Mbah Giman."<br /><br />"Kenapa?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Empat bulan yang lalu, saya ke Jogja dan Mbah Giman telah tiada. Yang menggantikan Mbah Giman puteri bongsunya. Namanya Minarti. Hasil masakannua tidak boleh menyamai Mbah Giman. Sedap, tapi tetap sahaja tidak sesedap buatan Mbah Giman."</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Kelihatannya anda tahu banyak tentang Jogja ya."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Jogja telah jadi kota kedua bagi saya setelah Kyoto. Saya lahir dan membesar di Kyoto. Dan saya sangat terkesan dengan Jogja."</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />Keduanya terus berbincang sambil makan.<br /><br />"Adikmu tidak makan?"<br /><br />"Sebentar lagi dia datang. Dia masih asyik menonton filem Lion of Desert di biliknya."<br /><br />"Filem perjuangan rakyat Libya?"<br /><br />"Ya. Kami membelinya di Attaba pagi tadi."<br /><br />"Sebentar, saya ambil buah Xaitun lagi."<br /><br />"Oh ya, silakan."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Furqan beranjak mengambil buah Zaitun hijau. Ketika ia kembali, Fujita telah duduk di samping abangnya.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Fujita, ini Furqan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Cairo University, yang berjumpa dengan kita di lift siang tadi. Masih ingat?" kata eiji dalam bahasa inggeris.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Tentu," jawab Fujita sambil mengangguk pada Furqan. "Saya sering dapat cerita tentang Indonesia dari abang saya ini. Tapi saya belum pernah pergi ke sana sambung Fujita sambil menatap Furqan.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Oh ya," jawab Furqan sambil menatap Fujita sesaat. Mata keduanya bertemu. Furqab dengan secara spontan menundukkan pandagannya ke beberapa butir buah Zaitun yang ada di piringnya. Ia harus mengakui adik Eiji ini layak jadi model. Ketika di lift, ia sama sekali tidak memperhatikannya. Wajah Fujita mengingatkannya pada bintang filem Mandarin, Rosamund Kwan. Tapi jauh lebih muda Fujita.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia merasa tidak boleh berlama lama berbincang bincang dengan dua orang Jepun adik beradik itu. Ia boleh mengukur imannya. Imannya tidak akan kuat berhadapan dengan gadis secantik Fujita. Ia makan dengan lebih cepat. Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba tiba Fujita membuka suara :</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Dari kad nama anda yang anda berikan kepada eiji, saya tahu anda kuliah di jurusan sejarah. Jurusan yang sama dengan Eiji. Kalau boleh tahu, menurut anda apa dia istimewanya mempelajari sejarah? Apakah mempelajari sejarah tidak hanya membuang buang waktu, sebab membuat orang terpaku pada masa lalu. Masa yang memang sudah hilang dan tidak perlu dibicarakan? Apakah tidak lebih baik mempelajari kemungkinan kemungkinan untuk kekal di masa yang akan datang?"</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Itu lagi yang kau diskusikan. bukankah sudah sering aku jelaskan Fujita?" potong Eiji.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Iya. Aku sudah mendengar panjar lebar jawapanmu. Tapi menurutku terlalu teoritikal. Aku belum puas. Siapa tahu mahasiswa Cairo University dari Indonesia ini mempunyai jawapan lain yang lebih ringkas dan meyakinkan," debat Fujita.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Furqan memasukkan sudu terakhir ke mulutnya dan mengunyahnya dengan tenang. Dua adik beradik Jepun itu menunggu apa yang akan diucapkan Furqan.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Sejarahlah yang memberitahu kepada kita siapa sebenarnya kedua orang tua kita. Siapa nama datuk dan nenek kita. Sejarah jugalah yang memberitahu kepada kita tempat dan tanggal lahir kita. Sejarah juga yang akan memberitahu kepada generasi mendatang bahawa mereka ada, sebab kita lebih dulu ada. Jika mereka maju, maka sejarah yang akan memberitahukan kepada mereka bahawa kemajuan yang mereka capai tidak lepas dari keringat kita dan orang orang yang lebih dulu ada. Orang yang tidak memperhatikan sejarah masa lalu sangat memungkinkan jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali, bahkan mungkin berkali kali. Dan itu sungguh suatu kecelakaan yang pasti sangat menggelikan. Kira kira itulah jawapan sederhana atas pertanyaan anda, Nona Fujita."</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Eemm, Sederhana penjelasannya, tidak teoritikal, tapi dalam muatannya. Terima kasih," tukas Fujita seraya mengangguk anggukkan kepalanya.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />Furqan melihat jam tangannya, ia harus kembali ke biliknya.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Maafkan saya. Saya harus kembali ke bilik. Saya ada pekerjaan yang harus saya selesaikan," kata Furqan undur diri.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Wah, sayang, sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin sayaa tanyakan. Bolehkan lain kali saya menghubungi anda?" tanggap Fujita.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Oh, tentu, boleh saja. Nama dan alamat saya di Mesir mahupun di Indonesia ada di kad nama yang telah saya berikan kepada kalian."</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Baik, terima kasih kerana sudi meluangkan waktu," kata Fujita.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Dua bulan lagi saya ada perancangan ke Bandung dan Jogja. Semoga saat itu kau berada di Indonesia," sambung Eiji sambil tersenyum.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Semoga. Yang penting kalau kalian sedang berkunjung di Indonesia hubungi saya. Kalau kebetulan saya ada di Indonesia kalian boleh saya ajak jalan jalan di Jakarta dab sekitarnya. Baik saya naik dulu. Mari."</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Mari!" Sahut Fujita dan Eiji hampir beriringan.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Furqan bergegas naik. sampai di bilik ia terus merebahkan tubuhnya di atas katil. Keinginannya untuk menonton Nile TV telah hilang. Ia meniatkan diri untuk bangun jam empat pagi. Ketika hendak memejamkan mata, telefon biliknya berdering. dengan sangat malas ia angkat :</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Siapa ya?"<br /><br />"Sara."<br /><br />"Oh Nona Sara. Maaf saya tidak boleh menghadiri undangan Nona."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Saya sangat kecewa! Dan saya yakin suatu saat nanti anda akan sangat menyesal!"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Dan klik. Telefon itu diputuskan. Ada nada kemarahan yang sangat dalam pada kalimat yang didengar oleh Furqab. Furqan hanya menarik nafas panjang lalu kembali merebahkan badan. Sebelum memejamkan mata, bayangan wajah Sara hadir sesaat lalu disapu hadirnya wajah Fujita yang sangat ketimuran. Ia teringat lamarannya pada Anna, segera ia mengucapkan istighfar. Lalu tertidur dengan bibir melafaz zikir.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">******</span></span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Azzam masih bekerja di dapur. Sementara teman temannya satu eumah sudah tidur nyenyak. Nasir belum pulang. Masih ada satu periuk adunan bakso yang harus ia selesaikan. Tangan kirinya comot dengan adunan. Ia ambil adunan. Ia tekan. Adunan itu pun keluar dari sela ibu jari telunjuknya. terus berbentuk bulat. Dengan sudu ia pegang dengan tangan kanan ia ambil adunan itu dan terus ia masukkan ke dalam air panas yang telah mendidih.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Begitulah cara membuat bebola bakso yang betul. Menekan adunan harus dengan tangan kiri. Menyeduknya dengan tangan kanan. Kalau sebaliknya hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Itu ilmu sederhana, namun sangat penting bagi pembuat bakso. Ilmu yang mungkin tidak ditulis dalam buku buku resipi masakan, apalagi dalam buku buku ilmiah.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Azzam terus membuat bebola demi bebola dan memasukkannya ke dlam air panas. Kepalanya sudah terasa panas. Matanya telah merah. Tubuhnya telah minta untuk istirehat. Tapi malam itu juga harus selesai. Ia tidak boleh kalah oleh matanya yang merah. Ia harus disiplin. Jika tidk, besok pagi pekerjaannya akan menumpuk, dan akibatnya boleh berserabut. Tapi jika ia tetap teguh, disiplin dan menyelesaikan pekerjaan yang harus selesai malam itu, maka semua akan lebih mudah. Pekerjaan pekerjaabbya yang lain akan selesai pada waktunya. Memang, satu disiplin akan mendatangkan disiplin yang lain. Itu yag ia rasakan.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia melihat jam tangannya. Sudah pukul sepuluh setengah malam. Ia istirehat sebentar, berjalan ke balkoni melihat je jalan raya yang nampak sepi. Tapi kedai kopi di samping jalan masih buka dan ramai orang. Beberapa orang duduk menghisap <span style="color: rgb(102, 102, 102);">shisha</span>. yang lain main kad. Satu orang kelihatan asyik duduk menonton telivisyen yang sedang memutar filem hitam putih yang dibintangi Fatin Hamama, bintang filem legenda Mesir. Ia menghela nafas. Dalam hati ia berkata :</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Kenapa mereka boleh hidup dengan begitu santainya. Hidup di dunia seolah olah sudah berada di syurga. Membuang buang waktu dengan percuma begitu saja. Ah, andai waktu mereka boleh aku beli dengan beberapa pound pasti saja aku beli. Sehingga aku boleh kuliah setiap hari, membaca buku yang banyak setiap hari, tapi juga boleh membuat bakso dan tempe setiap hari."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia kembali ke dapur. Kembali membuat adunan baksonya. Meskipun mata telah merah, dan kepala terasa panas, tapi ia merasa bahagia. Ia tidak merasakan apa yang ia lakukan itu sebagai penderitaan.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Baginya kebahagiaan bukanlah sekadar mengerjakan apa yang ia senangi, atau kebahagiaan adalag menyenangi apa yang ia kerjakan. Ia yakin bahawa kekuatan yang diberikan oleh Allah kepadanya lebih besar berbanding apapun. Jadi, segala jenis pekerjaan harus diselesaikannya dengan baik dan sempurna. Kemampuan yang diberikan Allah kepadanya lebih besar dari tentangan yang harus diatasinya. Ia yakin Allah selalu bersamanya. Allah sangat memperhatikannya. Dan Allah tidak akan menyengsarakannya kerana bekerja keras. Justeru sebaliknya, Allah akan memberikan keberkatan kerana bekerja keras.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Waktu terus berjalan. Ia mendengar pintu diketuk. Ia beranjak ke pintu. Ia lihat siapa yang mengetuk dari lubang yang berisi lensa pembesar di pintu. Di negeri orang, kewaspadaan harus sentiasa dijaga. Keselamatan terjaga kerana sikap yang waspada. Ternyata Nasir. Ia buka pintu.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Assalamualaikum, Kang," sapa Nasir sebaik saja pintu terbuka.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Wa'alaikumussalam. Malam sekali Sir, dari Tanta pukul berapa?" tanya Azzam sambil perlahan menutup pintu.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"E... jangan ditutup Kang, saya bawa teman, ia sedang beli sesuatu. Tadi dari Tanta selepas Maghrib," jawab Nasir.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Teman? Orang Indonesia?" tanya Azzam menyelidik.<br /><br />"Bukan. Orang Mesir. Orang Tanta."<br /><br />"Orang Mesir?" Azzam terkejut.<br /><br />"Iya, tidak apa apa kan Kang? Dia orang baik baik saja."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Sir, kamu kan sudah lama di Mesir. Dan kamu sudah tahu bagaimana kita harus berhati hati. Kenapa kamu tidak minta izin kami dulu!" Azzam berkata tegas sebagai ketua rumah tangga.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Afwan Kang. Ini juga tidak saya sengaja. Kami bertemu di Ransis. Saya kenal baik dengannya. Saya pernah ke rumahnya dan saya dijamu oleh keluarganya. Saya mulanya basa basi saja menawarkan dia berkunjung ke rumah dan bermalam. Saya kira dia pasti tidak mahu. Ee ternyata dia mahu. Lah bagaimanna lagi? Takkkan harus menjilat ludah sendiri. Ya, akhirnya saya ajak dia."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Kamu tidak berhati hati Sir! Kalau kau boleh menemukan jalan keluar agar dia tidak menginap di rumah ini sebaiknya kau lakukan! Sebagai imam di rumah ini aku tidak mengizinkan!" tegas Azzam. Ia merasa, sudah menjadi tanggungjawabnya untuk menjaga keselesaan dan keamanan anggota keluarganya.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Tolonglah Kang! Sekali ini saja! Apalagi kita kan harus menghormati tetamu!"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Apa kau mengira aku tidak boleh menghormati tetamu, Sir?" Suara Azzam meninggi. Nasir pucat. Azzam adalah orang yang dulu menjemputnya di bandar waktu pertama kali ia datang. Azzam juga yang dulu sangat sabar mengajarinya memahami beberapa muqarrar awal awal masuk kuliah. Ia sangat segan kepadanya. Ia sangat takut jika Azzam yang telah ia anggap sebagai abangnya itu marah.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Bukan negitu Kang. Baiklah saya akan berusaha dia tidak menginap di sini. Tapi tidak apa apa kan beberapa minit dia masuk dan minum teh di sini?"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ya, boleh. Besok besok lagi lebih berhati hati. Kita ini di negeri orang, jangan bayak basa basi seperti di kampung sendiri! Saya ke dapur dulu menyelesaikan pekerjaan ya. Biar saya masakkan air," kata Azzam seraya berjalan ke dapur.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Nasir duduk di ruang tamu. Tidak lama kemudian seorang pemuda Mesir, bertubuh agak gempal memakai baju hijau tua datang. Nasir mempersilakan masuk. Pemuda Mesir itu membawa roti dan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">kabab</span>.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Teman temanmu sudah tidur ya?" tanya pemuda Mesir itu pada Nasir.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Iya. Sudah malam. Tadi masih ada seorang yang belum tidur," jawab Nasir seraya memberi isyarat kepada pemuda itu untuk duduk. Ia lalu menutup pintu.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Kalian berapa orang di rumah ini?"<br /><br />"Kami berlima."<br /><br />"Ada berapa bilik?"<br /><br />"Tiga."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Jadi satu bilik dua orang. Dan ada satu orang yang satu bilik sendiri. Apakah itu kau?"</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Tidak. Saya juga berdua."<br /><br />"Lalu nanti aku tidur dengan siapa?"<br /><br />"Itu senang. Sebentar ya, saya buatkan teh," Nasir bangkit ke dapur.<br /><br />"Jangan lupa, saya tehnya yang kental dan gulanya banyak.," seru pemuda itu.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Tidak lama kemudian Nasir keluar diiringi Azzam. Tangan Azzam telah bersih. Ia telah selesai dari pekerjaannya. Azzam keluar dengan melemparkan senyuman. Pemuda Mesir itu berdiri dengan tersenyum.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"<span style="color: rgb(153, 0, 0);">Ana minm Tanta. Ismi Wail. Wail El Ahdali</span>." (Tejemahannya : Saya dari Tanta. Nama saya Wail El Ahdali) Pemuda itu menjabat tangan Azzam dan memperkenalkan diri.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"<span style="color: rgb(153, 0, 0);">Ahlan wa sahlan. Syaraftana bi ziyaratik. Ismi Azzam. Khairul Azzam</span>," (Tejemahannya : Ahlan wa sahlan. Engkau telah memuliakan kami dengan kunjunganmu. Nama saya Azzam. Khairul Azzam) jawab Azzam .</span></span><br /><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Masya Allah. Namamu bagus sekali. Kau pasti orangnya yang memiliki kemahuan keras dan karakter yang kuat." Ujar pemuda Mesir bernama Wali. Orang Mesir memang paling suka memuji orang yang diajak bicara.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Doanya. Maaf saya tinggal dulu ya. Terus terang saya harus istirehat. Jika perlu apa apa minta saja sama Nasir." Azzam minta diri. Ia benar benar letih. Ia tidak mahu terlalu lama di ruang tamu. Sebab orang Mesir jika diajak bersembang boleh berjam jam tidak selesai.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Tidak makan roti dan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">kabab</span> ini bersama kami?" Wail berusaha menahan.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Terima kasih. Saya masih kenyang. Saya tinggal dulu ya." Jawab Azzam sambil tersenyum.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />"Ya. Terima kasih. Semoga istirehatmu selesa," jawab Wail.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Sebelum masuk ke bilik, Azzam sempat berkata pada Nasir dengan bahasa Jawa:</span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"<span style="color: rgb(153, 0, 0);">Sir, ojo lali yo. Ojo kok inepke neng kene. Orak tak ijini! Wis aku tak turu ndisik</span>" (Tejemahannya : Sir, jangan lupa. Jangan kau tumpangkan tidur kawan kau tu di sini. Aku tidak izinkan. Sudah, aku tidur dulu)</span></span><br /></div><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Nasir mengangguk, Azzam mengangguk sekali lagi ke Wali. Wali pun mengangguk dengan tersenyum .</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Dalam hati Azzam minta maaf kerana melakukan hal itu. Tetapi ia merasa sudah menjadi tugas dan kewajipannua menjaga keamanan rumahnya. Bukan ia berburuk sangka pada pemuda Mesir itu, tetapi bersikap waspada adalah jalan terbaik untuk tidak berburuk sangka pada siapa saja.</span></span><br /></div><br /><br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-92180279396543201102011-03-10T09:52:00.015+08:002011-03-11T11:51:13.589+08:00Jahitan Kemasan Leher - Pucuk Rebung<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIPSZ7LUZo7OE6cFnbvJwi2sxH5htCpusCqb7-glL5SitG1irpQ5BkGcy_H-fEJkAKzvi_bLqD6DXpL8I8Ii3K2gD-qKerfEIfQLIvGsvHmtp-M835UbYPFRkapZERIn0KqqquvZjfKSLN/s1600/untitled.JPG"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 230px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIPSZ7LUZo7OE6cFnbvJwi2sxH5htCpusCqb7-glL5SitG1irpQ5BkGcy_H-fEJkAKzvi_bLqD6DXpL8I8Ii3K2gD-qKerfEIfQLIvGsvHmtp-M835UbYPFRkapZERIn0KqqquvZjfKSLN/s320/untitled.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5582264221198265634" border="0" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidGabhDEnmfEgNHSyOMzck6Pwq85dB5J2QPPO8s4MnXaSabFRADW11DH3F69jkCVMtx1yYpNy3GbPOzsWinnMkl9XcUzI84MkyNoqeS1Y5ME_J4MoZTtixLzCz3toE2NA77x00DUunkYMN/s1600/pr2.bmp"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 231px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidGabhDEnmfEgNHSyOMzck6Pwq85dB5J2QPPO8s4MnXaSabFRADW11DH3F69jkCVMtx1yYpNy3GbPOzsWinnMkl9XcUzI84MkyNoqeS1Y5ME_J4MoZTtixLzCz3toE2NA77x00DUunkYMN/s320/pr2.bmp" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5582264146512379362" border="0" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfz5KQ4N7_P0a4ndSnIQICLjup5syRg_X3YWhpz1OTvTY9IsG3TjFq1Fnk26c_7ceqgGNORRXGZMzJwllH8JztjePSXsMlBc5Un8QzmGAFZY2ysuIvNlMP0UtLXPihwVm73_mcIZ61IUFs/s1600/pr3.JPG"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 232px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfz5KQ4N7_P0a4ndSnIQICLjup5syRg_X3YWhpz1OTvTY9IsG3TjFq1Fnk26c_7ceqgGNORRXGZMzJwllH8JztjePSXsMlBc5Un8QzmGAFZY2ysuIvNlMP0UtLXPihwVm73_mcIZ61IUFs/s320/pr3.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5582264033057086338" border="0" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmgiaFPxrboyiPhfRh4WmP2a7k98j_qZfGhlt3M4Hlez5DdbdoSwVVMGu5DoZB5x0vng_XSMGGiKOI3nALlugzl4QEJ6UuRFUFp_207h3WbwViZm4uAnXqiDj30oZ5GlXMTvTp02mBgL5f/s1600/pr4.JPG"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 231px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmgiaFPxrboyiPhfRh4WmP2a7k98j_qZfGhlt3M4Hlez5DdbdoSwVVMGu5DoZB5x0vng_XSMGGiKOI3nALlugzl4QEJ6UuRFUFp_207h3WbwViZm4uAnXqiDj30oZ5GlXMTvTp02mBgL5f/s320/pr4.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5582263937128570194" border="0" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjn6901w_lEFOSOj0ctGALc7_ajBMnV9JZ5FNFWDejFdDoS6TTt0OxmzmsOGBs9O7GHS8LIUy538-zvNwYCVu3OTY_GBc_P0MN2L6mkSVM2P1PiD8wV87wxwdX2cyo-2Y4DC2QaH-K2mBp6/s1600/pr5.JPG"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 232px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjn6901w_lEFOSOj0ctGALc7_ajBMnV9JZ5FNFWDejFdDoS6TTt0OxmzmsOGBs9O7GHS8LIUy538-zvNwYCVu3OTY_GBc_P0MN2L6mkSVM2P1PiD8wV87wxwdX2cyo-2Y4DC2QaH-K2mBp6/s320/pr5.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5582263877442800802" border="0" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiU2AHPSzNfeLylW5R0bqnI23ccUwCiv1duR7uslXNAWTd77CDHg6gQj5ENuzHs9jwzHPNxgIdkU-d6SK7Z3I60tOMCX8b49lTkF2hFmr3Ij-dRrf1TTPCYwkV3qaSkYGCrNaa1GjS58x0J/s1600/pr6.JPG"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 231px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiU2AHPSzNfeLylW5R0bqnI23ccUwCiv1duR7uslXNAWTd77CDHg6gQj5ENuzHs9jwzHPNxgIdkU-d6SK7Z3I60tOMCX8b49lTkF2hFmr3Ij-dRrf1TTPCYwkV3qaSkYGCrNaa1GjS58x0J/s320/pr6.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5582263691757367666" border="0" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0q8d2tSnpahaGAi3QsAC1FT0CPJt0kfetIkjzJyNPBdd3dk0H2Wnf0yZu-gh4i5TSq0KR0kfjKBAtAPOr5Ce7AqygLMN_N0RESlTtL5xmwHS6tvnFXO7AW5Midon5xzYksrRfnnwEbK94/s1600/pr7.JPG"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 232px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0q8d2tSnpahaGAi3QsAC1FT0CPJt0kfetIkjzJyNPBdd3dk0H2Wnf0yZu-gh4i5TSq0KR0kfjKBAtAPOr5Ce7AqygLMN_N0RESlTtL5xmwHS6tvnFXO7AW5Midon5xzYksrRfnnwEbK94/s320/pr7.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5582263632288620482" border="0" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_QZjrtHpTtTBiysfl8QLaNQWbBhmMouol1LKEDuJ7aOgGOMVzilPLXpLQZzm9pxy3OhIylrDHsFDdqY15RV_-Qdb4G6qMmFpdgRRTzG6X-tBJZvAqODZq5D-3nQnd0eunNY8C-tM0w2c3/s1600/pr8.JPG"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 231px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_QZjrtHpTtTBiysfl8QLaNQWbBhmMouol1LKEDuJ7aOgGOMVzilPLXpLQZzm9pxy3OhIylrDHsFDdqY15RV_-Qdb4G6qMmFpdgRRTzG6X-tBJZvAqODZq5D-3nQnd0eunNY8C-tM0w2c3/s320/pr8.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5582263567605058706" border="0" /></a><br /><div style="text-align: center;"><br /></div><div style="text-align: center;"><br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-81145770424116876842011-03-10T09:41:00.014+08:002011-03-10T13:31:38.423+08:00PELBAGAI MANUAL JAHITAN KEMASAN LEHER<div style="text-align: center;"><a href="http://www.4shared.com/document/YiUnoc2B/PanduanMenjahit.html" target="_blank"><img src="http://dc233.4shared.com/img/YiUnoc2B/PanduanMenjahit.pdf" border="0" /></a></div><div style="text-align: center;"><b><i>Klik diatas gambar untuk download/print</i></b></div><div style="text-align: center;"><b><i><br /></i></b></div><div style="text-align: center;"><a href="http://www.4shared.com/document/1BbSLcTH/PanduanMenjahit2.html" target="_blank"><img src="http://dc303.4shared.com/img/1BbSLcTH/PanduanMenjahit2.pdf" border="0" /></a></div><div style="text-align: center;"><b><i>Klik diatas gambar untuk download/print</i></b></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-11666998696389786912011-03-07T18:35:00.005+08:002011-03-10T17:44:03.273+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (11) Rezeki Silaturrahim<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 153, 0);">Sebenarnya dah lama post ni dok dalam draft. Cuma aku tak ade mase nak semak & edit sana sini... Memandangkan korang sume dah celik huruf... jd aku rase x de masalah kot klu aku terpesong ejaan... Selamat Meneruskan Pembacaan Pd Yg Masih Ternanti2 Akan Kisah Selanjutnya... Ribuan... malahan jutaan maaf andai aku membuat kalian lama menunggu...</span></span></span><br /></div><span style="text-decoration: underline;"><br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">SETELAH</span> solat Maghrib, Azzam terus masuk ke dapur untuk memasak air di dalam periuk besar untuk memproses kacang soyanya. Sambil menunggu air panas ia membaca Al-Ma'tsurat lalu tilawah. Lima belas minit kemudian ia yakin air telah masak. Tidak harus mendidih. Ia turunkan air itu dari dapur gas. Ia membuka bungkusan kacang soyanya. Menyukatnya dan terus merendamnya dengan air panas itu. Itulah langkah paling awal dalam memproses kacang soya menjadi tempe.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Kira kira lima minit ia merendam kacang soya itu. Lalu ia memisahkan kotoran kotoran yang turut ada dalam kacang soya tersebut. Biasanya kotoran itu mengapung. Ia ceduk kotoran itu dan ia buang. Lalu ia memisahkan kacang soya dengan air itu. Air itu ia bersihkan. Lalu ia masukan kembali kacang soya ke dalam air itu. Ia letakkan di sudut dapur.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Kacang soya itu harus direndam satu malam. Besok pagi, kira kira pukul tujuh pagi ia akan kembali memproses kacang soya itu dengan membersihnya di bilik mandi. Diulesi agar kacang soyanya pecah. Paling mudah adalah dengan menginjak injaknya. Lalu ia cuci sampai bersih. Tapi kulit arinya tidak boleh hilang. Kemudian ia direbus. Kalau sudah masak, ia tapiskan sampai sejuk. Setelah sejuk diberi ragi. Lalu ia bungkus dan ia letakkan di rak khusus yang telah ia buat di dalam biliknya. Dua hari berikutnya barulah ia menjadi tempe.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sebenarnya, tanpa direbus, kacang soya yang telah diulesi hingga pecah itu boleh terus diberi ragi dan dua hari kemudian boleh jadi tempe. Sehingga boleh menjimatkan minyak tanah. Namun hasilnya masih kalah dengan yang direbus dulu.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tempe Azzam dakui oleh para pelanggannya dan juga oleh ibu ibu KBRI sebagai tempe yang sangat enak dan lazat. Ia memang bersungguh sungguh dalam membuat tempe. Ia masih ingat, bahawa ia boleh membuat tempe dengan secara tidak sengaja. Ketika masih di pesantren dulu ia mempunyai seorang teman, namanya Handono. Ia sangat rapat dengan Handono. Ketika bercuti panjang ia diajak oleh Handono bercuti di rumahnya yang terletak di sebuah kampung di pinggir Kota Salatiga. Kampung itu namanya Candiwesi. Dikenali sebagai salah sebuah kampung yang penduduknya banyak berprofesion sebagai pengeluar tempe. Selama bercuti di rumah handono itulah, dengan secara tidak sengaja ia belajar membuat tempe sampai mahir.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Kebetulan ayah Handono memang dikenali sebagai usahawan tempe terbesar di Candiwesi. Setaip hari ia memproses sebanyak 300 kilogram kacang soya. Memiliki pekerja tetap sebanyak sepuluh orang. Berawal dari ikut ikutan membantu, ia akhirnya tertarik untuk belajar dengan terus mempraktik dari A sampai Z. Tentang sukatan kacang soyanya. Sukatan raginya. Cara membungkus yang ideal dan sebagainya. Satu bulan penuh ia ikut bekerja membuat tempe. Dan sejak itu ia sudah boleh membuat tempe sendiri. Bahkan ia sering mencubanya di rumah, dan ia minta ibunya menggoreng dan merasainya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wah, tempemu sedap sekali Zam," puji ibunya. Itulah rezeki silaturrahim. Dengan bersilaturrahim ke tempat Handono, ia jadi bertambah ilmunya. Ilmu membuat tempe. Ia sama sekali tidak pernah terfikir bahawa ilmu membuat tempe itu dikemudian hari akan sangat berguna baginya, saat ia harus mempertahankan hidupnya di Mesir. Sangat berguna saat ia harus berusaha sendiri, tidak hanya untuk menyara diri sendiri, tapi juga adik adiknya di Indonesia.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia merasakan benar bahawa rezeki yang didatangkan oleh Allah dari silaturrahim sangat dahsyat. Ia boleh sampai belajar di Al-Azhar university juga bermula dari silaturrahim.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Waktu itu, menjelang penilaian pembelajaran tahun akhir nasional, teman satu biliknya di pesantren sakit. Namanya Wasis. Rumahnya di daerah Bantul. Ia menghantarnya pulang. Setelah dibawa menemui doktor, ternyata Wasis sakit <span style="color: rgb(102, 102, 102);">thypus</span> serius. Jadi harus dirawat di rumah sakit. Ia sempat menemani satu hari di rumah sakit.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Waktu menemani di rumah sakit itulah ia berbincang bincang secara tidak sengaja dengan pesakit satu bilik dengan Wasis. Pesakit itu juga menghidap sakit <span style="color: rgb(102, 102, 102);">thypus</span> dan sudah mahu dibawa pulang. Dari perbincangan dengan pesakit itu, ia dapat maklumat adanya test untu mendapatkan biasiswa ke Al-Azhar. Pesakit setengah umur yang ramah itu berkata :</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya pernah belajar di pesantren tempat kamu belajar. Hanya beberapa bulan sahaja. Bulan depan ada ujian penjaringan siswa Madrasah Aliyah untuk mendapat biasiswa Al-Azhar. kamu ikut saja ujian di DEPAG (Departmen Agama) Pusat. Cari maklumat di sana. Nanti pada bahagian pendaftaran, beritahu sahaja disuruh oleh Pak Dhofir."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dari maklumat itu, ia boleh ikut ujian untuk mendapatkan biasiswa kuliah di Al-Azhar University. Dan diterima. Ia sampai sekarang tidak tahu siapa Pak Dhofir itu. Yang ia tahu Pak Dhofir yang memberi maklumat padanya itu katanya tinggal di daerah Kotagede Yogyakarta.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Silaturrahim jugalah yang membuat bisnes baksonya di Cairo berjalan lancar. Memang ia tidak banyak muncul di kalangan mahasiswa, tapi ia sering hadir dan muncul di dlam majlis bapak bapak dan ibu ibu KBRI. Muncul untuk memberikan bantuan apa saja. Bahkan jika ada orang KBRI pindah rumah, ia sering jadi sasaran minta tolong. Kerana itulah ia sangat dikenali di kalangan orang orang KBRI. Itu sangat penting bagi bisnes baksonya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tanpa banyak silaturrahim, seseorang yang menjalankan perniagaan tidak akan banyak memiliki jalan dan peluang. Benarlah anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam <span style="color: rgb(102, 0, 204);">agar siapa saja yang ingin diluaskan rezekinya, hendaklah ia melakukan silaturrahim</span>.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Setelah merendam kacang soya, Azzam beranjak ke peti sejuk untuk mengeluarkan daging sapi yang baru petang tadi ia masukkan ke dalam peti sejuk. Ia keluarkan agar tidak keras. Sebab setelah solat Isya', ia harus mengolahnya menjadi bola bola bakso. Keahliannya membuat bakso yang kini banyak mendatangkan rezeki baginya juga kerana silaturrahim. Jika keahliannya membuat tempe ia dapat sejak ia masih di Indonesia, keahliannya membuat bakso justeru ia dapat setelah berada di Mesir.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Setengah tahun berada di Mesir, ia kenal baik dengan Pak Jayadi yang bekerja di KBRI sebagai pegawai bahagian konsuler. Kenal baik kerana sama sama berasal dari Kartasura. Pak Jayadi lahir di daerah Ngabean Kartasura. Sementara ia lahir dan tinggal di daerah Singopuran Kartasura. Ia jadi sering diundang dan sering datang ke rumah Pak Jayadi yang dikenali sangat baik dengan para mahasiswa. Apalagi yang berasal dari Jawa tengah. Ia hampir dianggap sebagai adik sendiri oleh Pak Jayadi. Pak Jayadi hanya memiliki seorang anak lelaki yang masih duduk di kelas enpat SD (Sek. Ren.). Dan Pak Jayadi dan Ibu Jayadilah ia boleh membuat bakso yang kemantapan rasanya sangat diakui di Cairo.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Bermula sering bersilaturrahim. Lalu diminta oleh Pak Jayadi untuk ikut membantu Ibu Jayadi membuat bakso pesanan KBRI untuk acara acara rasmi. Lalu cuba cuba membuat sendiri, ternyata diakui hampir sama dengan buatan Ibu Jayadi. Ia pun dikenali boleh membuat bakso. Bahkan ia sempat dikenali sebagai tangan kanan Ibu Jayadi.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ketika pak jayadi sekeluarga pulang ke Tanah Air untuk selamanya, kepercayaan para pelanggan Ibu Jayadi dan juga KBRI jatuh kepadanya. Saat itu ia sendiri sedang sangat memerlukan datangnya sumber rezeki untuk mempertahankan hidupnya, dan juga adik adiknya. Jadilah ia terjun sepenuhnya dalam bisnes membuat bakso.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam masih di dapur, setelah mengeluarkan daging dari peti ais, ia melihat beberapa alat dapur belum dicuci. Ia tergerak untuk mencucinya. Ini semestinya tugas Fadhil. Kerana hari ini yang bertugas memasak adalah Fadhil. Namun agaknya Fadhil kepenatan setelah selesai bertanding di Nadi Syabab. Ketika sedang asyik mencuci periuk yang biasa digunakan untuk manyayur, Ali muncul dan memanggilnya:</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kang Azzam, ayuh ke depan. Kita makan kibdah dulu. Fadhil beli kibdah untuk mengisi perut!"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wah boleh juga. Oh ya, minumannya sudah ada? Kalau belum ada biar saya masak air dulu," Tukas Azzam sambil menyelesaikan cuciannya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Oh ya Kang, belum," jawab Hafez.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam mempercepatkan pekerjaannya. Sebelum meninggalkan dapur terlebih dahulu ia meletakkan perik yang berisi air di atas dapur gas yang menyala. Mahasiswa Indonesia di Cairo memang tidak lazim memiliki termos penyimpan air panas. Sebab mereka biasa minum teh khas Mesir. Teh itu lebih enak bila dicampur dengan air yang masih mendidih. Jika tidak begitu, rasanya kurang mantap.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wah beli lhibdah banyak sekali Dhil," kata Azzam sambil duduk di samping Fadhil. Nanang dan Hafez juga sudah duduk mengadap kibdah yang diletakkan begitu saja di atas karpet beralaskan suratkhabar.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya Kang, ini sekaligus syukran. Tadi saya memasukkan dua gol dalam pertandingan," jawab mahasiswa Aceh itu dengan wajah berseri.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Bererti KMA menang dong?" tanya Azzam sambil mengambil satu kibdah.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"KMA memang menang di permainan. Kami menguasai bola. Tapi KEMASS ternyata mampu memasuki pintu gol kami dengan dua jaringan gol. Jadi skornya 2 -2."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Wah, pasti hebat tadi."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sama sama hebat," sahut Ali, "Apalagi dua gol KEMASS itu, yang menjaringkan adalah aku. Ali Mustafa El Plajuwi!" sambung Ali sambil membusungkan dada.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ali tadi memang boleh. Aku bangga!" Fadhil mengakui kehebatan Ali.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Yang penting, mana syukrannya untuk dua gol. Yang menjaringkan satu gol saja beli kibdah, lha yang dua gol!" tukas Nanang dengan mimik menuntut.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Beres. Setelah solat Isya' nanti aku beli <span style="color: rgb(102, 102, 102);">firakh masywi</span>. Yang di rumah tinggal menanak nasi saja!" jawab Ali.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mantap. Syukran Li!" teriak Fadhil girang. Bagaimana tidak girang, malam itu adalah tugas dia untuk masak. Jika lauk sudah ada, hanya tinggal menanak nasi, apa susahnya. Itu sama saja dia terlepas dari tugasnya. Dan ia boleh beristirehat melepas penat.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ngomong ngomong, Nasir ke mana? Kenaoa belum pulang?" tanya Azzam, yang dianggap tertua.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Nasir tadi keluar tidak pulang lagi. Dia ada urusan ke Tanta katanya. Hafez juga sama. Ia kata nak menginap di Katamea," jelas Nanang.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Oh ya, sudah kalau begitu." Kata Azzam datar. Dalam hati ia senang Hafez terus pergi ke Katamea. Pasti ia sedang mencari tempat yang nyaman untuk berpindah buat sementara waktu. Jika ia tetap tinggal serumah dengan Fadhil, ia akan terlalu sukar untuk melupakan Cut Mala.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />Tiba tiba telefon berdering. Ali yang tangkas bergerak cepat mengangkat :<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Siapa?... Dari Mala?... Oh ya, sebentar ya?" Kata Ali. Ia lalu menunjuk Fadhil. Semua yang ada di situ terus faham itu adalah telefon dari Cut Mala ubtuk Fadhil, abangnya. Fadhil terus bergegas menerima telefon.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam menarik nafas, ia tidak membayangkan jika Hafez saat itu ada di situ dan ia orang yang pertama mengangkat telefon. Bagaimana gemuruh dalam dadanya, nyala dalam hatinya mendengar suara Cut Mala. Semalam suntuk ia pasti tidak akan boleh tidur.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />Sementara Fadhil menerima telefon, Azzam dan yang lain meneruskan perbincangan mereka.<br /><br />"Oh ya, katanya, tadi puteri Pak Dubes menelefon, kok belum telefon lagi?" tanya Azzam.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya Kang. Tadi sudah aku beritahu supaya telefon lagi setelah solat Maghrib. Kenapa sampai sekarang belum telefon ya," tukas Ali sambil beranjak ke dapur kerana mendengar suara air mendidih.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kamu ni Kang, diminta menghentikan mandinya sebentar tidak mahu. Jarang jarang orang dapat panggilan telefon dari puteri Pak Dubes yang cantik lulusan EHESS Perancis itu," kata Nanang menyesali. "Aku yakin dia takkan telefon lagi. nampaknya kamu yang sekarang harus telefon balik Kang. Siapa tahu ini bisnes besar Kang," sambungnya memberi saranan.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam diam, tidak menjawab. Fadhil meletakkan gagang telefon, ia baru saja selesai berbicara dengan adiknya. Baru diletakkan telefon, ia kembali berdering. Fadhil terus mengangkatnya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ya, hallo. Ini siapa ya?" tanya Fadhil.<br /><br />"Ini Eliana. Boleh bicara dengan Mas Insinyur?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Oh boleh, sebentar Mbak Eliana ya," kata Fadhil datar. Fadhil lalu memanggil Azzam. Azzam segera bangkit dan menerima gagang telefon.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Hallo. Ada yang boleh saya bantu," kata Azzam.<br /><br />"Ini Eliana, Mas Insinyur."<br /><br />"Oh Mbak Eliana, apa khabar Mbak?"<br /><br />"Baik."<br /><br />"Pak Dubes sihat?"<br /><br />"Sihat. Alhamdulillah."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kenapa tiba tiba telefon kemari, ada apa Mbak?" tanya Azzam sambil melihat ke arah Nanang dan Fadhil yang dengan tepat memperhatikannya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ini Mas, to the point saja ya?"<br /><br />"Ya."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Begini, dua bulan lagi saya mahu menyambut ulang tahun. Ulang tahun saya kedua puluh empat. Saya akan merayakannya di Wisma Duta. Sederhana saja. Tapi saya ingin yang mengesankan. Saya ingin untuk tetamu undangan disediakan masakan khas Indonesia."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Oh bagus itu Mbak. Sebulan setengah lagi itu bererti kira kira selepas selesai ujian Al-Azhar ya Mbak."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya. Majoriti mahasiswa sudah selesai ujian kelihatannya, meskipun mungkin masih ada beberapa yang belum selesai ujian. Mas Insinyur kira kira ada waktu nggak?"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Insya Allah ada Mbak."<br /><br />"Syukurlah kalau begitu. Tapi kali ini saya tidka mahu bakso. Sudah biasa sangat."<br /><br />"Mbak inginnya apa?"<br /><br />"Soto Lamongan. Mas boleh buatkan untuk saya?"<br /><br />"Soto Lamongan?" Azzam bertanya agak ragu.<br /><br />"Ya. Soto Lamongan. Boleh tak? Mas Insinyur kan terkenal jaguh masak."<br /><br />"Oh boleh Mbak, insya Allah boleh. Mahu untuk berapa bahagian?"<br /><br />"Lima ratus bahagian, sanggup?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sanggup Mbak, asal harganya sesuai aja." Azzam sudah langsung kepada hal yang paling penting dalam dunia bisnes.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Satu bahagiannya berapa Mas? Sama dengan bakso bagaimana?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wah, kalau disamakan dengan bakso berat Mbak, terus terang. Kalau bakso sudah sangat biasa, buatnya juga bagi saya sangat biasa. Ini Soto Lamingan lah Mbak. Tidak ada di Cairo, dan perlu keahlian yang khusus."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ya sudah kalau begitu, saya ikut Mas Insinyur, jadi berapa?"<br /><br />"Dua kali ganda bakso. Bagaimana? Setuju?"<br /><br />"Baik. Setuju. Tapi nanti jangan cukup cukup lima ratus ya. Biar ada lebih beberapa bahagian ya."<br /><br />"Beres Mbak. Terus majlisnya tepatnya bila Mbak? Tanggal berapa? Pukul berapa?"<br /><br />"Tepat tanggal satu awal bulan depan. Majlis tepat jam tujuh malam. Jangan lupa ya."<br /><br />"Baik Mbak. Tapi tolong seminggu sebelum hari tersebut, Mbak ingatkan ya?"<br /><br />"Ya. salam buat teman teman Mas Insinyur di situ ya?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam menutup gagang telefon dengan wajah bersinar. Rezeki besar ada di depan mata. Jika satu bahagian bakso biasanya harganya 3 pound, ini bererti untuk Soto Lamongan ia akan dapat 6 pound satu bahagiannya : 6 x 500 sama dengan 3000. Ditolak modal sekitar 400 pound. Jadi dua minggu lagi ia akan dapat keuntungan kira kira 2600 pound.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Bisnes baru ya Kang? Kok saya tadi dengar ada menyebut nyebut Soto Lamongan?" tanya Nanang.<br /><br />"Iya, puteri Pak Dubes itu mahu sambut ulang tahun, minta dibuatkan Soto Lamongan."<br /><br />"Lah, memangnya kamu boleh buat Soto Lamongan?"<br /><br />"Ya, belum tahu."<br /><br />"Lah, kenapa kamu sanggup?"<br /><br />"Lah kan ada kamu Nang. Kamu kan orang Lamongan, pasti boleh buat Solo Lamongan."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Waduh Kang, kamu itu sungguh nekad. Aku memanglah orang Lamongan, tapi aku tidaklah pandai buat Soto Lamongan tu. Kalau boleh saya sarankan kamu batalkan saja Kang. Daripada nanti memgecewakan keluarga Pak Dubes, reputasi yang kamu bangunkan selama ini boleh hancur lah Kang."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wah, kamu itu Nang, penakut. Tidak punya keyakinan. Ini bisnes Nang. Bisnes! Nyawa bisnes itu keberanian Nang. Dalam dunia bisnes yang berjaya adalah mereka yang memahami bahawa, hanya perbezaan sedikit antara tentangan dan peluang, dan mereka boleh mengubahnya menjadi keuntungan. Aku memang belum boleh buat Soto Lamongan, tapi aku dulu sering makan Soto Lamongan. Kekhasan rasa dan bentuk Soto Lamongan masih aku ingat. Yang paling penting aku merasa boleh membuat Soto Lamongan. Dan aku yakin kualitinya, insya Allah sama dengan yang asalnya!"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Wah, kamu kadang memang nekad sangat Kang!"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bukan nekad Nang. Ini memanfaatkan tentangan menjadi peluang. Nekad adalah untuk mereka yang tidak tahu langkah langkah pastinya menaklukkan tentangan. Tapi bagi mereka yang tahu langkah langkah pastinya, itu bererti tidak lagi dikatakan nekad, tapi memgambil peluang drngan sedikit risiko!"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Wah, kata kata kamu macam motivator ternama saja Kang."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Yang aku katakan hanyalah berpandukan dari pengalamanku selama ini Nang. Aku yakin boleh. Kalau aku merasa tidak boleh, pasti sudahku tolak. Kau ngat beberapa bulan yang lalu ketika Pak Atase Perdagangan minta dibuatkan Garang Asem khas Kudus. Jelas aku angkat tangan. Belum terbayang bagaimana cara membuatnya. Apalagi Garang Asem banyak khasnya. Ada khas Kudus, khas Kartasura, khas Salatiga, khas Semarang, khas Boyolali. Saat itu aku melihat bukanlah suatu tentangan yang boleh diubah menjadi satu peluang. Lebih baik aku mundur."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Tapi, Soto lamongan setahuku juga ada kerumitannya lah Kang."<br /><br />"Aku tahu, yang paling penting aku yakin boleh."<br /><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;">******</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kau yakin boleh La?" tanya Anna pada Laila, mahasiswi Indonesia yang dikenali menjadi agen tiket Malaysia Air Lines dan Singapore Air Lines. Laila mengikuti jejak abangnya Nasir. Boleh dikatakan Laila hanya membantu abangnya. Kerana dia mahasiswi, jadi promosi di kalangan mahasiswi boleh ia lakukan dengan segera. Apalagi ia juga menjadi pengurus Wihdah.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Bezanya Laila dengan abangnya, Laila termasuk kelompok mahasiswi yang berprestasi. Tidak pernah gagal dalam ujian. Sering menulis di buletin dan majalah. Sedangkan Nasir, biasa biasa saja. Aktivitinya lebih banyak melakukan bisnes di Cairo. Selain bisnes tiket pesawat, Nasir juga bisnes warnet (internet) dan jualan halia. Ya jualan halia. Dengan cara, ia pergi umrah naik kapal. Lalu di Saudi ia membeli halia yang masih segar. Halia dari Saudi itu asalnya juga bukan dari Saudi tetapi dari Asia Tenggara. Kebanyakan dari Thailand. Ia membeli terus beberapa ratus kilogram. Ia bawa ke Mesir dan ia jual kepada orang orang Mesir. Keuntungannya selain menampung biaya umrah, juga boleh dibuat untuk membayar sewa rumah beberapa bulan. Suatu bisnes yang sangat menguntungkan. Laila yang ditanya tersenyum.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, tersangat yakinlah Mbak. Tanpa harus membawa visa dari kedutaan Malaysia Mbak boleh masuk Malaysia. Nanti ambil visa beratur di bandar Kuala Lumpur. Abang saya kan pernah pulang ke Tanah Air dan transit dua minggu di Malaysia. Hanya saja kalau Mbak mahu transit masuk KL, ada biaya tambahan lima puluh dolar Mbak." Laila menjelaskan panjang lebar.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Untuk apa itu La?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Untuk meng-<span style="color: rgb(102, 102, 102);">open</span> tiket KL - Jakarta. Kerana mahu tinggal beberapa hari di KL, maka harus <span style="color: rgb(102, 102, 102);">open</span>. Itu harganya lebih mahal lima puluh dolar. Bagaimana Mbak?"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ya, baiklah La. Wangnya besok insya Allah. Bila tiket boleh saya ambil?"<br /><br />"Dua hari setelah wang saya terima Mbak."<br /><br />"Oh ya Mbak, boleh tidak Laila tanya sedikit sama Mbak?"<br /><br />"Apa itu La?"<br /><br />"Saya dengar Mbak dilamar oleh Mas Furqan ya Mbak?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wah, kalau itu tidak boleh dijelaskan melalui telefon La. Sudah dulu ya. Ini kreditnya sudah habis banyak. Yuk, assalamu 'alaikum."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Oh ya Mbak, wa 'alaikumussalam."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Wajah Anna merah padam. Pertanyaan Laila itu menyentak hatinya. Dari mana dia tahu? Ia sangat yakin di kalangan mahasiswi, berita dirinya dilamar Furqan pasti mulai tersebar. Yang membuatnya marah adalah siapa yang membocorkan ini semua. Bukankah yang tahu masalah ini selain dirinya, seharusnya hanya tiga orang, iaitu Furqan, Ustadz Mujab dan isterinya, Kak Zulfa. Ada kejengkelan dan rasa marah yang memercik dalam dadanya. Tapi ia bingung kepada siapa harus marah. Untuk meredakan amarahnya ia mengambil air wudhu'.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />Setelah itu ia ke ruang tamu di mana Erna dan Zahraza sedang asyik membaca surat khabar Al-Ahram.<br /><br />"Mbak, kita jadi ke Palace?" tanya Erna sebaik saja Anna duduk di sampingnya.<br /><br />Anna melihat jam dinding, lalu menjawab:<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sekarang, sudah pukul tujuh lima minit, tapi Wan Aina dan Sholihati belum pulang. Apakah tidak terlalu malam jika kita keluar setelah mereka pulang?"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Iya, terlalu malam. Nanti dilihat orang tidak baik." Sahut Zahraza sambil tetap membaca.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Atau tidak usah ke Palace saja Mbak. Nanti kalau mereka pulang hubungi Babay saja. Kita pesan makanan minta dihantar ke sini." Erna memberi usul.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, nanti kalau mereka pulang kita musyawarah. Seeloknya bagaimana. Yang jelas, malam ini insya' Allah tetap ada majlis kesyukuran seperti yang saya janjikan." Jawab Anna lirih. Fikiran Anna sekarang bukan pada majlis kesyukuran dengan makan makan yang ia rancangkan, tapi pada berita dirinya yang telah dilamar Furqan yang telah diketahui oleh orang orang yang semestinya tidak perlu mengetahuinya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Eh ini ada berita menarik di Ahram!" kata Zahraza setengah berteriak.<br /><br />"Apa itu?" tanya Erna.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Di sini disebutkan ada mahasiswa Indonesia yang tinggal di Ighatsah Islamiyyah Hay El Thamin dirompak seseorang yang mengaku sebagai anggota <span style="color: rgb(153, 0, 0);">mabahits</span>. Mahasiswa ini menderita kerugian lebih dari seribu dolar. Kemungkinan besar perompak itu memakai cara cara hipnotis!" jelas Zahraza.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />Spontan Anna berkata :<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bererti kita harus berhati hati. Jangan pergi mana mana bersendirian! Ternyata di atas muka bumi ini masih banyak penjahat berkeliaran!"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">******</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-4982923022553931532011-03-07T15:12:00.002+08:002011-03-28T15:19:18.070+08:00WAKTU OH WAKTU<div style="text-align: justify; font-style: italic;">Sekian lama aku mengintai waktu untuk 'mengupdate' (blh guna ke perkataan ni??? marah plk pakar2 dkt DBP nti..) Ermm mengemaskini kot... ye mengemaskini blog RKTS... Namun apakan daya... impian cuma tinggal impian... ruang waktu masih belum memberi kesempatan... Tiba tiba aku terasa... betapa kerdilnya aku yang semakin lelah mengejar waktu. Mesti ada yang pelik... kenapa dulu aku sampai boleh berumahtangga dkt rumah kecik karpet kuning tu... Tapi sekarang 1/2 jam pun payah nak nampak aku lepak saje2... Mana2 insan yg mcm x barape nk suke dgn aku tu mesti terlintas atau perkataan ni pernah melintasi benak mereka... 'tulah... dulu x nk siapkan keje... skrg ni baru padan muke.' Yelah.. dahulunya bkn kerja aku kan.. buat ape nk cbuk2... klu aku terlebih cbuk kang... dorang kata aku kaco periuk nasik depa... Boss suruh jage dia je... aku jagelah dia elok2... x gitu...<br /><br />Dlm aku jage elok2 tulah... aku terlupa yg aku sebenarnya diperhatikan... (mcm suspen je kan hehehee) Bertitik tolak dari situ, maka timbulah situasi la ni.... hak la ni... lah yg aku rasa terkongkong sgt2... betapa peritnya mendokong dan menjayakan amanah. Ha... musti sape2 yg sayang dkt aku... yg biasa tgk (sbb korang x leh nk dgr... hehehee) cecehan dan ocehan aku rasa mcm sedih je.. (ade ke yg syg & ade ke yg sedih???? klu ade cuba angkat tgn...). Tapi mujurlah... akal waras aku senantiasa mengimbangi emosi yg beralun.... Ini semua hanyalah cabaran... ya sebuah cabaran yang penghunjungnya mungkin suatu keberhasilan. Keberhasilan dari usaha gigih dan pengorbanan. Keberhasilan yg penuh kepuasan....<br /><br />Ehehhh ape yg aku merepek ni kan.... heheheee<br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-20379207094369173152010-08-24T10:40:00.002+08:002011-03-07T19:21:47.347+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (10) Pengejaran Dengan Teksi<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><div><div style="text-align: justify; color: rgb(0, 153, 0); font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Kekangan waktu mendesak aku melupakan seketika soal blog aku ini. Tiba2 baru kini aku faham betapa masa itu lbh berharga dari emas sebenarnya... Buat rakan taulan yang masih mengikuti kisah KCB harap diteruskan pembacaannya... aku akan senantiasa mengintai waktu utk sambungannya...<br /></span></div><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;"><span style="font-weight: bold;"><br /></span>PEMANDU</span> teksi itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengejar. Ia sangat hafal dengan jalan jalan pintas yang paling selesa dari kesibukan dan kesesakan. Dalam waktu seperempat jam, teksi itu telah sampai di Hay El Sades ke arah kawasan kampus Al-Azhar Nasr City. Lalu melaju kencang ke arah Masjid Nun Khithab. Selama dalam perjalanan Azzam diam. Tidak banyak berbicara. Dua penumpang di belakangnya juga melakukan hal yang sama. Kalaupun Azzam bicara hanya untuk menjawab pertanyaan pemandu teksi sesekali sahaja.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tiga minit kemudian teksi hitam putig itu sampai di simpang empat Masjid Nun Khithab. Azzam minta supaya belok ke kiri menyusuri Thayaran Street ke arah Ta'min Shihi. Azzam mengarahkan teksi berhenti di Halte jalan ke Hay El Sabe dekat Muraqib supaya mudah menahan bas enam lima. Pemandu minta tambah duit. Akhirnya Azzam kembali harus sepakat memberi tambahan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Beberapa minit menunggu, dari arah Rab'ah sekonyong konyong Azzam melihat bas enam lima datang.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ukhti, kamu lihat kitabmu di pintu belakang. Saya akan naik dari pintu depan minta agar pemandunya berhenti beberapa saat. Semoga itu bas kamu tadi!" Seru Azzam apabila bas itu merapat di Halte mahu berhenti.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Mahasiswi bertudung biru itu mengangguk dan bersiap sedia.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Bas berhenti. Azzam menuju ke pintu depan. Apabila pintu dibuka, ia terus melompat. Ia hampir berlanggar dengan penumpang yang mahu turun. Ia rapat bergantung di pinggir pintu dan minta sang pemandu berhenti sebentar. Mahasiswi bertudung biru sudah naik. Ia melihat lihat di bawah kerusi dekat kondektur duduk. Kedua matanya terus menangkap buku dan kitabnya dalam dua plastik putih. Hatinya sangat bahagia. Ketika hendak mengambilnya sang kondektur mempersilakan. Agaknya sang kondektur belum lupa dengan musibah yang menimpa dua mahasiswi beberapa saat yang lalu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maafkan kami atas musibah tadi," kata kondektor itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tidak apa apa. Semoga diganti yang lebih baik oleh Allah," jawab mahasiswi itu lalu turun.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sambil bergayut di pintu depan, Azzam melihat mahasiswi itu membawa dua plastik putih berisi kitab. Ia terus melompat turun dan mempersilakan pemandu menjalankas basnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bagaimana masih lengkap, tidak ada yang hilang?" tanya Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Mahasiswi itu lalu memeriksa sebentar. Dan dengan wajah bersinar, ia menjawab :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Alhamdulillah. Masih lengkap. Terima kasih ya atas segalanya. Kalau boleh tahu nama situ siapa?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku Abdullah." Jawab Azzam. Nama kecilnya memang Abdullah Khairul Azzam. entah kenapa ketika dibuat daftar kelahiran yang tertulis hanya Khairul Azzam saja, Abdullahnya hilang. Jadi dengan mengatakan namanya Abdullah, ia sama sekali tidak berbohong. Namun mahasiswi di Cairo tidak ada yang mengenalinya sebagai Abdullah. Ia memang tidak ingin namanya diketahui dua mahasiswi itu. Ia mahu menjaga keikhlasannya. Maka meskipun mahasiswi cantik bertudung biru itu bertanya namanya, ia tidak bergantian menanyakan namanya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tinggal di mana?" tanya mahasiswi itu lagi. Sementara mahasiswi yang satunya diam saja. Kelihatannya ia masih sedih kehilangan dompetnya yang berisi dua ratus lima puluh dolar dan tujuh puluh lima pound.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Di Madrasah Hay El Ashir. Ini sudah petang. Kalian ikut sampai sini saja ya. Saya harus segera meneruskan perjalanan. Pemandu teksinya sudah menunggu. nanti kalau lama, dia minta tambah lagi." Jawab Azzam sambil melihat jam tangannya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya Mas. .a.. Abdullah. Terima kasih banyak ya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya sama sama. Lain kali lebih berhati hati ya. Mari. Assalamu'alaikum."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wa 'alaikumussalam wa rahmatullah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam terus masuk ke dalam teksi. Teksi berjalan lurus ke arah Hay El Sabe'. Dua mahasiswi itu memandang teksi itu sampai menghilang di kejauhan. Nama Abdullah membuka satu lembaran catatan dalam hati mereka.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Matahari semakin kekuning kuningan. Senja menunjukkan tanda tanda segera datang. bas bas penuh dengan orang orang yang keletihan. Dua mahasiswi itu melangkah perlahan ke arah Abdul Rasul. Letaknya tidak jauh. Tiga ratus meter ke depan. angin musin bunga yang sejuk membelai tudung mereka dengan penuh kasih sayang. Cairo kembali menggores episod yang indah untuk dikenang.</span></span><br /><br /></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">******</span></span><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dua mahasiswi itu sampai di rumah sewa mereka di Abdul Rasul. Rumah yang besar berada di tingkat dua sebuah villa anggun bercat putih. Rumah itu terdiri daripada tiga buah bilik. Satu bilik mandi. Dapur, ruang tamu. Dan dua balkoni. Dihuni oleh lima orang mahasiswi. Tiga orang dari Indonesia dan dua orang dari Malaysia.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Erna sudah lebih ceria meskipun guratan kesedihannya masih nampak jelas. Mereka pulang disambut oleh Zahraza, mahasiswi tahun tiga dari Negeri Kedah, Malaysia.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Erna, kenapa muka awak pucat macam tu? <span style="color: rgb(204, 102, 0);">Fi eh</span>?" tanya Zahraza, teman satu bilik Erna. Loghat Malaysianya sama sekali tidak berubah meskipun sudah dua tahun tinggal satu rumah dengan orang Indonesia. Selain Zahraza, mahasiswi Malaysia yang tinggal di situ adalah Wan Ama, berasal dari Negeri Selangor. Zahraza masih Sarjana Muda, tahun akhir. Sedangkan Wan Aina sudah masuk tahun pertama Sarjananya. Dua penghuni lainnya adalah Hanum dari Bandung, dan Sholihati dari Kudus. Keduanya satu kelas dengan Erna.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Jadi, di rumah itu yang paling senior secara akedemik adalah Anna. Adapun yang paling senior secara umur adalah Sholihati. Sebelum kuliah di Al-Azhar, gadis yang pernah belajar di Madrasah Banat Kudus itu pernah menjadi tenaga kerja di Kuwait lebih dari dua tahun. Kerana cintanya pada ilmu, sebaik sahaja ia memiliki dana untuk terbang ke Mesir, ia tinggalkan pekerjaannya untuk menuntut ilmu. Semangat belajarnya yang luar biasa itu membuat banyak orang kagum padanya. Namun Anna tetaplah yang paling disegani di rumah itu, selain kerana ia paling berprestasi dan paling boleh memimpin, ia adalah puteri seorang kiai. Anna tinggal seorang satu bilik. Erna satu bilik dengan Zahraza. Sedangkan Wan Aina satu bilik dengan Sholihati. Mereka hidup di rumah itu bagaikan seperti saudara sendiri.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tidak usah risau. Tidak ada apa apa. Hanya musibah sikit aje," jawab Anna, sedikit terpengaruh oleh loghat Malaysia.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Musibah apa tu?" kejar Zahraza.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tanya aja sama Erna. Saya nak ke bilik dulu ya," jawab Anna bergegas ke biliknya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Zahraza terus minta penjelasan Erna. Erna lalu menjelaskan dengan detail semua peristiwa yang baru saja dialaminya. Termasuk juga pertolongan yang tidak disangka dari seorang mahasiswa Indonesia bernama Abdullah. Zahraza mendengarkan dengan penuh perhatian.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sementara itu, teksi berwarna hitam putih yang membawa Azzam meluncur memasuji kawasan Hay El Ashir. Melewati Bawwabah Tsalitsah, terus melaju ke timur. Melalui kawasan yang oleh mahasiswa Asia Tenggara disebut <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Nadi Kahrubai</span>. Sebuah kawasan luas yang dilalui arus elektrik tegangan tinggi. Daerah itu berupa jalan tar yang lebar. Dan oleh penduduk setempat, juga oleh mahasiswa Asia Tenggara, sering digunakan untuk bermain bola sepak. Maka disebut <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Nadi Kahrubai</span> atau stadium elektrik.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Kawasan ini juga sering disebut Suq Sayyarah, atau Pasar Kereta. Sebab, pada hari Jumaat kawasan ini berubah menjadi tempat jual beli kereta terpakai terbesar di Cairo. Kawasan yang luasnya berhektar hektar itu penuh dengan pelbagai macam kereta. Bagi yang ingin mendapatkan kereta yang bagus dan murah, di sinilah tempatnya. Syaratnya tentu saja harus boleh memilih dan boleh menawar dengan baik. Jika tidak, justeru boleh sebaliknya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam melihat ke arah Nadi Kahrubai, dan dari kejauhan dia melihat ramai mahasiswa Asia Tenggara di sana. Ada juga mahasiswa berkulit hitam. Mereka sedang bermain bola sepak. Di sebelah Nadi tampak Masjid Sarbini yang pada bulan Ramadhan biasa menyediakan buka puasa secara percuma. Masjid itu menjadi salah satu tempat kesukaan bagi mahaiswa Asia Tenggara, di samping masjid masjid yang lain. Azzam sendiri juga sering berbuka di masjid itu bersama teman teman satu rumahnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tidak lama kemudian, teksi itu sampai di Mutsallats. Azzam memberi petunjuk kepada pemandu teksi agar belok ke kanan. Teksi berjalan perlahan memasuki kawasan Mutsallats. Rumah rumah penduduk berbentuk kotak kotak berwarna coklat. Warna khas pasir dan debu padang pasir di Mesir. Azzam kembali meminta teksi belok ke kanan. Sampai di depan apartment bertingkat enam yang menghadap ke selatan, Azzam menyuruh teksi itu berhenti.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam keluar dari teksi. Pemandu teksi membantu mengeluarkan barang barang Azzam dari bonet. Azzam memeriksa barangnya. Semua sudah cukup, Azzam menyerahkan duit tambang kepada pemandu teksi. Pemandu gendut berwajah bundar itu terus menghitung.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="color: rgb(204, 102, 0);">Khamsahjunaih kaman ya Indonesi</span>!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="color: rgb(204, 102, 0);">La, khalas, mafi zaidah ya Ammu. Haram 'alaik ya Aimmu</span>!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Pemandu teksi itu tersenyum.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="color: rgb(204, 102, 0);">Thayyib, 'ala kulli hal mutasyakkir! Hadza yakfi</span>!" Ia lalu masuk ke dalam teksi dan pergi.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam meletakkan barang barangnya di depan pintu gerbang. Sambil menjinjing beg plastik berisi daging sapi, ia naik ke tingkat tiga. Flatnya ada di tingkat tiga. Ia masuk. Sepi. Tidak ada orang di ruang tamu. Ia terus memasukkan daging sapi ke dalam peti ais. Ia memeriksa dari bilik ke bilik. Hanya ada Nanang yang sedang duduk di depan komputer milik Fadhil. Kedua telinganya ditutup dengan earphone. Agaknya ia sedang asyik mendengarkan lagu lagu pop Mesir sambil mengetik. Azzam menepuk bahu Nanang. Nanang terhenyak terkejut, lalu tersenyum. Ia melepaskan earphonenya. Azzam memnta Nanang untuk membantunya menaikkan barang barang perbelanjaannya ke atas. Terutama mengangkat kacang soya. Ia sendiri sudah sangat letih.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Okay bos!" Jawab Nanang riang. Ia mengikuti Azzam turun. Mereka berdua lalu menaikkan barang barang perbelanjaan itu ke dalam Flat.</span></span><br /><br /></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">******</span></span></span><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Semoga ini semua ada hikmahnya," lirih Zahraza selesai mendengar cerita Erna.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Hikmahnya sudah aku dapatkan. Ini jadi teguran dari Allah atas kebakhilanku selama ini. Sebenarnya duit itu pagi tadi mahu dipinjam oleh kak Hanum dua ratus dolar, tapi aku tidak memberinya. Aku sungguh menyesal," jawab Erna sambil menundukkan kepalanya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sudahlah Erna. Kita cakap perkara yang lain saja. By the way, siapa tadi pemuda yang menolong kalian?" tanya Zahraza.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Namanya Abdullah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kau kenal dia tak?" Erna menggelengkan kepala.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sst... by the way dia handsome tak?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Erna membulatkan matanya. Namun Zahraza tidak takut. Ia malah memberi pandangan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wah, bererti pemuda itu kacak. Terus terang aku suka sekali kepada oemuda yang baik hati dan berani seperti pemuda yang menolong kalian tadi. Apalagi kalau dia handsome. Kalau tidak handsome aku pasti menaruh simpati saja. Kalau aku yang jadi kau sudah aku kejar pemuda itu. Zaman sekarang, tidak mudah cari calon suami yang baik hati dan penuh perhatian seperti pemuda itu. Semoga Allah mempertemukan aku dengan dia dalam pertemuan yang penuh barakah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Komen daripada mahasiswi Malaysia itu didengari dengan Anna dari biliknya. Entah kenapa, ia begitu cemburu mendengar pandangan itu. Ia jadi hairan sendiri kenapa ia mesti cemburu. Padahal ia bukan ada hubungan apa apa dengannya. Ia juga baru bertemu dengannya hari itu. Ia tidak tahu identitinya. Juga tidak tahu rumahnya. Pemuda itu pun tidak tahu siapa dia. sebab ia tidak memperkenalkan namanya, dan pemuda itu juga tidak bertanya namanya. Anna cepat cepat menyingkirkan perasaan itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Hairannya, setiap kali zahraza bercerita tentang kebaikan mahasiswa Indonesia, ia selalu cemburu. Gaya dan loghat gadis Malaysia yang halus itu, kalau bercerita tentang mahasiswa Indonesia memang punya kekuatan yang membangkitkan rasa cemburu bagi mahasiswi Indonesia. Apalagi ia memang mempunyai pengalaman indah dengan mahasiswa Indonesia. Saat awal awal di Mesir, ia tinggal di rumah Negeri Kedah yang ada di daerah Thub Ramly, Hay El Ashir.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Suatu hari ia pulang dari belanja di kedai <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Misr wa Sudan</span> menjelang Isya'. Ketika ia berjalan berdua dengan temannya melalui <span style="color: rgb(204, 102, 0);">shahra</span> yang sepi, tiba tiba ada orang Mesir yang hendak berbuat jahat padanya. Ia menjerit jerit. Nasib baik waktu itu ada mahasiswa Indonesia yang lalu. Mahasiswa itu terus memukul orang Mesir tersebut. Orang Mesir memukul mereka balik. Terjadilah perkelahian. Ternyata mahasiswa Indonesia itu ada ilmu bela diri, sehingga orang Mesir itu akhirnya lari. Mahasiswa Indonesia itu juga menghantarkan mereka berdua sampai di rumahnya. Sejak itulah di mata Zahraza, pemuda Indonesia yang belajar di Mesir adalah manusia berani yang baik hati.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bodohnya awak ni. Awak tidak tanya siapa nama pemuda itu. Dan di mana alamat dia duduk. Awak benar benar bodoh. Padahal pemuda itu sangat berjasa bagi awak. Jika tidak ada pemuda itu mungkin kesucian awak sudah hilang." Begitu pandangan Zahraza setiap kali mengulang ceritanya itu. Entah sudah berapa kali Zahraza bercerita tentang kejadian itu. Dan sampai sekarang, mahasiswa Indonesia yang menolong Zahraza juga tidak diketahui siapa. Tidak ada khabar dan desas desus berita mahasiswa Indonesia yang mengaku atau bercerita pernah menolong mahasiswi Malaysia si Shahra dekat Thub Ramli.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Shahra, tanah yang sangat lapang, padang pasir. Anna tahu, kecemburuannya merupakan hal yang tidak perlu. Mahasiswi Malaysia menaruh simpati pada mahasiswa Indonesia kerana kebaikan, adalah hal yang bukannya tidak boleh terjadi. Jika yang jadi landasannya adalahh kebaikan, jalannya adalah kebaikan, dan tujuannya adalah kebaikan. Apanya yang salah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Anna merasa ia telah berlebihan dengan merasa cemburu, hanya kerana komen yang boleh jadi juga sekadar cakap biasa : tidak lebih dari sekadar pandangan yang mungkin tujuannya justeru untuk menghangatkan suasana. atau untuk menunjukkan rasa hormatnya pada orang Indonesia. Ia merasa harus meletakkan cemburunya, cintanya, dan bencinya pada tempatnya yang tepat.</span></span><br /><br /></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">******</span></span></span><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kau sedang tulis apa tu Nang?" tanya Azzam pada Nanang. Keduanya duduk di ruang tamu. Azzam menyandarkan punggungnya. Ia nampak keletihan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Anu Kang, lagi suka suka buat cerpen."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Suka suka?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya Kang."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Jangan suka suka sajalah Nang. Kalau nak buat cerpen buatlah bersungguh sungguh. Menulis dengan bersungguh. Kalau suka suka itu percuma! Komputernya bukan milik sendiri, elektrik juga dibayar, waktu habis, lah kenapa masih suka suka!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maksudnya latihan Kang. Latihan buat cerpen. Bukan suka suka!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, begitulah. Bila kita mahu maju, kalau tidak masih menggunakan waktu kita untuk suka suka terus. Betul tak Nang? Oh ya Nang, kenapa senyap, yang lain sudah pergi ke mana?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Fadhil sama Ali pergi main bola. Keduanya sedang bertanding sekarang," jawab Nanang.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Di Nadi Kahrubai?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bukanlah Kang. Ini pertandingan betul. Team KMA (Keluarga Mahasiswa Acheh) dan Team KEMASS (Keluarga Mahasiswa Sumatera Selatan). Fadhil di dalam pasukan KMA dan Ali di dalam pasukan KEMASS. Mereka bertanding di Nadi Syabab."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Oh, kenapa mereka tidak beritahu, mereka hendak bertanding."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya la, aku baru saja tahu tadi ketika si Mahmud, kiper KMA datang menjemput Fadhil. Mereka tidak beritahu kepada kita. Katanya, biar kita tidak bingung mahu menyokong siapa."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya sudah, kita tidak usah sokong siapa siapa saja. Habis tu, Hafez dan Nasir ke mana?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Hafez tadi keluar mahu ke Katamea. Ke rumah Salman. temannya satu almamater. Kalau Nasir, ya seperti biasa Kang, menghantar tiket. Katanya, ke Abdur Rasul. Ada mahasiswi Indonesia yang akan pulang. Eh Kang, itu di peti ais ada tamar hindi."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wah kebetulan. Lagi dahaga ni."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam bergegas ke dapur. Membuka peti ais. Mengambil botol air mineral yang berisi tamar hindi lalu menuangkannya ke gelas. Ia kembali ke ruang tamu dan minum dengan penuh kenikmatan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Yang beli kamu Nang?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bukan saya Kang, tapi Ali. Tadi sebelum berangkat ke Nadi Syabab. Ia beli dua botol. Yang satu ia bawa, yang satu untuk kita katanya. Kang, aku mahu meneruskan menulis lagi ya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya. Tapi jangan pakai earphone. Nanti kamu tidak dengar azan. Sebentar lagi Maghrib!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya Kang."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Nanang beranjak menuju komputer yang ditinggalkannya. Sementara Azzam masuk ke biliknya. Ia mengganti bajunya dengan singlet, dan seluar panjangnya dengan kain sarung. Lalu rebahkan diri di atas katil. Ia ingin mengendurkan otot ototnya barang beberapa minit. Sebab petang ini juga ia harus terus menggarap kedelainya untuk mulai diproses menjadi tempe. Lalu malam nanti setelah solat Isya' ia hafus mulai menggarap daging lembunya untuk dijadikan bakso.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dalam keadaan sangat letih apapun, ia harus tetap sabar dan kuat melakukan itu semua. Jika tidak, ia takkan layak hidup, juga adik adiknya di Indonesia. Namun kerana sudah biasa, itu semua sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang berat baginya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dan yang paling pentingbagi dirinya, dengan bekerja keras yang sudah biasa ia lakukan, ia sama sekali tidak risau akan masa depannya. Ia merasa bersyukur dengan apa yang dikurniakan Allah kepadanya saat ini. Ia berani menatap mantap masa depannnya. Ia tidak merasa cemas? Apa yang perlu dirisaukan oleh seorang manusia yang diberi fikiran yang sihat, anggota badan yang cukup, dan mengimani adanya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Selain Pak Ali, selama ini ia tidak pernah menceritakan kapada siapa pun mengenai beban beban hidupnya. Juga jalan curam yang harus dilaluinya. Beberapa rang hanya tahu ia adalah jenis mahasiswa yang lebih mementingkan bisnes tempe dan baksonya daripada kuliah. Ia sama sekali bukan mahasiswa yang diperhitungkan dalam kancah dunia pengajian dan intelektual.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Nama asalnya bahkan sedikit yang tahu. Kalaulah memang ada yang tahu, biasanya adalah orang orang seangkatannya. Sementara mereka yang satu angkatan dengannya telah banyak yang menyelesaikan belajar B.A.nya. Bahkan telah banyak yang pulang ke Tanah Air. Tinggal beberapa orang yang tersisa dari mereka, kerana mereka melanjutkan M.A. Yang masih B.A. hanya dirinya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Beberapa mahasiswa baru yang mengenalnya, lebih banyak mengenalinya sebagai mahasiswa tertua yang belum juga lulus B.A. Padahal ia sudah sembilan tahun di Mesir. Ia sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Baginya, yang penting ia telah melakukan hal yang benar. Benar untuk dirinya, ibunya, adik adiknya dan agamanya. Ia teringat sebuah nasihat dari seorang Syeikh Muda, ketika ia solat Jumaat di Masjid Ar-Rahman Masakin Utsman. Syeikh Muda itu dalam khutbahnya menghuraikan tentang pentingnya banyak kerja sedikit bicara.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kenapa Allah mengurniakan kepadakita dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, jutaan saraf otak, tapi hanya mengurniakan kepada kita satu mulut saja? Jawabnya, kerana Allah menginginkan agar kita lebih banyak bekerja, lebih banyak beramal nyata daripada bicara. Maka ada ungkapan, <span style="color: rgb(102, 0, 204);">man katsura kalamuhu katsura khatauhu. Siapa yang banyak bicaranya maka banyak dosanya!</span> Dan kerananya Rasulullah Shallaullahu 'alaihi wasallam menasihati kita semua: <span style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: bold;"> 'Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam saja!'</span> Umat dan bangsa yang besar adalah umat dan bangsa yang lebih banyak kerjanya daripada bicaranya. Orang orang besar sepanjang sejarah adalah mereka yang lebih banyak bekerja daripada bicara!" kata Syeikh Muda itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Lalu sebelum mengakhiri khutbah pertamanya, Syeikh Muda itu mengutip nasihat James Allen : "Jangan biarkan orang lain lebih tahu banyak tentang dirimu. Bekerjalah dengan senang hati dan dengan ketenangan jiwa, yang membuat kami menyedari, bahawa muatan fikiran yang benar dan usaha yang benar akan mendatangkan hasil yang benar!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia merasa yang benar baginya adalah tidak banyak bicara. Banyak kerja. Dan orang tidak perlu tahu kenapa ia tidak juga lulus. Kenapa ia hampir tidak pernah hadir dalam segala hiruk pikuk kegiatan ilmiah mahasiswa Indonesia di Cairo. Kecuali beberapa saja. Hidupnya di Cairo lebih banyak berkisar di rumah, masjid, pasar, rumah para pelanggan tempenya, dan rumah rumah bapak bapak KBRI yang memesan baksonya. Kampus Al-Azhar sendiri jarang ia datangi, apalagi perpustakaan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Baginya, kampus utamanua justeru masjid. Khutbah Jumaat, ceramah beberapa minit dari imam masjid setelah solat, halaqah membaca Al-Quran setelah solat Subuh adalah tempat utamanya menimba ilmu. Ia menganggap itulah yang terbaik untuk dirinya. Dan berulangkali ia mengatakan pada dirinya sendiri, jangan pernah engkau merasa tersiksa dengan apa yang engkau anggap baik untuk dirimu! Ia tidak mengingkari bahawa ia sebenarnya sangat ingin bergerak dan berdinamik lazimnya mahasiswa. Namun keadaan orang berbeza beza.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sudah seperempat jam ia berbaring sambil memejamkan mata. Otot otot tubuhnya lebih terasa sihat dan segar. lima minit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cepat cepat bangkit. Menyambar tuala dan ke bilik mandi. Sebaik sahaja ia masuk bulik mandi dan memutar paip air panas, sayup sayup ia mendengar suara heboh Fadhil dan Ali.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mereka sudah pulang. Semoga tidak ada yang kalah. Semua menang!" desisnya dalam hati sambil menambah kuatnya aliran air dingin. Setelah ia merasa ukuran panas dinginnya cukup, ia mandi dengan shower. Sentuhan air yang menerpa tubuhnya itu ia rasakan begitu nikmat. Begitu meremajakan saraf saraf dan otot ototnya. Ketika sedang asyik mandi, pintu bilik mandi diketok dengan keras.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kang Azzam ada telefon!" Itu suara Ali langsung menjawab dengan suara keras.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sedang mandi!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Disudahi dulu saja Kang! Ini penting!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Disudahi bagaimana, ini tengah pakai shampo!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ini dari Eliana, Kang, puterinya Pak Dubes! Katanya penting!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mahu puterinya Dubes, mahu puterinya Presiden,, suruh telefon selepas Maghrib. Titik!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baik Kang."</span></span><br /><br /></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">******</span></span></span><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Matahari perlahan masuk ke peraduannya. lampu lampu di sepanjang Kornes Nil mulai menyala. Azan berkumandang bersahut sahutan. Furqan keluar dari bilik hotelnya. Ia bergegas ke masjid. Di dalam lift ia kembali bertemu dengan mahasiswa dari Jepun. Mahasiswa Jepun itu mengangguk, ia pun mengangguk. Ia sampai di masjid tepat sesaat sebelum iqamat dikumandangkan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Kali ini, ia solat diimami oleh imam yang agaknya menganut mazhab Imam Malik. Sebab sang imam setelah takbir tidakk meletakkan kedua tangannya di dada, tapu meluruskan tangannya seperti posisi tentera yang sedang siap dalam barisannya. Bacaan Al-Qur'an imam setengah umur itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Selepas solat ia kembali ke hotel. Terus masuk kamar. Membaca Al-Qur'an beberapa halaman, lalu kembali membaca tesisnya. Ia kembali membaca baris demi baris. Sesekali ia berhenti menyemak pertanyaan para penguji yang kira kira akan disampaikan kepadanya lalu ia mempersiapkan jawapan yang ia anggap tepat. Tiba tiba telefon berdering mengganggu konsentrasinya,</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, siapa ini?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ini Sara, Tuan Furqan. Mengingatkan aja. Anda tidak lupa dengan undangan saya bukan? Pukul 19:30 di Abu Sakr Restaurant."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya tidak lupa. Tapi nampaknya saya tidak boleh datang."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya sangat berharap Tuan datang."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kalau tidak datang, semoga Nona tidak kecewa."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Justeru saya risau, jika anda tidak datang anda akan menyesal. Undangan ini mungkin hanya sekali anda dapatkan dalam hidup anda."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Terima kasih, saya merasa tersanjung."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya merasa lebih tersanjung jika anda sudi datang. Oh ya, anda kenal Prof. Dr. Sa'duddin Zifzaf?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, saya kenal. Dia seorang sejarahwan dan penulis terkenal."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Dia ayah saya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Benarkah?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya tentu saja. Dia akan datang bersama saya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sekali lagi, maafkan jika saya nanti tidak boleh datang."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Fikirkanlah, saya berharap anda datang. Terima kasih." Klik. Telefon itu diputuskan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Furqan sedikit bingung antara menyelesaikan persiapannya membaca ulang tesisnya, ataukah memenuhi undangan Sara. Undangan makan malam gadis Mesir sebenarnya sangat menarik. Apalagi ia sedikit terbayang gadis itu juga memiliki pesona yang sangat menarik. Astaghfirullah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia beristighfar ketika kelibat wajah Sara yang menarik hadir di fikirannya. Dan penjelasan Sara bahawa Prof. Sa'duddin Zifzaf, penulis Mesir yag terkenal yang juga stag ahli Menteri Pendidikan itu adalah ayahnya, sungguh mengusik hatinya. Apakah benar? Yang lebih mengusiknya kenapa gadis Mesir itu benar benar tahu banyak tentang dirinya? Ataukah hanya basa basi belaka? Hatinya terus tertanya tanya.</span></span><br /><br /><br /><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;">Buat yang rajin & ingin tahu akan maksud / terjemahannya :-</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">1. <span style="color: rgb(204, 102, 0);">Fi eh? - Ada apa?</span></span><br /><span style="font-style: italic;">2. <span style="color: rgb(204, 102, 0);">Khamsah junaih kaman ya Abdonesi - Lima pound lagi, hai orang Indonesia</span></span><br /><span style="font-style: italic;">3. <span style="color: rgb(204, 102, 0);">La, khalas, mafi ziadah ya Ammu. Haram 'alaik ya Aimmu! - Tidak, sudah, tak ada tambahan lagi pakcik, haram bagimu pakcik!</span></span><br /><span style="font-style: italic;">4. <span style="color: rgb(204, 102, 0);">Thayyib, 'ala kulli hal mutasyakkir! Hadza yakfi! - Baik, walau bagaimanapun, terima kasih. Ini sudah cukup!</span></span><br /><span style="font-style: italic;">5. <span style="color: rgb(204, 102, 0);">Shahra - tanah yang sangat lapang, padag pasir</span></span></span><br /></div></div></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-53604284240450193962010-06-10T10:30:00.008+08:002011-03-08T16:17:50.176+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (9) Perjalanan ke Sayyeda Zainab<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><div><span style="color: rgb(0, 153, 0);font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;">Lanjutan kisah KCB... ade ke yg ternanti2 akannya????</span><br /></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;">AZZAM</span> melihat jam tangannya. Sudah seperempat jam ia menunggu, bas ke Sayyeda Zaenab tidak juga datang, padahal bas ke Atabah sudah berkali kali lalu. Halte bas di depan Masjid Al-Azhar itu ramai manusia. Sebahagian duduk di kerusi halte, tapi yang berdiri jauh lebih banyak. Bas menuju Imbaba datang. Orang orang berlarian naik. Seorang ibu sekuat tenaga berusaha menggapai pintu bas. Tangannya telah meraih pegangan, dan ketika kakinya hendak naik, bas itu berjalan. Ibu itu tidak melepaskan pegangannya. Jadilah ia terseret. Para penumpang dan orang orang yang melihatnya berteriak teriak marah. Seorang lelaki setengah umur menjerit keras marah :</span><br /></div><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(102, 102, 102);">"Hasib ya hayawan!"</span></span></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Bas itu berhenti, dan pemandu bas tertawa sengih tanpa kelihatan berdosa sama sekali. Ibu tersebut berjaya naik dan kemarahannya tidak juga berhenti. Azzam melihat hal itu dengan hati sesak. Sudah tidak terhitung lagi ia melihat kejadian seperti itu. Seorang pelancong mat saleh nampak asyik mengabdikan adegan kurang sopan tersebut. Nampaknya pelancong itu mendapatkan oleh oleh yang sangat unik untuk dia bawa je negaranya. Azzam merasakan dadanya semakin sesak. Layakkah adegan kurang sopan seumpama ini terjadi di depan kampus Islam tertua di dunia? Tanyanya dalam hati.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Bas menuju Imbaba itu telah hilang dari pandangan. Tidak lama kemudian sebuah bas datang. Ia sangat kenal dengan nombor bas itu. Lapan puluh coret. Bas yang sangat legenda dan terkenal bagi mahasiswa Asia Tenggara yang tinggal di kawasan Hayy El Ashir. Legenda kerana murahnya. Jauh dekat sama saja. Cuma sepuluh piester. Apa tidak murah. Dan terkenal, kerana melalui jalan strategik bagi mahasiswa. Bas itu dari Hayyul Ashir Nasr City melalui Hayyu Thamin, Masakin Ustman, kampus Al-Azhar Maydan Husein, dan berakhir di Attaba. Selain itu juga terkenal kerana sering terjadi penyeluk saku di dalamnya. Maka seringkali mahasiswaIndonesia menyebutnya 'bas lapan puluh copet', bukan 'lapan puluh coret.' Meskipun demikian, bas itu tetap saja dicintai dan dekat di hati.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Apabila lapan puluh coret berhenti, dan pintu depan banyak penumpang yang turun. Dan di pintu belakang penumpang bersesak naik. Ia melihat seorang pensyarah ikut berdesakan naik. Ia amati dengan teliti, ternyata Prof. Dr. Hilal Hasouna, Ketua Professor Ilmu Hadith. Ia selalu dibuat takjub oleh sikap tawadhu' dan kesahajaan para syeikh dan ketua professor Universiti Al-Azhar. Di Indonesia mana ada seorang ketua professor yang mahu berdesakan naik bas.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Perlahan lapan puluh coret pergi. Lima detik kemudian datang bas bernombor empat puluh lima. "Ini dia," desis Azzam lirih. Hatinya begitu lega dan bahagia. Selalu saja di dunia ini, jika seseorang menanti sesuatu dan sesuatu yang dinanti itu hadir, maka hadir pulalah kebahagiaab yang susah digambarkan. Di antara bas bas yang lain, enam puluh lima adalah yang paling dicintai Azzam. Kerana bas itulah yang sentiasa menghantarkannya ke Pasar Sayyeda Zaenab. Bas itu telah menjadi alat yang sangat akrab dalam menunjang bisnesnya. Bisnes tempe da bakso.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sebaik sahaja bas berhenti, beberapa orang naik dari pintu belakang. Azzam ikut naik. Bas tidak berapa sesak. Tidak ada penumpang yang berdiri. Namun tidak banyak tempat duduk yang kosong. Semua penumpang yang baru naik mendapatkan tempat duduk, kecuali Azzam. Ia harus berdiri. Bas beranjak pergi menyusuri Al-Azhar Street. Azzam berdiri agak di tengah. Sekilas ia melihat ke depan. Beberapa mahasiswi Asia Tenggara duduk di barisan depan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mungkin mereka juga mahu berbelanja di Sayyeda Zaenab." Gumamnya dalam hati.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia yakin mereka mahasiswi Indonesia, meskipun tidak menutup kemungkinan ada mahasiswi Malaysia. Yang lebih sering kreatif belanja ke Pasar Sayyeda Zaenab biasanya mahasiswa dan mahasiswi dari Indonesia. Sementara mahasiswa dan mahasiswi dari Malaysia lebih memilih belanja di tempat yang dekat dengan flat mereka di Nasr City seperti Swalayan Misrwa Sudan di Hayye El Sabe. Meskipun tentu saja harganya lebih mahal.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Perlahan bas beranjak menyusuri Al-Azhar Street. Dari jendela Azzam boleh melihat bangunan bangunan tua yang kusam. Di antara bangunan itu banyak yang dijadikan kedai dan gudang tekstil. Sampai di El Muski belok kiri menyusuri Port Said Street.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Bas terus melaju melalui Museum of Islamic Art. Di halte dekat Maidan Ahmad Maher bas berhenti. Seorang perempuan Mesir turun. Tidak ada penumpang naik. Bas kembali berjalan. Azzam duduk di kerusi yang baru saja ditinggalkan perempuan Mesir. Kerusinya masih terasa hangat. Ia merasa lega. Sekilas ia tahu bahawa yang duduk di sampingnya adalah seorang mahasiswi Asia Tenggara. Ia tidak merasa harus menyapa. Fikirannya sudah ada di Pasar Sayyeda Zaenab. Ia melihat jam tangannya. Ia berharap tidak terlambat sampai di sana. Kalau terlambat ia akan bertambah letih kerana tidak mendapatkan barang yang ia inginkan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Semoga Ammu Ragab belum pulang," doanya dalam hati. Jika Ammu Ragab pedagang kedelai itu sudah pulang ia harus ke Pasar Attaba. Harga kedelai di Attaba lebih mahal dan kualiti kacang soyanya di bawah Sayyeda Zaenab. Dan ia sebagai pengeluar ingin memberikan yang terbaik kepada pelanggan. Terbaik dalam harga, juga terbaik dalam kualiti barang. Selisih harga sekecil apapun harus ia perhatikan. Ia memang berusaha professional mungkin. Meskipun cuma bisnes tempe.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia ingin memposisikan diri sebagai pengeluar tempe terbaik dan termurah. Ia berusaha memposisikan tempenya adalah tempe dengan kualiti kedelai nombor satu. Rasa nombor satu. Rasa khas tempe Candiwesi Salatiga yang sangat terkenal itu. Dan kelebihan lainnya adalah bentuknya paling besar di antara tempe yang lain, isinya paling padat, dan harganya paling murah. Inilah keunikan yang dimiliki hasil keluarannya. Keunikan inilah yang menjadi <span style="color: rgb(102, 102, 102);">positioning</span> bisnesnya. Dan ia akan terus mempertahankan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">positioning</span> ini terus terukir dalam benak para pelanggannya. Sehingga para pelanggan itu percaya penuh padanya dan pada produk produknya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Untuk menjaga hal itu memang perlu keseriusan dan kerja keras. Tidak hanya konsep dalam fikiran atau di atas kertas. Ia teringat satu ajaran dari Cina kuno : '<span style="color: rgb(102, 0, 204);">Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, jika kamu bekerja keras dan tidak tergesa gesa mati dulu.'</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ajaran itu senada dengan kata mutiara bangsa Arab yang sangat dahsyat : <span style="color: rgb(102, 0, 204);">Man jadda wajada. Siapa yang bersungguh sungguh berusaha akan mendapatkan yang diharapkannya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Bas terus berjalan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maaf, anda dari Indonesia ya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia mendengar suara perlahan di sampingnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya benar. Anda juga dari Indonesia?" Jawabnya tenang.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya. Maaf kalau boleh tanya kedai buku <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Daarut Tauzi'</span> itu di mana ya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sebentar." Ia melihat ke depan dan ke kiri jalan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Halte depan. Sebelah kiri jalan ada tulisannya. Pokoknya kira kira seratus meter dari Masjid Sayyeda Zaenab." Lanjutnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Terima kasih."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sama sama. Belum pernah ke Daarut Tauzi' ya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya, belum pernah. Biasanya saya beli buku di kedai kedai buku dekat kampus Al-Azhar Maydan Husein."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Setelah itu keduanya diam. Masing masing mengikuti fikirannya sendiri. Setiap kali bertemu dengan mahasiswi Indonesia Azzam terus teringat dengan kedua adiknya yang sudah gadis. Husna dan Lia. Husna pastilah sudah sampai waktunya untuk bernikah. Dan Lia telah meninggalkan waktu remaja. Genap sembilan tahun sudah, ia tidak bertemu mereka berdua. Adapun adiknya yang ketiga, si bongsu Sarah. sudah masuk usia sembilan tahun. Ia sama sekali belum pernah melihatnya, kecuali melalui gambar. Ketika ia meninggalkan Indonesia dulu, Sarah masih berada dalam kandungan ibunya. Seperti apakah wajah ketiga tiga adiknya itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Semoga ada jalan untuk pulang. Aku rindu pada mereka. Juga pada ibu," katanya dalam hati. Dan jalan pulang yang paling realitis baginya adalah membuat tempe sebanyak banyaknya dan berdoa semoga mendapatkan pesanan membuat bakso yang juga sebanyak banyaknya. Hasil dari usahanya itu akan ia gunakan membeli tiket. Jika kurang, semoga boleh minta bantuan ke Baituz Zakat yang bersyarikat di Muhandisin. Namun, sesungguhnya dalam hati ia ingin dapat membeli tiket sendiri tanpa minta bantuan kepada sesiapapun. Itu bererti ia harus benar benar membanting tulang dan memeras keringat.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Di samping itu semua, yang paling penting adalah, ia harus selesai Sarjana Muda tahun ini. Jika tidak, rancangan untuk pulang akan hancur musnah. Ia harus menahan rindu satu tahun ke depan. Dan ia tidak mahu hal itu terjadi.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Maka ia harus melakukan sesuatu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(102, 0, 204);">Kalau kamu ingin menciptakan sesuatu, kamu harus melakukan sesuatu!</span> Demikian kata Johann Wolfgang von Goethe yang pernah disinggung oleh Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq dalam kuliahnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sekali lagi ia harus melakukan sesuatu. Iaitu bekerja lebih tekun, belajar lebih serius, dan berdoa lebih serius. Tidak ada yang lain.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tidak terasa bas telah sampai di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Azzam perlu turun, kerana bas akan ke Terminal Abu Raisy dan tidak melalui pasar. Para penumpang turun. Lima orang mahasiswi itu turun, termasuk yang duduk di samping Azzam. Azzam yang paling akhir turun. Beberapa mahasiswi mwmandang ke kiri dan ke kanan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maaf Daarut Tauzi'-nya ke sana ya?" mahasiswi bertudung biru muda yang tadi duduk di sampingnya kembali bertanya padanya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Secara spontan Azzam memandang wajahnya sekilas. <span style="color: rgb(0, 0, 0);">Subhanallah</span>, cantik. Mahasiswi Indonesia Indonesia di Cairo ada yang cantik juga. Bahkan ia merasa belum pernah melihat wanita Indonesia secantik gadis bertudung biru muda ini. Azzam cepat cepat mengalihkan pandangannya. Lalu dengan memandang ke arah Daarut Tauzi', ia menjelaskan ke mana mereka harus melangkah dan bagaimana ciri ciri gedungnya. Kerana Daarut Tauzi' memang tidak terlalu kelihatan lazimnya seperti kedai buku. Sebab, tempatnya ada di tingkat dua sebuah gedung yang agak tua.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Syukran, ya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Afwan. Oh ya, sampaikan salam buat Hosam Ahmad. Penjaga Daarut Tauzi'?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Dari siapa?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Katakan saja dari thalib dzu himmah. Dia pasti tahu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baik. insya' Allah." Jawab gadis bertudung biru muda itu. Ia dan teman temannya menuju ke arah yang dijelaskan Azzam. Sementara Azzam segera bergegas ke pasar. Ia melalui jalan masjid. Pasar itu ada di sebelah selatan masjid.</span></span><br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Pasar Sayyeda Zaenab masih ramai orang meskipun tidak seramai ketika pagi hari, sebelum Zohor. Beberapa pedagang ikan dan daging ayam sudah mengemas tempat mereka. Dagangan mereka telah habis. Azzam terus menuju kedai Ammu Ragab. Ammu Ragab memang khusus menjual segala jenis tepung, kacang kacang dan beras. Ia menjual kacang jenis ful sudani, ful soya, adas dan sebagainya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Assalamu 'alaikum ya Ammu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wa 'alaikumussalam, oh anta ya Azzam. Kaif hal?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ana bi khair. Alhamdulillah. Andak ful shiya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Thab'an 'andi. 'Aisy kam kilo?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Khamsah wa 'isyrin kilo kal 'adah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam lalu menjelaskan sebentar. Kerana waktu sudah dekat Ashar, ia akan mengambil barangnya setelah solat Ashar. Setelah itu ia bergegas ke gerai penjual daging. Ia sudah pesan daging pagi tadi melalui telifon. Jika tidak pesan terlebih awal, jelas ia tidak akan mendapatkan daging yang diinginkan. Ternyata gerai penjual daging sudah siap tutup. Dagingnya juga telah habis.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kami masih buka kerana menunggu kamu Akhi." Kata Ibrahim yang kini menjalankan gerai daging milik ayahnya itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maaf. Saya sedikit terlambat." Jawab Azzam. Ia memang terlambat setengah jam mengambil pesanannya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ibrahim nampak sudah kemas dan bersih, tidak nampak kotor seperti penjual daging. Separuh gerainya sudah ditutup. Ia duduk di kerusi, di depan gerainya sambil membaca surat khabar.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ibrahim masih muda. Umurnya masih di bawah tiga puluh tahun. Ayahnya tidak boleh lagi bekerja kerana terkena penyakit stroke. Ibrahim anak sulung. Masih memiliki empat adik. Dua perempuan dan dua lelaki. Yang paling besar namanya Sami, kumudian Yasmin, Heba dan yang paling kecil bernama Samir. Dialah yang kini menjadi kepala rumahtangga. Ia bermati matian menanggung adik adiknya. Juga bermati matian menjaga mereka agar tetap memperoleh pendidikan yang sepatutnya. Semua adiknya bersekolah di Al-Azhar, kerana memang tidak ada yang lebih murah dari Al-Azhar.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Yang ia tahu, Sami baru saja selesai Fakulti Dirasat Islamiyyah. Yasmin tahun akhir di Kuliyah Banat Al-Azhar. Heba baru masuk kuliah. Dan Samir masih di Madrasah Ibtidaiyyah. Ibrahim sendiri lulusan Fakulti Syariah. Sebagaimana ia boleh akrab dengan mahasiswa Mesir bernama Khaled, ia boleh rapat dengan Ibrahim, juga kerana bertemu di masjid. Tepatnya Ramadhan dua tahun lalu, ketika i'tikaf dua hari di Masjid Amru bin Ash. Biasanya Ibrahim dibantu oleh Sami, tapi kali ini kelihatannya ia tidak ada.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mana Sami, kenapa tidak kelihatan?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sedang ada keperluan keluarga di Giza."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"O begitu. Kau tergesa gesa?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sebenarnya tidak. Tapi saya dan Heba harus segera menyusul Sami sebelum Maghrib tiba."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam lalu faham bahawa Ibrahim tidak mempunyai banyak waktu. Ia terus mengambil pesanannya dan membayar harganya. Azzam ingin segera beranjak, namun seorang gadis remaja bertudung khas Mesir datang dengan membawa dua gelas karikade dingin di atas dulang.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Minum dulu Akhi." Ibrahim mempersilakan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sekilas Azzam melihat gadis remaja itu menatapnya sambil mengangguk lalu masuk ke dalam. Ini adalah kali ketiga ia bertatapan dengan gadis remaja itu. Ia yakin itu adalah Heba. Kalau boleh jujur, ia harus mengakui, bahawa ia belum pernah melihat gadis secantik Heba. Cantik dan cerdas. Sebab Ibrahim pernah cerita, di usia tujuh tahun, Heba telah menghafal Al-Quran. Hal itulah yang membuatnya mempunyai keinginan terhadap adiknya yang paling kecil supaya boleh menghafal Al-Quran seperti Heba.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ibrahim mengambil gelas dan meminumnya. Tanpa banyak bicara, Azzam terus melakukan hal yang sama. Tujuh minit kemudian gelas itu telah kosong.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azan Ashar mengalun dari Masjid Sayyeda Zaenab.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Terima kasih Akhi. Saya pulang dulu," kata Azzam setelah itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maaf kalau kita tidak boleh banyak berbicara seperti biasa. Waktunya memang singkat. Jangan lupa doakan kami. Doa penuntut ilmu dari jauh yang ikhlas sepertimu pasti didengar Allah," tukas Ibrahim.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sama sama. Kita saling mendoakan."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam lalu bergegas kembali ke gerai Ammu Ragab dan menyimpankan dagingnya di sana. Ia hendak ke masjid solat Ashar dulu. Ia berjalan melalui lorong pasar. Terus ke tempat wudhu' masjid. Dan waktu kaki kanannya menginjak pintu masjid, sang mu'azzin melantunkan iqamat.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Selepas solat dan berzikir secekupnya, ia terus kembali ke pasar. Membeli bahan bahan untuk membuat bakso. Dan dengan langkah yang cepat, ia kembali ke gerai Ammu Ragab. Seorang pembantu Annu Ragab membantu mengangkatkan kacang soyanya ke pinggir jalan raya. Ia memang berbelanja cukup banyak dan berat. Ia merasa perutnya sangat lapar, tapi tidak ada waktu lagi buat makan siang. Nanti saja jika suda sampai rumah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tidak lama kemudian baas enam lima datang. Namun sudah penuh sesak. Ia tidak jadi naik. Jika ia tidak membawa barang pasti sudah naik. Seperempat jam berlalu dan bas enam lima berikutnya tidak juga datang. Tidak ada pilihan, ia harus juga menaii teksi. Tidak ada salahnya ia realistik. Duit biaya produksi dalam keadaan tertentu susah untuk ditekan. Yang jelas selama dalam perhitungan masih ada keuntungan sesuai dengan margin yang ditetapkan tidak jadi problem.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sebuah teksi melintas. Ia hentikan dan dengan cepat terjadi kesepakatan. Pemandu teksi membantu memasukkan barang barang perbelanjaan Azzam ke dalam bonet kereta. Azzam duduk di depan. Teksi melaju perlahan. Menyusuri Port Said Street. Pemandu teksinya seorang lelaki gendut setengah umur. Wajahnya bundar. Hidungnya besar. Rambutnya keriting kecil kecil. Khas keturunan Afrika. Kulitnya sedikit hitam, tapi tidak legam. Agaknya ia lelaki ramah :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kamu mahasiswa Al-Azhar ya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Benar, Paman."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Belajarlah dengan rajin agar tidak susah. Agar tidak jadi pemandu teksi seperti saya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Memamngnya jadi pemandu teksi susah, Paman?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Pemandu teksi malah bercerita :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kalau dulu saya rajin berlajar dan mahu kuliah, pasti sudah jadi pegawai bank dengan gaji tinggi dan tidak susah seperti sekarang. kalau saja..."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam terus sahaja memotong cerita itu. Ia tahu orang Mesir kalau cerita pasti akan ke mana mana. Kalau cerita bahagia akan melangit, kalau cerita susah akan sangat melankolis. Azzam tidka mahu dengar cerita itu. Ia sendiri juga sedamh susah. Maka dengan cepat ia memotong :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"E... Paman asal Cairo ya?" tanya Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ah tidak. Saya lahir di Sohag. Besar di Tanta dan bernikahdi Cairo."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sudah punya anak berapa, Paman?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baru satu dan baru berumur satu tahun."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Yah. Saya termasuk yang terlambat bernikah. Saya bernikah waktu berumur 46 tahun. Tahu sendiri. Bernikah di sini tidak mudah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ini bukan kali pertama Azzam mendengar cerita seperti ini. Di Mesir dan negara Arab lainnya, bernikah memang sangat mahal. Sehingga tidak sedikit tang terlambat bernikah. Golongan yang hanya cukup cukup, tapi tidak kaya, biasanya banyak terlambat. Baik lelaki mahupun perempuan. Justeru sekalian golongan yang miskin malah banyak yang bernikah muda. Mereka bernikah dengan sesama orang miskin, sehingga syarat syarat bersifat material sama sama dimudahkan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Banyak ulama Mesir yang menyeru supaya memurahkan mahar dan memudahkan syarat. Tapi seruan itu seperti angin yang belalu tanpa bekas. Si Ibrahim, penjual daging langganannya ingin sekali segera bernikah. Namun belum juga boleh ebrnikah kerana persoalan material.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya sarankan kamu jangan sekali kali punya fikiran menikah gadis Mesir." Gumam sang pemandu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kenapa, Paman?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Susah 99.9 peratus perempuan Mesir itu menyusahkan. Keluarga mereka juga menyusahkan."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ah biar betul, Paman."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Benar. Serius!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Termasuk isteri Paman?" Entah kenapa spontan ia bertanya begitu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya. Apalagi dia. Rasanya tidak pernah dia buat suami bahagia, kecuali saat bulan madu dulu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ah, Paman bohong. Tuan rumah saya di Hay El Ashir, seorang perempuan. Asal Mesir, Paman. Namanya Madam Rihem. Dia sangat baik. Kepada siapa saja. Kepada kami yang bukan ada hubungan dengannya, juga kepada para tetangga. Dia membuat kami bahagia, Paman. Dia sangat memahami jika kami lambat membayar wang sewa."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Dia masuk dalam kelompok 0.001 peratus. Sudahlah, percayalah padaku. Jangan sekali kali kamu berfikiran mahu menikah gadis Mesir. Saya dengar nikah di Asia Tenggara itu mudah. Perempuan perempuannya juga sangat taat pada suami. Kamu orang mana?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Indonesia, Paman."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Apalagi Indonesia. Sebaik baik manusia adalah orang Indonesia."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ah, Paman boleh saja basa basinya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Teksi terus melaju melewati Maydan Ahmad Maher.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya tidak basa basi. Saya serius. Tetangga saya yang baru naik haji tahun ini yang memberitahukan hal ini kepda saya. Ia melihat selama haji, jamaah haji yang paling lembut dan paling penurut adalah jamaah haji Indonesia."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam tidak tahu harus menjawab apa. Tiba tiba matanya menangkap sesuatu di depan. Dua mahasiswi Indonesia di pinggir jalan tidak jauh dari Museum of Islamic Art. Kelihatannya ada sesuatu dengan mereka. Kedua duanya duduk. Yang satu, yang bertudung coklat muda kelihatannya menangis. Sementara yang satunya, yang bertudung biru kelihatannya sedang berusaha menenangkan temannya. "Masya Allah, dia kan mahasiswi yang tadi duduk di sebelahku," lirih Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Paman, berhenti sebentar ya. Kelihatannya ada masalah dengan mahasiswi dari Indonesia itu." Pinta Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baik. Tapi jangan lama lama ya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baik, Paman."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam turun dan mendekati mereka berdua. Ia mendengar suara sesenggukan dari gadis bertudung coklat muda.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mmm, maaf Ukhti. Ada apa ya? Ada yang boleh saya bantu?" sapa Azzam sesopan mungkin. Beberapa orang Mesir melihat mereka. Gadis yang bertudung biru menjawab:</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kami kena musibah. Dompet Ukhti Erna ini dicuri. Tadi basnya penuh sesak. Kami berdiri berdekatan pintu. Saya melihat pencuri itu mengambil dompet Ukhti Erna. Saya menjerit. Si pencuri terus melompat dari bas dan lari. Saya minta bas berhenti dan minta orang orang membantu mengejar pencuri itu. Tapi mungkin pemandunya tidak mendengar, soalnya kami berada di pintu belakang. Kami baru boleh turun di halte depan. Kami lari ke sini kerana pencurinya tadi melompat di sini. Dengan harapan ada orang Mesir yang menangkapnya. Tapi jejaknya saja tidak ada. Padahal dalam dompet itu ada wang dua ratus lima puluh dolar dan tujuh puluh lima pound. Sekarang kami baru sedar kami tidak punya wang sama sekali. Kami tak boleh pulang. Wangku sendiri sudah habis untuk beli kitab."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam tahu kenapa mahasiswi itu sampai menangis. Dua ratus lima puluh dolar dan tujuh puluh lima pound itu sangat banyak bagi mahasiswa Indonesia di Cairo. Kalau bagi mahasiswa Brunei mungkin lain.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sudahlah diikhlaskan saja. Semoga diganti yang lebih baik oleh Allah. Oh ya, bukankah kalian tadi berlima atau berenam?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya tadi kami berenam. Ketika pulang kami berpisah di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Mereka berempat naik teksi ke Dokki, sementara kami naik bas enam lima."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kalau boleh tahu, kalian tinggal di mana?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Di Abdul Rasul."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Oh, baik. Kebetulan saya naik teksi. Tempat duduk belakang masih kosong. Kalian boleh ikut." Kata Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Erna, ayuh sudahlah, kita ikut dia saja." Tanpa bicara sepatah pun mahasiswi bernama Erna itu perlahan bangkit. Azzam berjalan di depan. Ia membukakan pintu teksi. Dua mahasiswi itu masuk. Azzam melihat dua mahasiswi itu tidak membawa apa apa, selain yang bertudung biru membawa beg sandang hitam kecil.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Lah, buku dan kitab yang dibeli mana?" Tanya Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tertinggal di dalam bas. Saat kami berdiri, kitab dalam beg plastik itu saya letakkan di bawah, kerana agak berat. Apabila saya melihat penjahat itu mencuri dompet Erna, saya sudah tidak ingat apa apa kecuali menjerit dan merebut dompet itu kembali. Dan ketika kami turun dari bas, kitab itu tertinggal di dalam bas." Jawab nahasiswi bertudung biru.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Oh ya sudah. Semoga boleh dikesan." Sahut Azzam sambil menutup pintu teksi. Teksi perlahan bergerak. Fikiran Azzam juga bergerak bagaimana mendapatkan kembali kitab itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kitab apa saja yang kamu beli kalau boleh tahu?" Dan dari belakang terdengar jawapan :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="color: rgb(102, 102, 102);">Lathaiful Ma'arif</span>-nya Ibnu Rajab Al Hanbali, <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Fatawa Mu'ashirah</span>-nya Yusuf Al-Qardhawi, <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Dhawabithul Mashlahah</span>-nya Al Buthi, <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Al-Qawaid Al Fiqhiyyah</span>-nya Ali An- Nadawi, <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Ushulud Dakwah</span>-nya Doktor Abdul Karim Zaidan, <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Kitabul Kharraj</span>-nya Imam Abu Yusuf, <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Al-Qamus</span>-nya Fairuzabadi dan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Syarhul Maqashid</span>-nya Taftazani."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam tidak berkomentar. Dari jawapan yang ia dengar, ia terus boleh memastikan tiga perkara. Pertama, jumlah harga kitab itu ratusan pound. Kedua, mahasiswi yang membeli kitab itu adalah orang yang sangat cibta ilmu. Ketiga, ia kemungkinan besar adalah mahasiswi Syari'ah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Basnya sudah lama jalan?" tanya Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kira kira lima belas minit yang lalu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tiba tiba sebuah idea berputar di kepalanya. Bas itu mungkin boleh dikejar jika teksi boleh memotong jalan. Apalagi bas itu padat. Pasti lebih lambat kerana akan banyak menurunkan penumpang. Itu jangkaannya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Paman boleh mengejar dan memotong jalan ke Masjid Nuril Kulliyatul Banat Nasr City?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tentu boleh. Kejar mengejar dan memotong jalan itu kebiasaanku waktu masih muda."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Lakukan itu, Paman, saya tambah lima pound."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tidak. Kalau mahu tampah sepuluh pound." Azzam berfikir sebentar.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baik."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dan seketika itu, teksi tersebut menambahkan kelajuannya. Azzam memperbanyakkan membaca shalawat. Sementara dua penumpang di belakangnya diam dalam rasa sedih berselimut cemas. Tidak ada yang mereka lakukan kecuali menyerahkan semuanya kepada Allah yang Maha Menentukan Takdir.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><br /></div></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-57522778726543045712010-06-01T10:45:00.007+08:002011-03-11T14:36:54.855+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (8) Siang di Kampus Maydan Husein<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><br /><div style="text-align: justify;"><style="text-align:><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-style: italic;">Dalam cbuk2 sempat gak aku kerah jemari aku nie utk hidangkan kisah seterusnya dlm KCB utk kalian... diharap yg masih mengikuti kisah ini dpt bersabar dgn kelembapan aku... Ha.. ape lg... pederas.. p baca... hehehee</span></span></span></style="text-align:><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;"><br /><br />SELEPAS</span> solat Zohor di Masjid Al-Azhar, Azzam melangkahkan kakinya menuju ke kampus Fakulti Ushuluddin, <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Al Azhar University</span>. Ia keluar masjid melalui pintu utara. Menyusuri kaki lima Al-Azhar Street yang melintas tepat di uatara masjid. Jalan raya itulah yang memisahkan Masjid Al-Azhar dengan pejabat Grand Syeikh Al- Azhar yang lama, pejabat yang biasa disebut Masyikhatul Azhar. Masjid Al-Azhar, Universiti Al-Azhar, pasar tradisional Al-Azhar, serta <span style="color: rgb(153, 51, 0);">Mustasyfa</span> Husein berada di sebelah selatan jalan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sedangkan </span><span style="color: rgb(102, 102, 102); font-style: italic;">Masyikhatul Azhar</span><span style="font-style: italic;"> yang lama, Masjid Sayyidina Husein, Khan Khalili, dan kedai buku paling popular di sekitar kampus Al-Azhar, iaitu Dar El Salam berada di sebelah utara jalan. Lalu lintas di jalan ini cukup padat. untuk menghubungkan kawasan utara dan selatan ada terowong bawah tanah yang tepat berada di halaman barat Masjid Al-Azhar. juga ada jambatan yang berada di sebelah barat kedai buku Dar El Salam. Kawasan ini, semuanya dikenali dengan Maydan Husein.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Masjid Al-Azhar, dan kampus Universiti Al-Azhar yang lama dikenali berada di kawasan Maydan Husein. Sedangkan kampus Al-Azhar yang baru, termasuk rektor Al-Azhar berada di Madinat Nasr atau dikenali juga dengan sebutan Nasr City. Sedangkan pejabat Grand Syeikh Al-Azhar yang baru berada tepat di sebelah selatan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Daarul Ifta'</span>.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(102, 102, 102);">Dararul Ifta'</span> adalah tempat di mana terletaknya pejabat Mufti Mesir. Keduanya berdiri tepat di tepi barat Shalah Salim Avenue, yang membentang dari kawasa Cairo lama, tepatnya dari kawasan malik El Shaleh, terus melintas di depan Benteng Shalahuddin hingga ke kawasan Abbasea. salah Salim Avenue, itu termasuk jalan raya yang paling terkenal di Cairo, kerana banyak melintasi daerah daerah penting dan bersejarah. Melintas di kawasan yang dianggap paling tua hingga kawasan yang dianggap metropolis.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Letak <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Masyikhatul Azhar</span> yang baru dari <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Daarul Ifta'</span> tidak begitu jauh dari kampus Al-Azhar, masih boleh ditempuh dengan berjalan kaki. Tepat di depan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Masyikhatul Azhar</span> yang baru dari <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Daarul Ifta'</span> terbentang perkuburan terluas di Cairo. Orang yang pertama kali datang ke cairo dan melalui daerah ini tidak akan terus tahau bahawa kawasan itu adalah perkuburan. Sebab banyak sekali bangunan berkubah. Beberapa bangunan malah ada yang mempunyai menara. Ternyata bangunan yang berkubah itu adalah kuburan para khalifah dan orang orang penting. Bagi umat islam, perkuburan ini adalah perkuburan tertua setelah perkuburan yang ada di sebelah timur Mesir lama atau Fusthath.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Di sebelah timur Mesir lama, ada daerah yang dikenali dengan sebutan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">City of The Dead</span>. Sebuah kawasan yang manyatu antara perkuburan dan perkampungan. Makam yang dikenali sebagai salah seorang guru Imamm Syafi'i juga ada di sini. Imam Zakaria Al-Anshari dan Imam Leits juga dimakamkan di sini. Bahkan makam Imam Hasan Al-Banna juga ada di sini. Kawasan ini dulunya, merupakan tempat tinggalnya para imam besar. Di sebelah utara daerah ini ada kawasan perkuburan raja raja Mameluk.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sedangkan perkuburan di depan Masyikhatul Azhar yang baru dari Daarul Ifta' dikenali sebagai tempat di semayamkannya Dinasti Qaitbay. Perkuburan ini dikelilingi oleh beberapa masjid bersejarah. Masjid Sultan Barquq ada di pinggir utara kawasan ini. Sedangkan Masjid Qaitbay ada di pinggir timur, tepat di samping jalan El Nasr. Dan di sebelah selatan, beberapa ratus meter di utara Benteng Shalahuddin berdiri Masjid Emir Khair Bey.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Kawasan ini, sekarang tidak sesuai sebagai kawasan perkuburan. Bangunan yang nampak seperti kotak kotak dan sebahagian berkubah yang memenuhi kawasan ini, banyak yang telah dijadikan sebagai tempat tinggal orang orang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Daerah ini mungkin dapat disebut kawasan paling aneh di Cairo, manusia yang masih hidup boleh sedemikian selesa dan rapatnya dengan jasad dan tulang belulang orang yang telah mati.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Daerah ini bahkan kini hampir mirip perkampungan. Namun fungsinya sebagai tempat menguburkan orang yang meninggal dunia juga masih berjalan. Hampir semua mahasiswa Asia Tenggara yang tinggal di Nasr City jika pergi kuliah ke Al-Azhar pasti akan melalui daerah ini.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Bagi mahasiswi Indonesia yang berasal dari Solo, atau sangat faham dengan Solo, setiap kali melintasi kawasan ini akan diingatkan dengan kawasan pemakaman terluas di Solo, iaitu makam Bonoloyo. Memang tidak serupa. Paling tidak, diingatkan akan adanya manusia yang tinggal sehari hari di makam Bonoloyo. Makan dan tidur di Bonoloyo. Sehari hari hidup di atas kuburan. Hal itulah paling tidak titik persamaan keduanya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia masuk <span style="color: rgb(102, 102, 102);">area</span> kampus melalui pintu gerbang sebelah barat. Seorang <span style="color: rgb(153, 51, 0);">duf'ah</span> berseragam putih tersenyum padanya. Ia membalas dengan senyuman seraya mengucapkan salam. Ia terus melangkah menuju gedung Fakulti Ushuluddin. Ia berjalan menuju tempat penjualan muqarrar, atau buku nota kuliah. Buku muqarrar Tafsir Tahlili masih kurang satu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tempat penjualan muqarrar Fakulti Ushuluddin itu tidak lain adalah bangunan kecil berukuran kira kira 2 x 2 meter. terbuat dari kayu dan papan. Dicatkan dengan warna hijau. Sangat sederhana untuk nama besar Al-Azhar, sebagai universiti tertua dan paling berpengaruh di dunia Islam. Seorang penjaga berada di dalamnya. tempat itu mirip warung penjual rokok dan makanan kecil di pinggir pinggir jalan di Indonesia. Ada pintu kecil tempat penjaga itu keluar masuk dan ada tingkap tempat melayani mahasiswa yang membeli muqarrar.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tempat penjualan muqarrar itu agak sepi. hanya satu dua mahasiswa yang membeli. Memang menjelang akhir semester, hampir semua mahasiswa telah memegang muqarrar. bahkan muqarrar itu mungkin telah habis dibaca. Kecuali beberapa mahasiswa yang memang terlambat beli muqarrar, termasuk dirinya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Buku kedua muqarrar Tafsir Tahlili sebenarnya sudah keluar sebulan yang lalu. Namun ia belum sempat untuk mengambilnya. Kerana keadaan peribadinya menghalanginya untuk membolehkannya benar benar aktif ke kuliah seperti mahasiswa Al-Azhar pada umumnya. Kesibukan hariannya membuat tempe dan memasarkannya nyaris menyita hampir sebahagian waktunya di Cairo. Apalagi jika ada order membuat bakso atau satay ayam dari bapak bapak atau ibu ibu KBRI hampir ia tidak dapat menyentuh buku, termasuk buku muqarrar yang semestinya ia sentuh. Kecuali Al-Qur'an, dalam sesibuk apapun tetap merasa perlu menyentuhnya, membacanya meskipun cuma setengah halaman, lalu menciumnya dengan penuh rasa ta'zim dan kecintaan. Ia merasa, dalam perjuangan beratnya di negeri orang, Al-Qur'an adalah pelipur dan penguat jiwa.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sampai di depan tingkap tempat penjualan muqarrar, ia mendongak. Sang penjaga sedang menulis sesuatu di atas kertas. Angka angka. Mungkin menghitung wang yang masuk bulan itu, serta membahagi hasilnya kepada para pensyarah penulis muqarrar. Ia nampak begitu serius sehingga tidak menyedari kehadirannya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Assalamu'alaikum ya</span> Ammu <span style="color: rgb(0, 0, 0);">Shabir</span></span>. Sapanya dengan nada nyaris sama dengan nada orang Mesir asli. Ia sangat kenal nama penjaga itu, meskipun mungkin sang penjaga tidak mengenalinya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Wa'alaikumussalam.</span> lahzdhah</span>. Ammu Shabir menjawab tanpa melihat ke arah datangnya suara.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia tahu <span style="color: rgb(51, 0, 0);">Ammu Shabir</span>, penjaga buku muqarrar sedang serius, tidak boleh diganggu. Ia menunggu sambil melihat lihat beberapa buah buku yang dipamer di daun tingkap tempat penjualan muqarrar. Yang dipamir biasanya buku bnuku terbaru karya pensyarah pensyarah Al-Azhar University atau buku penting yang diulang cetak. Ia perhatikan buku buku baru itu dengan teliti.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Prof. Dr. Abdul Muhdi Abdul Qadir Abdul Hadi, Guru Besar Hadith Fakulti Ushuluddin mengeluarkan buku baru yang sangat menarik, <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Ahaditsu Mu'jizatir Rasul</span>, terdiri atas dua juz, dicetak oleh Mathba'ah Al-Madani, kulit sampul bukunya cukup sedap dipandang. Buku yang disebut sebut juga sebagai salah seorang murid Syeikh Nashiruddin Al-Albani ini termasuk yang banyak diminati. Kepakarannya di dalam bidang sanad dan diiringi kematangannya dalam <span style="color: rgb(102, 102, 102);">fiqhul hadits</span>-lah yang membuat karya karyanya dianggap sangat bermutu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dalam hal <span style="color: rgb(102, 102, 102);">fiqhul hadits</span> bahkan banyak yang berpendapat bahawa beliau lebih matang dibandingkan dengan gurunya, Syeikh Nashiruddin Al-Albani sekalipun. Prof. Dr. Thal'at Muhammad Afifi Salim, Guru Besar Fakulti Dakwah, menulis buku baru berjudul : '<span style="color: rgb(102, 102, 102);">Akhlaqut Du'at Ilallah, An Nadhariyyah wat Tathbiq</span>.' Buku itu berwarna biru tua. Judulnya ditulis dengan warna kuning keemasan. Diterbitkan oleh Maktab Al-Iman, penerbit yang bermarkas di belakang kampus Al-Azhar, di sebuah lorong sempit, dikenal dengan harganya yang selalu murah dari yang lain.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sementara Sang Maestro Ilmu Tafsir Universiti Al-Azhar, Prof. Dr. Ibrahim Khalifah mengeluarkan buku '<span style="color: rgb(102, 102, 102);">Ad Dakhil fit Tafsir</span>', diterbitkan oleh Fakulti Ushuluddin. Buku tersebut bersampul putih bersih tanpa hiasan apa pun. Buku maestro tafsir ini, meskipun tanpa hiasan dan reka bentuk sampul yang memikat, tetap menunjukkan kelasnya. Nama Ibrahim Khalifah adalah jaminan kualiti.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Prof. Dr. Hamid Zaqzuq, Ketua Jabatan Falsafah, lulusan Muenchen University, Jerman, yang dikenali pakar Orientalis menerbitkan kembali bukunya berjudul '<span style="color: rgb(102, 102, 102);">Al-Istisyraq wal Khalfiyyah Al-Fikriyyah LishShira</span>' Al-Hadhari', diterbitkan oleh Dar El Manar, penerbit yang bermarkas di samping Masjid Sayyidina Husein.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia memandang buku buku itu dengan mata berkaca kaca. Ingin sekali rasanya memiliki buku buku baru itu, lalu membacanya dengan penuh tumpuan seperti tahun pertama hidup di Mesir dulu. Tahun pertama yang indah. saat ia dapat menggunakan waktunya untuk belajar, boleh melampiaskan o<span style="color: rgb(153, 51, 0);">bsesi</span>nya membaca buku sebanyak banyaknya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dulu, waktu ia tidak harus membanting tulang dan memerah keringat dan otak untuk mempertahankan hidupnya dan adik adiknya di Indonesia. Ia hanya berdoa, semoga kesempatan untuk belajar dan membaca dengan serius itu datang lagi, suatu hari nanti. Dan semoga waktu yang ia jalani selama di bumi Kinanah ini tetap diberkahi ole Dzat yang mengatur hidup ini.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">"</span><span style="color: rgb(153, 51, 0);">Na'am ya Andonesia, Enta 'ais eh?</span><span style="color: rgb(153, 51, 0);"><span>"</span> </span><span style="color: rgb(153, 51, 0);"> </span>Suara penjaga mengganggu keasyikannya melihat buku buku yang terpamir di daun tingkap tempat penjualan muqarrar.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mugarrar Tafsir Tahlili juz dua, jurusan tafsir, tahun empat." Ia menjelaskan spesifikasi buku muqarrar yang ia maksudkan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mana juz pertamanya, kamu bawa?" Ia membuka beg galasnya, dan mengeluarkan buku berwarna biru muda.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ini."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sang penjaga lalu membuka halaman paling akhir. Ia mencoret stempel bertuliskan 'masih ada juz kedua' dengan pen berwarna merah. Kemudian mengambil sebuah buku yang juga berwarna biru muda.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">"Tafaddhal, kudz dza ya Andonesi."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia merima dua buah buku yang dihulurkan oleh penjaga, dan memeriksa sebentar. Tidak perlu membayar lagi, sebab ia telah membayarnya ketika membeli juz satu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">"Syukran ya Ammu."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">"Afwan."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Lalu ia melangkah menaiki anak tangga di depan pintu masuk. Di sana ia mendapati pengumuman ditulis dengan marker warna hitam dan biru. Pengumuman sidang terbuka ujian disertai doktor seorang mahasiswa jurusan hadith dari Syria. Ia baca pengumuman itu dengan teliti. Matanya berkaca kaca. Ia tidak sanggup membayangkan, mungkinkah suatu saat nanti namanya ditulis dalam sebuah pengumuman seperti itu. Pengumuman yang membanggakan, untuk diri sendiri dan bangsa. Pengumuman yang dibaca oleh mahasiswa dari pelbagai penjuru dunia. Ia hanya boleh mengharap, kemudian pasrah pada takdir. Boleh lulus Sarjana Muda tahun ini saja sudah alhamdulillah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dulu di awal tahun masuk Al-Azhar, ia mungkin adalah seorang mahasiswa Indonesia yang paling banyak idea. Setelah namanya tercatat sebagai mahasiswa Al-Azhar, Fakulti Ushuluddin, dan apabila ia terima kad mahasiswa, seketika itu ia isytiharkan sebuah cita cita :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">AKU TIDAK AKAN PULANG KE INDONESIA SEBELUM MENDAPAT GELARAN DOKTOR. DAN AKAN AKU BUKTIKAN PRESTASI TERBAIK SEBAGAO DOKTOR TERCEPAT DI AL-AZHAR!</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Waktu itu ia terus teringat nama nama besar kelulusan Fakulti Ushuluddin, Universiti Al-Azhar. nama nama yang sangat terkenal di dunia Islam, iaitu; Syeikh Abdul Halim Mahmud, Syeikh Muhammad Ghazali, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi, Syeikh Abdullah Darraz, Prof. Dr. M. Al-Azami, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Prof. Dr. Hamid Zaqzuq, Prof. Dr. Abdul Muhdi, dan sebagainya. Sementara dari Indonesia ada nama yang sangat terkenal, iaitu Prof. Dr. M. Quraish Shibab dan Prof. Dr. Roem Rowi. Mereka berdua adalah dari Fakulti Ushuluddin Al- Azhar University.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia masih ingat, dulu, di atas meja belajarnya ia menulis semboyan yang membuatnya selalu bersemangat, semboyan yang selalu membuatnya merasa optimis. AKU HARUS MENGUKIR SEJARAH! Ia lalu menulis nama nama besar itu dan di barisan paling akhir, ia menulis namanya sendiri; Prof. Dr. Khairul Azzam, M.A. Ia tidak prnah mempedulikan beberapa respon yang negatif dri teman temannya atas sikapnya itu. Baginya itu adalah sebahagian dari stateginya untuk menjaga semangat belajar dan mengejar cita citanya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia tersenyum sendiri mengingat itu semua. Kini semuanya jadi kenangan manis. Ia sangat sedar, betapa jauhnya ia saat ini dari cita citanya. Semuanya telah berubah. Ia tidak boleh lagi menumpukan seratus peratus pada kuliah. Saat ini tumpuannya lebih banyak tercurah bagaimana mencari wang untuk hidupnya sendiri di Cairo, juga terus menanggung hidup adik adiknya di Indonesia. Ia lebih banyak pergi ke Pasar Sayyeda Zaenab untuk membeli bahan asas nenbuat tempe dan bakso daripada ke kampus untuk menghadiri kuliah dan mendengar huraian ilmiah para pensyarah yang seseungguhnya sangat sangat ia cinatai.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tidak terasa matanya berkaca kaca. Dengan cepat ia mengesat airmatanya yang mahu keluar. Kenapa ia harus menitiskan air mata. Apa yang harus ditangisinya. Ia terus tersedar, kejayaan sejati tidaklah semata mata hanya dapat diraih dengan meraih gelaran Professor Doktor. dan kebahagiaan sejati tidak harus berupa nama besar yang disebut di mana mana. Ia harus tahu siapa dirinya dan seperti apakah keadaan dirinya agar tidak menzalimi dirinya sendiri.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Lalu ia masuk ke gedung Fakulti Ushuluddin. Beberapa mahasiswa lalu lalang. Ada yang turun dari tingkat atas, ada yang mahu naik ke atas. Ada yang baru dari bahagian kemahasiswaan, dan ada yang bergegas keluar mahu pulang. Ketika ia mahu naik ke tingkat satu, sekonyog konyong ia mendengar seseorang memanggil nama terkenalnya di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kang Insinyur!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia menoleh ke arah datangnya suara. Seseorang melangkah ke arahnya sambil tersenyum. Ia pun tersenyu,. Ia tidak pernah protes dipanggil 'Kang Insinyur', atau 'Kang Ir.', terkadang ada juga yang membahasa arabkan jadi 'Kang Muhandis'. Tapi oarang orang serumahnya biasa memanggil 'Kang Azzam'.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Pada mulanya panggilan insinyur adalah panggilan gurauan dari teman teman satu angkatan, kerana kepintarannya membuat tempe dan bakso. Mereka menyebutnya insinyur tempe bakso, seringkali disingkatkan Ir. tempe atau Ir. Bakso. Lama lama tinggal insinyur. Tempe dan baksonya tidka ada. Dan setiap kali ada sesuatu majlis, dia selalu dikenalkan dengan nama 'Kang Insinyur Khairul' atau 'kang Insinyur Irul'.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sekarang panggilan insinyur jadi kebanggaan sekaligus hiburan baginya. Seringkali ia mendapat undangan dari organisasi kekeluargaan dan di sana tertulis : Yth. Kang Ir. H. Khairul Azzam. Siapa tidak bangga tanpa sekali difakulti teknik sudah dapat gelaran Ir. alias Insinyur.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Apapun kata orang tentang dirinya, selama ia merasa dirinya tidak berbuat yang dilarang Allah, ia tidak pernah peduli. Dalam hal ini ia selalu dimotivasi oleh perkataan Pythagoras, seorang ahli falsafah dan ahli matematik Yunani yang hidup 580 - 500 S.M. Pythagoras pernah berkata :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">'Tetaplah puas melakukan perbuatan yang baik. Dan biarkanlah orang lain membicarakan dirimu sesuka hati mereka'.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Hei, kami ke Mif, <span style="color: rgb(153, 51, 0);">piye kabarmu</span>?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Alhamdulillah, baik baik saja Kang." Kedua duanya lalu berjabat tangan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tumben kuliah Kang?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tidak kuliah kok Mif. Ini baru datang. Ambil muqarrar. Terus mahu menemui si Khaled, anak Mesir yang satu kelas denganku. Mahu minta tahdid. Aku berjanji dengannya di mushalla.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kang, ada berita menarik?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Apa dia? Malam nanti ada Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi di <span style="color: rgb(153, 51, 0);">Darul Munasabat</span> Masjid Utsman bin Affan, Heliopolis. Kalau mahu datang, solat Maghrib di sana. Tempat terbatas. Kamu kan pengkagum habis Yusuf Al-Qaradhawi."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tidak tahu lagi ya Mif, boleh datang atau tidak malam nanti."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sayang la Kang, kalau tidak datang. Apa lagi selain Syeikh Yusul Al-Qaradhawi, ada Prof. Dr. Murad Wilfred Hofmann, Mantan Dubes Jerman untuk Maroko yang masuk Islam dan kini menjadi pembela Islam di Eropah. Temanya tentang <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Umat Islam dan Tatanan Dunia Baru</span>."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wis, doakan saja boleh datang Mif, eh itu yang kamu pegang apa Mif, tashdiq ya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya Kang, ini tinggal minta dishop."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Cari Tashdiq untuk apaMif? Mahu umrah?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bukang Kang. Ini untuk memperpanjangkan visa. Bulan depan habis."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Oh, kiranya mahu pergi umrah lagi. Kalau umrah lagi kan boleh kirim."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Doakan Kang, habis ujian nanti saya mahu umrah insya Allah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Masih boleh kirim kan?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sama Miftah beres deh Kang. Saya jalan dulu Kang, mahu mengechop ini. Nanti segara tutup bahagian chop. Ketemu di Heliopolis malam nanti Kang."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Semoga. Salam untuk teman teman di Darmalak ya Mif."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Insya' Allah, Kang.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia mengiringi langkah Miftah dengan senyum. Miftah, empat tahun yang lalu , dia yang menjemput di Bandara. Dia juga yang membimbingnya empat bulan pertama hidup di Mesir. Setelah itu pindah ke Darmalak bersama abang abang kelasnya dari Pesantren Maslakhul Huda, Pati.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Kini Miftah sudah di tahun akhir sama dengan dirinya. Selama ini hubungannya dengan teman teman dari Pati di Darmalak ibarat seperti saudara. Miftah sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Hanya saja kesibukannya membuat tempe sekaligus memasarkannya ke pelbagai tempat di Kota Cairo, membuatnya tidak punya banyak waktu untuk bersilaturrahim.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia sendiri mengakui, bahawa silaturrahimnya ke Darmalak seringkali dilakukannya apabila ada teman Darmalak yang mahu pergi umrah atau haji. Atau saat ada yang datang dari umrah atau haji. Ia seringkali mengirim dibelikan ragi di Tanah Suci. Di Mesir, ia telah mencari ke sana kemari, tidak ada yang menjual ragi yang merupakan bahan utama untuk membuat tempe.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Selain ragi, ia juga biasanya mengirim kicap dan sos yang sangat penting baginya dalam menyajikan baksonya ketika dipesan orang orang KBRI. Kicap juga tidak boleh ia tinggalkan ketika membuat sata ayam. Dan ia tidak boleh menggunakan sembarangan kicap. Kicap Cap Jempol buatan Boyolali yang ia anggap paling sesuai untuk racikan bahannya. Dan kicap Cap Jempol itu tidak boleh ia dapatkan di Mesir. Kicap itu boleh didapatkan dari kedai Asia, dekat Pasar Seng di Makkah. Teman teman yang pergi umrah atau hajilah yang menjadi penolongnya dalam mendapatkan kicap Cap Jempol itu. Biasanya sebagai ucapan terima kasih dia akan membawakan beberapa lembar temper untuk mereka.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Di Cairo, tempe termasuk makanan istimewa bagi mahasiswa Indonesia. Sama istimewanya dengan daging ayam. Bahkan jika disuruh memi;ih antara telur dan tempe, banyak mahasiswa Indonesia yang lebih memilih tempe.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia terus melangkah menuju ke surau. Ada yang menyesak dalam dada. Khabar adanya ceramah Dr. Yusuf Al-Qaradhawi yang datang dari Qattar bersama Dr. Murad Wilfred Hofmann di Heliopolis memaksakan keinginannya untuk hadir, tapi ia merasa itu amat sukar. Ulu hatinya seperti tersusuk paku. Pedih dan ngilu. Ia harus bersabar dengan pekerjaan rutinnya menghantar tempe ke beberapa tempat. Masakin Utsman, Abbas Aqqad, dan Hay El Thamin. Paling sepat selesai jam sembilan malam. Ia tidak mungkin mengejar ke Heliopolis.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Matanya kembali berkaca kaca. Ada yang terasa menyesak dalam dada. Sebenarnya ia sangat ingin bertemu terus dengan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Ulama moderat keluaran Al-Azhar yang sangat <span style="color: rgb(102, 102, 102);">brilliant</span> pemikiran pemikirannya. Ia juga sangat ingin bertemu Prof. Dr. Murad Wilfred Hofmann. Bukunya berjudul <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Islam fil Alfiyyah Ats Tsalitsah</span> atau <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Islam di Millineum</span>. Ketiga, yang sempat ia baca dua puluh lima halaman sahaja itu sangat mengesan di hatinya. Dan ia harus rela menelan rasa pahit. Keinginannya yang sesungguhnya sangat besar itu harus ia simpan rapat rapat di dalam satu ruang mimpinya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Itu bukan rasa pahit yang pertama ia rasakan. Telah berkali kali ia merasakan hal seperti itu. Ia hanya berharap semoga suatu hari kelak, Allah memberikan gantinya. Jika pun ia harus pulang ke Tanah Air nanti dengan bekalan yang cukup cukupan, kerana hari harinya lebih banyak ia habiskan dengan usaha berjualan tempe, bakso dan sate daripda membaca kitab, menghadiri kuliah, seminar dan diskusi. Ia berharap yang cukup cukupan, yang sedikit itu barkah dan bermanafaat. Harapan itulah yang menghiburkan hatinya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia terus melangkahkan kakinya menuju mushalla fakulti. Ia berharap semoga Kgaled, mahasiswa Mesir itu masih berada du mushalla. Biasanya majasiswa berwajah putih bersih dari Desa Sunhur yang terletak antara Kota El Faiyum dan Danau Qarun itu <span style="color: rgb(153, 51, 0);"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">me</span>muraja'ah</span> hafalan Qurannya di mushalla. Setiap hari habis solat Zohor. Ia rapat dengannya sejak berkenalan dengannya di dalam majlis i'tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan di Masjid Ar-Ridhwan, Hayyu Tsabe tahun lalu. Sudah beberapa kali Khaled mengunjungi flatnya dan sudah dua kali ia diajak Khaled ke desanya sekaligus melihat Danau Quran yang letaknya hanya beberapa kilometer dari desabya. Tempat yang kini wujudnya danau itu diyakini sebagai tempat ditenggelamkannya seluruh harta Qarun ke dalam bumi oleh Allah kerana Qarun mengingkari nikmat Allah. Danau itu kini menjadi salah satu tempat pelancongan yang cukup terkenal di Mesir.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia terus nelangkah. Mushalla ada di depan mata. Tiga mahasiswa dari Rusia keluar dari mushalla. Seorang mahasiswa dari Rusia keluar dari mushalla. Seorang mahasiswa berkulit hitam sedang menanggalkan kasutnya. Masih ada jamaah yang sedang solat. Ia masuk dengan tenang. Hatinya senang ketika matanya menangkap sosok berjalabiyah putih dan berkopiah putih duduk di salah satu sudut mushalla menghadap kiblat. Matanya terpejam dan mulutnya terkumat kamit melantunkan ayat ayat suci Al-Qur'an dengan irama cepat. Ia mendekat. Benar dugaannya. Sosok itu adalah Khaled.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia meletakkan beg, dan duduk di sbelah Khaled. Punggungnya ia rebahkan ke dinding surau. Kedua kakinya ia lunjurkan. Ia menarik nafas perlahan. Memejamkan mata. Lalu larut khusyuk mendengarkan bacaan ayat ayat suci Al-Qur'an. Bacaan yang cepat, fasih dan sedap didengar. Tidak keras juga tidak lirih. Ia menyemak dengan sepenuh hati. Kesejukan yang tiada terkira. Kesejukan yang melebihi embun pagi musim bunga.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sepuluh minit kemudian bacaan ayat ayat Ilahi itu berhenti. Ia membuka mata dan menyapa :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Assalamu'alaikum ya Akhi." Khaled menoleh ke arahnya. Sedikit terkejut.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wa'alaikumussalam wa rahmatullah. Masya Allah, Akhi Azzam, sudah lama?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Khaled selalu menyambutnya mesra dan selalu memanggilnya dengan sebutan akhi di depan namanya Azzam. Itulah nama yang ia kenalkan pada Khaled saat pertama kali kenalan tiga tahun yang lalu. Setiap kali Khaled memanggil namanya, ia merasakan ada keakraban yang kuat terjaga.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ada sedikit waktu untuk berbincang, Akhi Khaled?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tentu, denga senang hati. Seluruh waktuku untukmu. Akhi."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Boleh dijelaskan tahdid yang telah ada. Mana mana muhim, muhim jiddan, makhdzuf, dan mana yang <span style="color: rgb(102, 102, 102);">qira'ah faqad</span>?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Dengan senang hati, ya <span style="color: rgb(153, 51, 0);">Siddi</span>."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Khaled lalu membuka buku catatannya, dan menjelaskan kepada Azzam <span style="color: rgb(102, 102, 102);">tahdid</span> semua mata kuliah yang telah ia dapatkan selama mengikuti kuliah. Ia menjelaskan satu persatu dengan sempurna dan sabar. Ia juga memberi kesempatan kepada Azzam untuk bertanya. Dan semua pertanyaan itu, ia jawab dengan panjang lebar, sampai Azzam merasa puas.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ada hal lain yang boleh saya bantu ya Syeikh Azzam?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Cukup, insya' Allah. Jangan ambil hati kalau saya tanya ini itu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="color: rgb(153, 51, 0);">Ana fi khidmatik ya Siddi</span>."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="color: rgb(153, 51, 0);">Jazaakallah khairan</span>."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sekarang giliran saya. Sebenarnya sejak dua hari yang lalu aku mencarimu untuk suatu urusan. Boleh kan saya menyampaikan sesuatu padamu?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Dengan senang hati jika ada yang boleh saya bantu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Masih ingat kunjunganmu ke kampungku dua bulan yang lalu?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya. Kunjungan yang menyenangkan. Kampung yang mententeramkan. Dan sambutan yang hangat dan penuh persaudaraan. Saya sangat terkesan. Jazakumullah khaira."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ingat ketika engkau ku bawa ke rumah Syeikh Abbas."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Yang Imam masjid itu?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tepat."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ingat waktu kita dijamu di runahnya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Masya Allah, jamuan yang tidak akan pernah saya lupakan. Keluarga yang ramah dan sangat berpendidikan."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ingat seseorang yang menyajikan makanan dan minuman."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Isteri Syeikh Abbas dan seorang perempuan berpurdah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kau tahu siapa perempuan berpurdah itu?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mungkin puteri beliau."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tepat."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ada apa dengan puteri beliau?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Begini, saudaraku.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Belum sempat Khaled menjelaskan lebih lanjut, seorang mahasiswa Mesir memakai jubah seragam khas Al-Azhar memanggil Khaled dari pintu mushalla :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya Khaled, <span style="color: rgb(153, 51, 0);">sur'ah</span>!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ada apa?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Doktor Yahya memanggilmu di ruang kerjanya. Kau harus ke sana sekarang. Penting!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sekarang?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya cepat. Beliau tergesa gesa mahu ada urusan!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mmm. Baik."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Khaled memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam beg. Lalu berkata perlahan : "Akhi Azzam, afwan, saya tinggal dulu. Kita lanjutkan pembicaraan kita di lain kesempatan ya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Oh ya baik. Salam buat Dr. Yahya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Insya' Allah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Khaled bergegas keluar. Sementara Azzam, ia terperuk di mushalla dengan sebahagian hati didera penasaran; apa sebenarnya yang akan dibicarakan Khaled tentang puteri bongsu Syeikh Abbas itu? Sementara sebahagiab hatinya yang lain telah mengembara di Pasar Sayyeda Zainab. Ya, ia harus ke sana untuk membeli bahan utama membuat tempe dan bakso. Ia harus ke sana jika ingin tetap hidup dan menyelesaikan kuliah di Cairo.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">******</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">Penterjemahan :<br /><br /><br />1. Mustasyfa - hospital<br /></span><span style="color: rgb(153, 51, 0);">2. Dufah - tentera wajib</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">3. Lahzdhah - sebentar</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">4. Ammu - pakcik</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">5. Obsesi - fikiran yang selalu mengganggu ingatan yang sukar sekali dihilangkan dari kenangan atau ingatan</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">6. Na'am ya Andonesi, Enta 'ais eh? - orang Indonesia, apa yang kau inginkan</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">7. Tafaddhal, kudz dza ya Andonesi - silakan, ambil ini hai orang Indonesia</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">8. Syukran ya ammu - terima kasih, pakcik<br />9. Piye kabarmu? - apa khabar<br />10. Darul Munasabat - gedung serba guna<br /></span><span style="color: rgb(153, 51, 0);">11. Muraja'ah - mengulang kaji hafalan Al-Qur'an agar tidak lupa</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">12. Siddi - Tuanku</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">13. Ana fi khidmatik ya Siddi - saya selalu siap membantumu, Tuanku</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">14. Jazaakallah khairan - semoga Allah membalas (kebaikanmu) dengan kebaikan</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">15. Sur'ah - cepat</span><br /></span></span><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-3618224121399360832010-05-19T11:40:00.006+08:002010-06-01T10:42:47.480+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (7) SMS Untuk Anna<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><div><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-style: italic;">Errmmm bab nie ada ckit boring a... meleret2... Apa2 pun anda punya nilaian sendiri... Teruskan membaca....</span></span></span><br /></div><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;">GADIS</span> itu berjalan dengan hati berselimut cinta. Hatinya berbunga bunga. Siang itu, Cairo ia rasakan tidak seperti biasanya. Musim dingin yang sejuk, matahari yang ramah, serta senyum dari Professor Amani saat memberinya ucapan selamat dan doa barakah. Semua melukiskan suasana indah yang belum pernah ia rasakan sebelumya. Ia merasakan begitu dalam rahmat dan kasih sayang Allah kepadanya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia berjalan dengan hati berselimut cinta. Kedua matanya basah oleh airmata haru dan bahagia. Itu bukan kali pertama ia menangis bahagia. Ia pernah beberapa kali menangis bahagia.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Dulu apabila kedua kakinya untuk pertama kalinya menginjak tanah Mesir, ia menangis. Juga saat berjaya lulus B.A., dua tahun yang lalu dengan pangkat <span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 102, 102);">mumtaz</span>, atau <span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 102, 102);">summa cumlaude</span>. Ialah mahasiswi dari Asia Tenggara pertama yang berjaya meraih prestasi ini. Ia juga menangis penuh rasa syukur ketika berjaya lulus ujian tahun kedua Pasca-Sarjana. Lulus setelah melalui ujian tulis dan ujian lisan yang berat. Dalam ujian lisan ia harus berhadapan dengan empat professor. Lulus juga dengan darjat <span style="font-weight: bold;">mumtaz</span>, sehingga ia berhak untuk mengajukan judul tesis. Saat itu ia merasakan betapa dekatnya Allah 'Azza wa Jalla. Betapa sangat sayang Allah kepadanya. Doa dan usaha kerasnya sentiasa diijabahi olehNya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Dan hari ini, ia kembali menangis. Menangis bahagia. Hatinya dipenuhi keharuan luar biasa. Batinnya terus bertasbih dan bertahmid. Jiwanya mengalunkan gerimis. <span style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: bold;">Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhanna Rabbiyal a'la wa bihamdih</span><span style="color: rgb(102, 0, 204);">...</span> ia bertasbih. Proposal tesisnya terus diterima tanpa menunggu waktu yang lama. Hanya satu bulan saja sejak proposal tesisnya itu ia ajukan ke <span style="color: rgb(153, 51, 0);">Qism Diraasat </span><span style="color: rgb(153, 51, 0);">'Ulya</span>.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia kembali menangis. Ia kembali teringat kata kata abahnya tercinta :</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Anakku, alangkah indah jika apa saja yang kau temui. Apa saja yang kau rasakan. Suka, duka, nikmat, musibah, marah, lega, kecewa, bahagia. yang pentingnya apa saja, anakku. Boleh kau hubungkan dengan akhirat, dengan hari akhir. Dengan begitu, hatimu akan sangat peka dan lembut. Selembut namamu. Dan tingkah lakumu juga akan tertib, setertib namamu!"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Wajah abahnya seperti di depan mata. Waktu itu ia binggung dengan maksud menghubungkan yang ditemui dan dirasakan dengan akhirat. Abah sepertinya tahu akan kebingungannya, maka abah terus menyambung :</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Begini anakku, jika suatu ketika kau dimurkai ibumu misalnya, carilah sebab kenapa kau dimurkai ibumu. Hayati perasaanmu saat itu, saat kau dimurkai. Ibumu murka kemungkinan besar kerana kau melakukan suatu kesalahan, yang kerana kesalahanmu itu ibumu murka. Dan saat kau dimurkai pasti kau merasakan kesedihan, bercampur ketakutan dan juga penyesalan atas kesalahanmu. Itulah yang kau temui dan kau rasakan, saat itu. Lalu hayati hal itu sungguh sungguh, dan hubungkan dengan akhirat. Bagaimana rasanya jika yang murka kepadamu adalah Allah. Murka atas perbuatan perbuatanmu yang membuatNya murka. Bagaimana perasaanmu saat itu. Mampukah kau menanggungnya. Jika yang murka adalah ibumu, kau boleh minta maaf. Kerana kau masih ada di dunia. Jika di akhirat bolehkah meminta maaf kepada Allah saat itu?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Air matanya kembali menitis.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Terima kasih, abah!" Lirihnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Kata kata abahnya itu memang sangat membekas dalam dirinya. Kata kata abah saat berusaha menghiburnya di kala ia dimurkai ibunya pada cuti tahun lalu. Ia dimurkai gara gara asyik membaca waktu diminta ibunya mengupaskan mangga anak saudaranya si Kecil Tiham, putera abang sulungnya. Saat itu ia hanya menjawab:</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"<span style="color: rgb(153, 51, 0);">Inggih, sekedap</span>" dan ia masih menumpukan membaca buku yang baru ia beli dari Shopping Centre Jogja. Ia tidak memperhatikan pisau dan mangga yang diletakkan oleh Ibu di sebelah kanannya. Sementara ia terus asyik membaca, si kecil rupanya tidak sabar. Diam diam dia mengambil pisau dan berusaha mengupas sendiri. Akibatnya, jari si kecil terluka, darah mengalir dari jarinya dan perlu dibawa ke klinik. Ia dimarahi oleh ibunya habis habisan, buku yang ia baca dibakar oleh ibunya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Buku syaitan! Apa hidup hanya untuk membaca! Apa belajarmu bertahun tahun di Mesir masih kurang hah! Apa ilmu hanya ada dalam buku! Peka pada anak kecil, apa juga tidak perlu ilmu! Apa gunanya jadi sarjana, lulusan Al-Azhar kalau tidak peka dengan keadaan, kalau disuruh ibunya tidak segera menunaikannya!"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Saat itu ia benar benar sangat menyesal. Ia merasa begitu kerdil. Kesalahannya seolah tidak dapat ditebus, tidak termaafkan. Merasa menjadi orang paling berdosa di dunia. Ibu tidak pernah marah apabila ia membaca buku. Tapi waktu itu beliau sangat marah justeru kerana keasyikannya membaca buku.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Abah menghiburkannya. Itu baru ibu yang murka, bagaimana jika Allah yang murka? Dan hari berikutnya, ibu sudah tersenyum padanya, sudah melupakan semua kesalahannya. Si kecil Tiham seperti tidak merasakan sakit pada jarinya saat ia diajak main bongkar-susun bongkah kayu.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Dia terus berjalan. Kakinya melangkah menyeberangi jalan raya dan rel metro yang melintas di depan Kuliyyatul Banat. Sinar matahari begitu cerah dan bening, tidak seperti saat musim panas atau musim dingin. sesekali ia mengusap matanya yang sembab dengan sapu tangannya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Sesungguhnya yang membuat dia menangis tidaklah semata mata rasa bahagia kerana proposal tesisnya diterima dalam waktu begitu singkatnya, sementara ada mahasiswi yang sudah dua kali mengajukan proposal tesis dan telah menunggu setahun tapi belum juga diterima. Namun yang membuatnya menangis, kerana ia teringat, bahawa yang dirasakannya barulah kebahagiaan duniawi, belum ukhrawi.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Begitu bahagianya ia, ketika jerih payahnya, kerja kerasnya memerah otak, tungkus-lumusnya ke perpustakaan Shalah Kamil dan IIIT Zamalek, membuka dan menganalisis ratusan rujukan, akhirnya membuahkan hasil yang melegakan jiwa. Begitu bahagianya hatinya saat diberi ucapan selamat oleh Professor Amani. Benarlah kata pepatah, siapa menanam, dia menuai.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Baru proposal tesis yang diterima, begitu bahagianya ia. Baru ucapan selamat dari professor Amani, begitu bangganya ia. Kalimat Guru Besar Ushul Fiqh yang sangat dicintai para mahasiswinya itu masih bergema dalam jiwanya:</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Selamat, anakku, semoga umurmu penuh barakah, ilmumu bermanafaat. Teruslah belajar dan belajar!" Air matanya kembali mengalir. Ia lalu berkata pada diri sendiri, "Lantas seperti apakah rasanya ketika nanti di hari akhir seseorang mengetahui amalnya diterima Allah. Ia menerima catatan amalnya dengan tangan kanan. Dan mendapatkan ucapan selamat dari Allah, dari Baginda Nabi, dari malaikat penjaga syurga, dan dari seluruh malaikat, para nabi dan orang orang soleh. Saat syurga menjadi tempat tinggal selama lamanya. Kebahagiaan semacam apakah yang dirasa?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia melangkah. Matanya basah : "<span style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: bold;">Rabbana taqabbal minna innaka antas sami'ul 'aliim</span>. Tuhan terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui." Lirihnya dalam hati, sambil menghayati dengan sepenuh jiwa bahawa tiada prestasi yang lebih tinggi dan diterimanya amal soleh oleh Allah dan dibalas dengan keredhaanNya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia terus melangkah menapaki laluan kaki lima di depan gedung Muraqib Al-Azhar, ke arah Abdul Rasul. Ia memandang ke kiri, memandang gedung Muraqib sekejap. Di gedung itulah dulu bekas bekasnya masuk Universiti Al-Azhar diproses. Di gedung itulah ia pertama kali kenal tempat beratur yang boleh tahan panjangnya di Mesir. Di gedung itu juga ia berkenalan dengan Wan Najibah Wan Ismail, mahasiswi dari Kedah, Malaysia yang kini menjadi salah seorang sahabat karibnya. Saat itu ia juga beratur untuk mendaftarkan diri masuk Al-Azhar.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Bagi mahasiswa dan pelajar Al-Azhar, gedung Muraqib atau nama rasminya <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Muragabatul Bu'uts Al-Islamiyyah</span> pasti menyisakan kenangan tersendiri. Bagi yang dapat biasiswa maka mengurus biasiswanya juga tidak lepas dari Muraqib. Bahkan bagi yang tidak mendapatkan biasiswa dari Al-Azhar dan ingin mengajukan permohonan biasiswa ke lembaga lain, juga harus mendapatkan surat keterangan tidak menerima biasiswa dari Muraqib. seluruh lembaga pendidikan di dunia yang ingin menyamakan ijazah mereka dengan ijazah Al-Azhar, harus melalui proses di Muraqib.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Pentingnya Muraqib bagi Al-Azhar lebih kurang sama seperti tangan bagi msnusia", begitu kata Zuleyka, seorang mahasiswi dari Turki, suatu kali kepadanya waktu bertemu di depan Muraqib. Mungkin ungkapan itu terlalu berlebihan. Namun memang Muraqib jadi bahagian pusat pentadbiran dan birokrasi yang sangat penting bagi Al-Azhar.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Apabila sampai di Tayaran Street, ia melihat jam tagannya. Empat minit lagi pukul sebelas. Ia ingin segera sampai di rumah, dan mengkhabarkan kebahagiannya kepada seluruh teman rumah. Nanti setelah solat Zohor dia akan ke Daarut Tauzi', membeli beberapa buah buku dan kitab. Ia belum pernah ke kedai buku yang satu itu. Pulang dari Daarut Tauzi' setelah Ashar. Dan si Zahraza, mahasiswi berasal dari Kedah yang serumah dengannya tidak usah susah susah masak. Setelah solat Maghrib, ia mahu mengajak orang satu rumah makan di Palace, restoran milik mahasiswi Thailand di kawasan Rab'ah El Adawea yang terkenal dengan Tom Yam dan nasi gorengnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Dan saat pulang dari Palace ia akan singgah ke rumah Laila, yang menjadi agen Malaysia Air Lines. Ia akan pesan tiket pulang ke Tanah Air dengan transit dua minggu di Kuala Lumpur. Kallau tidak, ia akan pesan pada laila melalui telefon saja. Ranncangannya ia hendak melakukan penelitian di Malaysia untuk bahan tesisnya. Maka ia merasa, sebaiknya ia berangkat minggu ini. Sebab Wan Aina, mahasiswa yang berasal dari Selangor yang tinggal serumah dengannya mahu pulang ke Malaysia minggu ini.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Puteri bungsu orang penting di Malaysia itu pulang hanya dua minggu untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Fikirnya, ia dapat bersama Wan Aina selama di Kuala Lumpur. Sehingga urusan penelitian untuk tesisnya tentang '<span style="color: rgb(102, 102, 102);">Insuran Syari'ah di Asia Tenggara'</span><span style="color: rgb(102, 102, 102);"> </span>akan menjadi lebih mudah. Ia merancang hendak melakukan penyelidikan di Perpustakaan IIUM di Petaling Jaya, dan Perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia di Kajang. Dan kakak Wan Aina yang hendak bernikah adalah pensyarah di IIUM. Wan Aina sendiri berjanji akan menemaninya selama melakukan penyelidikan di Malaysia.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Itulah rancangannya yang telah tersusun dalam kepalanya saat ini. Yang paling penting ia harus segera pulang ke Tanah Air sambil melakukan penyelidikan serius untuk tesisnya. Ia ingin segera pulang untuk berbahagi rindu, cinta, dan rasa bahagia dengan abah dan ibundanya tercinta.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ketika menyeberang Tayaran Street, hand phonenya berbunyi. Ada SMS masuk. Ia menghentikan langkah dan melihat layar hand phone, dari Kak Zulfa, isteri Ustadz Mujab, yang masih dapat digolongkan sepupu dengannya. Datok ayah Ustadz Mujab adalah juga datok abahnya. Jadi antara dirinya dan Ustadz Mujab masih erat pertalian darahnya. Ia buka mesej yang masuk:</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >'Ass. Wr. Wb. Dik Anna, bagaimana dengan Istikharahnya. Sdh ada kepastian? Td Ust. Furqan tlphone ke Ust. Mujab, katanya besok mahu dtg berkunjung. Mungkin mahu menanyakan hasilnya.'</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia termenung sesaat, sesuatu yang hampir dia lupakan, kini ditanyakan kembali. Memang sudah tiga bulan yang lalu ia diberitahu kak Zulfa tentang keseriusan Furqan yang ingin mengkhitbahnya. Saat itu ia sedang menumpukan pada ujian, jadi ia anggap angin lalu. Apalagi Furqan bukan orang yang pertama mengutarakan keseriusan kepadanya. Ia telah menerimanya belasan kali. Baik yang melalui orang ketiga seperti Furqan, atau yang berterus terang dengannya, melalui telifon, sms, e-mail, surat mahupun yang disampaikan langsung face to face. Semuanya telah mampu ia selesaikan dengan baik.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Namun lamaran dari Furqan, Mantan Ketua Umum PPMI. dan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">candidate</span> M.A. dari Cairo University, ia rasakan agak lain. Tidak mudah baginya untuk mengatakan 'tidak', seperti sebelum sebelumnya. Juga tidak mudah untuk mengatakan 'ya'.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia sama sekali tidak menemukan alasan untuk menolak. Namun juga belum mendapatkan kemantapan hati untuk menerimanya. Fikirannya masih terpaku pada tesisnya. Namun ia juga sedar bahawa waktu terus berjalan, dan usianya hampir seperempat abad. Memang sudah waktunya ia membina rumahtangga, menyempurnakan separuh agama.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia melangkah sambil memasukkan hand phone ke dalam beg birunya. Tudung putih yang menutupi sebahagian jubah biru lautnya berkibaran diterpa hembusan angin sejuk musim bunga. Ia mencuba menghadirkan bayangan wajah Furqan. Namun spontan ada yang menolak dari dalam jiwanya. Ia tersedar, dalam keni'matan, dalam kelapangan selalu ada ujian. Dalam setiap hembusan nafas dan aliran darah selalu ada syaitan yang ingib menyesatkan. Ia terus <span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 0, 204);">istighfar</span> dan <span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 0, 204);">berta'awwudz</span>. Ia juga sedar bahawa dirinya adalah manusia biasa yang punya nafsu, bukan malaikat suci yang tidak memiliki nafsu.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Yang pasti sunnah Nabi tetap harus diikuti, dan saat saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk Furqan. Ya, suaty saat nanti, bukan saat ini. Musim bunga kali ini ia tidak ingin diganggu sesiapa sahaja, termasuk apa saja yang berkenaan dengan Furqan.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br /></span><div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >******</span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sementara itu di belahan lain Kota Cairo, nampak sebuah kereta sedan Fiat putih keluar dari halaman Fakulti Darul Ulum, Cairo University. Sedan itu melaju di SarwatStreet lalu belok ke kanan ke Gami'at El Qahirah Street, kemudian belok kanan melintas di depan Zoological Garden dan terus menuju ke arah sungai Nil.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tidak lama kemudian Fiat putih itu telah berada di atas El Gama'a Bridge, salah satu jambatan utama Kota Cairo yang melintang gagah di atas sungai Nil. Apabila sampai di kawasan El Manyal yang berada di Geziret El, roda sedan itu belok ke kanan menyusuri Abdel Aziz Al Saud Street yang terbentang di tepi sungai Nil dan hujung selatan Geziret sampai hujung utara. Sedan putih buatan Itali itu terus melaju ke hujung utara, hingga melintasi Cairo University Hospital. Tepat di hujung utara Geziret, nampak Meridien Hotel berdiri gagah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sedan terus melaju dengan tenang hingga masuk di halaman Meridien. Apabila menemukan tempat yang tepat di kawasan parking, sedan itu berhenti. Seorang pemuda berwajah Asia keluar dari Sedan. Ia mengeluarkan beg galas dan beg jinjing hitam. Setelah mengunci kereta ia melangkah ke arah pintu masuk hotel. Dua orang pelayan hotel berkemeja hijau muda dengan vest dan memakai seluar berwarna hijau tua menyambutnya dengan senyum manis. Seorang di antara meeka menawarkan untuk membawakan begnya, tapi ia menolak. Pemuda itu berjalan tenang melalui lobby hotel menuju ke tempat resepsionis. Dua orang petugas penyambut tetamu dengan aura kecantikan khas gadis Mesir menyambutnya dengan senyum. Seorang di antara mereka menyapa "</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Good Afternoon, Sir. Can I help you?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Pemuda itu membalas dengan senyum seraya menunjukkan pasportnya. Saat menyerahkan pasportnya, ia sempat membaca nama dua penyambut tetamu itu. Dina dan Suzana. Si Dina menerima pasport itu dengan senyum lalu menekan kekunci untuk menulis sesuatu di komputer. Sebelum Dina berkata, sang pemuda telah mendahuluinya dengan sebuah kalimat dalam bahasa Arab :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">"Lau samahti ya Anesa Dina..."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="color: rgb(153, 51, 0);">Na'am</span>," Resepsionis bernama Dina nampak terkejut : <span style="color: rgb(153, 51, 0);">"Hadratak bitakallim 'arabi?"</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">"Alhamdulillah, fin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el yom?"</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">"Heya hategi bil leil, insya Allah."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dina lalu melihat data di komputer.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bilik anda 615, Tuan Furqan"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kalau boleh 919."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sebentar saya cek dulu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Furqan menangkap bau semerbak wangi parfume yang menyengat. Bau ini begitu mengancam dirinya. Ia menoleh ke arah datangnya bau itu. Seorang perempuan Mesir berambut jagung dan berpakaian ketat melintas. Tangannya dipaut seorang pelancung Mat Saleh. Dalam hati ia istighfar, ia berdoa semoga suatu hari nanti perempuan itu tahu adab memakai pakaian dan parfume. Mengenai lelaki Mat Saleh yang memautnya, ia tidak mahu berburuk sangka. Mungkin itu adalah suaminya. Ia kembali memperhatikan Dina. Pada saat yang sama Dina menoleh ke arahnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sudah ada yang menempah, Tuan."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kalau begitu cuba 919."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baik, sebentar."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dina kembali melihat layar komputersementara jari jarinya menari di atas keyboard dengan indahnya. Furqan melihat jam tangannya, dua belas lebih tiga minit.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Alhamdulillah, kosong!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="color: rgb(102, 102, 102);">Breakfast</span>nya sekali saja ya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Baik, Tuan."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dina lalu memasukkan data. Mengambil <span style="color: rgb(102, 102, 102);">key card</span>, dan memasukkannya ke dalam bekas berlipat tiga dan kad berwarna keemasan. Menuliskan nama Furqan, nombor bilik dan mengambil kupon merah muda.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ini kunci dan kupon <span style="color: rgb(102, 102, 102);">breakfast</span>nya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">"Mutasyakkir ya Anesa."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">"Afwan."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Furqan memeriksa sebentar <span style="color: rgb(102, 102, 102);">key card</span> dan kupon yang ia terima, lalu tersenyum tipis pada Dina dan Suzana. Keduanya membalas dengan senyuman dan anggukan ringan. Furqan lantas melangkahkan kaki ke arah lift. Ia tidak sedar kalau Dina terus mengikuti gerak tubuhnya sampai hilang ditelan pintu lift.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Furqan naik lift bersama dua pelancung dari Jepun. Dua muda mudi yang sedang melakukan kajian tentang alat pengangkutan Mesir kuno. Keduanya ternyata mahasiswa <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Kyoto University</span>. Bilik mereka di tingkat yang sama dengan bilik Furqan. Mereka begitu tertarik ketika Furqan menjelaskan dia juga seorang mahasiswa. Furqan memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa Pasca-Sarjana <span style="color: rgb(102, 102, 102);">Cairo University</span>, jurusan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">tarikh wal hadharah</span>, sejarah dan peradaban. Sebelum berpisah untuk menuju bilik masing masing, Furqan sempat bertukar kad nama dengan mereka.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sampai di pintu bilik 819, dengan mengucap <span style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: bold;">basmalah</span>, Furqan membuka pintu bilik dengan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">key card</span>nya. Lalu memasukkan <span style="color: rgb(102, 102, 102);">key card</span>nya ke tempat yang tertuliskan '<span style="color: rgb(102, 102, 102);">insert your card here'</span> untuk menyalakan elektrik. Furqan terus merasakan kesejukan dan kemewahan biliknya. Kemewahan Eropah kontemporer hasil gabungan arkitektur Italia dan Turki moden.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Furqan meletakkan beg jinjing dan beg galasnya di atas meja pendek di sebelah kanan almari televisyen. ia lalu beranjak membuka tabir jendela biliknya. Dan terhamparlah di hadapannya panorama sungai Nil. Biliknya tepat menghadap sungai Nil. Dari tingkap biliknya ia dapat melihat hampir semua panorama sungai Nil. Ke arah utara ia boleh melihat El Tahrir Bridge, jambatan paling utama yang melintas sungai Nil. Ia juga boleh melihat Gezira Sheraton, Opera House, Cairo Tower, bahkan menara Television and Broadcasting Studio di kejauhan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ke arah barat ia dapat melihat gedung Papyrus Institute, arus lalu lintas di El Nil Street yang berada tepat di sepanjang tepi barat sungai Nil, membentangkan dari Giza hingga Imbaba. Ke arah selatan ia dapat melihat El Gama'a Bridge, bendera Kedutaan Israel, dan terminal pengangkutan air yang letaknya tidak begitu jauh dari El Gama'a Bridge, dan tentu saja beberapa menara masjid.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Cairo memang terkenal dengan kota seribu menara. sangat mudah menemukan menara masjid di kota ini. Sebab hampir di setiap titik ada masjidnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Furqan merebahkan badannya di atas springbed. Punggungnya terasa nyaman. Perlahan lahan kedua matanya hendak terpejam. Tiba tiba hand phonenye berdering mengingatkannya waktu solat. Ia bangkit, menggerak gerakkan badannya untuk merenggangkan otot ototnya lalu duduk di kerusi. Di kepalanya telah tergambar jadualnya selama berada di hotel. Setelah wudhu' ia akan keluar sebentar untuk solat Zohor di masjid terdekat dari hotel. Ada masjid berdekatan Cairo University Hospital yang terletak di sebelah selatan Meridien.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Setelah itu istirehat sebentar. Satu jam sebelum Ashar, bangun untuk mulai membaca isi tesisnya. untuk seterusnya memberi tumpuan memperdalam isi tesisnya yang siap diujikan dalam sidang terbuka tiga hari lagi. Hanya diselangi solat, makan dan mandi. Selain tesis yang telah sempurna penyuntingannya, bahan bahan terpenting telah ia bawa, iaitu beberapa buku penting, data data penting yang telah ia simpan rapi dalam laptop serta beberapa data dalam berlembar lembar fotocopy. itulah jadual yang telah tersususn di kepalanya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Waktu ia bangkit hendak ke bilik mandi, telefon yang ada di biliknya berdering. Ia terkejut, dalam hati ia bertanya siapakan yang telefon, baru saja sampai sudah ada yang telefon.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, hello. Ini siapa ya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ini Sara, tuan Furqan."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sara, siapa ya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sara Zifzaf, mahasiswi Cairo University yang berkenalan dengan tuan di perpustakaan dua bulan yang lalu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sebentar, Sara yang tinggal di Mohandisin itu ya?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya benar."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Macam mana boleh tahu saya di sini?" Tanya Furqan hairan. Ia hairan bagaimana mungkin ada orang yang tahu ia berada di hotel itu dan tahu nombor biliknya. Apalagi dia adalah gadis Mesir yang dikenali dengan tidak sengaja di perpustakaan. Setelah itu dia tidak pernah bertemu lagi sama sekali. Ia berkenalan dengan Sara di perpustakaan. Gara garanya, saat itu perpustakaan penuh. Tidak ada lagi kerusi kosong kecuali satu kerusi yang berdekatan seorang gadis Mesir. Ia terpaksa duduk di situ. Ia membaca dan menulis hal hal penting dengan laptopnya di samping gadis itu. Entah kenapa gadis itu lalu mengajaknya berbicara dan terjadilah perkenalan itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Gadis itu adalah Sara. Dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswi Cairo University yang yang tinggal di Mohandisin. Gadis itu ingin mengajaknya banyak bicara. Tapi ia minta maaf tidak dapat banyak bicara, sebab banyak yang harus ditulisnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kebetulan tadi saya menemani ayah saya bertemu teman akrabnya di hotel ini. Waktu saya hendak meninggalkan lobby, saya sempat melihat tuan Furqan di meja penyambut tetamu. Maka saya tanya pada penyambut tetamu untuk meyakinkan saya bahawa yang saya lihat tidak salah. dan ternyata benar. Sebenarnya saya ingin bertemu terus dengan tuan Furqan. Tapi sayang saya ada janji dengan seorang teman di Giza. Ini saya menghubungi tuan di jalanan, dalam perjalanan di Giza."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ada keperluan apa anda menghubungi saya, nona?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya ingin mengundang anda makan malam besama?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya makan malam bersama?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Furqan terkejut, ia baru sekali bertemu dengan gadis mesir itu. Tapi gadis Mesir itu boleh tidak lupa padanya. Ia, jika bertemu lagi dengan gadis itu di jalanan mungkin sudah lupa. Terus baru sekali bertemu sudah berani mengundang makan malam. Ia hairan. Itu bukanlah watak asal gadis Mesir. Watak asal gadis Mesir adalah menjaga diri dengan rasa malu yang berlapis lapis.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saya mengundang tuan malam nanti jam 19.30 di Abu Sakr Restaurant, di Qashr Aini Street, tepat di depan Qashr El Aini Hospital. Setelah berkenalan dengan tuan di perpustakaan itu, lalu saya mencari data lebih jauh tentang tuan di bahagian kemahasiswaan. jadi, saya mengetahui banyak hal tentang tuan. Saya juga sering melihat tuan melintas di gerbang kampus, tapi tuan pasti tidak tahu. Saya harap tuan boleh memenuhi undangan saya malam ini." Suara Sara itu terasa indah di telinga. Bahasa 'Amiyah Mesir jika diucapkan oleh gadis Mesir memiliki sihir tersendiri. Sihir yang tidak dimiliki jika diucapkan oleh kaum lelaki. Furqan berfikir sejenak lalu menjawab dengan tegas :</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maaf, mungkin saya tidak boleh Nona. Ada yang harus saya kerjakan."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tidak harus tuan jawab sekarang. Lihat saja malam nanti, jika ada waktu silakan datang. Jika tidak, tidak mengapa. namun saya sangat senang jika tuan dapat datang. Ini saja tuan, maaf mengganggu. Sampai bertemu malam nanti. <span style="color: rgb(153, 51, 0); font-weight: bold;">Syukran</span>."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="color: rgb(153, 51, 0); font-weight: bold;">Afwan</span>."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">seketika ada tanda tanya besar dalam kepala Furqan kenapa gadis yang baru begitu ia kenali itu mengundangnya makan malam? Sangataneh untuk adat wanita Mesir kebanyakan. Ia merasa hairan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ah, kenapa aku perlu fikirkan. Aku ke sini bukan untuk memenuhi undangan makan. tapi untuk persiapan sidang tesis tiga hari yang akan datang. Ah sekarang solat, makan siang, istirehat lalu belajar dengan tenang." Kata Furqan pada diri sendiri, meskipun undangan makan malam Sara di salah sebuah restoran berkelas itu, mahu tidak mahu, hinggap juga di fikiran dan menimbulkan seribu tanda tanya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Di luar hotel, angin musim bunga mencumbui sungai Nil dengan mesra. Sinar matahari memancarkan kehangatan dan rasa bahagia.</span></span><br /></div><div style="text-align: center;"><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">******</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(153, 51, 0);">Bahasa Arab & Jawa (Cacamarba da....)</span><br /><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">1. Qism Diraasat 'Ulya - Program Pasca-Sarjana</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">2. Inggih, sekedap - Ya, sebentar</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">3. Lau samathi ya Anesa Dina - Maaf Nona/ Cik Dina (Anesa atau Anisah adalah sapaan untuk perempuan yang belum bernikah)</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">4. Hadratak bitakallim 'arabi? - Anda boleh berbahasa Arab?</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">5. Alhamdulillah, fin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el yom? - Alhamdulillah, mana Nona / Cik Yasmin? Dia tidak datang hari ini?</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">6. Mutasyakkir ya Anesa - Terima kasih Nona / Cik.</span><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);">7. Afwan - Maaf</span><br /><br /><br /><span style="color: rgb(0, 153, 0);">Ha... hambik ko... tergeliat lidah nk nyebutnye....</span><br /><br /><br /></span></span></div></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-69007456236300944502010-05-04T13:11:00.005+08:002010-05-19T11:42:41.084+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (6) Lagu Lagu Cinta<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 153, 0); font-style: italic;">Ada ke insan yg mengikuti lg blog aku nie???? Apa2 pun... kepada yang tersesat ke cnie tu.. blh le gak cuci mate ke.. cuci ati ke... dgn kisah selanjutnya ini...</span></span><br /></div><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">JAM</span> menunjukkan pukul dua setengah. Punama bulat sempurna. Bintang bintang bertaburan menghiasi angkasa. Malam itu di Kota Cairo terasa sejahtera. Angin musim sejuk mengalir semilir. Perlahan. Berhembus dari utara ke selatan. Menerobos sela sela pintu dan tingkap apartment. Menebarkan kesejukan kesejukan.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dua ekor kucing bercengkerama. Sesekali mengiauw. Sesekali menjerit jerit, melengking lengking membahana. Keduanya berkejar kejaran dengan suara yang seolah olah bergaduh bagi yang mendengarnya. Di taman sebuah apartment di kawasan Mutsallats, dua ekor kucing itu menikmati indahnya musim sejuk. Diiringi tasbih daun daun yang dibelai angin musim bunga, mereka saling merayu. Mereka mendendangkan lagu lagu cinta. Ya. Lagu cinta yang sangat indah, yang hanya boleh difahami oleh mereka berdua.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tidak begitu jauh dari situ, sebuah kedai kopi nampak masih ramai. Belasan orang terjaga menikmati musim sejuk dengan minum kopi, menghisap <span style="color: rgb(102, 102, 102);">shisha</span>, main kad dan berbincang tentang apa saja. Ada yang sedang menikmati filem India. Ada juga yang sedang berbincang dengan serius. Temanya meloncat loncat, ke mana mana. Musim bunga memang indah. Paginya indah. Siangnya indah. Petang indah. Malamnya pun indah. Lebih lebih lagi mereka yang menikmatinya dengan penghayatan ibadah.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Namun demikian, ada juga orang orang yang sama sekali tidak peduli dengan datangnya musim bunga. Ada juga bahkan yang tidak pernah merasakan datangnya musim bunga. Mereka bahkan hampir tidak pernah merasakan adanya pergantian musim. Semua itu, lantaran kerasnya kehidupan yang harus mereka hadapi dan lalui. Lantaran mereka harus terus memerah otak, dan menghadapi hidup dengan memerah keringat dan bekerja tiada henti.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Di antara orang orang yang hampir tidak pernah peduli datangnya musim bunga itu adalah '<span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 102, 102);">Mas Insinyur</span>' Khairul Azzam, dan beberapa orang mahasiswa yang bekerja dengannya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Malam itu, di biliknya yang berada di sebuah apartment, berhadapan dengan taman itu, di mana ada dua ekor kucing yang sedang mendendangkan lagu lagu cinta, ia masih juga belum istirehat dari pekerjaannya. Sementara teman temanya satu rumah sudah lama larut bermesraan dengan mimpi indahnya masing masing.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam masih sibuk mengurus kacang soyanya yang telah ia letakkan ragi. Dengan penuh kesabaran ia harus membungkusnya agar menjadi tempe. Sejak lamaranya pada Anna Althafunnisa telah didahului oleh sahabatnya sendiri, Azzam memutuskan untuk menumpukan sepenuh perhatiannya dalam bekerja. Sejak ustadz Mujab menyarankan agar ia mengukur dirinya, ia memutuskan untuk terus membaktikan diri pada ibu dan adik adiknya di Indonesia. Ia niatkan itu semua sebagai <span style="font-weight: bold;">ibadah </span>dan<span style="font-weight: bold;"> rahmah</span> yang tiada duanya. Ia juga meniatkannya sebagai cubaan dan pelajaran hidup yang harus ia tempuh di universiti besar kehidupan. Ia yakin, semua itu tidak akan sia sia. Bukankah Allah tidak pernah menciptakan segala sesuatu dengan sia sia.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia tidak lagi memiliki mimpi yang melangit tentang calon isteri. Ia sudah dapat mengukur diri. Ia yakin jodohnya telah ada, telah disiapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka ia tidak perlu risau. Jodoh adalah sebahagian dari rezeki. Rezeki seseorang sudah ada bahagiannya. Dan bahagian rezeki seseorang tidak akan diambil oleh orang lain. Begitulah yang terlukis dalam fikirannya. Maka ia merasa tenang dan tenteram. Tetapi cubaan hidup, ilmu hidup harus diusahakan. Allah tidak akan menambah ilmu seseorang kecuali seseorang itu berusaha menambah ilmunya. Ia merasa bekerja keras adalah sebahagian dari upaya menambah ilmu dan bahagian dari usaha untuk merubah nasib.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sejak peristiwa itu, ia merasa harus lebih serius menghadapi hidup. Ia mulai mengatur diri untuk berusaha tidak hanya berjaya dalam bidang bisnes, tapi juga berjaya dalam bidang akademik. Ia mulai mengatur diriuntuk menyelesaikan B.A.nya tahun itu juga. Setelah itu ia tetap akan belajar dan belajar tiada hentinya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Wajahnya nampak begitu letih. Kedua matanya telah merah. Namun sepertinya ia tidak mahu menyerah kalah. Dalam keadaan sangat letih, ia harus tetap bekerja. Ia tidak mahu kalah oleh keadaan. Ia tidka mahu semangatnya luntur begitu saja, oleh rasa mengantuk yang terus menderanya. Bila sudah begitu, ia selalu ingat perkataan Al-Barudi yang selalu mengobarkan jiwanya :</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><span style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: bold;">Orang yang memiliki semangat;</span> <span style="color: rgb(102, 0, 204); font-weight: bold;">ia akan mencintai semua yang dihadapinya.</span><br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia melihat jam yang tergantung di dinding biliknya. Ia menghela nafas dalam dalam. Sudah masuk penghujung malam, dua jam lagi pagi datang. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan segera. Ia perlu mempunyai waktu untuk istirehat, meskipun cuma satu jam memejam mata.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia lalu berdiri dan menggerak gerakkan tubuhnya untuk menghilangkan rasa sengal sengal dan penat yang begitu terasa. Dua minit ia melakukan gerakan senaman ringan. Lalu kembali mencangkung. Dan kembali membungkus kacang soyanya, calon tempe dengan penuh ketelitian dan kesabaran.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tepat pukul tiga kurang lima minit, ia berdiri dan bernafas lega. Pekerjaannya telah diselesaikannya. Masih ada sedikit waktu untuk istirehat sebelum Subuh tiba. Alat alat kerjanya ia kemaskan. Ia letakkan pada tempatnya. segera ia membersihkan tangannya dan mengambil air wudhu'.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sebelum merebahkan badannya di atas tempat tidur, terlebih dahulu ia sempurnakan dirinya untuk solat Tahajjud dua rakaat lalu solat Witir. Ia membaca tasbih sambil mengatur jam locengnya. Lalu perlahan tidur.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Baru saja matanya terpejam, ia mendengar namanya dipanggil panggil, perlahan. Pintu biliknya juga diketuk, perlahan.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Kang Azzam.... Kang Azzam!"<br /><br />Dengan perasaan sangat berat, kepala sedikit pening, ia bangkit.<br /><br />"Siapa?" tanyanya.<br /><br />"Hafez, Kang."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam turun dari tempat tidurnya dan beranjak membuka pintu biliknya. Di depan pintu biliknya berdiri seorang pemuda berkaca mata.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Ada ape Fez?" tanya Azzam.<br /><br />"Maaf Kang, saya tidak kuat lagi. Saya tidak boleh tidur Kang. Saya tidak tahu nak buat bagaimana? Saya perlu orang yang boleh saya ajak bicara. Saya mahu minta pertimbangan Kang Azzam. saya ridak kuat lagi Kang", jelas Hafez dengan suara serak.<br /><br />"Masih tentang perasaanmu pada Cut Mala?"<br /><br />"Iya Kang."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku tahu kau pasti berat menaggung perasaan itu Fez. Tapi <span style="color: rgb(153, 51, 0); font-weight: bold;">afwan</span>, aku belum tidur. Aku harus istirehat. Jika tidak aku akan mengantuk. Nanti saja kita bicarakan setelah solat Subuh ya. Kau baca Al-Qur'an saja sana untuk menenangkan jiwa sambil menunggu Subuh. Nanti kalau sudah Subuh, aku dan teman teman dikejutkan. Begitu ya?"</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Sekarang, boleh tak Kang?"<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku tidak kuat Fez. Aku baru saja selesai membungkus tempe. Aku sangat letih. Aku perlu istirehat sebentar."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Baiklah Kang. Setelah solat Subuh."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Pemuda berkaca mata itu beranjak ke biliknya. Azzam menutup biliknya. Tanpa dikunci. Ia merebahkan badannya. Ia tahu Hafez menfhadapi masalah berat. Tapi ia perlu istirehat. Dan membicarakannya setelah Subuh ia rasa tidak terlambat. Subuh sudah sangat dekat. Ia kembali berdoa, memejamkan mata dan tidur. Lelap.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sementara Hafez keluar dari biliknyadengan membawa mushhaf. Ia mengikutu saranan Azzam. Di ruang tamu ia membaca Al-Qur'an dengan suara perlahan. Ia sama sekali tidak boleh menumpukan dalam menghayati dan men</span><span style="font-style: italic; font-weight: bold;">tadabburi </span><span style="font-style: italic;">apa yang dibacanya. Fikirannya tetap saja tertuju pada Cut Mala. Ia sendiri tidak tahu kenapa dalam sebulan ini hati dan fikirannya tidak boleh lepas dari Cut Mala. Mahasiswi Al-Azhar dari Aceh yang tidak lain adalah adik kandung teman yang paling rapat dengannya, iaitu Fadhil. Ia tidak menyedari bahawa perasaan cintanya pada gadis Aceh itu tumbuh dengan bagitu lembut dan perlahan. Dan sekarang perasaan itu sudah sedemikian membuak . Berbunga bunga, bahkan hampir tidak dapat dikuasainya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sedemikian membuaknya perasaan itu, hingga ia tidak dapat berbuat apa apa. Padahal waktu itu, ia harus menumpukan sepenuhnya pada ujian Al- Azhar yang tinggal sebulan lagi. Yang ada dalam fikiran dan hatinya selalu saja Cut Mala. Wajah Cut Mala. Suara Cut Mala. Langkak kaki Cut Mala. Budi bahasa Cut Mala. Gaya bahasa Cut Mala. Tingkah laku dan perangainya yang halus, sopan, dan sangat menjaga diri. Prestasi prestasinya yang selalu terukir dengan gemilang. Bahkan pendapat pendapatnya yang terpampar dalam pelbagai buletin kemahasiswaan di Cairo.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Itu semua telah membuat hati Hafez begitu kagum padanya. Ah, bukan hanya kagum, tapi ada sesuatu yang aneh mendera mendera hatinya, entah apa namanya. Ia merasa, di dunia ini tidak ada gadis yang ia anggap sempurna untuk menjadi pendamping hidupnya, menjadi ibu untuk anak anaknya, selain gadis dari Tanah Rencong itu.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Setiap kali ia mendengar nama itu disebut, hatinya selalu bergetar. Berdesir desir. Disebut oleh siapa saja. Termasuk ketika ia mendengar nama itu disebut oleh Fadhil, abang kandung Cut Mala sendiri.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dan setiap kali ia membaca nama gadis kelahiran Ulee Kareng Banda Aceh itu tertulis di buletin, buletin apa saja, rasa cintanya bertambah tambah. Ia merasa sudah hampir gila. Ia sedar perasaan seperti tu tidak boleh menguasai dirinya. Tapi entah menapa ia merasa sangat tidak berdaya. Ia membaca Al-Qur'an dengan perlahan dan ia kembali tidak berdaya. Cut Mala singgah bermain main lagi di kelopak matanya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sudah sekuat tenaga ia mengusir kelibat bayangan Cut Mala, tapi tidak berdaya. Semakin ia cuba mengusirnya, justeru semakin jelas bayangan Cut Mala bersemayam di benaknya. Ia benar benar tidak berdaya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dalam ketidakberdayaan, kehadiran bayangan Cut Mala, malah ia rasakan sebagai sebuah kegilaan dan kenikmatan, kenikmatan dan kegilaan. Bagaimana tidak, saat ia berusaha mentadabburi apa yang ia baca,saat itu justeru muncul bayangan yang bukan bukan di benaknya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(51, 204, 255); font-weight: bold;">"Seandainya ia telah bernikah dengan Cut Mala, lalu di penghujung malam seperti itu ia membaca Al-Qur'an bersama Cut Mala. Bergantian. Terkadang ia yang membaca, Cut Mala yang mendengarkan. Atau Cut Mala yang membaca, ia yang menyemak dengan teliti. Alangkah indahnya. Alangkah indahnya."</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />Ia memejamkan mata. Setitis air matanya jatuh di mushhaf yang ia baca.<br /><br />Ia tersedu sedu. Menangis dengan perasaan cinta, sedih, rindu dan merasa berdosa bercampur jadi satu.<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya Allah, ampuni dosa hambaMu ini. Ya Allah, jika yang kurasakan ini adalah sebuah dosa, maka ampunilah dosa hambaMu yang lemah ini."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dalam doa dan istighfarnya, ia sangat berharap bahawa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengasihi orang orang yang sedang jatuh cinta seperti dirinya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">******</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Di ufuk Timur, langit menyemburatkan warna merah. Fajar perlahan menyingsing. Sebuah menara pun mengumandangkan azan. Disusuli menara kedua.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Beberapa detik kemudian azan berkumandang dari beribu menara yang menjulang di Kota Cairo. Azan dari menara Masjid Ar-Rahmah membangunkan Cut mala yang tinggal di kawasan Masakin Utsman. Tepatnya Masakin utsman 72/605, tidak jauh dari Masjid Ar-Tahmah, yakni masjid di mana orang orang Indonesia sebut sebagai "<span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 102, 102);">Masjid Planet</span>".</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Disebut "<span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 102, 102);">Masjid Planet</span>" kerana bentuknya yang tidak seperti masjid pada umumnya, tapi menyerupai bangunan dari planet lain. Ada juga yang menyebut "<span style="font-weight: bold; color: rgb(102, 102, 102);">Masjid UFO</span>", kerana reka bentuknya agak serupa dengan UFO.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Gadis Aceh itu membangunkan teman temannya. Ketika ia masuk bilik Tiara, ia mendapati kakak sekelasnya itu masih bersimpuh di atas sajadahnya dengan terisak isak. Ia tidak ingin mengganggunya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Cut Mala atau lengkapnya Cut Malahayati, tinggal di dalam flat yang cukup luas itu dengan empat orang mahasiswi. Flat itu memiliki tiga bilik tidur berukuran cukup luas. satu dapur. Satu bilik mandi. Balkoni. Dan ruang tamu yang juga luas. Flat itu tergolong mewah. Semua lantainya dilapik dengan karpet. Di ruang tamu ada satu set sofa yang diimport dari Itali. Dapur semua seramik. Dan bilik mandi yang tidak kalah dengan hotel tiga bintang. Flat itu juga dilengkapi dendan telefon, pemanas air, peti ais, dapur gas dan air-cond di ruang tamu.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Cut mala dan teman temannya boleh dikatakan beruntung. Sebab, untuk flat yang semewah itu meraka hanya membayar tiga ratus pound sebulan. Untuk ke kuliah pun seringkali ia memilih jalan kaki. Sebab flatnya dengan kuliah banat tidaklah terlalu jauh sangat.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Pemilik flat itu bernama Madam Zubaida. Seorang pengusaha yang kaya. Ia memiliki perusahaan travel dan beberapa kedai kasut di Cairo dan Alexandaria. Madam Zubaida sangat pemurah dan baik hati. Ia memiliki tiga orang anak, Satu puteri, dua putera. Dua anaknya berada di luar negeri. Yang puteri bernama Yasmin, sedang kuliah di Perancis, dan telah bernikah dengan seorang staf kedutaan Mesir di Paris. Anaknya yang nombor dua kuliah di Istanbul. Hanya si bongsu yang menemaninya. Masih kuliah di Fakulti Kedoktoran di Cairo University. Setahu Cut Mala, Madam Zubaida memiliki tiga rimah di Cairo. Satu di kawasan Mohandisin yang ia tinggal bersama putera bongsunya. Yang kedua di kawasan Ma'adi dan yang ketiga di Masakin Ustman Nasr City yang disewakan kepada mahasiswi dari Indonesia.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tujuan Madam Zubaida menyewakan flatnya di Masakin Utsman memang bukan semata mata untuk mendapatkan wang, tapi agar flatnya ada yang menjaga dan menguruskannya. Maka ia hanya percaya pada para mahasiswi. Khususnya mahasiswi indonesia. Kebetulan Madam Zubaida pernah memiliki seorang pembantu perempuan dari Indonesia. Madam Zubaida sangat terkesan dengan kehalusan budi dan ketelitian pembantunya itu dalam mengurus rumahnya. Maka sejak itu ia sangat percaya pada perempuan dari Indonesia. Perempuan Indonesia memang luar biasa di mata Madam Zubaida.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Setiap bulan Madam Zubaida datang meninjau keadaan flatnya pada hari yang tidak ia tentukan. Dan ia selalu puas hati, kerana para mahasiswi dari Indonesia yang menyewa flatnya benar benar menjaga dan mengurus flatnya dengan baik. Cut Mala dan teman temannya bahkan selalu menjaga seluruh ruangan flat itu dengan pengharum ruangan, agar selalu segar dan wangi udaranya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Boleh dikatakan, seluruh penghuni rumah itu adalah mahasiswi yang bernaung dalam Keluarga Mahasiswi Aceh. Cut Mala dari Pidie dan Tiara dari Banda Aceh. Keduanya benar benar berasal dari Aceh. Maksudnya kedua orang tua mereka memang berasal dari Aceh. Selain mereka berdua ada Cut Rika dan Masyithah. Keduanya bukan berdarah Aceh jati, namun tidak ada bezanya dengan yang berdarah Aceh. Cut Rika, lahir di Peukan Bada, Aceh Besar, tapi ia membesar dan menghabiskan masa remajanya di rumah neneknya di Bandung. Ayahnya berasal dari Peukan Bada, ibunya berasal dari Bandung. Dan terakhir adalah Masyithah, gadis paling cantik di rumah itu. Bahkan, mungkin mahasiswi Indonesia paling cantik di Cairo. Hanya saja tidak ramai yang tahu bagaimana kecantikannya yang sebenar. Sebab, dalam seharian ia selalu memakai purdah.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Masyithah lahir di Aceh, ayahnya berasal dari Syria, ibunya pula berasal dari Pakistan. Jadi sama sekali tidak ada darah Aceh yang mengalir dalam dirinya. Tapi sejak pertama kali melihat dunia ia telah jadi orang Aceh.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Masyithah lahir di Bandar Aceh ketika ayahnya mendapat tugas dari Rabithah 'Alam Islami untuk mengajar di IAIN Ar-Raniry. Ketika melahirkannya, ibunya meninggal dunia. Ayahnya tetap teguh untuk menyelesaikan tugasnya berdakwah dan mengajar di Aceh.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia dijaga oleh seorang gadis doktor yang membantu kelahirannya. Entah bagaimana awalnya, akhirnya doktor berasal dari Aceh yang menjaganya itu berjaya disunting ayahnya. Dialah ibunya, yang ia kenal sekarang. Meskipun sebenarnya ia seorang ibu tiri, tapi ia tidak pernah merasa menjadi anak tiri. Sejak itu ayahnya pindah kewarganegaraan menjadi orang Indonesia. Sekarang ayahnya bekerja di Kedutaan Besar Syria di Jakarta, Sementara ibunya bekerja di RSCM Jakarta. Masyithah sudah boleh berbahasa Arab sejak kecil. Maka wajar jika ia paling fasih berbahasa Arab di rumah itu. Selain bahasa Arab, ia juga fasih berbahasa Indonesia dan Aceh.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Cut Mala dan teman temannya mengerjakan solat Subuh berjamaah. Mereka membentangkan sajadah di ruang tamu. Yang menjadi imam pagi itu Cut Rika. Mahasiswi tahun tiga jurusan tafsir itu membaca surah An-Nisa'. Bacaannya tartil dan fasih. Suaranya indah. Semuanya larut dalam penghayatan kalam illahi. Selesai solat mereka berzikir, mengingati Allah Subhanahu wa Ta'ala lalu membaca <span style="font-weight: bold; color: rgb(153, 51, 0);">Al-Ma'tsurat</span>. Setelah itu mereka kembali ke biliknya masing masing untuk tilawah.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Cut Mala mengikuti Masyithah masuk ke bilik. Mereka berdua memang tinggal dalam bilik yang sama. Keduanya lalu larut dalam tadarrus Al-Qur'an. Cut Mala terus membaca. Sementara Masyithah menyudahi bacaannya. Ia menyalakan komputernya. Tiara mendekati Cut Mala. Cut Mala menyudahi bacaannya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Mahu tak kalau aku ajak jalan jalan Dik Mala?" Lirih Tiara.<br /><br />"Mahu Kak."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Jom kita keluar. Kita ke Hadiqah Dauliyah. Sekalian menghirup udara pagi. Aku ingin bicara sedikit dengan mu."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Jom."<br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Cut Mala membuka telekungnya. Memakai jubah hijau tuanya dan memakai tudung hijau mudanya. Setelah yakin dengan penampilannya, ia melangkah keluar bilik mengikuti Tiara. Masyithah yang mengetahui ke mana mereka akan pergi lalu berteriak:</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br />"Jangan lupa nanti singgah beli roti."<br /><br />"Insya'Allah", jawab Cut Mala.<br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">******</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Selesai solat Subuh, Azzam tetap di masjid, demikian juga Hafez. Azzam membaca dua halaman mushhafnya lalu mendekati Hafez yang duduk terpaku tidak jauh darinya. Beberapa orang Mesir duduk melingkar untuk membaca Al-Qur'an bergantian. Biasanya Azzam turut ikut sama, tapi kali ini ia sudah berjanji pada Hafez.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sebaiknya kita berbincang bincang di luar sana sambil berjalan jalan dan menghirup udara pagi", kata Azzam pada Hafez.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Hafez mengangguk. Keduanya keluar meninggalkan masjid dan berjalan melalui tepian jalan ke arah Mahattah Gami.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kau kata, kau akan menumpukan pada pembelajaran mu Fez. Apakah kau sudah lupa?" Kata Azzam seraya menghentikan langkahnya. Hafez juga menghentikan langkahnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sebenarnya memang begitulah, Kang. Tapi entah kenapa aku sama sekali tidak dapat melupakan dia. Aku tidak mampu berhenti memikirkannya. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Saat solat, aku membayangkan jika solat bersamanya. Saat membaca Al-Quran aku membayangkan jika aku membaca Al-Qur'an bergantian dengannya. Saat berdoa pun, aku juga mengingati dirinya. Apa yang harus aku buat Kang?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ini penyakit, kau harus segera sedar tentang itu Fez."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku sedar Kang, sangat sedar. Aku tidak boleh membayangkan wajahnya. Itu tidak boleh. Itu haram. Tapi bayangan wajahnya datang begitu saja Kang. Aku boleh jadi gila Kang. Aku rasa satu satunya jalan aku harus berterus terang pada Fadhil, bahawa aku mencintai adiknya dan aku terus akan melamarnya dan menikahinya secepatnya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Azzam tersenyum.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Itu fikiran yang bagus. Bernikah. Tapi masalahnya apakah kamu yakin adik si Fadhil. Siapa itu namanya Cut Nala?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bukan Nala Kang, Mala."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Oh ya, Cut Mala. Apa kamu yakin dia bersedia untuk bernikah. Dia baru tahun dua. Sedang asyik asyiknya merasakan dinamik hidupnya sebagai seorang mahasiswi. Bahkan seorang aktivis. Tentu kalau dia bersedia untuk bernikah, apakah kamu yakin dia mahu bernikah dengan mu?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Lalu apa yang harus aku lakukan Kang?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kau harus melupakannya. Jika dia jodoh mu percayalah, dia tidak akan ke mana mana. Dia tidak akan diambil siapapun juga."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tapi rasanya sangat susah Kang."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku tahu. Selama kau masih satu rumah dengan Fadhil, kau takkan boleh melupakannya. Aku tahu setidak tidaknya setiap dua hari sekali Fadhil mendapat telefon dari adiknya, dan sebaliknya Fadhil juga sering menelefon adiknya. Terkadang tanpa sedar Fadhil menyebut nama adiknya itu di depanmu, di depan kita semua. Bagi orang lain yang tidak memiliki perasaan apa apa, mendengar namanya mungkin tidak ada masalah. Tapi bagi kamu, itu sama saja air hujan menyirami tanaman yang mengharap air. Belum lagi kalau adiknya itu datang menghantar sesuatu, yang terkadang menghantar makanan untuk abangnya. Ya untuk abangnya, tapi kita ikut menjamu masakannya. Bagi yang lain mungkin tidak ada masalah, tapi bagi mu memakan masakannya akan mengobarkan api asmara yang mungkin susah payah kau padamkan. Jika kau nekad berterusterang pada Fadhil saat ini, percayalah kau boleh merosakkan segalanya. Kau boleh merosakkan dirimu sendiri. Merosakkan hubunganmu dengan Fadhil. Bahkan juga boleh merosakkan Cut Mala."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kenapa boleh sejauh itu kesannya Kang?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Keinginan bernikah itu baik. Keinginan melamar seseorang juga tidak salah. Namun jika waktunya tidak tepat, yang diperolehi akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Kau tentu tahu saat ini sudah sangat hampir dengan ujian. Waktunya orang menumpukan perhatian pada ujian. Kalau kau membuka perasaan dan keinginanmu saat ini, pasti boleh menghilangkan tumpuan Fadhil, juga adiknya Cut Mala. Walaupun jika Cut Mala sedia menerimamu. Keutamannya pada pelajaran akan terganggu dan beralaih memikirkan lamaranmu. Apa lagi ia sebenarnya tidak bersedia untuk bernikah. Fadhil juga akan sangat memikirkan hal itu. Sebab, kau adalah temannya, dan Cut Mala adalah adiknya. Jika Cut Mala menolak lamaranmu, Fadhil pasti akan sangat tidak enak padamu. Belum lagi hal hal lain di luar jangkauan kita. Saya pernah mendapat cerita dari seorang bapak di KBRI, ada seorang mahasiswi gagal ujiannya gara gara dilamar oleh seseorang melalui telefon dan mahasiswi itu tidak sedia menerima lamaran itu. Tumpuannya hilang dan ujiannya gagal. Apakah kau tidak kasihan kalau itu terjadi pada Cut Mala."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kalau macam tu, apa yang harus saya lakukan?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kau harus berusaha mengatasi masalah dirimu. Kau harus dapat mengatasi perasaanmu. jangan kau korbankan orang lain. Sebaiknya untuk sementara, kau berpindahlah jauh sedikit supaya dapat mengutamakan pelajaran. Nanti setelah ujian selesai, aku akan membantumu membicarakan hal ini dengan Fadhil. Ini lebih baik bagimu dan bagi semuanya. Percayalah, siapa jodohmu sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Kau jangan risau. Jika memang yang tertulis untukmu adalah Cut Mala, insya'Allah tidak akan ke mana mana."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baiklah Kang. Aku ikut sarananmu. Tapi janji ya Kang, setelah ujian selesai nanti, Kang akan bantu berbicara dengan Fadhil."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, aku janji."</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">******</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Cut Mala dan Tiara keluar flat dan turun menggunakan lift. Lalu mereka berjalan ke selatan menuju Hadiqah Dauliyah. Sebuah taman kota di Nasr City yang sangat dibanggakan oleh orang Mesir. Taman yang terdiri hanya di atas beberapa hektar itu, mereka sebut Hadiqah Dauliyah, ertinya International Garden, Taman Internasional.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Mahasiswa Indonesia sering mentertawakan orang Mesir begini: "Kita orang Indonesia yang memiliki taman yang sangat luas, replika dari suku bangsa Indonesia, untuk mengelilinginya tidak cukup dengan hanya berjalan kaki. Kita masih menamakan Taman Mini. Kita menyebutnya, Taman Mini Indonesia Indah. Sedangkan ini taman yang cuma beberapa hektar saja sudah disebut Taman International." Terkadang orang mesir menjawab dengan santai : "Itulah bezanya orang Indonesia dengan orang Mesir. Orang Indonesia terlalu rendah diri, terlalu merendah diri dengan kemampuannya, dan tidak boleh memotivasi diri. Sedangkan orang Mesir salalu yakin pda diri. Selalu boleh memotivasi diri! Kita dapat menginternasionalkan yang kecil." Maka biasanya orang Indonesia akan diam sambil terus menggerutu di dalam hati: "Dasar orang Mesir anak Fir'aun, sombong sekali."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Cut Mala dan Tiara sudah sampai di gerbang Hadiqah. gerbang baru saja dibuka. Beberapa orang Mesir masuk. Mereka berpakaian sukan. Dua gadis Aceh itu masuk. Tiara mengajaknya duduk di sebuah bangku panjang. Langit nampak cerah. Burung burung berterbangan dari pohon ke pohon. Dari arah timur, di antara gedung gedung bertingkat muncul cahaya kemerahan yang perlahan menjadi kekuning kuningan. Matahari muncul seolah tersenyum pada bumi.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Mahu bicara tentang apa tadi kak?" Tanya Cut Mala.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku mahu minta tolong sedikit padamu Dik", jawab Tiara.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Apa itu Kak?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Begini, aku sedang menghadapi masalah serius. Aku minta kamu tidak menceritakan hal ini kepada sesiapapun juga. Kelmarin aku mendapat telefon dari Aceh. Dari ayah. Beliau beritahu, aku dilamar oleh seorang Ustadz. Namanya ustadz Zulkifli. Dia adalah salah seorang ustadz di pesantren kakak dulu. Namun dia tidak pernah mengajar kakak. Kerana ketika dia masuk pesantren, kakak sudah berada di kelas dua aliyah. Dan dia mengajar di kelas satu. Jadi kakak tidak tahu bagaimana sebenarnya dia. Ayah cerita, katanya Ustadz Zulkifli pernah satu pesantren dengan bang Fadhil, abangmu. Aku minta tolong sampaikanlah keadaanku ini pada bang Fadhil. Apakah keputusan yang sebaiknya yang perlu aku ambil? Apakah aku harus terima lamarannya atau bagaimana? Dua hari lagi ayah mahu menelefon untuk meminta kepastianku. Ayah menyerahkan sepenuhnya padaku."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sebenarnya dari dalam hati nurani paling dalam Kak Tiara rasakan bagaimana? Menerima atau menolak?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku tidak tahu Dik."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Reaksi hati pertama kali mendengar lamaran itu bagaimana Kak?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Biasa biasa saja. Kerana sebenarnya aku belum ingin bernikah. Aku ingin bernikah setelah selesai kuliah. Tapi ayah memberitahuku jika aku mahu, ustadz Zulkifli akan menyusul ke Mesir. Aku belum boleh mengambil keputusan. Tolong ya sampaikan hal ini pada Abang Fadhil. Aku ingin tahu pendapat dia sebagai pertimbangan. Dia mungkin kenal baik dengan Ustadz Zulkifli, dan dia juga tahu tentang diriku."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baiklah Kak, amanah kakak segera saya tunaikan, insya'Allah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Hati Tiara merasa lega mendengar jawapan Cut Mala. Sebenarnya ia ingin mengatakan pada Cut Mala, bahawa ia mencintai Fadhil, abangnya, tapi dia tidak sampai hati untuk menyampaikannya. Rasa malulah yang menghalanginya. Selama ini ia hanya boleh meraba tanpa boleh memastikan apakah Fadhil memiliki perasaan yang sama ataukah tidak. Ia ingin mendengar pandangan Fadhil tentang masalahnya untuk sedikit mencari petunjuk dan isyarat bagaimana sebenarnya sikap Fadhil terhadapnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia ingin mencari petunjuk bahawa Fadhil juga mencintainya. Jika ya, ia akan lebih memilih hidup bersama orang yang dicintainya. Ia sangat yakin Fadhil orang yang baik dan soleh, demikian juga Ustadz Zulkifli. Jika demikian, apabila disuruh memilih yang sama baiknya, tentu ia akan memilih yang telah diterima oleh hatinya. Namun, ia merasa jodoh terkadang tidak dapat dipilih. Jodoh dalam keyakinannya adalah dipilihkan. Ya, dipilihkan oleh Allah. Manusia hanya berusaha, berikhtiar. Dan apa yang ia lakukan pada pagi buta di musim bunga itu, ia yakin sebagai salah satu dari ikhtiarnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia tidak boleh menafikan bahawa ia mencintai Fadhil dengan diam diam. Namun ia tidak yakin cinta seperti yang ia rasakan akan kekal. Baginya, cinta yang kekal adalah untuk orang yang secara sah menjadi suaminya. Dan ia tidak dapat nafikan, ia ingin orang itu adalah Fadhil. Sekali lagi jika boleh memilih.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tiara bangkit diikuti Cut Mala. Keduanya berjalan mengelilingi taman. Orang orang Mesir semakin ramai yang datang. Ada yang berlari lari kecil. Ada yang hanya berjalan jalan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bererti Ustadz Zulkifli itu pernah belajar di Pesantren Ar-Risalah Medan Kak?" tanya Cut Mala. Ia bertanya begitu kerana Fadhil, abangnya menyelesaikan pendidikan menengahnya di pesantren itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya. Setahu saya, dia waktu MT's dan Aliyahnya di Pesantren Ar-Risalah, lalu kuliah di LIPIA Jakarta Program I'dadul Lughah, setelah itu ia mengajar di pesantren kakak." Jelas Tiara panjang lebar.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Dia tampan ke Kak?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku tak ingat wajahnya Dik. Kenapa kau tanya begitu?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Memang tidak boleh tanya, Kak?!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, boleh saja. Tapi kenapa kau tanya begitu?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kalau dia tampan, ya terima saja Kak."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kalau tidak tampan?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, terserah kakak. Kan kakak yang mengambil keputusan, dan kakak pula yang akan menjalaninya bukan Mala hi hi hi...." Cut Mala ketawa mengusik. Dua lesing di pipinya menambahkan pesona wajahnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tiara geram dibuatnya.</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">******</span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><span style="color: rgb(153, 51, 0);"><span style="font-weight: bold;">Bahasa Arab Corner :<br /><br />1. Afwan - maaf<br />2. Al-Ma'tsurat - kumpulan zikir dan doa dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang dibaca pada pagi dan petang hari<br /></span></span><br /><br /></span></span></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-89910411698632253702010-04-14T17:27:00.003+08:002010-05-04T13:25:38.044+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (5) Meminang<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><div style="text-align: justify;"> <span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Huhuhuuuu dah masuk pertengahan April... 1 post pun tadak... maleh sungguh aku sekarang nie kan... Macam mane aku tak maleh.. bila pandang skrin komputer je.. mate aku blurrr tu yg maleh tu... Harap2 masa yg terkehadapan nie... problem mata aku nie selesai ekkk Mohon doa kalian same ye...</span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Oklah.. menceceh panjang2 pun.. buat buang masa korang je kan... Masa itu emas... ingat tu...</span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ikutilah rentetan kisah seterusnya...</span></span></span><br /></div><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><span style="font-weight: bold;">SIANG</span> itu sebelum jam dua belas, semua orang dalam rombongan "Minggu Promosi Pelancungan dan Kebudayaan Indonesia di Alexandaria" telah keluar dari hotel. Tepat satu jam setengah, mereka sudah bergerak meninggalkan Alexandaria menuju ke Cairo. Rombongan yang terdiri dari empat puluh lima orang itu meluncur ke Cairo dengan dua buah kereta mewah KBRI, sebuah bas dan sebuah kereta memuatkan barangan.</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><br /></span></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Azzam duduk di samping Romi. Pak Ali membawa BMW bersama Pak Dubes dan teman Pak Dubes. Kereta mewah satu satunya yang dipandu oleh Atase Pendidikan dan Atase Perdagangan. Yang lainnya ikut menaiki bas yang memang selesa. Baru keluar dari Alexandaria, Romi sudah hendak ke toilet. Ia tidak sempat membersihkan perutnya sebelum berangkat sebab tergesa gesa. Ia tadi terlalu asyik berenang di pantai dan hampir terlupa melihat waktu. Sekiranya Pak Atase Perdagangan tidak memeriksa semua orang di lobby, boleh jadi Romi akan ketinggalan.</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><br /></span></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Ketika Romi pergi ke toilet itulah Eliana yang duduk agak di belakang menuju ke depan dan duduk di tempat duduk Romi yang kosong. Azzam dan Eliana belum sempat berbincang sejak peristiwa pemutusan pembicaraan malam tadi. Eliana mendahului percakapan:</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><br />"Eh Mas Khairy, terima kasih atas kiriman <span style="font-weight: bold;">habasy takanat</span>nya ya?"<br /><br /></span></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Oh sama sama. Oh iya, saya minta maaf atas sikap saya yang mungkin tidak berkenan malam tadi. Mungkin itu juga yang membuat Mbak Eliana marah. Saya dengar dari Romi pagi tadi, Mbak marah."</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><br /></span></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Ah tidak. Hanya sedikit emosi saja. Kita lupakan saja itu semua. Ini kalau boleh saya nak tanya, kenapa kamu menjawab mendapat ciuman Perancis itu musibah. Saya yakin malam tadi Mas Khairul mengatakan dengan serius."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Azzam tersenyum. Ia geli sendiri mendengar perkataan Eliana. Katanya lupakan saja semuanya, tapi masih bertanya tentang jawapannya malam tadi. Namun ia tidak mahu mengungkit hal itu. Ia ingin terus menjawab pertanyaan Eliana.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Setiap orang mempunyai prinsip. Dan prinsip seseorang itu biasanya berdasarkan pada apa yang diyakininya. Iya kan Mbak?" Kata Azzam mengawali jawapannya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Iya." Kata Eliana sambil menganggukan kepala. Saat itu ia sama sekali tidak memandang Azzam sebagai tukang masakk, tapi memandang Azzam sebagai seorang mahasiswa yang memiliki satu sikap dan pendirian.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Saya juga memiliki prinsip. Prinsip hidup. Prinsip hidup saya itu saya dasarkan pada Islam. Sebab saya paling yakin dengan ajaran Islam. Di antara ajaran Islam yang saya yakini adalah ajaran tentang menjaga kesucian. Kesucian zahir dan kesucian batin. Kenapa dalam buku buku fiqah, pelajaran pertama pasti tentang <span style="font-weight: bold;">thaharah</span>. Tentang bersuci. Adalah agar pemeluk agama Islam sentiasa menjaga kesucian zahir dan batin. Di antara kesucian kesucian yang dijaga oleh Islam adalah kesucian hubungan antara lelaki dan wanita. Islam sama sekali tidak membolehkan ada persentuhan intim antara lelaki dan wanita kecuali mereka itu adalah suami isteri yang sah. Dan ciuman gaya Perancis itu bagi saya sudah termasuk kategori sentuhan sangat intim. Yang dalam Islam tidak boleh dilakukan kecuali oleh pasangan suami isteri. Ini demi menjaga kesucian. Kesucian kaum lelaki dan kaum wanita."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Ketika saya mengatakan bahawa jika sampai saya melakukan ciuman itu dengan wanita yang tidak halal bagi saya, maka saya telah menodai kesucian saya sendiri dan menodai kesucian wanita itu. Dan itu bagi saya adalah suatu musibah yang luar biasa besar. Saya telah kehilangan kesucian bibir saya. Tidak hanya itu, saya juga kehilangan kesucian jiwa saya. Jiwa saya telah dikotori oleh dosa yang entah bagaimana cara menghapusnya. Jika bibir ini kotor oleh gincu, dapat dibersihkan dengan air atau yang lainnya. Tapi jika terkotori oleh bibir yang tidak halal, kotor yang tidak nampak bagaimana cara membersihkannya. Meskipun hanya beristighfar, meminta ampun kepada Allah tetap saja bibir ini pernah kotor, pernah ternoda, pernah melakukan dosa yang menjijikkan. Saya tidak mahu melakukan hal itu. Saya ingin menjaga kesucian diri saya. Seluruhnya. Saya ingin menghadiahkan kesucian ini kepada isteri saya kelak. Biar dialah yang menyentuhinya pertama kali. Biar dialah yang akan mewangikan jiwa dan raga ini dengan sentuhan sentuhan yang mendatangkan pahala."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Itulah prinsip yang saya yakini. Mungkin saya akan dikatakan pemuda kolot. Pemuda primitif. Pemuda kampung. Pemuda tidak tahu perkembangan dan sebagainya. Tapi saya tidak peduli. Saya bahagia dengan apa yang saya yakini kebenarannya. Dan saya yakin Mbak Eliana yang pernah belajar di negara yang mengagungkan kebebasan berpendapat itu akan dapat menghargai pendapat saya."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Azzam menjelaskan panjang lebar. Eliana mendengar dengan teliti. Tidak terasa matanya berkaca kaca. Ia belum pernah mendengar penjelasan tentang kesucian seperti itu sebelumnya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Aku mengerti", lirih Eliana.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Terima kasih atas penjelasannya", lanjutnya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Saat itu Romi keluar dari toilet. Eliana lalu kembali ke tempatnya semula. Penjelasan Azzam masih membekas dalam hatinya. Tiba tiba ia merasa dirinya sangat kosong. Bibirnya entah berapa kali berciuman dengan lelaki yang belum menjadi suaminya. Ia tidak dapat menghitungnya. Untuk pertama kalinya ia merasa menjadi perempuan yang tidak berharga. Ia teringat dengan saudara sepupunya yang tinggal di pelusuk Lumajang. Namanya Nurjanah. Sejak kecil lagi dia sudah memakai tudung. Saat diajak bersalaman dengan ayahnya, ia tidak mahu. Ayahnya pernah tersinggung. Tapi sepupunya yang sekarang menjadi pengajar di sebuah Madrasah Ibtidaiyyah itu berpegang teguh dengan pendiriannya. Tidak mahu bersentuhan kecuali dengan lelaki yang halal baginya. Sekarang baru ia tahu rahsianya. Itu kerana ajaran kesucian itu. Nurjanah berpegang teguh mempertahankan kesucian dirinya secara utuh. Tiba tiba ia merasa gadis seperti Nurjanah alangkah lebih mulianya. Ia merasa dirinya tiada apa apa sekiranya dibandingkan dengan Nurjanah. Ada yang merembes dari hujung kedua matanya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Bas terus melaju membelah padang sahara yang luas. Sejauh mata memandang yang nampak adalah hamparan padang pasir berwarna kecoklatan. Ada yang rata, ada yang bergelombang seperti berbukit bukir. Eliana memandang ke tingkap. Ia melihat debu debu berhamburan di pinggir jalan. Angin berhembus sangat kencang. Namun bas itu terus melaju dengan tenang.</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><br /></span></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-weight: bold;font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">******</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><br /></span></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Sampai di Cairo, Azzam terus meluncur pulang ke rumahnya di Hay El Asher. Tepat menjelang Maghrib ia sampai di rumah. Teman satu rumahnya menyambutnya dengan penuh kerinduan. Ia meminta mereka supaya membuka beg berisi buah tangannya. Isinya kurma isi kacang. Buah Zaitun. Kacang Arab berwarna hijau. Dan Makaronah untuk dimasak. Tidak ada yabg istimewa. Semua adalah makanan Mesir yang sebenarnya ada di Cairo. Namun mereka tetap menyambut oleh oleh itu dengan penuh bersemangat dan gembira.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Azzam segera mandi. Setelah itu ia terus keluar rumah.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Ceritanya nanti saja ya. Aku ada urusan penting sekali malam ini", kata Azzam pada mereka. Mereka pun mengangguk faham.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Azzam meluncur ke Hay El Sabe'. Ia solat Maghrib di Masjid Ridhwan. Tujuannya setelah itu hanya satu, iaitu ke rumah Ustadz Saiful Mujab, untuk melamar Anna Althafunnisa. Ia sampai ke masjid itu ketika imam sudah rakaat kedua. Ia bahagia melihat Ustadz Mujab ada. Di barisan saf yang kedua. Ia takbir di saf ketiga. Selesai solat ia bertemu dengan Ustadz Mujab. Dan Ustadz Mujab tersenyum gembira berjumpa dengannya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Lho, aku dengar kau ikut rombongan KBRI ke Alexandaria. Kenapa sudah di sini, Rul?" Sapa Ustadz Mujab.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Iya Ustadz. Baru pulang menjelang Maghrib tadi dan terus saja datang ke sini", jawab Azzam.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Ada urusan apa? Kenapa kelihatannya penting sekali sampai tidak istirehat dulu. Malah terus kemari?"</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Saya ada urusan peribadi yang sangat penting. Saya ingin membicarakannya pada Ustadz. Ustadz ada waktu?"</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"O... begitu. Boleh boleh. Mari kita ka rumah." Lalu mereka pergi ke rumah Ustadz Mujab yang tidak jauh dari Masjid Ridhwan itu. Ustadz Mujab yang sedang menyiapkan M.A.nya di Intitut Liga Arab itu hidup di Cairo bersama keluarganya. Bersama anak dan isterinya. Rumahnya sederhana. Namun rumah itu membuat betah siapa saja yang berkunjung ke sana. Tidak lain dan tidak bukan, kerana keramahan pemilik rumahnya. Iaitu Ustadz Mujab dan isterinya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Setelah duduk di ruang tamu beberapa saat, dan teh panas dikeluarkan bersama satu piring roti coklat, Ustadz Mujab bertanya pada Azzam dengan mata memandang tepat padanya:</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Ada urusan apa? Apa yang bolehku bantu?"</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Saya sebenarnya malu Ustadz. Saya tidak tahu dari mana saya harus memulakan", jawab Azzam.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Tidak usah malu. Jika kebaikan yang dicari tidak usah malu."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Baiklah Ustadz. Saya ingin minta bantuan Ustadz untuk melamar seseorang untuk saya", kata Azzam dengan suara bergetar.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Oh itu. Hal begini kenapa malu. Kamu memang sudah sampai waktunya kok Rul." Ustadz Mujab biasa memanggilnya 'Rul' singkatan dari 'Khairul' yang diambil dari namanya 'Khairul Azzam'. Jadi, di Cairo ada yang memanggilnya ''Mad Khairyl', Mas Insinyur', 'Rul', 'Irul'' dan ada yang memanggil dengan nama belakangnya iaitu 'Azzam'. Yang memanggil dengan panggilan Azzam hanya orang orang satu rumahnya saja. Itu pun atas permintaannya. Sedang di luar rumah, ramai yang memanggil 'Khairul' dan 'Insinyur'.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Aku akan membantu semampuku. Siapa nama gadis yang kau pilih itu. Dan siapa nama orang tuanya. Orang mana? Kalau di Al-Azhar, tahun berapa?" Ustadz Mujab melanjutkan.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Dengan mengumpulkan semua keberaniannya ia menjawab dengan suara bergetar. Dan dengan hati bergetar pula:</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Namanya Anna Althafunnisa Puteri Pak Ustadz Luthfi Hakim. Berasal dari Kiaten. Kalau tidak salah sekarang sedang mengikuti pengajian Pasca-Sarjana di Kuliyyatul Banat, Al-Azhar."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Ustadz Mujab terkejut mendengar kata kata yang keluar dari mulut Azzam. Ia seperti mendengar suara petir yang hampir merobohkan apartment di mana dia dan keluarganya tinggal.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Anna Althafunnisa?" Tanya Ustadz Mujab tidak percaya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Azzam mengangguk dengan tetap menundukkan kepala.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Ustadz Mujab menghela nafas panjang. Ia seperti hendak mengeluarkan sesuatu yang menyesak di dadanya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Siapa yang mengkhabarkan kamu tentang Anna Althafunnisa?"</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Ada. Tapi dia tidak mahu disebut sebut namanya Ustadz."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Ustadz Mujab kembali menghela nafas panjang.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Allah-lah yang mengatur perjalanan hidup ini. Sungguh aku ingin membantumu Rul. Tapi agaknya tadir tidak menghendaki aku boleh membantumu kali ini. Anna Althafunnisa itu adalah sepupu denganku. Aku tahu bagaimana keadaan dia saat ini. Sayang kau datang tidak tepat pada waktunya. Anna Althafunnisa sudah dilamar orang. Ia sudah dilamar oleh temanmu sendiri."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Sudah dilamar temanku sendiri? Siapa?"</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Furqan! Ia sudah dilamar Furqan sebulan yang lalu."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Mendengar hal itu tulang tulang Azzam bagai sedang dilolosi satu persatu. Lidah dan bibirnya terasa kelu. Furqan lagi. Ia berusaha keras mengendalikan hati dan perasaannya untuk bersabar.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Maafkan aku Rul. Aku sarankan kau mencari yang lain saja. Mahasiswi Indonesia di Al-Azhar kan banyak. Dunia tidak selebar daun kelor." Ustadz Mujab berusaha mententeramkan.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Iya Ustadz. Tapi saya akan mencari yang sekualiti Anna Althafunnisa."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Ustadz Mujab terhenyak mendengar jawapan Khairul Azzam. Begitu mantapnya ia menyatakan pandangannya. Ia seolah olah sudah tahu siapakah Anna Althafunnisa.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Apakah kamu pernah bertemu Anna?"</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Belum."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Pernah lihat wajahnya?"</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Belum."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Hairan. Bagaimana mungkin kau begitu yakin memilih Anna Althafunnisa? Bagaimana mungkin kau menjadikan Anna sebagai standard."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Firasat yang membuat saya yakin Ustadz."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Tapi menikah tidak cukup memakai firasat Rul. jujur Rul aku sangat terkejut dengan standardmu itu. Baiklah aku buka sedikit. Anna adalah bintang Pesantren Darul Qur'an. Sejak kecil ia menghiasi dirinya dengan prestasi, dan prestasi selain dengan akhlak yang mulia tentunya. Ia menyelesaikan B.A.nya di Alexandria dengan darjah <span style="font-weight: bold;">mumtaz</span>. Kalau ingin memiliki isteri seperti dia, cubalah kau menyamakan dirimu dulu seperti dia. Kalau aku jadi orang tuanya, dan ada dua mahasiswa Al-Azhar, yang seorang serius belajarnya, yang seorang pula hanya sibuk membuat tempe. Maaf Rul, pasti aku akan memilih yang lebih serius belajarnya. Kau tentu sudah faham maksudku. Bukan aku ingin menyinggungmu, tapi aku ingin kau memperbaiki dirimu. Aku ingin kau lebih realistik. Cubalah kau rasa apa pandangan di Cairo tentang dirimu."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Iya Ustadz. Terima kasih. Ini akan jadi nasihat yang sangat berharga bagi saya", jawab Azzam dengan mata berlinang. Kalimat Ustadz Saiful Mujab sangat berat ia terima. Ia sangat tersindir. Tapi ia tidak boleh berbuat apa apa. Dengan bahasa lain, sebenarnya Ustadz Mujab seolah olah ingin mengatakan bahawa dia sama sekali <span style="font-weight: bold;">'tidak berhak'</span> melamar Anna. Atau lebih tepatnya <span style="font-weight: bold;">'tidak layak' </span>melamar Anna. Hanya mereka yang berprestasi yang berhak dan layak melamarnya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Dan lagi lagi, prestasi yang dilihat adalah prestasi akademik. Dan di mata orang orang yang mengenalnya di dunia akademik, ia sangat dipandang remeh kerana tidak juga lulus dari Al-Azhar. Padahal sudah lapan tahun lebih ia menjalaninya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Azzam lalu minta diri. Dalam perjalanan ke rumahnya ia menitiskan air mata. Ia berusaha tabah dan sabar. Namun setabahnya, ia adalah manusia biasa yang memiliki air mata. Ia bukan robot yang tidak memiliki perasaan apa apa. Ia mengusap air matanya. Ia tidak boleh menyalahkan siapa saja jika ada yang meremehkannya. Kerana memang kenyataannya ia belum juga lulus. Ia berusaha meneguhkan hatinya bahawa hidup ini terus berpusing dan berputar.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Baiklah, saat ini aku belum berjaya menunjukkan prestasi. Tapi tunggulah lima tahun ke depan. Akan aku buktikan bahawa, aku, Khairul Azzam berhak melamar gadis solehah yang mana saja."</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Sampai di rumah, ia terus ke biliknya untuk istirehat. Di atas meja masih tergeletak surat dari Husna, adiknya di Indonesia yang mengkhabarkan bahawa si kecil Sarah perlu menjalani pembedahan tonsil. Dan perlu biaya pakaian seragam pondok pesantren. Ia terus teringat akan tanggungjawabnya sebagai abang yang paling tua. Ia menangis. Ia merasakan betapa sayangnya Allah kepadanya. Allah masih ingin ia mengutamakan pada tanggungjawabnya membiayai adik adiknya. Inilah hikmah yang ia dapat dari peristiwa kekecewaannya kerana Anna telah dilamar orang lain.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Allah belum mengizinkan aku bernikah. Aku masih perlu memperhatikan adik adikku sampai ke gerbang masa depan yang jelas dan cerah. Kalau aku bernikah waktu ini, perhatianku pada adik adiku akan berkurang." Ia berbisik pada dirinya sendiri. Ia bertekad untuk menutup semua pintu hatinya. Dan ia akan buka kembali setelah pulang ke Indonesia. Setelah ia selesai memperolehi B.A. dan adik adiknya sudah boleh ia percayai mampu meraih masa depannya.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Tiba tiba ia tersenyum.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Bodohnya aku, kenapa aku memasukkan Eliana dan Anna ke dalam hati. Bodohnya aku. Tugas yang jelas di mata menuntut tanggungjawab saja masih panjang kenapa pula tergoda dengan yang tidak jelas." Gumamnya lagi pada diri sendiri.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">Ia membulatkan tekadnya untuk bekerja lebih keras lagi. Dan ia akan belajar lebih bersungguh sungguh. Ia ingin berjaya dalam kedua duanya. Ia lalu teringat harus mengirimkan wang ke Indonesia. Ke akaun Husna, agar si Sarah boleh belajar dengan tenang di pesantrennya. Ia ingin adik bongsunya itu menghafal Al-Qur'an. Tiba tiba ia merasa rindu kepada adik bongsunya itu. Ia masih ingat sebelum berangkat ke Cairo dulu, adiknyaitu masih hingusan lagi. Baru berumur empat tahun setengah. Ia yang mengajarinya belajar membaca Al-Qur'an dengan </span></span><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><span style="font-family:arial;">Qiraati</span></span><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;">"Ah semua sudah ada yang mengatur. Iaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika saatnya bertemu nanti akan bertemu juga." Gumamnya dalam hati.</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"> </span></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><span style="font-weight: bold;">******</span></span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><br /></span></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><span style="color: rgb(0, 153, 0);">Ermmm kalau kita nie lah.. yg menghadapi situasi mcm c Azzam tu.... mcm manelah punya hangin agaknye kan (tu bg yg ada angin seluruh bdn). Tapi... bagi yg mudah terkecikkk ati... mau junam gaung agaknye... hehehee Apa apa pun moga ketabahan yg dilukiskan dlm diri seorang Azzam oleh Pak Habiburrahman sedikit sebanyak dapat membimbing kita mencari jatidiri hendaknya.</span></span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-family:arial;"><br /></span></span></span></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-42695997547865610942010-03-27T17:36:00.010+08:002011-03-11T14:36:28.266+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (4) Cerita Furqan<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;color:transparent;"><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-size:85%;">Fuyoooooooooooo lame aku tak menyemakkan blog aku nie dgn bab seterusnya dlm KCB. Aku tak punya waktu pun iye... mate aku nie tak mengizinkan pun... memainkan peranan besar gak. Sejak kena sakit mate ari tu... aku dah tak blh nk tgk skrin komp. lame2... Siksa weii bola mate aku nie... blurrr satu hal... sakit menangkap ke kapla satu hal...Secara tiba2... baru aku tersedar... mungkin Yang Maha Esa telah mengambil sedikit dari kenikmatan yang aku kecapi selama ini... Aku cuba congak & hitung dlm diam... eeee takutnya... apesal mcm uncang dosa tu lbh berat dari pahala????? </span></span> <span style="color: rgb(0, 153, 0);font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;"><br /><br />Ahhh korang lupakanlah tanda soal tu sementara... kita tanya diri kita masing2 bila dok sorang2 k.... </span> <span style="font-style: italic;"><br /><br />Kepada yang masih setia mengikuti & tertunggu2 akan kisah KCB selanjutnya... hayatilah gelora seterusnya. Terima kasih na.. kerna sudi melawat blog aku yg tak sepertinya ini...</span></span><span style="color: rgb(0, 153, 0);"> </span><span style="color: rgb(0, 153, 0);font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;">Layannnn</span></span><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><br /><br /><span style="font-style: italic;">BERULANG kali Eliana menelefon bilik Azzam. tidak ada yang menjawab. Ia ingin membuat perhitungan dengan Azzam. Kata kata Azzam malam tadi, ia anggap sangat memandang rendah terhadapnya. Ia sangat tersinggung. Apalagi malam tadi pemuda kurus itu memutuskan pembicaraan dengannya secara sebelah pihak. Siapakah dia yang berani berlaku tidak sopan terhadapnya? Baginya tindakan Azzam itu tidak hanya tidak sopan, tapi sangat menghinanya. Ia memang orang yang mudah beremosi jika ada sedikit saja hal yang tidak berkenan dengan hatinya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Eliana mundar mandir di lobby hotel. Ia memperhatikan dengan teliti orang orang yang duduk dan lalu lalang di situ. Ia menanti Azzam untuk diserangnya. Ia hendak memarahinya seperti ia memarahi pembantu pembantunya yang melakukan sesuatu yang membuatnya marah.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Pagi itu suasana hotel sudah terasa sangat panas bagi Eliana. Ia menanyakan keberadaan Azzam kepada semua orang Indonesia. Para mahasiswa, rombongan Penari Saman, para staf KBRI, bahkan ayahnya sendiri. Semua menjawab tidak tahu pasti. Ada yang menjawab mungkin sedang jalan jalan di Pasar El Manshiya. Ada yang menjawab mungkin sedang mencari sesuatu di Abu Qir. Ada yang menjawab mungkin sedang ziarah ke Masjid Nabi Daniyal. Ada yang menjawab mungkin sedang berenang di pantai. Semua jawapan tidak ada yang memuaskannya. Ia ingin segera bertemu dengan pemuda yang tidak tahu dihargai itu. Ia ingin segera menumpahkan segala kemarahannya. Ia ingin segera melumatnya jika boleh.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Sementara Azzam dan Pak Ali berjalan santai menelusuri pantai. Azzam membuka sandalnya dan membiarkan kakinya yang tidak beralas ity menginjak pasir pantai yang lembut.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Pak Ali." Sapa Azzam perlahan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ya, Mas."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Pak Ali sudah lapar?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Mahu sarapan di hotel?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Entah kenapa ya Mas. Aku sudah bosan sangat sarapan di hotel."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Saya juga Pak Ali. Kalau begitu kita cari </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">tha'miyah bil baidh</span><span style="font-style: italic;"> di luar hotel jom?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Jom."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Mereka terus berjalan mencari kedai </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">tha'miyah</span><span style="font-style: italic;">, kedai yang menjual makanan khas Mesir yang terdekat. Ketika mereka melintas jalan raya menuju ke kedai itu, seseorang memanggil manggil nama mereka. Mereka berpaling ke arah suara itu. Ternyata si Romi. Mahasiswa asal Madura yang dipercayai membuat dan menjaga gerai Satay Madura. Anak asal Pamekasan itu berjalan dengan setengah berlari ke arah mereka. Tubuh kurusnya dibalut baju hitam dan seluar panjang hitam. Tangan kanannya membawa beg plastik hitam.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ada apa Mi?" sapa Azzam setelah jaraknya dengan Romi tidak terlalu jauh.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Anu, anu Mas Khairul. Kami dicari cari oleh Mbak Eliana sejak dari tadi. Kelihatannya dia sedang marah. Baik kamu segera ke lobby hotel. Jika tidak ke sana segera, aku risau dia semakin marah. Dan jika dia marah, celakalah kita semua. Cepat cepatlah kamu minta maaf?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Minta maaf atas apa, Mi?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ya, tidak tahu. Yang penting minta maaf. Mungkin dia tersinggung kerana sesuatu yang tidak kamu sedari. Apa sih beratnya minta maaf? Jangan sampai kemarahannya bertempias pada bisnes kita."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Biar betul Mi, kenapa kamu berfikir terlalu jauh. Kenapa kamu takut sekali rezeki kamu terancam oleh kemarahan seorang seperti Eliana. Lagipun dia marah padaku. Kenapa kamu yang takut?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Bukan begitu Mas Khairul. Saya hanya tidak mahu ambil risiko. saya tidak mahu susah. Marahnya orang kaya sering membuat susah kepada orang miskin.Marahnya orang atasan sering membuat susahrakyat. Eliana kalau memberitahu ayahnya kan boleh membuat kita susah. Bukan begitu Pak Ali?" Jelas Romi sambil memandang Pak Ali. Pak Ali hanya menyahut ringan: "Itu urusan kalian."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Azzam memandang Pak Ali. Wajah Pak Ali tetap seperti asal, tidak ada perubahan. Lalu sambil menepuk bahu Romi, Azzam menenangkannya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Jangan berfikir yang bukan bukan. Tenanglah, tidak akan terjadi apa apa. Aku akan segera temui Eliana."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Romi hanya diam saja.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Kau mahu ke mana, Mi? Kau ke mari hanya untuk menemui kami atau ada keperluan lain?" Tanya Azzam mengalihkan pembicaraan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Aku mahu berenang di pantai. Terakhir sebelum pulang."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Bawa baju tak?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Bawa. Ini." Jawab Romi sambil mengangkat beg plastiknya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Kenapa sendirian? Tidak mengajak kawan yang lain?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ya, yang lain tak ada yang mahu ikut. Katanya sudah bosan. Ya sudah, aku berangkat sendiri saja. Atau kau mahu menemani?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Aduh, aku masih ada banyak hal yang harus aku selesaikan. Ya, sudah. Hati hati."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ya."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Azzam dan Pak Alu meneruskan perjalanan ke kedai </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">tha'miyah</span><span style="font-style: italic;">. Romi semakin mendekati pantai. Udara belum terasa hangat lagi. Orang yang berenang di pantai boleh dihitung dengan jari. Saat itu belum ramai pengunjung yang datang. Sebab masih ada sisa sisa musim dingin. Pantai itu akan menjadi sangat ramai ketika cuti musim panas akan datang.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Mas Khairul. Saya sarankan kau berdamai saja dengan puterinya Pak Dubes itu. Tidak payah cari penyakit. Aku tidak tahu masalahmu dengannya. Tapi damai adalah hal yang disukai oleh fitrah umat manusia di mana saja", saran Pak Ali.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Azzam lalu menjelaskan kejadian malam tadi setelah pulang dari El Muntazah. Tentang telefon dari Eliana. Tentang hadiah istimewa berupa ciuman khas Perancis. Tentang jawapannya. Tentang pemutusan pembicaraan secara sebelah pihak darinya. Pak Ali mendengarkan sambil berjalan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ada saranan tambahan Pak ALi?" Tanya Azzam sambil menyamakan langkahnya dengan langkah Pak Ali yang agak lambat.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Sarananku. Sebaiknya kau minta maaf. Lalu jelaskan dengan betul dan baik baik kenapa menolak ciuman itu. Tidak usah dihadapi dengan emosi. Api bertemu api akan semakin panas. Emosi lebih banyak merugikan daripada menguntungkan."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Aku sangat yakin dia sangat marah Pak. Terus bagaimana cara meredakannya?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Senang. Hati wanita mudah diluluhkan. Belikan dia hadiah kejutan. Dia akan merasa senang. Rasa senang dapat meredakan amarah. Sebab amarah itu datang biasanya kerana rasa tidak senang."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Sebaiknya hadiahnya apa, ya Pak?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Apa saja yang boleh didapati pagi ini. Tidak harus mahal."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Pak Ali punya cadangan, mahu beli barang apa?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Pak Ali mengerutkan dahi sesaat. Tiba tiba wajahnya seperti bersinar.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ya, ini saja. Belikan saja makanan khas Mesir kesukaannya. Ia mudah didapati pagi ini dan murah."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Kalau dia sudah makan pagi bagaimana? Apa tidak jadi membazir?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Percayalah, dia belum makan pagi. Orang kalau sedang marah malas makan. Dia akan makan kalau marahnya mulai reda. Percayalah, dia belum makan pagi. Dan percayalah, dia juga sudah bosan dengan menu hotel."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Apa makanan kesukaannya Pak?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"</span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Habasy takanat</span><span style="font-style: italic;">"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Biar betul, Pak? Takkan gadis selangsing dia suka habasy takanat?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ya. Habasy takanat itu tidak otomatik membuat badan menjadi gemuk. Menjadi kenyang, iya. Tapi jadi gemuk belum tentu."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ayuh Pak, kalau begitu kita segera beli."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Mereka berdua mempercepatkan langkah. Sampai di kedai yang dituju, mereka memesan empat </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">tha'miyah bil baidh</span><span style="font-style: italic;"> untuk dimakan di situ dan dua </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat</span><span style="font-style: italic;"> untuk dibungkus. Pemilik kedai itu adalah orang Mesir gemuk dengan janggut hampir menutupi setengah wajahnya. Kebengisan wajahnya sirna oleh senyum dan keramahannya. Azzam senang dengan keramahan itu. Sebab tidak sedikit pemilik kedai </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">tha'miyah</span><span style="font-style: italic;"> yang tidak ramah. Ia masih ingat dengan pemilik kedai tha'miyah di kawasan Hay El Ashir Cairo yang sangat tidak ramah. Tidak pernah senyum. Ia pernah tidak dipedulikan. Benar benar tidak dipedulikan. Pemilik itu melayani semua orang Mesir, tapi seolah olah tidak melihat keberadaannya. Ia sama sekali tidak dianggap ada. Ia sendiri tidak tahu, apa sebabnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Azzam memakan </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">tha'miyah bil baidh</span><span style="font-style: italic;"> dengan lahap. Pak Ali juga. Setelah kenyang mereka menuju hotel. Di tengah jalan pak Ali menghentikan langkahnya dan berkata :</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Mas, </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Habasy takanat</span><span style="font-style: italic;">nya biar saya saja yang memberikan. Kalau sudah dia makan, saya akan mengatakan itu hadiah darimu. Kau jalan jalan saja dulu. Kira kira satu jam. Setelah itu kau boleh datang. Dan insya'Allah, semua akan damai dan aman."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Wah, idea yang bagus itu Pak", sahut Azzam berbinar . Ia lalu menyerahkan bungkusan berisi </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat</span><span style="font-style: italic;"> itu kepada Pak Ali. Pak Ali tersenyum. Lalu berjalan ke hotel. Sementara Azza, terus naik Eltramco ke Pasar El Manshiya. Ia ingin membeli buah tangan untuk teman teman serumahnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Sebaik saja melangkah masuk ke hotel, Pak Ali terus ditanya oleh Eliana seolah olah Eliana sudah lama menantinya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Pak Ali ke mana saja? Nampak tak tukang masak yang kurus itu atau tidak?" Nadanya tidak lembut seperti biasanya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Saya dari jalan jalan menghirup udara pantai. Biar segar. Tukang masak kurus itu yang Mbak Eliana maksud siapa? Si Romi?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Bukan si Romi. Itu si Khairul."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Kalau si Romi saya tahu. Dia sedang berenang di pantai. Kalau Khairul sekarang, secara pastinya saya tidak tahu. Tadi ni, saya bertemu dengannya di tengah jalan. Dia naik Eltramco ke El Manshiya."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Eliana mendengus. Wajah yang biasanya putih cemerlang itu nampak merah padam. Ia lalu duduk di sofa. Tidak jauh darinya dua remaja puteri Mesir sedang berbincang bincang dengan rancaknya. Sesekali terdengar suara gelak dari mereka. Pak Ali duduk di depan Eliana.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Eh ngomong ngomong, Mbak Eliana sudah sarapan pagi?" Tanya Pak Ali.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Belum Pak. Tak ada selera. Apalagi menu hotel. Sudah bosan sekali rasanya."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Pak Ali tersenyum, lalu berkata: "Kalau </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat</span><span style="font-style: italic;"> mahu?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Mendengar tawaran Pak Ali, wajah Eliana sedikit cerah.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Wah, itu boleh Pak. Sebenarnya saya sudah lapar. Jom kita keluar cari </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat </span><span style="font-style: italic;">Pak Ali, ayuh?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Tidak usah keluar. Ini saya sudah bawakan. Tadi saya baru saja makan </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">tha'miyah bil baidh</span><span style="font-style: italic;">. Ini saya bawa untuk Mbak Eliana", jawab Pak Ali sambil menyerahkan bungkusan dalam plastik hitam berisi </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat</span><span style="font-style: italic;">.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Wah, terima kasih banyak Pak ya. Wah, enaknya kalau terus dimakan saja ni. Pak temani saya ke restoran. Biar ini saya makan di sana sambil minum teh panas."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Mereka berdua lalu masuk le Lourantos Restaurant. Desain interior restoran itu memadukan Arab dan Eropah. Menu yang dihidangkan pagi itu adalah menu Arab dan Itali. Tapi </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat</span><span style="font-style: italic;"> tidak ditemukan di situ. Eliana menyantap </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat </span><span style="font-style: italic;">dengan lahap dan penuh semangat. Selesai menyantap makanan khas Mesir itu, lalu Eliana menghirup teh panasnya yang kental. Gadis itu kelihatan begitu menikmati makan paginya. Dan Pak Ali melihatnya dengan hati lega.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ada apa sih Mbak, kok mencari Mas Insinyur Khairul? Kelihatannya ada urusan penting ya?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ya. Aku sedang marah padanya."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Kenapa?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Dia berani menghinaku malam tadi."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ah, yang benar saja Mbak. Saya sama sekali tidak percaya anak itu berani menghina kamu."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Pak Ali percaya atau tidak percaya, itu tidak penting."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Bukan begitu nak Eliana. Saya khuatir Mbak Eliana salah faham. Sebab waktu bertemu saya tadi, Khairul justeru memperlihatkan hal yang sebaliknya pada saya. Khairul begitu prihatin sama kamu. Tadi saya dan Mas Khairul juga bertemu Romi. Romi beritahu Mbak Eliana marah besar pada Khairul. Khairul malah tersenyum saja. Lalu Khairul mengirimkan pada saya </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat</span><span style="font-style: italic;"> ini pada Mbak."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Apa!? Jadi bukan Pak Ali yang membelikannya untuk saya?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Bukan. Yang membelikan itu adalah Khairul. Yang membawanya ke mari adalah saya."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Pak Ali, Pak Ali kenapa tidak beritahu dari tadi. Aduh, aduh aduh! Saya ingat ini dari Pak Ali."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Saya tadikan sudah beritahu, ini saya bawa </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat</span><span style="font-style: italic;">. Yang membelikan adalah Khairul. Dikirimkan pada saya."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Kenapa tidak dia sendiri yang memberikan pada saya!?" Tanya Eliana tajam.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Saya tidak tahu Mbak Eliana. Kelihatannya dia tergesa gesa. Dia kata mahu beli barang barang di pasar. Tidak ada waktu lagi katanya. Yang penting ini menunjukkan bahawa Mas Khairul sendiri tidak merasa mempunyai masalah dengan Mbak Eliana. Kalau dia merasa mempunyai masalah, bagaimana mungkin mahu membelikan </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanat</span><span style="font-style: italic;">, makanan kesukaan kamu. Justeru kelihatannya dia sangat menghormati kamu. Dan ingin membuat kamu merasa senang."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Eliana diam. Kata kata pak Ali menusuk ke dalam hatinya. Menyejukkan panas amarahnya. tapi ia belum boleh tenang sepenuhnya. Amarahnya belum mahu juga sirna seluruhnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Tapi malam tadi dia berkata masar di telefon pada saya Pak. Dia juga memutuskan pembicaraan seenaknya saja! Apakah itu tidak dikatakan menghina Pak Ali!?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Pak Ali tersenyum.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Mungkin saat itu Mas Khairul sedang penat. Letih. Orang kalau letih, fikirannya tidak akan jernih. Cubalah ingat, kelmarin ia kerja sejak pagi sampai malam."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Penjelasan Pak Ali semakin meluluhkan hatinya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Semestinya Mbak Eliana harus berterima kasih pada Mas Khairul. Enam hari ini tenaga dan waktunya, ia surahkan untuk membantu Mbak Eliana. Bahkan dalam keadaan sangat letih, dia masih mahu membakarkan ikan untuk membantu Mbak Eliana. Dan pagi ini, dia mengirim sesuatu yang sangat kamu suka. Semestinya kamu berterima kasih sama dia. Saya dengar orang Barat yang terdidik itu mudah mengucapkan terima kasih pada orang yang membantunya", sambung Pak Ali.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Amarah Eliana perlahan mereda. Ruang di hatinya yang asalnya berisi amarah yang meluap luap pada Azzam, perlahan lahan berubah diisi rasa kasihan. Ia menyesal kerans telah beremosi dan marah, sementara orang yang akan dimarahinya sedemikian tulus padanya. Diam diam menyusup ke dalam dadanya rasa malu pada dirinya sendiri. Ia menye dari apa yang disampaikan Pak Ali ada benarnya. Penjual tempe yang pandai masak itu memang sudah banyak membantunya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Pak Ali. Nanti kalau bertemu dengan Mas Khairul sampaikan terima kasih saya ya atas </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">habasy takanatnya</span><span style="font-style: italic;">. Saya mahu mandi dan berkemas kemas". kata Eliana dengan wajah lebih ceria.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Insya'Allah, tapi kalau sampaikan sendiri tentunya lebih baik", jawab Pak Ali dengan senyum mengembang.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">"Ya. Nanti kalau bertemu dia", tukas Eliana sambil bangkit dari duduknya.</span><br /><br /><br /></span><div style="text-align: center; font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">*** </span></span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br />Di sebuah kedai buku di El Manshiya, Azzam bertemu dengan Furqan. Setelah berpelukan, Furqan mengajak Azzam menemaninya makan roti </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;font-size:85%;" >kibdah</span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" > di sebelah sebuah masjid tua sambil berbincang bincang. Azzam menuruti ajakan teman lamanya itu dengan senang.<br /><br />"Saya ini sedang bingung menentukan pilihan", kata Furqan sambil mengunyah roti </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;font-size:85%;" >kibdah</span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >nya.<br /><br />"Pilihan apa?" Sahut Azzam tenang. Matanya memandang ke arah seorang datuk berjubah kelabu yang menjual tasbih dan kopiah putih. Datuk itu duduk termenung. Matanya memandang ke arah jalan. Azzam berusaha mereka reka apa yang ada dalam fikiran datuk itu saat itu.<br /><br />"Bingung memilih dua gadis yang sama sama memiliki kelebihan untuk aku nikahi." Jawab Furqan membuat Azzam terus mengalihkan pandangannya dari datuk berjubah kelabu itu ke wajah Furqan yang masih asyik dengan roti </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;font-size:85%;" >kibdah</span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >nya.<br /><br />"Ceritanya bagaimana?" Tanya Azzam dengan nada serius.<br /><br />Furqan menghentikan makannya. Ia meneguk air putih untuk membasahi tekaknya. lalu memandang Azzam dengan tepat.<br /><br />"Aku akan cerita. Tapi janji jangan kau bocorkan kepada siapa siapa. </span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;font-size:85%;" >Masyi</span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >!"<br /><br />"</span><span style="font-weight: bold; font-style: italic;font-size:85%;" >Masyi</span><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >>."<br /><br />"Begini. Aku saat ini sedang dikejar Eliana Puteri Pak Dubes itu."<br /><br />Dikejar Eliana? Ah yang benar Fur!?" Azzam terkejut mendengar penuturan sahabatnya itu.<br /><br />"Benar. Aku tidak bohong. Kau tahu sendirilah Rul. Eliana itu bukan mahasiswi Al-Azhar yang sangat menjaga. Ia lulusan Perancis. Ia telah berbicara terus terang padaku. Malam tadi dia menanyakan lagi jawapanku. Aku belum jawab. Eliana aku lihat sudahberusaha adil dan jujur. Ia telah menceritakan semua hubungannya dengan teman lelakinya yang telah gagal. Ia pernah bertukar ganti teman lelaki sebanyak lima kali. Sekali waktu di SMA. Empat kali waktu di Perancis. Dua teman lelakinya yang terakhir adalah orang Mat Salih. Eliana menyedari bahawa ia sama sekali tidak sepadan dengan mereka. Ia ingin hidup yang lurus lurus saja. Dia katakan bahawa ingin memiliki suami yang dapat membimbingnya. Jujur saja Rul. Aku tertarik padanya. Aku tertarik tidak semata mata kerana kecantikan wajahnya. Tapi aku tertarik kerana potensi yang ada dalam dirinya yang jika diarahkan pada jalan yang benar boleh membawa manfaat bagi umat."<br /><br />"Potensi itu misalnya apa, Fur?"<br /><br />"Kau tahu sendiri kepiawaiannya menulis dalam bahasa Inggeris dan Perancis. Pesona keartisan dirinya. Dia bercerita akan berlakon dalam sebuah filem garapan sutradara Mesir. Dan ia juga sudah ditawarkan berlakon filem di Indonesia. Tidak lama lagi dia akan menjadi seorang artis Rul. Dan kau bayangkan jika artis itu boleh memberikan teladan yang baik. Maka masyarakat yang mengkaguminya akan meniru kebaikannya. Jika keartisannya nanti digunakan untuk berdakwah, apa tidak dasyat Rul."<br /><br />"Kalau yang terjadi sebaliknya bagaimana? Misalnya ia jadi artis terus gaya hidupnya yang kebaratan sebagai mana artis pada umumnya bagaimana? Apakah kau sudah benar benar tahu siapa Eliana?"<br /><br />Furqan terdiam sesaat. Ia lalu berkata: "Aku melihat kesungguhan Eliana untuk menjadi seorang yang baik. Itu yang meyakinkan aku. Dan akan baik jika dibimbing oleh yang mampu membimbingnya."<br /><br />"Habis tu, apa yang kau bingungkan? Kelihatannya kau sudah mantap begitu."<br /><br />"Masalahnya aku sudah terlanjur melamar seseorang. Dia mahasiswi Al-Azhar. Tapi sampai sekarang dia belum memberi jawapan. Aku bingung. Kalau aku hendak batalkan lamaranku dan aku memilih Eliana yang sudah jelas mengejarku, aku takut dianggap lelaki tiada pendirian. Aku takut dianggap memainkan ank orang. Tapi kalau aku menunggu terlalu lama, aku takut akhirnya lamaranku itu ditolak, dan aku risau Eliana juga sudah berubah fikiran. Aku bingung Rul."<br /><br />"Macam tu pun kau dah bingung. Percayalah padaku, tidak ada mahasiswi Cairo yang akan menolak lamaranmu kecuali mahasiswi itu sudah punya calon, ia sudah dilamar orang. Siapa yang menolak lamaran pemuda tampan, cerdas, kaya dan kelulusan master di Cairo university? Siapa? Hanya gadis tolol yang menolaknya. yang cerdas itu, ya Eliana. Dia mengejar kamu kerana dia cerdas. Aku yakin Eliana sudah tahu reputasi kamu dengan baik. Maka percayalah mahasiswi yang kau lamar itu pasti tidak akan menolakmu. Kalau begitu sebenarnya kau sudah memutuskan apa yang harus kau putuskan."<br /><br />"Kau tidak dahu siapa mahasiswi itu."<br /><br />"Memamngnya dia itu siapa?" Furqan ragu ragu untuk menjawab. Akhirnya dia tidak mahu berterus terang.<br /><br />"Ah, sudahlah kalau itu rahsia. Tidak elok aku menyebutnya", lirihnya.<br /><br />"Ya sudah. Kalau begitu, ya Istikharah saja."<br /><br />"Ya, insya' Allah. Kau ada nasihat untukku?"<br /><br />Azzam tersenyum.<br /><br />"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu, dan ambillah yang tidak meragukan bagimu."<br /><br />"Terima kasih. Jom kita ke hotel. Guna teksi saja. Biar aku yang bayar."<br /><br />Sebelum pergi, terlebih dahulu Furqan membayar roti kibdah yang dibawanya. Cerita Furqan semakin mengukuhkan hati Azzam bahawa ia tidak boleh mengharapkan Eliana. Boleh jadi Eliana akan menjadi isteri sahabatnya itu. Ia tidak mahu mengarag apa yang kelihatannya diarah juga oleh sahabatnya. Namun ia masih ragu ragu apakah orang seperti Eliana boleh diajak untuk berdakwah dan berkomitmen menjalankan ajaran agama dengan baik. Apakah orang seperti Eliana tidak akan melihat aturan aturan agama sebagai dogma yang membatasi kebebasannya sebagai manusia? Apa reaksi Furqan jika Eliana hendak memberi hadiah ciuman khas Perancis padanya? Ia hanya boleh berharap bahawa sahabatnya itu akan ditunjukkan yang terbaik oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab tidak ada yang baik di dunia ini kecuali datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br /><br /><span style="color: rgb(102, 51, 0); font-weight: bold;">Buat rujukan yg nak menambah2 ilmu bahasa Arab ye :</span><br /><br /><span style="color: rgb(102, 51, 0);">1. Tha'miyah bil baidh - masakan khas Mesir, berbentuk sandwich isinya antara lain sayur, kentang goreng dan telur rebus yang dihancurkan bersama isi lainnya.</span><br /><span style="color: rgb(102, 51, 0);">2. Habasy takanat - makanan mirip tha'miyah bil baidh, hanya isinya lebih bermacam macam sehingga bahagiannya lebih besar.</span><br /><span style="color: rgb(102, 51, 0);">3. Roti kibdah - termasuk makanan khas Mesir berbentuk roti panjang, diisi hati lembu.</span><br /><span style="color: rgb(102, 51, 0);">4. Masyi - setuju.</span></span><br /><br /><br /></div></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-47817803581070289782010-03-05T15:29:00.008+08:002011-03-08T16:17:26.620+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (3) Bidadari Dari Darul Qur'an<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">AZZAM </span><span style="font-style: italic;">bangun sepuluh minit sebelum azan Subuh berkumandang. Ia masih punya kesempatan buang hajat dan gosok gigi.</span></span><span style="font-style: italic;"> <span style="font-size:85%;">Setelah itu ia mengambil air wudhu'. Ia teringat belum solat Witir. Ia sempatkan untuk Witir tiga rakaat. Selesai solat, ia sempatkan untuk menyebut nyebut ibu dan adik adiknya dalam munajat.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Azan Subuh berkumandang. Ia bangkit membuka langsir biliknya. Jalan utama Kota Alexandria masih lengang. Hanya satu dua buah kereta yang berjalan. Kabut tipis nampak rata menyelimuti gedung gedung. Kaca jendela sedikit mengembun. Udara di luar bererti dingin. Alexandria memang sedang memasuki peralihan musim. Peralihan dari musim dingin ke musim menuai. Sisa sisa musim dingin masih terasa. Waktu subuh tiba, udara masih menyengatkan hawa dinginnya. Dalam keadaan seperti itu, melingkarkan tubuh di tempat tidur dengan kehangatan selimut tebal terasa sangat nyaman. Lebih nyaman daripada bangkit menuju masjid.</span></span><br /></div><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Hayya 'alash shalaah.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Hayya 'alash shalaah.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Hayya 'alah falaah.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Hayya 'alah falaah.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Ash shalaatu khairun minan nauum.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Ash shalaatu khairun minan nauum.</span></span></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Suara azan bergema, memantul dari gedung ke gedung. Menyusup masuk ke rumah rumah menggugah jiwa jiwa yang lelap. Suara itu nyaring bagai burung camar, terbang ke tengah laut. Dan mencumbui laut dengan mesra. Solat itu lebih baik dari tidur. Solat itu lebih baik dari tidur.</span></span><br /></div><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Allahu akbar.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Allahu akbar.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Laa ilaaha illallah.</span></span></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam. Menyapa pasir pasir di pantai. Menyapa kerikil kerikil. Menyapa tar. Menyapa pohon pohon kurma. Menyapa embun embun. Menyapa ombak yang berdesir. Menyapa gelombang yang naik turun. Menyapa kabut yang lembut. Menyapa udara. Menyapa alam semesta. Menyapa apa saja. Semuanya menjawab. Semuanya solat. Semuanya menyucikan dan mengagungkan asma' Allah. Semuanya bertakbir kecuali yang tetap tidur.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Seolah mengiringi takbir alam di pagi itu, bibir Azzam bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan tenang ia melangkahkan kedua kakinya meninggalkan hotel yang masih lengang. Sampai di masjid ia mendapati Pak Ali yang sedang sujud di saf depan. Azzam solat Tahiyatul Masjid. Lalu solat Qabliyyah Subuh. Sambil menunggu imam berdiri di mihrabnya ia mengulan ngulang membaca doa Nabi Yunus. Doa itulah yang telah menyelamatkan Nabi Yunus dari kegelapan di perut ikan. Doa yang mampu menurunkan kasih-sayang Tuhan. Doa yang mampu mendatangkan keajaiban keajaiban. Doa yang ni'mat dilantunkan dan terasa sejuk di hati dan fikiran.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Laa ilaaha illa anta.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Subhanaka inni kuntu minadzdzaalimiin.</span></span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Orang orang Mesir berdatangan. Ada dua puluh orang. Seorang lelaki separuh umur dengan janggut yang telah memutih sebahagian menuju ke depan. Solat Subuh didirikan. Sang imam membaca surah An.Najm. Azzam larut dalam penghayatan. Orang Mesir yang solat di sebelah kanannya menangis kesenggukan. Bacaan sang imam memang menyentuh perasaan. Apalagi orang Mesir biasanya faham makna ayat ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Azzam sendiri hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca sang imam. Hati dan fikirannya terlarut dalam tadabbur yang dalam. Ia merasakan seolah olah Tuhan yang menurunkan Al-Qur'an mengkhabarkan kepadanya bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menerima wahyu yang diturunkan.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Demi bintang ketika terbenam.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Dan tiadalah yang ia ucapkan itu (Al-Qur'an) menurut<br />kemahuan hawa nafsunya.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu<br />yang diwahyukan (kepadanya).</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.</span></span></span><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) itu menampakkan<br />diri dengan rupa yang asli. (An-Najm: 1-6)</span></span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ia seolah olah turut berada di zaman kenabian. Seolah olah ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Shallalahu'alaihi wasallam menerima ayat ayat suci Al-Qur'an. Seolah olah ia mendengar suara Jibril membacakan Al-Qur'an, sampai Rasulullah Shallalahu'alaihi wasallam hafal tanpa keraguan. Seolah olah ia mendengar bagaimana Rasulullah Shallalahu'alaihi wasallam mengajarkan Al-Qur'an kepada sahabat sahabatnya yang selalu haus hikmah dan ilmu pengetahuan.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Ayat demi ayat dibaca sang imam. Orang Mesir sebelah kanannya terus meangangguk anggukkan kepalanya. Fikiran dan hatinya masih larut dalam tadabbur dan penghayatan. Surah An-Najm membuatnya menggigil ketika menghuraikan untuk apa Islam diturunkan. Demi kebahagiaan manusia dan alam semesta, Islam diturunkan. Tuhan menurunkannya dengan segenap rasa cinta dan kasih sayangNya. Tidak ada sedikit pun Tuhan memiliki keinginan mengambil keuntungan dari makhlukNya. Allah yang menggenggam langit dan bumi serta isinya sama sekali tidak memerlukan makhluk makhlukNya. Justeru makhluk makhlukNyalah yang memerlukan Allah, Tuhan Yang Maha Kaya dan Maha Penyayang. Allah memberi kebebasan seluas luasnya kepada makhluk makhlukNya untuk memilih berbuat baik atau kejahatan. Semua ada balasannya masing masing. Adil. Tidak ada kezaliman. Setiap orang menuai apa yang ia tanam.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereke kerjakan. Dan memberi balasan kepada orang orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik. (An-Najm : 31)</span></span></span><br /></div><br /><br /><div style="text-align: center;">******<br /></div><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Sambil menyenandungkan zikir pagi, Azzam berjalan di atas pasir yang lembut. Ia berjalan di samping Pak Ali. Hari masih sangat pagi. Pantai Cleopatra masih sepi. Udara berkabut tipis. Desau angin laut yang berhembus terasa membelai dengan lembut relung relung jiwa. Kedamaian yang hampir sempurna. Tiga orang gadis Mesir dengan lari lari kecil melintasi mereka berdua. Sambil berlari mereka bergurau bahagia. Tubuh mereke tertutup rapat dengan seluar sukan panjang dan baju lengan panjang. Yang dua menutup kepala dengan tudung Turki. Sedangkan yang satu lagi membiarkan rambutnya terurai diterpa angin ke sana ke mari. Salah seorang di antara mereka memandang ke belakang. Sekilas Azzam menatap wajahnya. Putih bersih khas Mesir. Gadis itu terus menarik wajahnya dan tertawa sambil terus berlari bersama dua temannya. Meskipun cuma melihat sekilas gadis Mesir itu tak kalah mempersonanya dibandingkan dengan Eliana.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Cantik ya Mas?" Suara Pak Ali menyedarkan Azzam bahawa ia bukan sedang berjalan sendirian.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Siapa Pak yang cantik?" Sahut Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ya gadis Mesir itu, yang memandang dan menatap kamu."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Kalau gadis Mesir, ya jangan ditanyalah Pak. Katanya kalau ada gadis Mesir tiga, maka yang cantik enam", jawab Azzam santai.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Kok begitu. Tiga orang kok, yang cantik enam."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Bayangnya juga cantik."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Wah, kau ada ada saja."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Saya kan cuma beritahu katanya tho Pak. Katanyakan boleh benar, boleh tidak."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ngomong ngomong cantik mana gadis tadi sama anaknya Pak Dubes, Eliana."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Azzam terhenyak, ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Pak Ali. Entah mengapa ia sebenarnya tidak ingin berbicara tentang Eliana. Sudah terlalu sering Eliana dijadikan topik pembicaraan di kalangan mahasiswa, putera mahupun puteri, juga di kalangan masyarakat Indonesia. Baik di dalam mahupun di luar KBRI. Azzam sudah bosan, apalagi jika teringat kejadian malam tadi. Ia sama sekali sudah tidak tertarik dengan Eliana.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Apa tidak ada topik lain Pak, selain Eliana? Pagi pagi begini sudah membahas pasal Eliana. Eliana lagi, Eliana lagi."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Pak Ali tersenyum mendengar jawapan Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Aku ingin menceritakan hal penting padamu. Untuk kebaikanmu."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Tentang Eliana?"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Boleh dikatakan tentang Eliana, boleh juga dikatakan tidak."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Mendengar nama Eliana saja saya sudah bosan Pak."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ah, yang benar?"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Benar Pak, sungguh."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Mas, bapak ini sudah makan garam lebih darimu. Bapak tidak boleh kau bohongi. Jujur saja, bapak sudah memperhatikanmu sejak empat hari ini. Dan bapak melihat kamu itu sebenarnya sangat mengkagumi Puteri Pak Dubes itu. Bahkan bapak berani menyimpulkan kamu itu sebenarnya suka sama dia."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Bererti bapak salah menganalisis dan salah menyimpulkan!"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Itu tak penting. Yang penting bapak ingin memberi saranan kepadamu. Ini serius, sebaiknya orang seperti kamu jangan sekali jatuh cinta sama sekali dengan Eliana, dan orang seperti kamu jangan sekali kali memimpikan isteri model macam Eliana. Itu saja!"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Seketika Azzam menghentikan langkahnya. Kerana ada larangan dalam saranan Pak Ali ia menjadi terhenyak penasaran. Seperti Nabi Adam ketika dilarang makan buah Khuldi malah jadi penasaran. Dan begitulah manusia jika mendapat larangan seringkali reaksi yang pertama kali timbul adalah justeru penasaran ingin tahu. Ada apa dilarang? Kenapa dilarang?</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Memangnya kenapa Pak Ali?"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Pak Ali tersenyum mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Azzam.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Sudahku duga, pasti pertanyaan itu yang akan terus keluar, kau pasti penasaran kenapa aku sarankan sebaiknya jangan memimpikan isteri model seperti Eliana, alasan utamanya adalah agar kau tidak sengsara, tidak hidup sia sia. Agar kau bahagia! Aku melihat kau sangat tidak sesuai jika mempunyai isteri gadis model macam Eliana. Ya, dia cantik dan cerdas. Juga kaya. Anak orang kenamaan. Tapi kebahagiaan rumah tangga tidak cukup hanya dengan memiliki isteri yang cantik, cerdas, kaya dan terhormat. Tidak. Akhir akhir ini Eliana memang jadi buah mulut. Termasuk di kalangan mahasiswa Al-Azhar. Baik putera mahupun puteri. Tidak sedikit yang aku lihat sangat tertarik pada Eliana. Meskipun mereka tahu bagaimana cara berpakaiannya yang terkadang tidak kalah beraninya dengan artis Hollywood. Yang aku hairan, bagaimana mungkin ada mahasiswa Al-Azhar tertarik dengan gadis model itu. Mana Al-Qur'an dan Hadith yang telah kalian pelajari? Dan aku lihat kamu sendiri sebenarnya terpikat dengan kecantikan Eliana. Aku dapat melihat dari bahasa tubuhmu, pandangan matamu, dan getar suaramu. Kau boleh saja mengatakan bosan mendengar namanya. Tapi aku lebih tua darimu."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Tapi Eliana itu kalau pakai tudung seperti ketika menjadi pengerusi peringatan tahun baru hijriyah nampak anggun dan cantikkan Pak?"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ya, boleh dikatakan begitu kok mengingkari kalau tertarik pada Eliana. Ya, Nicole Kidman kalau pakai tudung juga cantik. Eliana juga. Tapi kalau di kelab malam tidak kalah dengan penari gelek. Kau mahu punya isteri seperti itu?"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Pak, jangan membuka aib orang, jangan memfitnah orang dong!"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Pak Ali malah tersenyum.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Kalau aku mengatakan si Tiara, mahasiswi Al-Azhar yang biasa mengajar Al-Qur'an di Masjid SIC itu tatkala di kelab malam tak kalah dengan penari perut barulah aku dikatakan memfitnah dia. Lah, orang seperti Eliana sendiri bangga cerita ke mana mana. Bahkan ia sudah cerita di website peribadinya. Ayahnya yang jadi Dubes itu juga bangga. Bahkan ia pernah meminta puterinya menunjukkan kebolehannya di hadapan diplomat diplomat asing. Sampai ada seorang sutradara Mesir yang akan memintanya ikut berlakon filem. Kalau kemungkaran itu ditutu tutupi saya akan berusaha ikut menutupi. Ini kemungkarannya malah dipropagandakan, dibangga banggakan. Cuba kau renungkan, apakah ketika aku menasihati anak perempuanku agar tidak mencontohi Nicole Kidman yang sangat bangga tampil tanpa berpakaian di sebuah pertunjukan teater di Inggeris, aku katakan : "Jangan mengkagumi orang yang suka bermaksiat terang terangan itu!", apakah itu bererti aku memfitnah bintang Hollywood itu? Padahal berita perbuatan gilanya itu dimuatkan di akhbar akhbar dan internet di seluruh dunia."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Kok saya tidak pernah tahu hal hal seperti itu Pak?"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Sebaiknya memang kamu tidak tahu yang begitu begitu. Kalau tahu nanti jadi susah, kau tidak jadi buat tempe. Tidak juga jadi kuliah. Adik adikmu di Indonesia boleh kelaparan. Kerana fikiranmu ke mana mana. Aku hanya ingin mengingatkan padamu jangan mudah tertarik pada perempuan cantik. Di akhir zaman itu tidak sedikit perempuan yang cantik mempersona, namun sebenarnya adalah seorang pelacur. <span style="font-weight: bold;">Na'udzubillaah!"</span></span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Tapi perempuan cantik yang solehah, benar benar solehah dan menjaga kesuciannya banyak Pak."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Pak Ali kembali tersenyum.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ya, bapak percaya itu. Kerana itulah kamu harus benar benar matang dalam memilih isteri. Jangan asal cantik. Kebetulan bapak punya cerita tentang gadis yang cantik, solehah, mempersona dan cerda.s Kau mahu mendengarkan?"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Wah, boleh Pak."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Kalau begitu mari kita duduk di sana. Bapak akan cerita panjang lebar." Kata Pak Ali sambil menunjuk pembatas jalan di pinggir jalan yang boleh diduduki. Mereka berdua berjalan ke sana. Alexandaria semakin terang. Kabus mulai hilang perlahan lahan. Pantai mulai ramai. Jalan jalan sudah mulai dipenuhi kenderaan yang lalu lalang. Di kejauhan nampak Benteng Qaitbey berdiri di hujung tanjung. Gagah dan menawan. Mereka duduk menghadap laut yang bergelombang tenang. Azzam memandang ke arah kiri, ke arah benteng. Sementara Pak Ali memandang ke arah kanan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Kalau mereka itu, aku yakin wanita wanita solehah." Gumam Pak Ali sambil memandang Azzam, mengalihkan pandangan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Itu mana Pak?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Itu." Tunjuk Pak Ali ke arah rombongan gadis gadis bertudung. Dan cara mereka memakai tudung dan cara mereka berjalan menunjukkan mereka dari Asia. "Mereka anak anak Malaysia. Hampir semua yang kuliah di Al-Azhar Banat di sini adalah mahasiswi dari Malaysia. Indonesia boleh dikatakan tidak ada. Semua mahasiswinya berkumpul di Cairo," Pak Ali menjelaskan panjang lebar seolah olah Azzam bukan mahasiswa Al-Azhar. Azzam diam saja, tanpa dijelaskan pun ia sudah tahu. Ia sudah sembilan tahun tinggal di Mesir.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Sudah Pak, tidak usah membahas mahasiswi Malaysia itu. Terus saja pada cerita yang ingin Pak Ali sampaikan tadi. Matahari sudah bersinar terang. Kita masih belum sarapan."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Baiklah nak. Dengarkan baik baik ya. Ceritanya ada sangkut paut sedikit dengan hidupku."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Namanya Pak Ahmad. Pak Ahmad memerlukan pembantu peribadi yang boleh berbahasa Inggeris. Dan ia meminta pada Pak Ustaz kalau ada di antara pelajarnya yang boleh diharapkan. Pak Ustaz menawarkan padaku. Aku menerimanya dengan harapan dapat ke Tanah Suci untuk menangis kepada Allah di depan Ka'bah."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Aku pun berangkat ke Saudi. Teman Pak Ustaz yang membiayai tiketnya. Aku berkerja di Jeddah. Sangat seronok. Aku merasakan hidup tenang. Hubungan dengan Pak Ahmad juga sangat baik. Aku sudah dianggap saudara sendiri oleh keluarga Pak Ahmad. Aku berdoa di depan Ka'bah agar diberi pendamping hidup yang setia dan baik. Doa itu dikabulkan oleh Allah. Suatu pagi, ya pagi seperti ini, aku dipanggil Pak Ahmad. Pak Ahmad berkata: "Li, kamu mahu bernikah?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Aku terkejut sekali. Memang itulah doaku setiap kali aku ada kesempatan berdoa di Multazam. "Mahu, Pak," jawabku.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Tapi dia janda beranak dua. Tidak perawan. Bagaimana? Mahu?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Asal solehah mahu Pak."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Dia solehah, insya Allah. Begini Li. Kalau kau mahu, kau harus pergi ke Mesir. Perempuan itu sekarang berada di Mesir. Suaminya telah meninggal setengah tahun yang lalu. Dua anaknya masih kecil kecil. Dan ia tetap ingin berada di Mesir sampai mempunyai bekalan yang mencukupi untuk menjalani hidup di Indonesia."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Aku terus bertanya: "Jadi saya nanti harus meninggalkan Jeddah dan tinggal di Mesir Pak?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Tidak apa apa. Kalau kau mahu, bererti kau telah menolong janda dan dua orang anaknya. Kalau ikhlas besar pahalanya. Dan kau di Mesir sana akan terus mendapat pekerjaan. Jangan risau."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Apa pekerjaannya Pak?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Menggantikan pekerjaan almarhum suami janda itu. Iaitu cleanning service merangkap pemandu KBRI. Bagaimana Li, kamu mahu?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Aku lalu menjawab: "Baiklah, bismillah saya mahu."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Akhirnya aku bernikah dengan orang yang sekarang menjadi isteriku. Allah tidak hanya memberiku isteri solehah. Tapi Allah juga memberiku isteri yang cantik, penyabar, dan sangat memahami. Lebih dari itu Allah menganugerahiku dua orang anak yang sangat menyejukkan hati. Dua orang anak itu tidak pernah menganggap aku bukan ayahnya. Mereka tahu, ayah mereka adalah aku ini. Inilah jalan hidup yang diatur oleh Allah. Sebab sekian tahun aku berumahtangga tidak juga punya keturunan. Ternyata setelah menjalani pemeriksaan doktor, aku diberitahu tidak dapat mempunyai keturunan. Aku semakin sayang pada isteri dan anak anakku. Mereka pun semakin sayang padaku. Anakku yang pertama sekarang sedang belajar di Malaysia. Anak yang kedua kuliah di Fakulti Kedoktoran UNS Solo. Seperti yang kau ketahui, di sini aku hidup berdua bersama isteri. Sesekali kami yang menjenguk mereka atau mereka yang menjenguk kami. Kini aku sangat bahagia. Tahun depan aku dan isteri merancang untuk meninggalkan Mesir. <span style="font-weight: bold;">Alhamdulillah</span>, kami sudah mempunyai rumah di Solo Baru."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Pak Ali menghela nafas. Ada gurat kepuasan yang tergurat di wajahnya. Pak Ali membetulkan letak kaca matanya. Azzam merasa belum puas. Ia merasa belum mendapatkan apa yang dijanjikan Pak Ali.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Cerita gadis cantik solehahnya mana Pak?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Pak Ali tersenyum.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Sabarlah nak. Gadis cantik saja yang kau fikir."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Pak Ali tadikan beritahu mahu cerita tentang gadis cantik yang solehah. Sekarang ini sudah ke mana mana belum muncul muncul juga."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Kau ini kok inginnya meloncat. Langsung ke intinya. Filem kalau langsung ke intinya tidak menarik. Novel kalau langsung kau baca intinya juga tidak menarik. Kau harus sabar membacanya. Baca mengikut urutan bab demi bab. Paragraf demi paragraf. Kata demi kata. Huruf demi huruf. Baru akan kau temukan keindahan rangkaian novel itu. Keutuhan cerita novel itu. Jangan lompat lompat. Jangan main potong langsung ke inti. Cerita tentang gadis solehah yang indah ini juga begitu. Ada rangkaian ceritanya yang tidak boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan ceritanya tidak utuh."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Sudahlah Pak, ayoh dilanjutkan saja ceritanya. Jangan malah berceramah tentang novel pulak. Apa hubungannya. Macam sasterawan saja!"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Lho, erat sekali hubungannya cerita dengan novel lho Mas. Begini..."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam terus memotong.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Dilanjut saja ceritanya Pak. Tentang sastera, hubungan cerita dengan novel, biar nanti saya baca sendiri saja di perpustakaan SIC. Dah nak siang Pak."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Baiklah. Anakku yang kuliah di Malaysia itu lelaki, namanya Amir. Dulu selesai SPM (Sek. Men. Pertama) di SIC (Sek. Indonesia Cairo) terusku hantar ke Al-Munawwir Krapyak Jogja. Selesai Madrasah Aliyah terus dapat biasiswa ke Madinah. Sekarang mengambil M.A. di Malaysia. Dia belum berkahwin. Dia sendiri tidak tahu kisah sejarah masa laluku sebelum taubat. Dia hanya tahu aku adalah seorang ayah yang dulu pernah menuntut di Pesantren. Dan aku fikir dia tidak perlu tahu. Biar dia tahu yang baik baik saja. Nanti kalau dia mahu cari isteri, baru akan bapak beritahu."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Bererti kira kira dia seusia dengan saya ya Pak."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Lebih tua daripada kamu dua tahun. Aku lanjutkan ya. Sedangkan adiknya yang kini kuliah di Fakulti Kedoktoran UNS, sejak SMP sudahku letakkan di Pesantren."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Di pesantren mana Pak?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Di pesantren tempat aku belajar dulu. Aku amanahkan pada Ustaz yang mengurusku selama setahun itu. Pak Ustaz itu namanya K.H. Luthfi Hakim. Nama pesantrennya, Daarul Qur'an. Terletak di Desa Wangen, Polanharjo."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Oh ya, saya tahu Pak. Saya dulu pernak ke sana sekali. Itu kan letaknya dari Popongan terus ke Barat. Dekat dengan daerah Janti, Kiaten."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Ya benar."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Terus, apa hubungannya pesantren itu dengan cerita gadis cantik yang solehah itu? Apa yang Pak Ali maksudkan adalah anak gadis Pak Ali itu?" Azzam sudah tidak sabar. Ia merasa cerita Pak Ali melingkar lingkar tidak segera sampai kepada apa yang dimaksudkan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Tidak. Sama sekali tidak. Aku sudah tahu standard kecantikan yang kau pakai. Standard kamu adalah Eliana dan gadis gadis Mesir. Maka anak gadisku meskipun menurutku cantik, tapi jika standardnya dengan Eliana boleh dikatakan tidak cantik. Bersabarlah sedikit, sudah hampir sampai pada tujuan. Aku kembali ke alur cerita. Anak gadisku itu aku amanahkan kepada Pak Kiyai Luthfi. Beliau jaga dan beliau didik dengan baik. Pada saat yang sama Pak Kiyai Luthfi mempunyai anak gadis yang sangat cerdas. Dan sangat cantik. Sungguh sangat cantik. Kecantikannya ibarat permata maknun yang mengalahkan semua permata yang ada di dunia. Aku berani bertaruh kecantikannya dapat mengatasi Eliana. Ini menurutku lho. Sebab kecantikan seorang perempuan di mata lelaki itu benar. Dan untuk kecerdasannya aku berani bertaruh tidak banyak gadis seperti dia. Aku tahu sangat, sebab aku pernah belajar dengan ayahnya selama setahun. Jika Eliana boleh berbahasa Perancis dan Inggeris, maka Puteri Pak Ustaz Luthfi ini juga boleh berbahasa Arab, Inggeris dan Mandarin. Ketika menuntut di Madrasah Aliyah, dia pernah ikuti program pertukaran pelajar ke Wales, U.K. Dan apa kau tahu di mana dia sekarang?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam menggelengkan kepala.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Dia sekarang ada di Cairo. Sedang melanjutkan M.A.nya di Kuliyyatul Banat, Al Azhar. Dia sedang mengajukan judul tesisnya."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Sedang mengambil M.A.? Siapa namanya? Kenapa saya tidak pernah dengar ceritanya."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Namanya Anna Althafunnisa."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Anna Althafunnisa?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Baru kali ini saya dengar nama itu. Aneh sekali. Padahal orang orang di rumah saya semuanya aktivis. Tapi mereka tidak pernah menyebut nama itu ya?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Tidak banyak orang yang tahu. Sebab Anna Althafunnisa menyelesaikan B.A.nya bukan di Cairo. Tapi di Alexandaria sini. Ia lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswi Malaysia dari mahasiswi Indonesia. Dan Anna lebih memilih menutup diri dari kegiatan kegiatan yang bersifat glamour. Kalau kau sempat membaca majalah <span style="font-weight: bold;">Al-Wa'yu Al-Islami</span>, cubalah cari edisi bulan lalu. Ada artikelnya yang dimuatkan di sana. Dia memakai nama pena Anna Luthfi Hakim."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Sekarang dia tinggal di Cairo?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Ya. Dialah gadis cantik dan solehah yang aku maksudkan. Dan saat ini ayahnya menginginkan dia segera bernikah. Aku fikir kamu lebih baik bernikah dengan orang yang sebaik Anna daripada dengan model Eliana. Kalau kamu mendapatan Anna, kamu telah mendapatkan syurga sebelum ke syurga. Percayalah padaku. Aku tahu betul kualiti Anna, ayahnya, dan keluarganya. Mereka dari golongan orang orang yang ikhlas. Saranan saya khitbahlah Anna Althafunnisa itu sebelum bidadari dari Pesantren Daarul Qur'an itu dikhitbah orang lain."</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Hati Azzam berbunga bunga. Ada rasa sejuk yang tiba tiba menyelinap ke dalam dadanya. Namun ia tiba tiba diserang rasa ragu.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Apakah saya layak melamarnya Pak? Apakah saya layak untuknya? Saya ini mengambil B.A. pun sudah sembilan tahun belum juga selesai. Dan apa prestasi saya? Apa yang boleh saya andalkan? Membuat tempe? Apakah ada ustadz yang mahu anaknya bernikah dengan penjual tempe?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Kenapa kamu jadi rendah diri begitu. Percayalah padaku, Pak Kiyai Luthfi itu tidak pernah memandang dunia. Dunia itu remeh bagi beliau. Datanglah, lamarlah. Belilah tiket, pulanglah ke Indonesia dan lamarlah bidadari itu!"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Waduh, kalau kena pulang, berat Pak. Apakah tidak ada cara lain selain pulang?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Pak Ali diam mengerutkan keningnya, sebentar kemudian, wajahnya cerah. Setengah berteriak ia menjawab: "Ada! Kau boleh melamar melalui Ustadz Mujab. Ustadz Mujab itu keluarga dekat Ustads Luthfi. Kau temui saja Ustadz Mujab dan sampaikan maksudmu untuk disampaikan kepada Ustadz Luthfi dan Anna. Insya' Allah semua akan mudah. Ustadz Mujab, kau kenalkan?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Wah, lebih dari kenal. Saya sangat rapat dengannya tapi yang membuat saya hairan, kenapa beliau sama sekali tidak pernah menyebut nama Anna Althafunnisa sama sekali ya?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Itulah mahalnya Anna Althafunnisa. Tidak sembarangan dibicarakan. Tidak sembarangan dikatakan. Bukankah permata yang sangat mahal itu jarang dipamirkan orang?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Pak Ali ada gambarnya?"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >"Aduh, sayang sekali tidak ada. Tapi itu tidak penting. Terus saja kau lamar. Kalau setelah menyuntingnya kamu menyesal, akan aku serahkan leherku ini untuk kau pancung. Sungguh!"</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Azzam tersenyum. Kata kata terakhir Pak Ali semakin membuatnya mantap sekaligus penasaran. Seperti apa Anna itu? Namun, ia merasa telah mendapat jawapan atas tekad yang ia ikrarkan sebelum tidur malam tadi. Tekad yang ia sertai dengan doa.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia yakin Anna adalah jawapan atas doanya yang ia bawa sampai tidur. Ia yakin bukanlah suatu kebetulan jika pagi itu Pak Ali akan bercerita tentang Anna Althafunnisa. Itu bukanlah kebetulan belaka. Sebab ia menyakini bahawa segala yang terjadi di alam semesta ini tidak ada yang kebetulan. Semuanya sudah ditulis takdirnya dan diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tekadnya telah bulat.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Setelah sampai di Cairo, ia akan datang ke rumah Ustadz Mujab. Datang untuk menanyakan gadis yang disebut sebut Pak Ali sebagai <span style="font-weight: bold;">"Bidadari dari Pesantren Daarul Qur'an."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Ia akan menanyakan apakah gadis itu masih kosong belum dikhitbah orang? Apakah gadis itu boleh dipinangnya? Kalau ya, maka ia akan terus meminangnya. Saat itu juga kalau boleh. Tidak ada lagi keraguan dalam hatinya.</span><br /></div><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><br /></span><div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;">******<br /><br /></span></span></div><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 153, 0);">Apa agaknya yg dpat korang kutip dari 3 bab yg sempat aku paparkan ini??? Klu aku... pertama kali membacanya terasa bagai ada sesuatu yg menyusup halus dan amat perlahan dlm diri... </span></span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span><br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-90955114708794038212010-02-19T11:55:00.004+08:002010-02-19T11:58:13.387+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (2) Tekad Berajut Doa<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;" 2=""><span style="color: rgb(0, 153, 0);font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;">Amacam ??? Selepas korang menikmati bab pertama. Aku rase, tentu ada yang tak sabar sabar nak menyelusuri bab seterusnya... Cakap banyak tak mo... teruskan saja dong pembacaannya ...</span></span><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"> <span style="font-weight: bold;"><br />MAJLIS </span>makan malam itu berlangsung di sebuah taman yang terletak di garis Pantai El Muntazah. Sebuah pantai yang terkenal dengan keindahannya di Alexandaria. Azzam sama sekali tidak boleh menikmati majlis itu, sebab ia sibuk menyiapkan ikan bakar khusus buat permintaan Bapak Duta Besar, ayah Eliana. Azzam yang ingin istirehat di malam terakhir merasa tidak boleh istirehat. Ia yang sedikit ingin merasakan suasana romantik di El Muntazah yang sangat terkenal itu sama sekali tidak boleh merasakannya.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Azzam membakar semua ikan yang dibeli oleh Pak Ali. Ia meracik bahan perencah sehalus mungkin. Ia minta Pak Ali membantunya mengipasi arang agar terjaga baranya, sementara ia membuat sambalnya. Akhirnya ia boleh menghidangkan ikan bakar keinginan itu ke hadapan dua orang Duta Besar, iaitu ayah Eliana, Duta Besar Indonesia untuk Mesir dan kawannya Duta Besar Indonesia untuk Turki. Dua Duta Besar itu duduk di tempat terpisah dari staf KBRI yang lain. Mereka memang ingin bernostalgia berdua saja. Di hadapan mereka ada satu mangkuk berisi nasi panas yang masih mengepulkan asap. Pinggan berisi ikan bakar. Dua piring kecil berisi sambal. Dua piring agak besar berisi ulam ulaman. Lalu dua bekas berisi air untuk mencuci tangan. Dan dua piring besar yang masih kosong. Azzam mempersilakan keduanya untuk menikmati hidangan itu.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Terima kasih ya", kata Pak Alam, ayah Eliana pada Azzam. Azzam tersenyum dan mengangguk dengan ramah sambil sekali lagi mempersilakan untuk menjamu. Lalu ia meminta diri.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Hidangan ikan bakar ini untuk mengingatkan masa masa kita belajar di Jogja dulu. Meskipun kita berada di Alexandaria, tapi ini saya siapkan ikan bakar seperti yang kita rasakan di Parangtritis dulu". kata Pak Alam.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Wah, sungguh tidak rugi aku berkunjung ke Mesir menjenguk teman lama. Sungguh, aku merasa sangat terhormat menerima kejutan ini", sahut Pak Juneidi dengan senyuman yang lebar.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ayuh, terus saja Pak Jun. Mencium baunya sudah tidak sabar rasanya perut ini. Ayuh kita makan guna tangan saja rasanya lebih nikmat", kata Pak Alam sambil mengambil satu pinggan yang kosong dan mengisinya dengan nasi. Lalu ia mencuci tangan kanannya ke dalam mangkuk berisi air dan jeruk nipis.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Ya, benar Pak Alam. Makan dengan tangan memang lebih nikmat", balas Pak Juneidi seraya melakukan hal yang sama.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Dua Duta Besar itu terus asyik bernostalgia sambil menikmati ikan bakar buatan Azzam. Dari jauh Azzam melihat dengan mata puas. Ia duduk melihat sekeliling. Di sisi yang lain tidak jauh dari dua Duta Besar itu staf KBRI sedang berpesta bersama beberapa orang mahasiswa dan rombongan Penari Saman yang didatangkan dari Aceh. Eliana duduk berbincang bincang dengan seseorang yang sangat ia kenal. Orang yang berbincang dengan Eliana adalah Furqan. Teman satu pesawat ketika datang ke Mesir dulu. Ada sedikit api memercik dalam dadanya, namun ia redam segera. Ia merasa tidak kena pada tempatnya ia merasa cemburu. Eliana itu siapa? Bukan siapa siapa dengannya.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Melihat Furqan yang selalu dalam posisi begitu terhormat, Azzam tidak boleh membohongi dirinya sendiri. Bahawa ada rasa iri hati. Iri hati ingin jadi seperti dia. Rasa itu begitu halus masuk ke dalam hatinya. Dulu, ia dan Furqan satu pesawat. Lalu selama setahun satu rumah. Tahun pertama di Mesir ia naik tingkat dengan nilai lebih baik dari anak ahli koperat Jakarta itu. Bahkan Furqan sering bertanyakan padanya tentang kosa bahasa Arab yang musykil ketika membaca buku nota. Tapi kini, teman lamanya itu sudah hampir selesai M.A.nya di Cario University. Dan ia sendiri B.A.nya saja masih belum lulus lulus, apalagi M.A.. Furqan lebih dikenali sebagai intelektual muda yang sering diminta menjadi pembicara di pelbagai kelompok kajian, sedangkan dirinya lebih dikenali sebagai penjual tempe, pembuat bakso dan tukang masak serba boleh, namun tidak juga lulus ujian.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Azzam menghela nafas dalam dalam. Lalu ia berdiri mencari cari Pak Ali. Ia memandang ke kanan dan ke kiri. Mengalihkan pandangannya ke segala arah. Namun tiada juga ia temukan Pak Ali. Ia sendirian. Hendak bergabung dengan staf KBRI itu, rasa kekok. Mereka sudah memulai acara dua puluh minit yang lalu. Ia memutuskan untuk menikmati kesendiriannya itu. Untung tadi ia sempat mengambil sepinggan nasi dan seekor ikan untuk dirasai . Dan sambil duduk Azzam mula menyantap ikan bakar itu. Perutnya sudah tersangat lapar. Ia makan dengan lahap bersendirian, sambil menatap bulan dan bintang bintang. Tiba tiba ia teringat ibu dan ketiga tiga adiknya di Indonesia.</span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /><br /></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Mereka pasti sedang tidur nyenyak di sana . Ibu mungkin sedang berdoa dalam solat malamnya." Lirihnya pada diri sendiri sambil membayangkan wajah ibunya dalam balutan telekung putih dengan mata berkaca kaca. Ada keharuan yang tiba tiba menyusup begitu saja ke dalam dadanya.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Kalaulah ia mahu berfikiran jujur, maka impiannya yang paling tulus adalah segera pulang ke tanah air bertemu dengan ibu dan adik beradiknya. Tidak ada impian yang lebih kuat dalam jiwanya melebihi daripada itu. Namun akal sihatnya selalu menahan agar impiannya itu tidak sampai meledak dan melemahkannya.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Adalah wajar bagi seseorang yang sudah bertahun tahun tidak bertemu keluarganya dan mengharap agar bertemu keluarganya. Namun jika dengan sedikit kesabaran, pertemuan itu akan menjadi lebih bermakna, kenapa tidak bersabar sedikit. Ia boleh saja mengusahakan pulang. Tetapi kuliahnya belum selesai dan adik adiknya masih memerlukan dirinya untuk bekerja keras. Ia tidak ingin menyerah pada kerinduan yang menjadi penghalang kejayaan. Ia ingin adik adiknya berjaya, dirinya berjaya. Semuanya berjaya. Gambaran masa depan jelas. Baru ia akan pulang.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Mas Khairul, pulang jom!"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Suara tiu mengejukannya. Ia memandang ke arah suara tersebut. Pak Ali telah berdiri di samping kanannya.</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Dari mana Pak Ali? Saya cari cari dari tadi."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Aduh Mas, perutku sakit. Aku dari tandas, Jom kita pulang ke hotel ya. Nampaknya aku harus segera istirehat ni."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Lha, Pak Ali tidak menunggu Pak Dubes. Nanti kalau Pak Dubes cari bagaimana? Habis tu, kalau saya pulang, siapa yang akan membersihkan barang barang ini?"</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Tenang. Aku sudah tidak ada tugas malam ini. Pak Dubes nanti, biar dipandu oleh Pak Amrun. Barang barang itu pula biar diurus oleh kak Eliana. Aku sudah berbicara dengan kak Eliana. Katanya kita pulang tak apa apa. Apalagi sebahagian mereka mahu berjaga sampai pagi. Termasuk Pak Dubes dan kawannya dari Turki."</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">"Baiklah, kalau begitu. Saya juga sudah letih. Terus kita pulang naik apa Pak Ali?"<br /><br />"Senang saja. Yang penting kalau sama Pak Ali beres deh. Kita pulang naik teksi, biar aku yang bayar."<br /><br />"Ya, sudah kalau begitu. Ayuh."<br /><br />Dua orang itu bergegas ke luar ke jalan lalu meluncur ke hotel dengan teksi. D alam perjalanan ke hotel, Azzam lebih bayak diam. Ia hanya berbicara jika Pak Ali bertanya. Azzam masih terbayang bayang wajah ibu dan adik adiknya.<br /><br />"Kalau boleh tahu, berapa umurmu Mas Khairul?"<br /><br />"Dua puluh lapab, Pak."<br /><br />"Kalau aku perhatikan, gurat wajahmu lebih tua sedikit dari umurmu. Nampaknya kau memikul sebuah beban yang sangat berat. Aku perhatikan kau lebih banyak berkerja daripada belajar di Mesir ini. Boleh aku tahu tentang hal ini?"<br /><br />"Ah Pak Ali terlalu perhatikan saya. Saya memang perlu berkerja keras Pak. Bagi saya ini bukan beban. Saya tidak merasakannya sebagai satu bebanan. Meskipun orang lain mungkin melihatnya sebagai satu beban. Saya memang perlu berkerja untuk menyara adik adik saya di Indonesia. Ayah saya meninggal dunia ketika saya baru setahun kuliah di Mesir. S aya punya tiga orang adik beradik. S emuanya perempuan. Saya tidak ingin pulang dan meninggalkan kuliah di tengah jalan. Maka satu satunya jalan adalah saya harus berkerja keras di sini. Jadi itulah kenapa saya sampai menjual tempe, jual bakso dan membuka perkhidmatan catering."<br /><br />Pak Ali mengangguk angguk sambil meraba raba letak cermin matanya sambil mendengar pertuturan Azzam. Ada rasa kagum yang hadir begitu sahaja di dalam hatinya. Anak muda yang kelihatannya tidak begitu berprestasi itu sesungguhnya memiliki prestasi yang jarang dimiliki anak muda seusianya.<br /><br />"Aku sama sekali tak menyangka kau membiayai adik adikmu di Indonesia. Aku sangat kagum dan hormat padamu nak. Sesungguh ketika banyak mahasiswa yang sangat manja dan bergantung kepada kiriman daripada orang tua. Kau justeru sebaliknya. Terus berkerja keras Mas, aku yakin engkau kelak akan meraih kejayaan dan kegemilangan. Teruslah berkerja keras nak, setahu saya yang membezakan orang yang berjaya adalah kerja keras. Dan nanti kalau kau sudah berjaya, jagalah kejayaan itu. Setahu saya, dari membaca biografi orang orang yang berjaya, ternyata hal yang paling berat tentang kejayaan adalah menjaga diri yang telah berjaya agar tetap maju."<br /><br />"Terima kasih Pak Ali. Tapi saya minta Pak Ali tidak menceritakan apa yang saya ceritakan tadi kepada orang lain. Saya tidak mahu itu jadi <span style="font-weight: bold;">consume</span> banyak orang. Biarlah masyarakat Indonesia di Cairo tahunya saya adalah mahasiswa Al-Azhar yang tidak lulus lulus kerana lebih suka bisnes tempe, bakso dan catering. Itu bagi saya sudah cukup membuat bahagia. Janji Pak ya?"<br /><br />"Ya, saya janji."<br /><br />Tak terasa teksi sudah sampai di depan hotel. Azzam turun. Pak Ali membayar tambang teksi lalu menyusul turun.<br /><br />"Perutnya masih sakit Pak?"<br /><br />"Ya. Masih terasa. Aku rasa aku harus segera ke toilet. Oh ya nak Khairul, kau terus ingin istirehat?"<br /><br />"Ya Pak, saya merasa letih sangat."<br /><br />"Baiklah. Oh ya, bagaimana kalau besuk habis solat Subuh kita sembang sembang sambil jalan jalan di sepanjang pantai. Semoga sakit perutku sudah sembuh.<br /><br />"Wah! dengan senang hati pak."<br /><br />"Kalau begitu nanti kalau kau mahu solat Subuh aku call ya. Kita sembahyang Subuh di masjid bersama. Dari masjid kita terus jalan jalan. Aku akan memberimu cerita yang indah. Kau pasti senang mendengarnya."<br /><br />"Baik Pak. Pergi dulu, <span style="font-weight: bold;">assalamu'alaikum</span>", kata Azzam.<br /><br />"<span style="font-weight: bold;">Wa'alaikumussalam</span>. Sampai ketemu besok", jawab Pak Ali.<br /><br />Azzam bergegas menuju lif, sementara Pak Ali menuju toilet. Hotel itu masih ramai. Beberapa orang masih asyik berbicara di lobby hotel. Dua orang lelaki kulit putih nampak sedang serius berbicara dengan orang Arab berjubah putih. Dan caranya memakai kopiah nampaknya ia orang teluk. <span style="font-weight: bold;">Lourantos Restauran</span> yang terletak tidak jauh dari lobby juga ramai dengan pengunjung.<br /><br />Sampai di bilik, Azzam terus merebahkan badannya. Ia tinggal menunggu mata terpejam. Telefon di biliknya berdering. Ia sangat tidak menginginkan telefon itu. Ia paksakan untuk bangkit dan mengangkatnya. Dari Eliana.<br /><br />"Hei Mas Insinyur, kok sudah pulang sih?" Suara dari gagang telefon.<br /><br />"Ya, diajak Pak Ali yang sakit perut. Saya juga sudah letih."<br /><br />"Seharusnya kalau mahu pulang beritahu pada saya. Terima kasih ya, ikan bakarnya sedap. Pak Juneidi puas sangat. Oh ya, sebenarnya aku mahu memberi hadiah istimewa. Tapi Mas Insinyur sudah pulang sih?"<br /><br />"Hadiahnya apa?"<br /><br />"Mahu tahu?"<br /><br />"Ya."<br /><br />"Ciuman istimewa daripadaku."<br /><br />"Apa? Ciuman istimewa?"<br /><br />"Yes."<br /><br />"Ciuman istemewa Mbak Eliana itu ciuman yang bagaimana?"<br /><br />"French kiss, ciuman khas Perancis."<br /><br />"Mbak mahu menghadiahkan aku ciuman khas Perancis? Ah yang benar saja?"<br /><br />"Benar. Sungguh! Tapi Mas Khairul sudah pulang sih. Jadi sorry ye."<br /><br />"Ah Mbak jangan menggoda orang miskin dong."<br /><br />"Saya tidak menggoda, serius. Saya sungguh sungguh mahu memberi Mas Khairul ciuman itu, tadi sayang abang sudah pulang."<br /><br />"<span style="font-weight: bold;">Alhamdulillah</span>. Untung saya terburu buru pulang."<br /><br />"Lho kok, malah merasa untung."<br /><br />"Ya. soalnya jika dapat ciuman khas Perancis dari Mbak, bagi saya bukanlah jadi hadiah, tapi jadi musibah!"<br /><br />"Jadi musibah?"<br /><br />"Ya."<br /><br />"Serius!? Tidak berguraukan?"<br /><br />"Serius! sangat serius."<br /><br />"Boleh dijelaskan kenapa jadi musibah?"<br /><br />"Penjelasannya panjang, besok saja! yang jelas perlu Mbak ingat baik baik, saya bukan orang putih! sudah saya harus istirehat. Maaf!"<br /><br />Klik!<br /><br />Azzam memutuskan pembicaraan dan meletakkan gagang telefon sambil mendesis kesal.<br /><br />"Dasar perempuan didikan Perancis tidak tahu adab kesopanan. Sudah tahu aku ini mahasiswa Al-Azhar mahu disamakan dengan orang putih saja! Gila mungkin!"<br /><br />Telefon di biliknya berdering lagi. I a biarkan saja. Tidak ia sentuh sama sekali. Ia yakin itu telefon daripada Eliana yang mungkin sedang emosi atau melayan perasaan. Telefon itu berdering dering sampai mati. Azzam mengambil wudhu'. Membaca doa. Memperlahankan air-cond. Dan siap untuk tidur. Telefon di kamarnya kembali berdering. Ia sedang membaca ayat Kursi. Sama sekali ia tidak berganjak dari tempat tidurnya. Telefon itu terus berdering sampai akhirnya mati sendiri. Ia tidak perlu mengangkatnya, sekiranya umur masih panjang, besok akan bertemu lagi dan berbicara panjang lebar kenapa hadiah ciuman itu baginya adalah musibah.<br /><br />Sementara di El Muntazah, Eliana nampak gusar dan geram. Berani beraninya pemuda itu memutus pembicaraan begitu saja. Dan berani beraninya ia memandang sebelah mata terhadap dirinya. Fikirnya. Baru kali ini ia tidak dianggap bahkan diremehkan oleh seorang pemuda. Yang membuatnya geram kali ini, yang meremehkannya justeru orang yang sama sekali tidak diperhitungkannya.<br /><br />"Dasar pemuda kampung kolot! Pemuda konservatif! Pemuda bahlul bin tolol! Awas nanti ya? Geramnya.<br /><br />Orang orang yang memperhatikan tingkah laku Eliana itu jadi tertanya tanya. Ada apa dengan Puteri Pak Duta Besar itu? Siapa pemuda yang dikatakan kolot itu? Siapa pemuda yang diumpatnya itu?<br /><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-weight: bold;">***</span></span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br />Selesai membaca Ayat Kursi, Azzam tidak boleh tidur langsung. Ia merasa ada yang salah hari ini. Yang salah itu adalah rasa tertariknya pada anak Pak Dubes dan harapannya yang tidak tidak padanya. Setelah sembilan tahun, baru kali ini hatinya tertarik pada seorang gadis.<br /><br />Dulu waktu di pesantren, waktu di Madrasah Aliyah, ia pernah merasa suka pada seorang siswi yang di matanya sangat mempesona. Namanya Salwa. Selain wajahnya yang menurutnya bagai bidadari, suaranya sangat merdu. Siswi dari Pati itu menjuarai MTQ (Musabaqah Tilawah Al-Qur'an) peringkat Jawa Tengah. Namun ia hanya boleh memendam rasa sukanya itu di dalam hati. Sebab ia tahu Salwa sudah dipinang oleh putera sulung Pengasuh Pesantren, Gus Mifdhal. Setelah itu ia tidak mahu membuka hatinya lagi.<br /><br />Yang ia hairan, entah kenapa ketika mendengar prestasi prestasi Puteri Pak Dubes itu hatinya merasakan sesuatu yang lain. Ia mengkagumi gadis itu. Dan ketika melihat wajahnya, ia semakin kagum. Lalu ketika ia baru sedikit dekat saja sudah merasakan apa yang dulu ia rasakan terhadap Salwa. Ia harus mengakui ia jatuh cinta pada Eliana dan berharap yang tidak tidak. Ia sendiri hairan kenapa?<br /><br />Padahal ini bukan kali pertama ia bertemu dengan gadis cantik. Ia sering membantu bapak bapak pejabat KBRI dan sering bertemu dengan anak gadis mereka yang sebenarnya tidak kalah jelitanya. Tapi ia merasa biasa biasa saja. bahkan ia pernah pergi umrah dan membimbing jemaah dari Jakarta. Di antara jemaah itu ada seorang foto model yang masih kuliah di Jakarta. Namanya Vera. Foto model cantik itu kelihatan tertarik padanya. Sebab setelah Vera kembali ke Jakarta, ia sering menelefon dirinya dan mengirimkan bungkusan. Namun ia sama sekali tidak tertarik padanya. Kini Vera sudah jadi bintang filem. Dan ia juga tidak minta sedikit pun untuk sekadar menyapanya. Ia sama sekali tidak tertarik dengan foto model itu kerana gaya hidupnya yang ia anggap tidak seiring dengan jiwanya. Dan cara berpakaiannya yang menurutnya kurang sopan meskipun sudah berulang kali mengerjakan umrah dan naik haji. Dalam hati ia berkata dengan tegas.<br /><br />"Cantik ya. Tapi kalau tidak boleh menjaga aurat, tidak memiliki rasa malu, tidak memakai tudung, tidak mencintai cara hidup yang agama, bererti bukan gadis yang aku idamkan!"<br /><br />Standard dia untuk calon isteri, minimanya adalah Salwa. Dan standard itu tidak pernah ia turunkan. Tapi entah kenapa, saat bertemu Eliana yang cara berpakaian dan cara hidupnya, menurutnya, tidak berbeza demgan Vera, hatinya akan luluh. Kenapa ia menurunkan standard yang telah bertahun tahun ia jaga. Bahawa calon isterinya, minimanya adalah perempuan yang bertudung litup, boleh membaca Al-Qur'an dan pernah mengecapi kehidupan pesantren.<br /><br />Dan betapa menyesal dirinya begitu menurunkan standard, ternyata yang ia dapatkan adalah kehinaan. Akal sihatnya menggiringinya untuk kecewa pada Eliana. Kecewa kerana ia merasa sudah dapat meraba cara hidup Eliana. Ia tidak boleh membayangkan bagaimana kehidupan Puteri Pak Dubes itu ketika kuliah di Perancis. Sudah berapa ramai lelaki orang putih dan bukan orang putih yang berciuman bibir dengannya. Dan is ditawari untuk jadi lelaki ke sekian yang berciuman dengannya. Ini jelas bertentangan dengan apa yang ia jaga selama ini. Iaitu kesucian. Kesucian jasad, kesucian jiwa, kesucian hati, kesucian niat, kesucian fikiran, kesucian hidup dan kesucian mati.<br /><br />Entah kenapa tiba tiba ia merasa berdosa. Ia merasa berdosa dan jijik pada dirinya sendiri yang begitu rapuh, mudah terpedaya oleh penampilan luar yang menipu. Ia jijik pada dirinya sendiri yang ia rasa terlalu cair pada lawan jenis yang belum halal baginya. Ia hairan sendiri kenapa jati dirinya seolah pudar saat berhadapan atau berdekatan dengan Eliana. Apakah telah sedemikian lemah imannya sehingga kecantikan jasadi telah sedemikian mudah menyihir dirinya. Ia beristighfar dalam hatinya. Berkali kali ia meminta ampun pada Dzat yang menguasai hatinya.<br /><br />Azzam meratapi kesilapannya dan memarahi dirinya sendiri. Dalam hati ia bersumpah akan lebih menjaga diri, dan hal yang menistakan seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Ia juga bersumpah untuk segera menemukan orang yang tidak kalah hebatnya dengan Eliana, tapi bertudung litup, solehah, boleh berbahasa Arab dan berbahasa Inggeris dengan fasih. Kalau terpaksa gadis itu harus orang Mesir tak mengapa. Yang jelas rasa terhinanya harus ia sirnakan.<br /><br />Ia harus menemukan kembali kehormatannya sebagai seorang Azzam yang memiliki harga diri. Meskipun masyarakat Indonesia di Mesir mengenalinya hanya sebagai tukang masak atau penjual tempe, tapi harga diri dan kesucian diri tidak boleh diremehkan oleh sesiapapun juga. Ia yakin akan mendapat isteri yang lebih jelita dari Eliana, dan lebih baik darinya. Ia yakin. Itu tekadnya. Ia ulang ulang tekad itu ke dalam tidurnya. Ke dalam mimpinya. Dan ke dalam alam bawah sedarnya.<br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-style: italic; font-weight: bold;"><span style="font-size:85%;">*** </span></span><br /></div><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;"><br /></span></span></div></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-89760438292987365482010-02-04T11:35:00.004+08:002010-02-04T11:39:27.592+08:00KETIKA CINTA BERTASBIH - (1) Senja Bertasbih di Alexandaria<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px; text-align: justify;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><div style=""><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><div style=""><span style="color: rgb(0, 0, 0);"><div style=""><br /><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="font-size:85%;">Ermmm dah lame aku tak tepek post rupanye (saje je buat2 lupe.. hehehee). Bersesuaian dgn bln Februari yg diagung2kan oleh pasangan mudamudi... rasa akulah inilah masanya... molek benar aku sajikan bola mate korang dgn nukilan Pak Habiburrahman yang sarat dgn cinta. Moga2 hati kita yg macam nak terkatup tu... bisa terbuka seluasnya... </span></span></span><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;"><br />DI MATANYA</span>, Kota Alexandria petang itu nampak begitu mempesona. Cahaya mataharinya yang kuning keemasan seolah olah menyepuh atap atap rumah, gedung gedung, menara menara, dan kenderaan kenderaan yang lalu lalang di atas jalan. Terpancar cahaya kuning yang terpantul dari riak gelombang di pantai menciptakan aura ketenangan dan kedamaian.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Di atas pasir pantai yang putih anak anak masih leka bermain kejar kejaran. Ada juga yang bermain rumah rumah dari pasir. Di tangan anak anak itu pasir pasir putih nampak seumpama butiran butiran emas yang lembut berkilauan diterpa oleh sinar matahari senja.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Di beberapa tempat, di sepanjang pantai, pasangan muda mudi nampak bercengkerama mesra. Di antara mereka masih ada yang membawa buku buku tebal di tangan. Menandakan mereka baru saja datang dari kampus dan belum sempat pulang ke rumah. Suasana senja di pantai rupanya lebih menarik bagi mereka daripada suasana senja di rumah. Bercengkerama dengan pujaan hati rupanya lebih mereka pilih daripada bercengkerama dengan keluarga, ayah, ibu, adik dan kakak di rumah.</span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" >Di mana mana muda mudi yang sedang jatuh cinta adalah sama. Senja menjadi waktu istimewa bagi mereka. Waktu untuk bertemu, saling memandang, duduk berdampingan dan bercerita yang indah indah. Saat itu yang ada dalam hati dan fikiran mereka adalah pesona sang kekasih yang dicintai. Tidak terlintas sedikit pun bahawa senja yang indah yang mereka lalui itu akan menjadi saksi sejarah bagi mereka kelak. Ya, kelak ketika masa muda mereka harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta Cinta. Dan jatuh cinta mereka pun harus dipertanggungjawabkan kepadaNya. Di hadapan pengadilan Dzat Yang Maha Adil, yang tidak ada sedikit pun kezaliman dan ketidakadilan di sana.<br /><br />Di matanya, Kota Alexandria petang itu nampak begitu indah. Ia memandang ke arah pantai. Ombaknya berbuih putih. Bergelombang naik turun. Berkejar kejaran menampakkan keriangan yang sangat menawan. Tiupan agin mengalirkan kesejukan. Suara desaunya benar benar terasa seumpama dasau suara zikir alam yang menciptakan suasana tenteram.<br /><br />Dari tingkap biliknya yang terletak di tingkat lima Hotel Al-Haram, ia menyaksikan sihir itu. Di matanya, Alexandria petang itu telah membuatnya seolah olah tidak lagi berada di dunia. Namun di sebuah alam yang hanya di penuhi keindahan dan kedamaian saja.<br /><br />Sesungguhnya bukan semata mata cuaca dan suasana menjelang musim bunga yang membuat Alexandria senja itu begitu mempesona. Bukan semata mata sinar matahari senja yang membuatkan Alexandria begitu menakjubkan. Bukan semata mata pasir putihnya yang membuat Alexandria begitu menawan. Akan lebih dari itu, yang membuat segala yang dipandangnya nampak menakjubkan adalah kerana bunga sedang bertandang di hatinya. Matahari kebahagiaan sedang bersinar terang di sana. Bunga bunga kasturi sedang menebarkan wanginya. Lagu lagu cinta mengalun di dalam hatinya, memperdengarkan irama terindahnya. Dan penyebab itu semua, tidak lain dan tidak bukan adalah seorang gadis sastera, yang di matanya memiliki kecantikan bunga mawar putih yang sedang merekah. Gadis yang di matanya seumpama permata safir yang paling indah.<br /><br />Gadis itu adalah kilauan matahari di musim bunga. Sosok yang sedang menjadi buah mulut di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Mesir. Gadis yang pesonanya dikagumi ramai orang. Dikagumi bukan hanya kerana kecantikan fizikalnua, tetapi juga kerana kecerdasan dan kejayaan kejayaan yang telah diraihnya. Lebih dari itu, gadis itu adalah puteri orang nombor satu bagi masyarakat Indonesia di Mesir.<br /><br />Dialah Eliana Pramesthi Alam. Puteri satu satunya Bapak Duta Besar Republik Indonesia di Mesir. Hampir genap satu tahun gadis itu tinggal di Mesir. Selain untuk menemani kedua orang tuanya, keberadaannya di Negara Piramid itu untuk melanjutkan M.A.nya di American University in Cario (AUC).<br /><br />Belum begitu lama menghirup udara Mesir, gadis yang memiliki suara jernih itu terus menunjukkan bakatnya. Sekaligus, ia terus menjadi pusat perhatian. Sebab baru satu bulan di Cairo, tulisan cadangannya dalam bahasa Inggeris sudah dimuatkan di surat khabar <span style="font-weight: bold;">Ahram Gazette</span>.<br /><br />Pandangannya menyoroti peran Liga Arab yang mandul dalam memperjuangkan martabat anggota anggotanya. Liga Arab yang tidak mempunyai kekuatan untuk berhadapan dengan Israel dan sekutunya. Liga Arab yang hanya boleh bersuara, tapi tidak boleh berbuat apa apa. Tulisannya rapi, jelas, berkarakter, tajam dan kuat datanya. Orang dengan pengetahuan memadai, akan menilai tulisannya merupakan perpaduan pandangan seorang jurnalis, sasterawan dan diplomat yang unggul.<br /><br />Kerana pandangannya itulah, ia terus diminta menjadi bintang tetamu di Nile TV. Di layar Nile TV ia berdebat dengan Sekjen Liga Arab. Hampir seluruh masyarakat Indonesia di Mesir menyaksikan siaran langsung istimewa itu. Baru kali ini ada anak Indonesia berbicara di sebuah forum yangtidak sembarangan orang diundang. Sejak itulah Eliana menjadi bintang yang bersinar di langit cakerawala Mesir, terutama di kalangan mahasiswa Indonesia.<br /><br />Terhitung, gadis yang menyelesaikan B.A.nya di EHESS Perancis itu sudah tiga kali tampil di layar televisyen Mesir. Sekali di Nile TV. Dua kli di Channel 2. Wajahnya yang tidak kalah pesonanya dengan diva pop dari Lebanon, Nawal Zoughbi, dianggap layak tampil di layar kaca. Selain kerana ia memang puteri seorang duta besar yang cerdas dan fasih berbahasa Inggeris dan Perancis.<br /><br />Eliana, Puteri Pak Dubes itulah yang membuatnya berada di Alexandria dan tidur di Hotel berbintang lima selama satu minggu ini. Meskipun ia sudah berulang kali ke Alexandria, namum keberadaannya di Alexandria kali ini, ia rasakan sangat begitu istimewa. Ia tidak boleh menggingkari dirinya adalah manuasia biasa, bukan malaikat. Ia tidak boleh menafikan dirinya adalah pemuda biasa yang boleh berbunga bunga kerana merasa dekat dan dianggap penting oleh seorang gadis cantik dan terhormat seperti Eliana. Gadis yang membuat matahari kebahagiaan sedang bersinar terang di hatinya.<br /><br />Awalnya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) yang mengadakan acara 'Minggu Promosi Pelancongan dan Budaya Indonesia di Alexandria.' Beberapa acara persembahan kebudayaan berlangsung di Auditorium Alexandria University selama satu minggu. Selama itu juga ada promosi masakan dan makanan khas Indonesia. Sementara itu pula, ia selama ini dikenali sebagai mahasiswa paling mahir memasak. Dan ia digajikan oleh KBRI untuk membuka gerai Nasi Timlo Solo. Mulanya ia menolak. Sebab, dengan begitu ia harus meninggalkan bisnesnya membuat tempe selama seminggu. Ia risau pelanggannya kecewa. Namun puteri Dubes itu terus mendesak dan memohon kesediannya. Akhirnya dia mengalah dan bersedia.<br /><br />Sejak itulah hatinya berbunga bunga. Sebab sebelum berangkat ke Alexandria ia sering ditelefon Eliana. Dan waktu di Alexandria hampir setiap hari Eliana datang ke gerainya untuk mengawasi, melihat lihat, atau hanya sekadar untuk mengajaknya berbicara apa saja.<br /><br />"Aku kagum lho ada mahasiswa yang berdikari seperti Mas Insinyur." Puji Eliana. hatinya tersanjung sangat luar biasa.<br /><br />Bagaimana tidak, gadis jelita itu seolah olah bagai menghormatinya. Ia dipanggil dengan panggilan "'Mas Insinyur' , bukan terus memanggil namanya, atau dengan kata ganti ' kamu' atau 'anda'. Orang orang memang biasa memanggilnya 'Mas Khairul' namanya Khairul Azzam atau 'Mas Insinyur' ia dikenali dengan 'Insinyur'nya kerana dia seorang yang paling pandai memasak di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo. Entah kenapa, mendengar pujian dari Eliana itu, ia merasakan kebahagiaan dengan nuansa yang sangat lain. Kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.<br /><br />Ia tersenyum sendiri. Kedua matanya memandang ke arah pantai. Dua orang muda mudi Mesir berjalan mesra menyusuri pantai Cleopatra yang berada tepat di depan hotel.<br /><br />Ia tersenyum sendiri. Entah kenapa tiba tiba berkelibat dalam fikiran, andai yang berjalan itu adalah dirinya dan Eliana. Alangkah bahagianya.<br /><br /></span><div style="text-align: left;"><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;">Astaghfirullah!</span> ia beristigfar.</span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia merasakan apa yang berkelibat dalam fikirannya itu sudah tidak dianggap benar.</span></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia mengalihkan pandangannya jauh ke tengah laut Mediteranian. Nun jauh di sana ia melihat ada tiga buah kapal yang nampak kecil dan hitam. Kapal kapal itu ada yang sedang menuju ke Alexandaria, ada juga yang sedang meninggalkan Alexandaria. Sejak dulu lagi Alexandaria memang terkenal sebagai kota pelabuhan yang penting di kawasan Mediteranian. Pelabuhan Alexandaria saat ini ada di kanan dan kiri kawasan Ras El Tin dan kawasan El Anfusi. Dua kawasan itu terletak di Semenanjung Alexandaria lama. Di hujung semenanjung itu berdiri dua buah benteng bersejarah, iaitu Benteng Qaitbai dan Benteng El Atta.</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dari tingkap biliknya ia boleh melihat benteng Qaitbai itu di kejauhan. Kedua matanya kembali mengamati tiga buah kapal yang letaknya berjauhan satu sama lain. Ia halakan pandangan ke kiri dan kanan. Laut itu terlihat begitu luas dan kapal itu begitu kecil. Padahal di dalam kapal itu mungkin ada ratusan manusia. Ia jadi berfikir, alangkah kecilnya manusia. Dan alangkah Maha Penyayangnya Tuhan yang menjinakkan lautan sedemikian luas supaya tenang dilalui kapal kapal berisi manusia. Padahal, mungkin sekali di antara manusia yang berada di dalam kapal itu terdapat manusia manusia yang sangat derhaka kepada Tuhan. Walaupun begitu, Tuhan masih sahaja menunjukkan rasa kasih sayangNya. Ia jinakkan lautan, yang jika Ia berkehendak, Ia boleh menitahkan ombak untuk tenggelamkan kapal itu dan bahkan meluluhlantakkan seluruh isi Kota Alexandaria. Ia teringat firman Nya yang indah :</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span><br /><span style="color: rgb(51, 51, 255);font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">Tidakkah engkau memperhatikan bahawa sesungguhnya kapal itu berlayar di lautan dengan ni'mat Allah, agar diperlihatkan Nya kepadanya sebahagian dari tanda tanda kebesaranNya. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda tanda kebesaranNya bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. (Luqman: 31)</span></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ia terus memandang ke laut Mediteranian. Laut telah menjadi saksi sejarah atas terjadinya peristiwa peristiwa besar yang menggetarkan dunia. Perang besar yang berkobar kerana memperebutkan cinta Ratu Cleopatra terjadi di laut itu. Pertemuan bersejarah yang diabadikan dalam Al-Qur'an antara Nabi Musa dan Nabi Khidir, konon, juga terjadi di salah satu pantai laut Mediteranian itu.</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Laut yang indah, penuh nilai sejarah," lirihnya pada dirinya sendiri. "Akankah aku juga akan mencatatkan sejarahku di pantai laut ini?" Ia berkata begitu kerana malam nanti ada jadual makan malam bersama seluruh staf KBRI di pantai El Muntazah. Ia yakin akan bertemu lagi dengan Eliana di sana.</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Matahari terus berjalan mendekati peraduannya. Sinarnya yang kuning keemasan kini mulai bersulam kemerahan. Ombak datang silih berganti seolah olah menyapa dan menciumi pasir pasir pantai yang putih nan bersih terasa damai dan indah. Menyaksikan fenomena alam yang dasyat itu Azzam bertasbih, "<span style="font-weight: bold;">Subhanallah</span>. Maha Suci Allah yang telah menciptakan alam seindah ini."</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ya, alam bertasbih dengan keindahannya. Alam bertasbih dengan keteraturannya. Alam bertasbih dengan pesonanya. Segala keindahan, keterlaluan dan pesona alam bertasbih, menjelaskan keagungan Sang Pencipta. Bertasbih, menyucikan Tuhan dari sifat kekurangan. Keindahan senja petang itu menjelaskan kepada siapa saja yang menyaksikan bahawa Tuhan yang menciptakan senja yang luar biasa indah adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Maha Sempurna ilmuNya.</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Siang, malam, senja, dan pagi bertasbih. Matahari, udara, laut, ombak dan pasir bertasbih. Semua benda yang ada di alam semesta ini bertasbih, menyucikan asma Allah. Semua telah tahu bagaimana cara melakukan solat dan tasbihnya. Dengan sinarnya, matahati bertasbih di peredarannya. Dengan hembusannya, udara bertasbih di alirannya. Dengan gelombangnya ombak bertasbih di jalannya. Semua telah tahu bagaimana cara menunjukkan tidak ada Tuhan selain Allah Yang Maha Kuasa.</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Keteraturan alam semesta, langit yang membentang tanpa tiang, pergantian siang dan malam, lautan luas membentang, gunung gunung yang menjulang, awan yang membawa air hujan, air yang menumbuhkan tanam tanaman, proses penciptaan manusia sembilan bulan di dalam rahim, bintang bintang yang menjaga ekosistem dan peraturan peraturan lainnya, itu semua menunjukkan bahawa ada Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Dzat yang kekuasaanNya tidak ada batasnya. Dzat yang menciptakan itu semua. Dan Dzat itu adalah Tuhan Penguasa alam semesta. Dan jelas Tuhan itu hanya boleh satu adanya. Tidak mungkin dua, tiga dan seterusnya. Tidak mungkin!</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sebab, jika Tuhan itu lebih dari satu pastilah terjadi kerosakan di alam semesta ini. Sebab masing masing akan merasa Ia paling berkuasa. Masing masing akan memaksakan keinginanNya . Mereka akan berselisih faham. Misalnya yang satu menghendaki matahari terbit dari Timur, sementara yang satu menghendaki matahari terbit dari Barat. Terjadilah perseteruan. Dan rosaklah alam.</span></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ternyata matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat, dengan sangat teraturnya. Matahari tidak pernah terlambat terbit. Matahari juga tidak pernah bermain main, berlari lari ke sana ke mari di langit seperti anak kecil bermain bola atau main sorok sorok. Ia beredar di jalan yang ditetapkan Tuhan untuknya. Dan selalu tenggelam di ufuk Barat tepat pada waktunya. Peraturan ini menunjukkan, Tuhan Yang Menciptakan alam semesta ini adalah satu, iaitu Allah 'Azza wa Jalla, Tuhan Yang Maha Kuasa.</span></span><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><br />Tuhan yang menciptakan alam semesta ini, yang tidak terbatas kekuasanNya itu memang tidak mungkin berjumlah lebih dari satu. Sebab seandainya Tuhan lebih daripada satu, lalu mereka sepakat menciptakan matahari misalnya. Maka mungkin ada dua kemungkinan di sana. <span style="font-weight: bold;">Pertama</span>, Tuhan yang satu menciptakan, sementara tuhan yang lain berpangku tangan. Tidak berbuat apa apa. Dengan begitu, akan bererti bahawa Tuhan yang tidak berbuat apa apa itu tidaklah Tuhan yang berkuasa. Sia sia saja ia jadi Tuhan. Sebab, pada saat matahari diciptakan, Ia tidak berkerjasama untuk menciptakannya. Ia menganggur. Sama seperti makhluk yang menganggur. Jadi ia bukan Tuhan dan tidak boleh disebut Tuhan.<br /><br />Atau kemungkinan <span style="font-weight: bold;">kedua</span>, tuhan tuhan itu berkerjasama menciptakan matahari. Matahari diciptakan dengan saling kerjasama. Jika demikian, telah jelas mereka bukanlah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab mereka lemah. Bagaimana tidak. Untuk menciptakan matahari sahaja mereka harus berkerjasama. Tidak boleh menciptakan sendiri. KekuasaanNya tidak mutlak. Yang terbatas kuasanya bererti lemah dan tidak layak disebut sebagai Tuhan.<br /><br />Jika Tuhan itu lebih dari satu, kemungkinan terjadi pembahagian tugas. Ada yang bertugas mencipta matahari, ada yang bertugas mencipta bumi, ada yang bertugas mencipta langit dan seterusnya. Jika demikian, mereka bukan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab pembahagian tugas menunjukkan kelemahan, menunjukkan ketidakmahakuasaan. Tuhan yang sebenarnya adalah Tuhan Yang menciptakan dan menguasai seru sekalian alam. Tuhan yang menciptakan alam semesta ini dengan kekuasaanNya yang sempurna. Tuhan yang ilmuNya meliputi segala sesuatu. Dan yang memiliki sifat Maha Sempurna seperti itu hanya ada satu, iaitu Allah. Dialah Tuhan yang sebenarnya. Sebab tidak ada yang mengiistiharkan diri sebagai pencipta alam semsta ini kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br /><br /><span style="font-weight: bold;"><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Seandainya pada keduanya (di langit dan bumi) ada tuhan tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa. Maha Suci Allah yang memiliki 'Arasy dari apa yang mereka sifatkan. (Al-Anbiya': 22)</span><span style="font-weight: bold;"><br /><br /></span></span>Pemuda bernama Khairul Azzam itu masih menatap ke arah laut. Matahari masih satu jengkal di atas laut. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam. Warna kuning keemasan bersepuh kemerahan yang terpancar dari bola matahari menampilkan pemandangan yang sangat indah. Ia jadi teringat sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam : <span style="font-weight: bold;">"Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan."<br /><br />"Subhanallah!"</span> Kembali ia bertasbih dalam hati.<br /><br />Ia terus menikmati detik detik pergantian siang dan malam yang indah itu. Cahaya matahari seperti masuk ke dalam laut yang perlahan lahan menjadi gelap. Siang seolah olah masuk ke dalam perut malam. Matahari hilang tenggelam. Lalu perlahan bulan datang. <span style="font-weight: bold;">Subhanallah.</span><br /><br />Siapakah yang mengatur ini semua? Siapakah yang mampu memasukkan siang ke dalam perut malam? Seketika azan berkumandang menjawab pertanyaan itu dengan suara lantang : <span style="font-weight: bold;">Allahu Akbar! Allahu Akhbar! </span>(Allah Maha Besar! Allah Maha Besar!) Ya, hanya Allah Yang Maha Besar kekuasaanNyalah yang mampu memasukkan siang ke dalam perut malam. Dan memasukkan malam ke dalam perut siang.<br /><br /><span style="font-weight: bold; color: rgb(51, 51, 255);">Tidakkah engkau memperhatikan bahawa Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan Dia menundukkan matahari dan bulan, masing masing beredar sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Luqman : 29)</span><br /><br />Malam mulai membentangkan jubah hitamnya. Lampu lampu jalan bersinar terang. Alexandria memperlihatkan cahayanya yang lain. Sihir malamnya yang tak kalah indahnya. kelip kelip lampu kota yang mendapat julukan '<span style="font-weight: bold;">Sang Pengantin Laut Mediteranian'</span> itu bagai tebaran intan berlian. Khairul Azzam menutup langsir tingkap biliknya. Ia bergegas untuk solat di masjid yang jaraknya tidak jauh dari hotelnya.<br /><br />Saat tangannya menyentuh gagang pintu hendak keluar, telefon di biliknya berdering. Ia terdiam sesaat. ia menatap telefon yang sedang berdering itu sesaat dan terus membuka pintu lalu melangkah keluar. "Kalau dia benar benar berhajat, nanti pasti dia telefon lagi setelah solat. Apakah dia tidak tahu sekarang ini waktu solat," lirihnya menuju lif.<br /><br />Ia membenarkan tindakannya itu dengan berfikir bahawa datangnya azan yang memanggilnya itu lebih dahulu dari datangnya deringan telefon itu. Dan ia harus mendahulukan yang datang lebih dahulu. Ia harus mengutamakan undangan yang datang lebih dahulu. Apalagi undangan yang datang lebih dahulu itu adalah undangan untuk meraih kebahagiaan akhirat.<br /><br /><span style="font-weight: bold;"><span style="color: rgb(51, 51, 255);">Padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dn lebih kekal. (Al-Ala : 17)</span><br /><br /><br /></span></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">***</span></span></span><br /></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;"><br /></span>Saat pulang dari masjid, Azzam bertemu Eliana di depan pintu masuk lobby hotel. Melihat Azzam wajah Eliana nampak riang.<br /><br />"Hei, ke mana saja? Aku sudah mencari Mas Khairul ke mana mana? Sudah dua puluh tujuh kali aku menelefon ke bilik Mas Khairul! Ada hal penting! Mari kita bicara di lobby saja!" Eliana berleter tanpa memberi kesempatan untuknya menjawab. Gadis berperanakan tubuh indah itu berbalut t-shirt lengan panjang ketat berwarna merah muda dan berseluar jeans putih ketat. Balutan khas gadis gadis bangsawan Eropah itu membuatnya nampak langsing, padat, dan berisi. Perfumenya menebarkan aroma bunga bungaan segar dan sedikit aroma epal. Wajahnya yang putih dengan mata bulat jernih memancarkan pesona yang mampu menghangatkan aliran darah setiap pemuda yang menatapnya.<br /><br />Azzam masih berdiri di tempatnya. Entah kenapa setelah ia tercium perfume yang dipakai Puteri Pak Dubes itu, ia merasakan nafasnya dedikit sesak, jantungnya berdegup lebih kencang, dan ada sesuatu yang tiba tiba datang begitu saja mengaliri tubuhnya. "Nape diam saja, mari Mas, kita bicarakan di lobby! Ini penting!" Eliana kembali mengajak Azzam masuk ke lobby hotel. Azzam tergagap. Ia mengangguk. Dan mahu tidak mahu Azzam mengikutinya. Sebab ia berada di Alexandaria kerana kontrak kerja dengannya.<br /><br />"Mbak Eliana sudah solat?" tanya Azzam perlahan. Ia cuba menguasai dirinya, yang sesaat sempat bergoncang. Ia memanggilnya 'Mbak', meskipun ia tahu Eliana lebih muda tiga tahun dari dirinya. Tak lain, ini adalah kerana rasa hormatnya pada gadis itu sebagai Puteri pak Duta Besar.<br /><br />"Ah solat itu senang! Yang penting ini. Ada tugas penting untuk Mas Khairul malam ini. Tugas terakhir. Aku janji!" sahut Eliana berleter tanpa rasa dosa kerana mengambil mudah akan mengerjakan solat.<br /><br />"Tu.... tugas?"<br /><br />"Ya."<br /><br />"Untuk saya!?"<br /><br />"Ya. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk Mas Khairul?"<br /><br />"Tugas dari siapa?"<br /><br />"Ya dariku."<br /><br />"Dari Mbak?"<br /><br />"Ya."<br /><br />Azzam menghirup nafas. Detak jantungnya sudah normal. Ia sudah menguasai dirinya sepenuhnya. Dengan memik serius ia berkata :<br /><br />"Sebentar Mbak, bukankah tugas saya sudah selesai petang tadi Mbak? Dengan berakhirnya acara Minggu Promosi Pelancongan petang tadi bererti tugas sayakan sudah selesai. Dalam kesepakatan yang kita buat, saya bertugas membuat dan menjaga Nasi Timlo Solo selama enam hari. Dari jam sepuluh pagi sampai jam empat petang. Menunggu gerai enam jam setiap hari. Bererti tugas saya sudah selesai. Jika ada tugas lagi, ini jelas di luar kesepakatan. Jelas saya tidak boleh menerimanya Mbak, maaf! Apa hubungannya Mbak dengan saya sehingga dengan senang hatinya Mbak memberi tugas kepada saya!? Apa saya ini orang bawahan Mbak1? Maaf saya tidak boleh Mbak!"<br /><br />Meskipun ia di kalangan mahasiswa Cairo dikenali sebagai penjual tempe, ia tidak mahu diperlakukan dengan sesuka hati. Ia sangat sensitif terhadap hal hal yang terasa melecehkan harga dirinya. Memberi perintah seenaknya kepadanya adalah satu bentuk dari penjajahan ke atas harga dirinya. Azzam adalah orang yang sangat menghargai kemerdekaannya sebagai manusia yang hanya menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.<br /><br />Eliana yang pernah sekian tahun tinggal di Perancis agaknya terus menyedari kesilapannya. Ia terburu buru membetulkan ucapannya dan meminta maaf.<br /><br />"Maafkan aku Mas Khairul. Mas benar. Sebenarnya dengan kesepakatan perjanjian kita, tugas Mas sudah selesai. Tetapi ini ada masalah penting yang sedang aku hadapi. Dan aku rasa yang boleh membantu adalah Mas. Baiklah, ini di luar perjanjian. Ini antara aku dan Mas sebagai sahabat. Ya sebagai sahabat yang harus saling tolong menolong. Saling bantu membantu.<br /><br />"Begini, majlis makan malam nanti pukul lapan di Pantai El Muntazh. Aku sudah memesan menunya melalui Omar Khayyam Restaurant. Masalahnya, dalam acara makan malam nanti secara mengejutkan kita kedatangan Bapak Duta Besar Indonesia untuk Turki yang datang siang tadi. Beliau teman sekuliah ayahku di FISIPOL UGM dulu. Ayah ingin menyediakan menu istimewa untuknya. Menu yang mengingatkan akan kenangan masa lalu. Menu itu adalah nasi panas dengan lauk ikan bakar disambal pedas khas Jogja. Ayah dulu sering makan menu itu bersama beliau di Pantai Parangtritis. Sebelum Maghrib tadi, ayah memintaku untuk menyiapkan menu ini. Aku pusing tujuh keliling. Yang jelas aku sudah menyuruh Pak Ali, pemandu KBRI itu untuk mencari ikan yang segar. Ikan apa saja, yang penting sesuai dibakar. Pak Ali membeli enam kilo, sekarang sudah ada di dalam peti sejuk di biliknya. Dan aku datang menemui Mas untuk meminta tolong menyiapkan ikan bakar itu. Mas Insinyur, tolong ya? Please ya?" Kata Eliana dengan nada kasihan.<br /><br />Azzam diam sahaja. Sesaat lamanya dia diam tidak menjawab apa apa.<br /><br />"Sungguh Mas, tolong aku ya. Please tolonglah. Aku janji, nanti aku akan berikan hadiah istimewa buat Mas. Please tolong aku. ini masalah kredibilitiku di hadapan ayahku. Kalau menguruskan ikan bakar saja aku tidak boleh, beliau akan susah mempercayai kredibilitiku mengelolakan sesuatu yang lebih penting. Tolong aku, Mas please. Aku tahu ini waktunya sangat singkat. Tapi aku yakin abang boleh lakukannya. Tolonglah ya?"<br /><br />Eliana meminta dengan nada kasihan sambil menangkupkan kedua tangannya di depan hidungnya. Gadis itu benar benar meminta belas kasihan di hadapan Azzam. Melihat wajiah kasihan di hadapannya, Azzam luluh. Sosok yang sangat tersinggung jika harga dirinya direndahkan itu adalah juga sosok yang paling mudah tersentuh hatinya.<br /><br />"Baiklah, saya akan bantu setakat yang saya mampu. Tapi sebelum membantu Mbak Eliana, saya ingin hak saya atas apa yang sudah saya kerjakan selama enam hari di sini dibayar", jawab Azzam tenang.<br /><br />"Sekarang?"<br /><br />"Ya, sekarang."<br /><br />"Apa Mas Khairul tidak percaya padaku?"<br /><br />"Siapa yang tidak percaya? Saya hanya menuntut hak saya."<br /><br />"Baiklah." Eliana mengeluarkan dompet dari poket seluar jeansnya. Lalu mengeluarkan lembaran dollar kepada Azzam.<br /><br />"Ini tiga ratus dollar. Seperti kesepakatan kita satu harinya lima puluh dollar."<br /><br />"Terima kasih." Azzam menerina wang itu sambil tersenyum.<br /><br />"Nanti resitnya menyusul kemudian ya."<br /><br />" Nah, sekarang boleh bantu saya?"<br /><br />"Baiklah, sekarang masalah bantu membantu, Bukan bisnes. Saya ingin ikhlas membantu, jadi saya tidak akan mengharapkan apapun dari Mbak."<br /><br />"Tapi, tadi aku sudah beritahu akan memberi hadiah istimewa."<br /><br />"Itu tak penting. Kerana waktunya sudah singkat, yang paling penting saat ini adalah mencari perencah untuk ikan bakar itu dan untuk sambalnya. Perencah yang masih tersisa dari Nasi Timlo tidak mencukupi. Di tempat saya juga sudah tidak ada cili satu biji pun", jawab Azzam.<br /><br />"Kalau begitu sekarang juga kita berangkat mencari apa yang Mas perlukan. Sebentar, aku panggil Pak Ali dulu, ia lebih faham selok belok Alexandaria", sahut Eliana bersemangat. Gadis itu terus menghubungi Pak Ali dengan telefon tangannya.<br /><br />"Kita diminta ke depan. kebetulan Pak Ali sudah ada di dalam kereta. Memang tadi saya berpesan akan pergi setelah solat Maghrib. Mari kita berangkat!" Kata Eliana setelah menelefon.<br /><br />"Sebentar. Apa tidak sebaiknya Mbak solat Maghrib dahulu, kalau belum solat?"<br /><br />"Aduh, solat lagi, solat lagi. Solat itu gampang!"<br /><br />"Lho, jangan meremehkan solat Mbak. Kalau Mbak belum solat lagi, lebih baik Mbak solat saja. Biar saya dan Pak Ali sja yang berbelanja."<br /><br />"Tidak, saya harus ikut. Tidak tenang rasanya kalau saya tidak ikut. Tentang solat yang Mas Khairul katakan itu tenang saja Mas. Aku memang sedang uzur. Kalau solat juga, tentu berdosa. Tahu sendirikan perempuan ada saat saat dia tidak boleh solat. Jom kita berangkat. Kita harus cepat, waktunya singkat!"<br /><br />"Kalau begitu ayuh."<br /><br />Azzam bangkit.<br /><br />Mereka berdua berjalan tergesa gesa ke luar hotel. Tepat di depan pintu hotel, Pak Ali telah menunggu dengan kereta BMW hitam. Petugas hotel membukakan pintu kereta. Azzam duduk di depan, di sebelah Pak Ali dan Eliana duduk di bangku belakang. Eliana memberi arahan kepada Pak Ali agar membawa ke kedai menjual bahan perencah secepat mungkin. Pak Ali terus menekan minyak melintas di atas El Ghaish Street menuju ke arah pusat perbelanjaan di kawasan El Manshiya, Azzam menikmati perjalanan itu dengan hati nyaman dan bahagia. Meskipun sebenarnya ia sangat penat, namun rasa bahagia itu mampu mengatasi rasa penatnya. Entah kenapa ia merasa malam itu terasa begitu indah. Berjalan di sepanjang jalan utama Kota Alexandaria dengan kereta mewah bersama seorang Puteri Duta Besar yang berjiwa sastera. Ia merasakan kebahagiaan itu sempurna jika kereta BMW itu adalah miliknya, ia sendiri yang memandunya dan Eliana duduk di sebelahnya sebagai isterinya dengan busana Muslimah yang anggun mempersona.<br /><br />"Hayo, Mas Insinyur melamun ya?" suara Eliana mengejutkan lamunannya.<br /><br />"E... ti.. tidak! Saya hanya takjub dengan suasana malam kota ini. Dan saya bertanya bila boleh memiliki kereta semewah ini, dan memandunya bersama isteri di kota ini?" Jawab Azzam sedikit gugup.<br /><br />"Wah, impian Mas Insinyur tinggi juga ya? Saya yakin jarang ada orang yang bermimpi seperti Mas. Anak muda Indonesia yang mempunyai impian memandu kereta BMW, saya rasa tidak banyak. Apa lagi yang bermimpi memandunya bersama isterinya di kota ini. Jangankan bermimpi seperti itu, BMW saja mungkin ada yang belum tahu apa itu dan ada yang belum pernah melihat bentuknya. Lha, bagaimana boleh bermimpi? Bahkan mungkin di antara anak muda Indonesia, terutama di daerah pedalaman masih ada yang beranggapan bahawa BMW sejenis basikal, seperti dengan BMX."<br /><br />Azzam tersenyum mendengar pandangan Eliana. Pandangan yang baginya terasa memandang rendah anak muda Indonesia. Tapi, dulu waktu ia masih di Madrasah Aliyah dan mengadakan perkhemahan dakwah di hujung tenggara Wonogiri, ia bertemu dengan jenis anak anak remaja dan anak muda yang masih sangat terbelakang cara pemikirannya. Mereka hanya merasa cukup dengan hanya lulus sekolah rendah saja. Bahkan banyak yang tidak lulus sekolah rendah. Mereka lebih suka mencari kayu bakar di hutan. Atau menggembala kambing di hutan. Mimpi mereka adalah bagaimana dapat kayu bakar yang banyak. Atau kambing mereka cepat beranak pinak. Itulam mimpi anak anak muda yang ada di pedalaman daratan Pulau Jawa. Ia bayangkan bagaimana dengan yang berada di tengah hutan Kalimantan dan Papua? Meeka yang berfikiran untuk memakai baju yang cantik saja belum termampu. Untuk menjamah mereka saja harus menempuh perjalanan yang sangat sukar. Ia terus membandingkan mereka dengan anak muda seperti Eliana yang sudah selesai kuliah di Perancis di usia yang masih belia. Pernah merasakan tidur di hotel paling mewah di Eropah. Pernah berdebat dengan Setiausaha Agung Liga Arab dengan berbahasa Inggeris yang fasih. Alangkah jauh bezanya.<br /><br />"Ya, yang kau katakan mungkin ada benarnya. Memang tidak banyak dari mereka memiliki impian yang tinggi", komennya ringan. Dalam hati Azzam menambah: "Apalagi yang bermimpi boleh menyunting Puteri Dubes yang sekular seperti dirimu dan boleh menjadikannya Muslimah yang baik, pastilah sangat sangat sedikit jumlahnya."<br /><br />"Kerana pemudanya tidak banyak yang mempunyai impian tinggi dan besar itulah, maka Indonesia tidak maju maju. Apa yang kau impikan selama ini, Mas? Bukan yang tadi. Yang selama ini kau impikan?" tanya Eliana.<br /><br />"Kira kira apa, cuba, kau boleh teka atau tidak?" sahut Azzam.<br /><br />"Mmm.... mungkin mendirikan pesantren."<br /><br />"Salah."<br /><br />"Terus apa?"<br /><br />"Jadi orang yang paling kaya di Pulau Jawa he... he... he..."<br /><br />"Wow... gila! It's great dream man! takku duga Mas Khairul punya impian sebesar itu. Impian yang aku sendiri pun tidak menjangkaunya. Gila! Boleh.... boleh! Kali ini aku boleh salut pada Mas Khairul."<br /><br />BMW itu terus menuju dengan tenang dan elegan. Beberapa minit kemudian kereta itu berhenti di depan kedai penjual bahan perencah di El Hurriya Street. Dengan cepat dan cermat Azzam membeli bahan perencah. Azzam tidak lupa mengajak ke kedai penjual sayur sayuran.<br /><br />"Untung saya ingat, ikan bakar itu harus ada ulam ulamannya", kata Azzam pada Eliana. Ia bergegas masuk ke kedai penjual sayur mayur dan membeli timun, kobis dan tomato untuk dibuat ulam ulaman. Setelah itu mereka meluncur kembali ke hotel dengan perasaan lega. Dan yang paling lega tentu saja Eliana. Jika bahan bakar telah didapati, bahan perencah telah diperolehi dan tukang masak yang akan memasak boleh diharapkan, apakah tidak layak baginya untuk merasa lega.<br /><br />Dalam perjalanan ke hotel, Pak Ali memilih menelusuri El Hurriya Street. Terus ke arah Timur Laut. Mereka melalui Konsulat Amerika Syarikat. Terus melaju tenang. Sampai di kawasan Ibrahimiya sebelum Sporting Club belok kiri. lLlu belok kanan melaju di El Amir Ibrahim Street. Di dalam kereta Azzam melihat tren elektrik yang penuh dengan penumpang. Kereta itu melaju ke arah El Manshiya. Gadis gadis Mesir kelihatan berdiri di dalam tren. Tangan kanan mereka menggenggam erat pegangan seperti gelang, sedangkan tangan kiri mereka memegang buku.<br /><br />"Sepertinya gadis gadis itu baru pulang dari kampus ya." Eliana kembali membuka suara. Eliana seperti tahu apa yang diperhatikan Azzam.<br /><br />"Ya." Pelan Azzam.<br /><br />"Gadis Mesir itu cantik cantik ya. Langsing langsing."<br /><br />"Ya."<br /><br />"Tapi saya lihat kalau sudah jadi ibu ibu, kenapa mereka kelihatan gemuk gemuk sekali ya?"<br /><br />"Ya. Setahu saya memang adat di Mesir, seseorang suami malu kalau isterinya tidak gemuk. Malu dianggap tidak boleh memberi makan dan tidak boleh mensejahterakan isterinya."<br /><br />"Aneh. Apa kesejahteraan itu bererti gemuk?"<br /><br />"Tidak juga. Ada juga kan orang merana, orang stress malah gemuk. Tapi masyarakat Mesir moden agaknya sudah mulai meninggalkan adat adat itu. Kita juga mudah menemui ibu ibu Mesir yang tetap langsing."<br /><br />"Ngomong ngomong, apa Mas Insinyur punya impian menikah dengan gadis Mesir?"<br /><br />"Menikah dengan gadis Mesir?" Spontan Azzam mengulang pertanyaan Eliana.<br /><br />"Ya. Pernah terlintas dalam hati?"<br /><br />"Pernah."<br /><br />"Ada kenalan gadis Mesir?"<br /><br />"Ada."<br /><br />"Cantik."<br /><br />"Pasti."<br /><br />"Wow. Tak ku sangka. Mas Insinyur ternyata benar benar pemuda berselera tinggi. Eh, Mas, jujur ya, kalau gadis seperti diriku ini menurut mas cantik tidak?"<br /><br />Muka Azzam memerah mendengar pertanyaan itu. Seandainya ada cahaya yang terang pasti perubahan wajahnya akan kelihatan. Namun keadaan malam menutupi perubahan wajahnya. Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapat pertanyaan sepeti itu. Tiba tiba rasa tinggi hatinya muncul. Ia tidak mahu mengaku begitu saja kecantikan Puteri Duta Besar itu. Ia tidak mahu menyanjunginya sebagaimana orang orang ramai menyanjunginya.<br /><br />"Kenapa diam Mas? Bagaimana Mas, orang seperti aku ini menurut Mas cantik atau tidak?" Eliana kembali mengulangi pertanyaannya.<br /><br />"Cakap aja cantik! Begitu sekali memikirnya!" sahut Pak Ali sambil terus memandu kereta ke arah El Ghaish Street. Sebentar lagi mereka akan sampai.<br /><br />"Jangan mempengaruhinya Pakcik. Biar dia jujur menilainya. cantik tidak?" Tanya Eliana buat ketiga kalinya.<br /><br />"Tidak!" jawab Azzam sambil tersenyum. Azzam lalu memandang bulan purnama yang bersinar terang di atas laut. Purnama itu seolah olah tersenyum dan bertasbih bersama bintang bintang dan angin malam. Azzam tidak mahu tahu apa perasaan Eliana saat itu, yang penting dia merasa menang.<br /><br />"Ah, kau tidak jujur tu Mas! Ayuh cakap jujur sajalah!" Protes Pak Ali dengan suara yang agak keras.<br /><br />Azzam hanya tersenyum. Dan Diam, cukup dengan diam ia sudah menang. Dan Eliana pun diam. Ia belum menemukan kata kata yang tepat untuk berbicara. Maka memilih untuk diam. Sesaat lamanya Azzam dan Eliana saling diam. Kereta terus bergerak ke depan. Tak terasa mereka sudah sampai di halaman Hotel El Harum.<br /><br /></span></span><span style="color: rgb(0, 0, 0);"></span></div><span style="color: rgb(0, 0, 0);"></span></div></div></div></span></div></span></div></span></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-81645085932173027172010-01-14T13:01:00.011+08:002011-03-11T15:34:31.307+08:00Buang Toksin Dalam Badan<div style="background-repeat: repeat; background-attachment: scroll; background-position: 0% 0%; -moz-background-size: auto auto; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px; text-align: justify;color:transparent;"><span style="color:green;"><div style=""><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="color: rgb(0, 153, 0);">Nie yg tak berape sodap nie... ade je yg dok perli aku sbb lame x update... Aku ade bz ckit a.. dengan tugas2 aku... Macam tamak plk aku nie kdg2 tu bile dok pikir2... sume keje aku nak buat... bkn suke2 ekkk tp lbh kpd terpaksa...Pssttt sape2 yg nk beramal jariah dgn aku.. meh le daftar diri... heheheheee Klu x syg diri tu nk kene sekeh... buleh le... heheheee</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="color: rgb(0, 153, 0);">Sebenarnya aku dah lame nak menaip artikel nie... Tp tu le.... baru aku nk bernapas kata org tu... ade je perkara2 berbangkit yg perlu aku bereskan... Abis mcm manakan... klu aku tak buat keje... nti soru plk miss heheheee </span></span><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="color: rgb(0, 153, 0);">Dipendekan cerita... (sbb klu aku dah start bercerita... spi lusa pun tak tentu habisnya) korang bacalah artikel yg agak menarik nie yg aku songlap dr harian metro :</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Wanita merupakan golongan yang sentiasa mementingkan kecantikan serta penampilan yang sempurna. Mereka sanggup menghabiskan ribuan ringgit untuk tujuan tersebut.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Namun, ramai daripada mereka hanya berfokus kepada penampilan fizikal tanpa menyedari kesihatan dalaman berperanan dalam menyerlahkan kecantikan luaran.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Bagaimana untuk memastikan sesorang itu sihat atau tidak dalamannya? Semuanya dapat diketahui melalui kulitnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Tubuh yang lesu, wajah yang pucat, berjerawat dan kusam, semuanya dipamerkan melalui kulit kita. Tidak hanya menjadi ejen pemberitahuan penyakit, malah kulit juga mampu memberitahu sama ada seseorang itu diselubungi perasaan tenang, gembira dan sebaliknya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Justeru, bagaimana mahu kelihatan segar sentiasa, bertenaga, berseri dan mempunyai kulit yang mulus menawan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Selain mengamalkan pemakanan sihat serta seimbang dan mengambil suplemen, melakukan pembuangan toksin dalam badan antara kaedah paling efektif.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Andai kata anda tidak pernah membuang toksin sejak lahir hingga kini, bermakna sudah bermacam sisa toksin terkumpul dalam badan.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Jika sistem semulajadi badan tidak mampu untuk membuang toksin tersebut secara semulajadi, ia akan menyebabkan kulit kita kusam, berjerawat dan banyak lagi keburukan lain.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Menurut Pengurus Produk Juvanex, Cambert (M) Sdn Bhd, Thomas Lim berkata, secara umumnya, jerawat, alahan, selsema, bau badan, mulut berbau dan banyak lagi terjadi kerana fungi pembuangan toksin yang sepatutnya berlaku terjadi sebaliknya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Toksin itu tetap keluar namun dalam bentuk cela pada kulit manusia yang mana simptom di atas boleh dilihat di wajah, sedangkan di dalam organ tubuh yang tidak pernah dibuang toksin akan menyebabkan kesan yang lebih buruk."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Definasi buang toksin atau lebih popular dengan sebutan detox sebenarnya berkait rapat dengan sistem pencernaan dan hati manusia."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Kebanyakan daripada kita menganggap detox hanya melibatkan bahagian pencernaan, tetapi amat penting untuk kita mengetahui bahawa organ hati juga memainkan peranan penting dalam pembuangan toksin dari tubuh badan manusia, iaitu menerusi pembuangan air kencing," jelasnya ketika ditemui di pejabatnya di Glenmarie, Shah Alam, Selangor.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Menurut Thomas, toksin terdapat hampir di semua organ manusia, di mana sebahagian besarnya terhasil apabila sisa makanan tidak dicerna sepenuhnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Antaranya, pemakanan ubat ubatan kimia, merokok, pengambilan minuman keras dan pemakanan yang tidak seimbang, tidak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh. Dan sisa ini akan terkumpul di mana mana bahagian dalam organ tubuh manusia.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Sisa ini akan terkumpul untuk satu jangka masa dan menghasilkan toksin. Sepatutnya semua sisa ini dikeluarkan dengan cara semulajadi membabitkan dua organ utama iaiatu hati dan usus."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Jadi kalau kita hendak pembersihan yang menyeluruh, dua organ tersebut perlu diberi perhatian kerana ia merupakan organ yang terlibat dalam pembersihan sisa toksin dari dalam badan," ujar Thomas.</span><br /><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;">Rutin Pembuangan Air Besar Terganggu</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Antara kaedah penyingkiran toksin secara semulajadi ialah melalui perkumuhan seperti pembuangan air besar yang normal, sekurang kurangnya sekali sehari.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Berdasarkan kajian yang dilakukan, didapati wanita lebih kerap mengalami masalah pembuangan air besar. Antaranya adalah kes wanita yang hanya membuang air besar seminggu sekali."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Sebenarnya masalan ini berkait rapat dengan corak pemakanan yang tidak betul seperti kurang mengambil makanan berserat dan minum air masak, kurang bersenam serta pengambilan ubat termasuk ubat untuk kurus."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Sebarang pengambilan ubat untuk kurus yang melawaskan pembuangan air besar akan menyebabkan gangguan pada rutin pembuangan air lebih lebih lagi apabila mereka menghentikan pengambilan tersebut. Mereka ini akan terdedah kepada penyakit sembelit," cerita Thomas berdasarkan pengalamannya. </span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Jika seseorang tidak membuang air dengan kadar sepatutnya, kemungkinan besar, najis yang berada di dalam usus akan menjadi hitam dan melekat pada dinding usus seterusnya menjadi toksin dalam tubuh."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Apa yang sering terjadi ialah ramai antara kita bertindak apabila penyakit sudah menyerang tubuh. Mungkin ramai yang tidak sedar bahawa banyak penyakit bermula daripada usus, kerana organ tersebut menjadi tempat pengumpulan toksin."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Jika ia tidak dikeluarkan maka toksin itu diserap semula dalam badan," katanya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Justeru, apabila tubuh tidak pernah melakukan proses detox atau nyah toksin sejak lahir, biasanya tubuh akan menghantar 'tanda'. Sakit kepala adalah salah satu daripada tanda toksin yang banyak dalam badan," jelas Thomas.</span><br /><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;">Tanda Seseorang Itu Banyak Toksin</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Menurut Thomas, seseorang yang mempunyai toksin berlebihan dalam badan akan berasa letih tanpa sebarang sebab, susah bangun tidur dan bahagian keliling mata gelap.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Bahagian tertentu di permukaan kulit seperti di bahagian bawah lengan, celah peha dan sebagainya juga akan kelihatan gelap daripada warna asal kulit.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Banyak angin, alahan, inflamasi pada sendi, sinus, berat badan meningkat, kehadiran selulit, masalah jerawat dan banyak lagi. Semua ini adalah tanda bahawa tubuh perlu menjalani proses nyah toksin bagi membersihkan ruang yang tersumbat. Detox umpama ejen pencuci yang 'mengikis' dinding usus yang terlekat dengan sisa buangan yang tidak pernah dibuang, dalam tempoh yang sepatutnya.</span><br /><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;">Toksin Berlebihan Pengaruhi Emosi</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Thomas yang turut membuat pemerhatian mendalam tentang proses nyah toksin mendapati, terdapat kajian yang menunjukkan bahawa jika seseorang mengalami toksin berlebihan dalam badan ia bukan hanya melibatkan fungsi anatomi tubuh tetapi emosi juga.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Kita mungkin pernah terserempak atau melihat seseorang yang terlalu curiga dengan kebersihan. Contohnya, jika individu tersebut telah membasuh tangan, kemudian dia tersentuh sesuatu yang kita nampak bersih tapi tidak padanya dan dia cepat cepat mencuci semula tangannya."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Ini adalah salah satu simptom yang mengaitkan dengan toksin berlebihan dalam tubuh individu tersebut."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Selain itu, individu yang kerap marah marah, emosional dan sering tidak tenang, antara lain juga disebabkan oleh kandungan toksin yang berlebihan dalam tubuh."</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Ini kerana Iymphatic system (sistem limfa) jika tidak berfungsi sepatutnya menjadikan seseorang tidak boleh duduk diam, degil, tidak yakin dengan kebersihan dan kelam kabut," katanya.</span><br /><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;">Tidak Sesuai Untuk Ibu Mengandung</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Ibu mengandung atau yang sedang menyusukan bayi tidak dicadangkan untuk menjalani proses membuang toksin, tetapi bagi ibu yang sedang merancang untuk hamil boleh mengamalkan detox sambil mengambil ubat seperti asid folik untuk perkembangan janin.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Selain itu, membuang toksin menyediakan tubuh badan yang lebih bersih untuk bakal ibu mengandung kelak.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Selepas berdalin dan menyusukan anak, adalah disarankan kepada seseorang ibu itu untuk melakukan proses detox bagi tujuan mengembalikan kesegaran serta susuk tubuh yang lebih segar dan menawan," ujar Thomas.</span><br /><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><span style="font-weight: bold;">Cara Ekstrem Buang Toksin</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Menurut Thomas, antara cara lain yang popular dan boleh digunakan untuk membuang toksin ialah diet jus dan diet air.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Tetapi ada juga yang memilih cara yang lebih ekstrem iaitu melalui proses yang dinamakan 'colonic irrigation' atau mencuci usus.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Cara ini dibuat dengan memasukkan tiub ke dalam usus dan menyedut kotoran yang ada di dalamnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >"Cara ini agak mahal dan hanya boleh dilakukan oleh pengamal perubatan yang diiktiraf sahaja," ujarnya sebelum mengakhiri perbualan.</span><br /><br /><br /><span style="font-style: italic;font-size:85%;" ><span style="color: rgb(0, 153, 0);">huhhh 4 ari tu aku nak nyudahkan taip artikel yg cput je pjgnye... Apa2 pun semak2lah diri sendiri... apa yg boleh dibetulkan... cantik2kanlah sedikit. Cantik & sihat... itu yang penting...</span></span><br /><br /><span style="color:green;"></span></div></span><br /></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-5004694774305950802009-12-21T12:50:00.005+08:002010-01-15T14:25:08.625+08:00Diam Juga Hadiah Istimewa<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px; text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 153, 0); font-style: italic;">Ayuh kita selusuri soal hati... soal perasaan seketika.... Menokok tambah pengetahuan yg mmang x berape nk ada... atau mungkin juga ada di antara kita yg mmang sedia mengetahui... tapi... seakan akan terlupa akannya. Apa kata kita celikan bola mata mengambil isi dalam pembacaan kita seterusnya...</span></span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Dalam menjalin ikatan suci antara anda dan pasangan, memang hati berbunga menyambut huluran cenderahati daripada yang tersayang.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Si dia pula sudah lama tahu anda mengindam sesuatu lantas menghadiahkan sesuatu yang ditunggu tunggu.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Namun, tidak semua cenderahati menjadi idaman pasangan bercinta. Cukup anda memahami dirinya pada saat dia kesedihan, sempurna rasanya apabila anda orang pertama tiba ketika dia memerlukan bantuan.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Lalu, apa sebenarnya yang diimpikan pasangan berkasih???</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Cenderahati yang dinyatakan ini tidak dijual di mana mana kedai atau pasaraya. Menariknya, ia tidak perlu dibeli, tetapi boleh dihadiahkan setiap saat dan hari.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Cenderahati ini juga yang paling terindah dan tidak ternilai buat insan yang anda sayangi. Renungkan ia jika anda sudah melakukannya atau tidak pernah terlintas di hati untuk melaksanakannya :</span> <span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Kehadiran</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Kehadiran orang yang dikasihi - satu cenderahati tidak ternilai harganya kepada si dia. Selain itu, anda juga boleh berutus surat, telefon, gambar atau apa saja kemudahan canggih seperti khidmat pesanan ringkas (SM), e-mel mahupun memanfaatkan telefon bimbit sewajarnya.</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Sekurang kurangnya anda sentiasa berada di sisinya.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Anda dan dia dapat berkongsi perasaan, perhatian dan kasih sayang secara lebih utuh serta intensif. Oleh itu, kehadiran yang anda wujudkan juga sangat penting. Jadikan kehadiran anda sebagai pembawa kebahagiaan.</span> <span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Mendengar</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Tidak ramai yang mampu memberikan cenderahati ini kerana kebanyakan orang lebih suka didengar daripada mendengar. Sejak dulu, kita tahu sikap saling sedia mendengar amat diperlukan untuk keharmonian dalam hubungan sesama manusia.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Berikan cenderahati ini dengan mendengar segala curahan hatinya terhadap anda. Secara langsung, anda sudah mewujudkan kesabaran dan sikap rendah hati. Untuk menjadi pendengar yang baik, pastikan anda dalam keadaan betul betul selesa dan boleh menangkap setiap kata yang disampaikan.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Tataplah wajahnya. Tidak perlu mencela atau mengkritik apatah lagi mengulas. Biarkan dia yang menjelaskannya. Ini memudahkan anda memberi tanggapan tepat selepas itu. Tidak perlu berbincang atau membuat penilaian. Sekadar ucapan terima kasih, sudah memadai untuknya.</span><br /><br /><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Diam</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Seperti kata kata, di dalam diam juga ada kekuatan. Diam juga boleh digunakan sebagai hukuman, mengusir atau membingungkan orang lain.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Diam juga boleh menunjukkan perasaan cinta kita pada seseorang kerana memberinya 'ruang'.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Keterlaluan jika seharian kita sudah biasa menasihati, mengatur dan mengkritik, lalu sesekali kelukan lidah daripada mengeluarkan sebarang bicara.</span> <span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Kebebasan</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Mencintai seseorang bukan bermakna memberi hak sepenuhnya untuk memiliki atau mengatur kehidupan orang yang bersangkut paut dengan anda. Bolehkah mengaku yang anda mencintai seseorang jika selalu menyimpannya dalam hati??</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Memberi kebebasan perkara yang boleh mewujudkan cinta. Kebebasan bukanlah bermakna anda bebas berbuat sesuka hati. Lebih daripada itu, memberi kebebasan adalah memberi kepercayaan sepenuhnya untuk bertanggungjawab atas segala hal yang diputuskan atau dilakukannya.</span> <span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Keindahan</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Siapa yang tidak bahagia jika orang yang disayangi tiba tiba tampil lebih kacak atau cantik? Penampilan yang segak dan rupawan juga salah satu cenderahati. Bahkan tidak salah jika anda menghadiahkannya setiap hari!</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Kecantikan diri lambang peribadi dan anda pun boleh menghadiahkannya dengan sesuatu yang cantik untuk suasana rumah. Misalnya, pasu bunga segar cantik di ruang tamu atau meja makan berhias indah.<br /><br /></span><span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Tanggapan Positif</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Tanpa sedar anda sering memberikan penilaian negatif terhadap pemikiran, sikap atau tindakan orang yang anda sayangi. Seolah olah tidak ada yang benar daripada dirinya dan kebenaran mutlak hanya pada kita.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Kali ini, cuba hadiahkan tanggapan positif. Nyatakan dengan jelas dan ikhlas. Cuba ingat, berapa kali dalam seminggu anda mengucapkan terima kasih atas segala hal yang dilakukannya untuk anda? Pernahkah anda memujinya? Kedua dua hal itu cenderahati yang sering tidak dilupakan.</span> <span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Sedia Mengalah</span><br /><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" >Tidak semua masalah boleh menjadi bahan pertengkaran. Apatah lagi sehingga menjadi pergaduhan hebat. Seharusnya, anda perlu pertimbangkan, apakah wajar sebuah hubungan cinta dikorbankan sehingga mejadi kucar kacir hanya disebabkan sesuatu persoalan?</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Apabila anda memikirkan hal ini, bermakna anda sudah bersedia untuk memberikan cenderahati kepadanya kerana sedia mengalah. Anda tentu akan berasa kesal atau marah jika di dia tidak menepati janji.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Tetapi jika kesalahan itu dilakukan kali pertama, mengapa ia dijadikan punca pertengkaran sehingga berlarutan? Kesediaan anda untuk mengalah juga dapat melunturkan rasa sakit hati dan menyedarkan diri tidak ada satu pun manusia yang sempurna di dunia ini.</span> <span style="font-weight: bold; font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Senyuman</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Percaya atau tidak, senyuman mempunyai kekuatan luar biasa. Senyuman, kelebihan yang diberikan tulus ikhlas, boleh menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat ketika sedang putus asa, menceriakan suasana muram juga menjadi ubat penenang jiwa ketika resah.</span> <span style="font-style: italic; color: rgb(0, 0, 0);font-size:85%;" ><br /><br />Senyuman juga bagaikan isyarat untuk membuka diri dengan dunia sekeliling. Semoga hidup lebih bermakna dengan pemberian cenderahati ini.</span><br /><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="color: rgb(0, 153, 0); font-style: italic;">pssttt semua nie.. x kena duit pun... heheheee Tapi apa pun... keikhlasan jua menjadi tunjangnya...</span></span> </div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-53736257809835854192009-12-17T11:25:00.004+08:002009-12-17T12:01:16.171+08:00Salam Maal Hijrah<span style="font-size:100%;"><span style="font-style: italic;">Lakukanlah penghijrahan walau sedikit cuma... </span><br /><span style="font-style: italic;">sekurang kurangnya detik permulaan bagi segalanya... </span><br /><span style="font-style: italic;">mencari yang lebih barokah </span><br /><span style="font-style: italic;">dalam denyut nadi yang masih dipinjamkan olehNYA...</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Semoga kita semua menjadi insan yang lebih bersyukur atas limpah kurniaNYA...</span><br /><span style="font-style: italic;">Memperbaiki apa yang kurang dalam mensyukuri nikmatNYA...</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">ALPA... LEKA... penghujungnya... DERITA...</span><br /><span style="font-style: italic;">ANGAN ANGAN tanpa pacuan... itu SIA SIA</span><br /><span style="font-style: italic;">Gandingkan ANGAN ANGAN bersama IMPIAN dan KEGIGIHAN</span><br /><span style="font-style: italic;">Itulah kunci utama KEJAYAAN...</span><br /><br /><span style="font-style: italic;">Akhir sekali... gagahnya kita berdiri di sini... hanyalah dengan ehsanNYA jua...</span><br /></span><br /><span style="color: rgb(0, 153, 0); font-style: italic;">renung2kan... </span><br /><span style="color: rgb(0, 153, 0); font-style: italic;">psstt sebenarnya nie peringatan utk diri aku sendiri heheheee</span>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-64975025087590938832009-11-23T15:30:00.013+08:002010-01-15T14:24:51.844+08:00Sepenggal Kisah Cinta Dari Cairo (6)<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"> <span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(51, 204, 0);"><span style="color: rgb(51, 204, 0);"><span style="color: rgb(0, 153, 0);"><span style="color: rgb(51, 204, 0);">jeng jeng jeng.... inilah suratnyre... silalah melahap isinye...</span><br /></span></span></span><br />Ukthi Dewi Ambarwati,</span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Assalamu'alaikum wr. wb.</span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ba'da tahmid dan salawat</span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ku harap kau tidak salah menangkap pesanan saya melalui Ustadzah Azimah petang tadi. Saya perlu meyakinkan lagi dengan surat ini, bahawa kau tidak salah faham. Saya tidak membatalkan rencana kita. Saya hanya memberikan satu pengertian, bahawa saya tidak dapat beristeri dengan siapa saja yang tidurnya mendengkur. Maafkan saya, jika ini kelihatan aneh.</span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sejak kecil saya terbiasa tidur tenang. Saya sama sekali tidak dapat tidur jika mendengar suara berisik tak beraturan, terutama dengkuran. Boleh kau bayangkan, jika seandainya kelak saya sibuk dengan pelbagai urusan di siang hari dan pada malam harinya saya perlu istirehat tenang. Tentu saya akan kecewa jika justeru isteri sayalah yang mengganggu tidur saya. Ini tentu boleh berlanjutan jadi petaka. Saya tidak mahu terzalim dan tidak mahu menzalimi. Saya mendapat maklumat bahawa Ukhti jika tidur, maaf, katanya mendengkur. Sekali lagi saya ingin meyakinkan, bahawa saya tidak akan menikah dengan orang yang tidurnya mendengkur. Saya mohon kau tidak menganggap saya ini mengada ada. Sebab banyak kejadian, masalah tidur dengan lampu menyala atau tidak saja dapat membuat rumahtangga tidak nyaman. Banyak kes yang membuktikan. Saya hanya ingin sedia payung sebelum hujan.</span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sebetulnya hal mendengkur boleh diatasi. Kika kau dapat mengatasinya, maka insya' Allah, rencana kita mengamalkan sunnah Rasul akan terwujud. Saya menunggumu dua bulan ke depan. Jika perlu biaya untuk pemeriksaan intensif ke doktor silakan berterus terang. Saya sedia membantu. Mohon fahamilah masalah ini baik baik. Sebab setelah saya cek agaknya Ustadzah Azimah salah faham, sehingga maklumat yang kau terima boleh jadi juga salah. Saya minta klarifikasi darimu secepatnya.</span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Wassalamu'alaikum wr. wb.</span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Al-Faqir Ilallah,</span></span></span><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Nabeh Al Faiz</span></span></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">Mata Dewi berkaca kaca. Allah Maha Rahman, Maha Penyayang.</span></span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">"Ul, rezeki itu masih ada di depan pintu! Cuba bacalah surat ini." Dewi berkata sambil menyerahkan surat pada Ulya. Ulya menerimanya dengan ragu. Ia menatap Dewi. Mata mereka bertentangan. Dewi mengangguk: "Bacalah!" Ulya pun lalu membacanya. Selesai membaca surat itu ia memeluk Dewi sambil mengucapkan selamat.</span></span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">"Insya Allah, kau dapat mengatasi aib kecil itu, Wi. Besok kita ke THT okey?" ucap Ulya.</span></span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">"Okey, tapi aku lagi kosong Ul. Mana kiriman belum datang lagi. Bagaimana ni? Takkan minta sama Nabeh, malu dong."</span></span></span></span><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">"Jangan risau, Wi. Aku masih ada tiga ratus dollar. Takkan itu tidak cukup sih."</span></span></span></span><br /><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);">"Ah kau memang sahabat terbaikku Ul. <span style="font-weight: bold;">Jazakillah khaira</span>," kata Dewi sambil mendaratkan ciuman ringan ke pipi Ulya.</span></span></span></span><br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="color: rgb(0, 0, 0); font-weight: bold;">***</span><br /><div style="text-align: left;"><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Setelah saya periksa dengan teliti, di dalam saluran pernafasan ada benjolan kecil mirip selaput yang mengganggu. Memang tidak menimbulkan sakit, cuma akan menimbulkan bubyi dengkur saat tidur. Insya Allah setelah pembedahan kecil, dengkuran itu akan hilang." Jelas doktor Nadia Girgis, spesialis THT di <span style="font-weight: bold;">Musa bin Nushair Medical Centre, Hayyu Sabee'.</span></span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sakit tak Dok, pembedahannya?" tanya Dewi. Sejak kecil ia memang agak takut doktor. Ia takut melihat jarum suntik. Kalau bukan kerana terdesak seperti ini tentu ia tidak mahu dibedah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ah tidak, lebih ringan dari pembedahan tonsel. Tenang aja. Terus bila ingin jalankan pembedahan?" tanya doktor Nadia.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sekarang aja sekalian. Bagaimana dok?" sahut Ulya cepat.</span></span><br /></div><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Lho kenapa sekarang Ul. Sememangnya kamu yang mahu dibedah!" protes Dewi.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bukan gitu Wi. Kita tidak punya waktu lagi. Tak lama lagi ujian. Selepas pembedahan, kamu sekurang kurangnya harus istirehat tiga hari. Kasihanlah sama kami yang akan melayanimu seumpama tuan puteri," jelad Ulya. Sementara doktor Nadia hanya senyum senyum saja melihat dua gadis berjilbab itu berdebat.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya Dok, sejarang aja." Akhirnya Dewi pasrah.</span></span><br /></div><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Baiklah, mari ikut aku ke ruang pembedahan.</span></span><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="font-weight: bold;">***</span></span></span><br /><div style="text-align: left;"><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tiga jam kemudian.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ini pembedahan kecil saja. Satu minggu lagi kamu insya Allah akan sembuh sepenuhnya. Namun kamu perlu istirehat empat hari penuh. Kau boleh memilih, istirehat di klinik ini atau di rumah. Jika di rumah akan saya tuliskan resit untuk ubat jalannya." Jelad doktor Nadia.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Di rumah aja ya Wi? Lebih selesa dan tidak banyak biaya." kata Ulya pada Dewi.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"He eh!" jawab Dewi sambil mengangguk.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kami pilih istirehat di rumah saja Dok, lebih at home." jelas Ulya.</span></span><br /></div><br /><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Doktor Nadia lalu menuliskan resit dan menerangkan cara meminum ubatnya. Setelah membayar duit semuanya, kedua mahasiswi tahun akhir Universiti Al-Azhar itu lantas meminta izin untuk pulang. Begitu sampai di pintu tiba tiba Ulya menghentikan langkah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sebentar Wi, ada yang terlupa. Kau tunggu di sini." Kata Ulya sambil membalikkan badan kembali pada doktor Nadia.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maaf Doktor, sedikit minta tolong. Mohon Doktor buatkan keterangan rasmi bahawa Dewi sudah dibedah dan suara dengkurnya yang bermasalah itu akan hilang. Juga mohon diterangkan bahawa pembedahan itu cuma pembedahan kecil saja," pinta Ulya. Dewi yang mendengar permintaan Ulya ity terus tersenyum dan mengerti maksud baik sahabatnya itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Doktor Nadia segera membuat keterangab rasmi dengan cop klinik rasmi. Setelah ia tandatangan dan ia cop, surat keterangan itu ia serahkan pada Ulya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Terima kadih Doktor, <span style="font-weight: bold;">jazakillah khaira</span>!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"<span style="font-weight: bold;">Rabbuna ma'akuma, insya Allah</span>!" jawab doktor Nadia. Ulya melangkah perlahan meninggalkan doktor Nadia.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ah kau prihatin sekali, Ul." Kata Dewi sebaik Ulya ada di sampingnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Pokoknya Kanjeng Raden Ayu Dewi Ambarwati tenang aja. Istirehat yang baik di rumah. Dayang dayang atau pelayan pelayan keraton Hayyu Tsamin, Cairo akan melayani Raden Ayu dengan senang hati. Dan surat sakti ini akan segera saya kirimkan pade Kanjeng Pangeran Ustadz Nabeh Al Faiz MA., biar dia juga tenang mengetahui calon permaisurinya sudah tidak mendengkur lagi," jawab Ulya dengan menirukan gaya bicara Ki Dalang Anom Suroto.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dewi hanya tersenyum mendengarnya. Senandung cinta perlahan mengalun indah di dalam hatinya. Ia merasakan seantero kota Cairo dipenuhi bunga bunga cinta yang tiada tara semerbak wanginya.</span></span><br /></div><br /><div style="text-align: center;"><span style="color: rgb(51, 204, 0);font-size:85%;" ><span style="font-style: italic;">- TAMAT -</span></span><br /><br /><div style="text-align: justify;"><span style="color: rgb(51, 204, 0);"><span style="font-style: italic;"><span style="font-size:85%;">Heheheeee ingat apelah isi surat tu kan.... buat suspen je....</span></span></span><span style="font-style: italic;"><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 0);"><span style="font-size:85%;">Ermmm kalau sudah rezeki itu mmang Allah tentukan untuk kita... pasti ada jalannya untuk kita meraihnya.<br />Tp kan... alangkah beruntungnya dapat sahabat setulus dan semulia hati Ulya tu... klu realitinya masih ada lagi... errr rasa2nya aku nak daftar diri le... heheheee<br /></span></span></span><br /><span style="font-style: italic; color: rgb(51, 204, 0);font-size:85%;" ><span style="color: rgb(0, 153, 0);"></span></span></div></div></div><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"></span></span></div></div><span style="color: rgb(51, 204, 255);"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(0, 0, 0);"></span></span></span></span></div></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-52032992835985270702009-11-17T18:30:00.006+08:002010-01-15T14:24:21.655+08:00Sepenggal Kisah Cinta Dari Cairo (5)<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px; text-align: justify;"><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(51, 204, 0);"><span style="color: rgb(0, 153, 0);">ayuh... sambung pembacaannya lagi...</span><br /><br /></span></span></span><div style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Yang tahu pasti hanya dia. Tapi aku boleh menekanya Wi. Tidak semua manusia boleh tidur dengan orang yang mendengkur. Ada orang yang telinganya sangat sensitif, mendengar bunyi sedikit saja ia terbangun. Padahal tidur adalah aktiviti istirehat cukup penting. Mungkin Akhi Nabeh termasuk orang yang sensitif itu. Jadi daripada dia nanti tersiksa lebih baik mencari orang yang tidak mendengkur."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kini aku baru menyesal Ul. Seandainya saranan sarananmu dulu itu kuambil perhatian. Aku tentu tidak akan kecewa seperti sekarang."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sebenarnya Ulya ingin menjawab: "Banyak juga orang yang kecewa satu kamar dengan kamu Wi, mereka tidak boleh tidur gara gara kamu mendengkur. Baru saja Dian yang sekamar denganmu mengadu minta pindah bilik gara gara tidak boleh tidur mendengar suara dengkuran itu!" Tapi Ulya menangguhkannya, ia tidak mahu menambah beban sahabatnya itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Tidak ada orang yang paling prihatin terhadap Dewi melebihi Ulya. Mati matian Ulya menyayanginya. Ia lakukan pengorbanan apa saja demi persahabatan mereka. Dua tahun pertama di Cairo, ia minta satu kamar dengan Dewi, dengan tujuan menyembunyikan aib klasik Dewi itu. Tidak semua orang boleh memahami dengkuran Dewi. Setelah itu mereka berpisah. Dan ia sangat pemilih dalam memilihkan teman sekamar Dewi pengganti dirinya. Ia hanya boleh tenang jika Dewi sekamar dengan orang yang amanah dan boleh tidur tanpa terganggu suara dengkuran. Saat adik adik baru datang, Dewi mengajaknya menemani mereka. Ia setuju. Naasnya, kegembiraan menemani adik adik baru, Dian cs., membuatnya melupakan dengkuran Dewi. Kok boleh lupa ya? Ulya begitu menyesal kenapa ia melupan hal itu. 'Afwan Wi, saya lupa. Tapi salahmu juga sih. Dikatakan suruh berusaha menghilangkan, periksa ke spesialis THT kek, tidak mahu mempedulikan,' desah Ulya dalam hato.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Yah, kamu benar Ul. Mungkin memang belum rezekiku. Allah Maha Rahman."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tenanglah Wi. Cubalah hubungi lagi Akhi Nabeh, bicarakan lagi baik baik. Mintalah tempuh padanya untuk menghilangkan dengkurmu. Kita cuba ke doktor, saya pernah baca di majalah bahawa mendengkur itu boleh dihilangkan kok. Bagaimana?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Saranan yang bijak sekali Ul. Terima kasih cintaku.' ucap Dewi sambil memeluk Ulya hangat. Ulya melirih jam di dinding. Pukul sebelas setengah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wi, sudah jam segini kok si Imun belum pulang?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Iya. ya, padahal dia kata tadi akan menyusul pulang setengah jam kemudian. Cuba deh telefon ke rumah Ustadzah Azimah."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Ulya melangkah menuju pintu kamar hendak ke ruang tamu untuk menelifon. Pada saat yang sama si Imun datang membuka pintu depan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Assalamu'alaikum!" sapa Imun.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wa'alaikumussalam!" jawab Ulya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kak Ul, Kak dewi mana, belum tidur kan?" tanya Imun.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Belum, dia ada di kamar. Ada apa, kenapa seperti ada hal penting?" selidik Ulya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya ini ada surat kiriman Ustadzah Azimah untuk Mbak Dewi. Katanya sangat penting. Harus dibaca segera malam ini."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sini, biar aku saja yang menyampaikan." Pinta Ulya. Imun terus menghulur surat dari sakunya kepada Ulya.</span></span><br /><br /><br /></div><div style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">***</span></span><br /></div><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dewi tidur terlentang di atas tilam Ulya. Matanya menatap langit langit kamar. Ulya masuk sambil membawa surat.<br /><br />"Wi, ini ada surat penting dari Mbak Azimah. Harus segera dibaca malam ini katanya." Ulya menyerahkan surat itu.<br /><br />Tak lama kemudian, mata Dewi membaca huruf demi huruf surat itu :<br /><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 0);"><span style="color: rgb(0, 153, 0);">aku sambung menaip isi kandungan surat tu bila ada kelapangan lagi yek...</span><br /><span style="color: rgb(0, 153, 0);">nie pun aku curik2 masa kecederaan... heheheee biaq sape2 yg mengikuti kisah ini berdebar2 gitu jantungnye... heeeee</span><br /></span></span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /></span></span></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-2784454278526887942009-11-13T13:45:00.003+08:002010-01-15T14:24:05.760+08:00Sepenggal Kisah Cinta Dari Cairo (4)<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"> <span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(51, 204, 0);">jom kita slongkar apa sebab musabab spi tali khitbah tu blh terlerai...</span><br /><br /><br />"Mudah saja, kerana kamu kalau tidur bla... bla... bla...!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bla... bla... bla.... apa UL?" tanya Dewi perlu keyakinan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Bla... bla... bla... ngoookk... zzz... ngoookk...zzz....ngoookk....!" jawab Ulya dengan mimik lucu menirukan orang berdengkur.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Seketika itu meledaklah tangis Dewi sejadi jadinya. Nafas Dewi sampai tersengal sengal. Ulya jadi bingung.</span></span><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="text-align: center;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">***</span></span></span><br /></div><span style="text-align: center;"><span style="text-align: justify;"><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><br />Dewi masih terisak isak dalam tangisnya. Ulya jadi sangat menyesal.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Wi, maafkan aku Wi ya... tadi itu aku cuma gurau. Tak bermaksud menyakitimu. Aku sayang kamu kok Wi... hik... hik..." kata Ulya sambil menangis dan merangkul Dewi.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Perlahan Dewi menghentikan tangisannya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sudahlah Ul, kau tidak salah kok. Apa yang kau katakan itu semuanya benar."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Benar?? Benar bagaimana Wi? Apa maksudmu? Aku tadi cuma gurauan lho Wi!" tukas Ulya hairan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya benar. Memang Akhina Nabeh yang melamarku. Dan dia tiba tiba membatalkan rancangan pernikahan denganku itu gara gara tahu bahawa aku mendengkur waktu tidur. Aku kecewa sekali. Aku kesal dan geram. Alasannya itu kenapa kecil sangat. Aku jadi membenci keadaan!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Mendengar penuturan Dewi itu, Ulya teringat kejadian dua minggu yang lalu. Saat itu Ustadzah Azimah bertanya padanya, apakah kalau tidur Dewi mendengkur. Kerana yang bertanya Ustadzah Azimah, tanpa ragu ia jawab iya jawab sejujurnya. Ia tidak menyangka ada rahsia besar di sebalik pertanyaan itu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya sabarlah Wi, yang paling penting carilah hikmah di sebalik ini semua. Yang jelas aku sudah menemukan hikmah yang besar dari kejadian ini?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Apa hikmah yang kau ketemukan Ul?" tanya Dewi sambil menyeka airmatanya. Sebenarnya Ulya ingin mengatakan, hikmahnya adalah kita mesti memperhatikan hal hal kecil yang ada pada diri kita. Seorang <span style="font-weight: bold;">daiyah</span> sejati harus benar benar baik, lahir dan batin. Tapi tiba tiba muncul fikiran nakalnya, ingin mengusik Dewi.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Hikmah yang terbesar adalah... aku jadi punya kesempatan untuk mengajukan diri, aku kan juga mendambakan orang soleh, tampan, cerdas dan santun seperti Ustadz Nabeh. Nampaknya memang benar kok Wi, jodoh itu rezeki. Kamu itu sebenarnya muslimah yang ideal, pintar, cantik, keibuan, kaya, keturunan bangsawan, terjaga kesuciannya, solehah, mahasiswi Al-Azhar lagi. Apa lagi kurangnya? Cuma satu saja yang menyebabkan rezeki agung itu lari darimu. Iaitu, kalau tidur kamu mendengkur. Gara gara kamu mendengkur, rezeki itu nampaknya akan beralih ke tanganku... he.. he.. he... terima kasih Wi ya, untung kamu mendengkur. Jika sama sama pilih, orang pasti memilih boleh tidur tenang dengan isteri solehah, tidak mendengkur seperti aku daripada..." belum sempat Ulya meneruskan lagi usikannya, tiba tiba Dewi bangkit dan melempar bantal yang ada di pangkuannya ke meja belajar.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Sampai hati kau Ul! Kejam kau Ul!" Agaknya Dewi benar benar marah.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sebelum Dewi melangkah ke pintu, Ulya dengan secepat kilat sudah mencegat di depannya. Lalu dengan mata menunduk menitiskan airmata Ulya mendakap Dewi.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Maafkan aku Wi, percayalah aku cuma bergurau. Apakah cinta dan kasih sayangku padamu selama tujuh tahun lebih sedemikian mudah pudar sehingga aku benar benar menghinamu. Tidak Wi, aku mencintaimu, menyayangimu. Tataplah wajahku, lihatlah airmataku. Aku sebenarnya sedih mendengar ceritamu. Aku tak ingin kesedihan itu berlarutan. Kenapa kau tidak seperti biasanya, selalu menghadapi masalah apapun dengan santai dan rileks. Jika kuusik, biasanya kau tak mahu kalah, kau akan membalasnya dengan yang lebih pedas. dan aku akan tersenyum menikmatinya."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Dewi tersedar, ia menatap kedua mata Ulya. Ya, yang ada di hadapannya adalah tatapan sayang mata Ulya, sahabat karibnya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Benarkah mendengkur itu aib, Ul?" tanya Dewi perlahan.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Ya, cuma aib kecil!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kenapa Akhi Nabeh begitu sanggup mengagalkan rancangan perkahwinannya dengan hanya gara gara aib kecil seperti itu. Kenapa?"</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><br /><span style="color: rgb(51, 204, 0);">Pssttt klu lelaki plk yg berdengkur... mcm mane ekkk??? Blh main kensel2 gak ke???? heheheeee<br /><br />Semak2 diri anda.. jgn nanti hal2 yg cput akan membuat diri merana... heheeee<br /><br />Ada sambungannya... jemari aku dah letih menaip nie... sambung je lain kali ye....<br /></span><br /><br /></span></span></span></span></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8783787408434253762.post-1127527391724557982009-11-09T10:45:00.005+08:002010-01-15T14:23:52.421+08:00Sepenggal Kisah Cinta Dari Cairo (3)<div style="background: transparent none repeat scroll 0% 0%; overflow: auto; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial; width: 550px; height: 250px;"> <span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><span style="color: rgb(51, 204, 0);">jom... kita singkap apelah yg rahsia tu ye...</span><br /><br />"Sebetulnya sejak ada di tahun dua, saya sudah dilamar empat kali. Dua kali melalui orang tua di Indonesia, dari kerabat keraton. Dan yang dua kali lainnya di Mesir ini. Semuanya saya tolak. Bukan kerana apa apa. Kerana pada waktu itu saya masih ingin konsentrasi belajar. Dan kebetulan semua yang melamar saya itu, tidak sesuai dengan yang saya idamkan. Di Cairo ini sebetulnya ada orang yangf saya idamkan sejak tahun tiga kelmarin. Tapi percayalah tidak sampai menembusi kulit hatiku. Hanya idaman biasa. Cuma kalau dia yang melamarku pasti aku terima, dan akan aku perjuangkan habis habisan agar kedua orang tuaku menerimanya. Tiba tiba Ul... tiga bulan yang la...lalu... ti.. tiga bulan yang lalu.... huk...huk..." tangis Dewi, pecah. Ulya jadi panasaran.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tenang dong Wi, tenang dong, ada apa tiga bulan yang lalu?" Ulya menghibur.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"H... h... h...," Dewi mengontrol dirinya.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Tiga bulan yang lalu, tanpa disangka sangka, orang yang aku idam idamkan itu datang melamarku. Dia melamarku. Boleh kau bayangkan betapa bahagianya hatiku Ul. Aku bahagia sekali. Hidup jadi berghairah. Belajar penuh semangat. Harus <span style="font-weight: bold;">jayyid jiddan</span>. Masa depan telah kurancang. Sekali solat istikharah ketemu sudah jawapannya, terus kuterima dengan tangan terbuka. Kedua orang tuaku langsung aku pujuk. Aku promosikan habis habisan kelebihannya. Mereka pun merestui. Aku tinggal menunggu satu langkah untuk merealisasikan mimpi suciku. Aku akan bahagia menjalani hidup dengan diimami dia. Kau tahu siapa dia Ul?" Ulya menggelengkan kepala, tanda tidak tahu.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Cukup kusebutkan inisialnya saja, kau akan tahu siapa dia. Sebab seluruh Cairo tidak ada yang tidak mendengar prestasinya. Dan aku yakin banyak mahasiswa yang berperasaan sama denganku, iaitu mengharap datangnya lamarannya. Dia berinisial 'N'!"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">Sebaik saja mendengar inisial "N" Ulya terasa terkejut. Cepat cepat ia sembunyikan keterkejutannya itu. "N" yang dipaparkan Dewi hanyaq satu. Dan dia adalah orang yang juga tiga bulan lalu meminangnya melalui Ustadzah Azimah, tapi ia tidak boleh mengiyakan sebab ingin menyelesaikan studi dulu. Ia sendiri sebetulnya juga mendambakannya. Jujur saja. Tiba tiba Ulya punya idea untuk mengusik Dewi.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku tahu Wi siapa dia."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Siapa cuba?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Yang kau maksud adalah Ustadz Nabeh yang baru meraih gelaran master satu bulan yang lalu itu kan?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Lha kok tahu Ul."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Aku juga tahu kenapa kamu sedih dan kecewa."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kenapa cuba?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Kerana tiba tiba Nabeh memutuskan tali khitbah itu kan?"</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Be... benar Ul... hu... hu... hu...." tangis Dewi mahu meledak.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"E... e.. e... Wi, jangan nangis dulu, tunggu dulu, dengarkan dulu yang akan aku katakan, biar tangismu semakin meledak, biar sekalian <span style="font-weight: bold;">high dramatic</span>.... dengar... aku juga tahu kenapa Nabeh memutuskan tali khitbah itu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Masak kamu tahu Ul?!" Dewi terkejut.</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Jelas tahu dong, aku kan sahabatmu yang paling tahu tentang dirimu."</span></span><br /><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;">"Apa sebabnya Ul?"</span></span><br /><span style="font-size:85%;"><span style="font-style: italic;"><br /><span style="color: rgb(51, 204, 0);">a'ahh kan ape sebabnya... tuan punya diri tak tahu... org lain plk yg lebih tahu... berhenti di sini dulu ya... masa tidak mengizinkan....</span><br /><br /><br /></span></span></div>RINA70http://www.blogger.com/profile/12434613854863232284noreply@blogger.com0