Tuesday, August 24, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (10) Pengejaran Dengan Teksi

Kekangan waktu mendesak aku melupakan seketika soal blog aku ini. Tiba2 baru kini aku faham betapa masa itu lbh berharga dari emas sebenarnya... Buat rakan taulan yang masih mengikuti kisah KCB harap diteruskan pembacaannya... aku akan senantiasa mengintai waktu utk sambungannya...


PEMANDU
teksi itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengejar. Ia sangat hafal dengan jalan jalan pintas yang paling selesa dari kesibukan dan kesesakan. Dalam waktu seperempat jam, teksi itu telah sampai di Hay El Sades ke arah kawasan kampus Al-Azhar Nasr City. Lalu melaju kencang ke arah Masjid Nun Khithab. Selama dalam perjalanan Azzam diam. Tidak banyak berbicara. Dua penumpang di belakangnya juga melakukan hal yang sama. Kalaupun Azzam bicara hanya untuk menjawab pertanyaan pemandu teksi sesekali sahaja.


Tiga minit kemudian teksi hitam putig itu sampai di simpang empat Masjid Nun Khithab. Azzam minta supaya belok ke kiri menyusuri Thayaran Street ke arah Ta'min Shihi. Azzam mengarahkan teksi berhenti di Halte jalan ke Hay El Sabe dekat Muraqib supaya mudah menahan bas enam lima. Pemandu minta tambah duit. Akhirnya Azzam kembali harus sepakat memberi tambahan.

Beberapa minit menunggu, dari arah Rab'ah sekonyong konyong Azzam melihat bas enam lima datang.

"Ukhti, kamu lihat kitabmu di pintu belakang. Saya akan naik dari pintu depan minta agar pemandunya berhenti beberapa saat. Semoga itu bas kamu tadi!" Seru Azzam apabila bas itu merapat di Halte mahu berhenti.

Mahasiswi bertudung biru itu mengangguk dan bersiap sedia.

Bas berhenti. Azzam menuju ke pintu depan. Apabila pintu dibuka, ia terus melompat. Ia hampir berlanggar dengan penumpang yang mahu turun. Ia rapat bergantung di pinggir pintu dan minta sang pemandu berhenti sebentar. Mahasiswi bertudung biru sudah naik. Ia melihat lihat di bawah kerusi dekat kondektur duduk. Kedua matanya terus menangkap buku dan kitabnya dalam dua plastik putih. Hatinya sangat bahagia. Ketika hendak mengambilnya sang kondektur mempersilakan. Agaknya sang kondektur belum lupa dengan musibah yang menimpa dua mahasiswi beberapa saat yang lalu.

"Maafkan kami atas musibah tadi," kata kondektor itu.

"Tidak apa apa. Semoga diganti yang lebih baik oleh Allah," jawab mahasiswi itu lalu turun.

Sambil bergayut di pintu depan, Azzam melihat mahasiswi itu membawa dua plastik putih berisi kitab. Ia terus melompat turun dan mempersilakan pemandu menjalankas basnya.

"Bagaimana masih lengkap, tidak ada yang hilang?" tanya Azzam.

Mahasiswi itu lalu memeriksa sebentar. Dan dengan wajah bersinar, ia menjawab :

"Alhamdulillah. Masih lengkap. Terima kasih ya atas segalanya. Kalau boleh tahu nama situ siapa?"

"Aku Abdullah." Jawab Azzam. Nama kecilnya memang Abdullah Khairul Azzam. entah kenapa ketika dibuat daftar kelahiran yang tertulis hanya Khairul Azzam saja, Abdullahnya hilang. Jadi dengan mengatakan namanya Abdullah, ia sama sekali tidak berbohong. Namun mahasiswi di Cairo tidak ada yang mengenalinya sebagai Abdullah. Ia memang tidak ingin namanya diketahui dua mahasiswi itu. Ia mahu menjaga keikhlasannya. Maka meskipun mahasiswi cantik bertudung biru itu bertanya namanya, ia tidak bergantian menanyakan namanya.

"Tinggal di mana?" tanya mahasiswi itu lagi. Sementara mahasiswi yang satunya diam saja. Kelihatannya ia masih sedih kehilangan dompetnya yang berisi dua ratus lima puluh dolar dan tujuh puluh lima pound.

"Di Madrasah Hay El Ashir. Ini sudah petang. Kalian ikut sampai sini saja ya. Saya harus segera meneruskan perjalanan. Pemandu teksinya sudah menunggu. nanti kalau lama, dia minta tambah lagi." Jawab Azzam sambil melihat jam tangannya.

"Iya Mas. .a.. Abdullah. Terima kasih banyak ya."

"Ya sama sama. Lain kali lebih berhati hati ya. Mari. Assalamu'alaikum."

"Wa 'alaikumussalam wa rahmatullah."

Azzam terus masuk ke dalam teksi. Teksi berjalan lurus ke arah Hay El Sabe'. Dua mahasiswi itu memandang teksi itu sampai menghilang di kejauhan. Nama Abdullah membuka satu lembaran catatan dalam hati mereka.

Matahari semakin kekuning kuningan. Senja menunjukkan tanda tanda segera datang. bas bas penuh dengan orang orang yang keletihan. Dua mahasiswi itu melangkah perlahan ke arah Abdul Rasul. Letaknya tidak jauh. Tiga ratus meter ke depan. angin musin bunga yang sejuk membelai tudung mereka dengan penuh kasih sayang. Cairo kembali menggores episod yang indah untuk dikenang.

******

Dua mahasiswi itu sampai di rumah sewa mereka di Abdul Rasul. Rumah yang besar berada di tingkat dua sebuah villa anggun bercat putih. Rumah itu terdiri daripada tiga buah bilik. Satu bilik mandi. Dapur, ruang tamu. Dan dua balkoni. Dihuni oleh lima orang mahasiswi. Tiga orang dari Indonesia dan dua orang dari Malaysia.

Erna sudah lebih ceria meskipun guratan kesedihannya masih nampak jelas. Mereka pulang disambut oleh Zahraza, mahasiswi tahun tiga dari Negeri Kedah, Malaysia.

"Erna, kenapa muka awak pucat macam tu? Fi eh?" tanya Zahraza, teman satu bilik Erna. Loghat Malaysianya sama sekali tidak berubah meskipun sudah dua tahun tinggal satu rumah dengan orang Indonesia. Selain Zahraza, mahasiswi Malaysia yang tinggal di situ adalah Wan Ama, berasal dari Negeri Selangor. Zahraza masih Sarjana Muda, tahun akhir. Sedangkan Wan Aina sudah masuk tahun pertama Sarjananya. Dua penghuni lainnya adalah Hanum dari Bandung, dan Sholihati dari Kudus. Keduanya satu kelas dengan Erna.

Jadi, di rumah itu yang paling senior secara akedemik adalah Anna. Adapun yang paling senior secara umur adalah Sholihati. Sebelum kuliah di Al-Azhar, gadis yang pernah belajar di Madrasah Banat Kudus itu pernah menjadi tenaga kerja di Kuwait lebih dari dua tahun. Kerana cintanya pada ilmu, sebaik sahaja ia memiliki dana untuk terbang ke Mesir, ia tinggalkan pekerjaannya untuk menuntut ilmu. Semangat belajarnya yang luar biasa itu membuat banyak orang kagum padanya. Namun Anna tetaplah yang paling disegani di rumah itu, selain kerana ia paling berprestasi dan paling boleh memimpin, ia adalah puteri seorang kiai. Anna tinggal seorang satu bilik. Erna satu bilik dengan Zahraza. Sedangkan Wan Aina satu bilik dengan Sholihati. Mereka hidup di rumah itu bagaikan seperti saudara sendiri.

"Tidak usah risau. Tidak ada apa apa. Hanya musibah sikit aje," jawab Anna, sedikit terpengaruh oleh loghat Malaysia.

"Musibah apa tu?" kejar Zahraza.

"Tanya aja sama Erna. Saya nak ke bilik dulu ya," jawab Anna bergegas ke biliknya.

Zahraza terus minta penjelasan Erna. Erna lalu menjelaskan dengan detail semua peristiwa yang baru saja dialaminya. Termasuk juga pertolongan yang tidak disangka dari seorang mahasiswa Indonesia bernama Abdullah. Zahraza mendengarkan dengan penuh perhatian.

Sementara itu, teksi berwarna hitam putih yang membawa Azzam meluncur memasuji kawasan Hay El Ashir. Melewati Bawwabah Tsalitsah, terus melaju ke timur. Melalui kawasan yang oleh mahasiswa Asia Tenggara disebut Nadi Kahrubai. Sebuah kawasan luas yang dilalui arus elektrik tegangan tinggi. Daerah itu berupa jalan tar yang lebar. Dan oleh penduduk setempat, juga oleh mahasiswa Asia Tenggara, sering digunakan untuk bermain bola sepak. Maka disebut Nadi Kahrubai atau stadium elektrik.

Kawasan ini juga sering disebut Suq Sayyarah, atau Pasar Kereta. Sebab, pada hari Jumaat kawasan ini berubah menjadi tempat jual beli kereta terpakai terbesar di Cairo. Kawasan yang luasnya berhektar hektar itu penuh dengan pelbagai macam kereta. Bagi yang ingin mendapatkan kereta yang bagus dan murah, di sinilah tempatnya. Syaratnya tentu saja harus boleh memilih dan boleh menawar dengan baik. Jika tidak, justeru boleh sebaliknya.

Azzam melihat ke arah Nadi Kahrubai, dan dari kejauhan dia melihat ramai mahasiswa Asia Tenggara di sana. Ada juga mahasiswa berkulit hitam. Mereka sedang bermain bola sepak. Di sebelah Nadi tampak Masjid Sarbini yang pada bulan Ramadhan biasa menyediakan buka puasa secara percuma. Masjid itu menjadi salah satu tempat kesukaan bagi mahaiswa Asia Tenggara, di samping masjid masjid yang lain. Azzam sendiri juga sering berbuka di masjid itu bersama teman teman satu rumahnya.

Tidak lama kemudian, teksi itu sampai di Mutsallats. Azzam memberi petunjuk kepada pemandu teksi agar belok ke kanan. Teksi berjalan perlahan memasuki kawasan Mutsallats. Rumah rumah penduduk berbentuk kotak kotak berwarna coklat. Warna khas pasir dan debu padang pasir di Mesir. Azzam kembali meminta teksi belok ke kanan. Sampai di depan apartment bertingkat enam yang menghadap ke selatan, Azzam menyuruh teksi itu berhenti.

Azzam keluar dari teksi. Pemandu teksi membantu mengeluarkan barang barang Azzam dari bonet. Azzam memeriksa barangnya. Semua sudah cukup, Azzam menyerahkan duit tambang kepada pemandu teksi. Pemandu gendut berwajah bundar itu terus menghitung.

"Khamsahjunaih kaman ya Indonesi!"

"La, khalas, mafi zaidah ya Ammu. Haram 'alaik ya Aimmu!"

Pemandu teksi itu tersenyum.

"Thayyib, 'ala kulli hal mutasyakkir! Hadza yakfi!" Ia lalu masuk ke dalam teksi dan pergi.

Azzam meletakkan barang barangnya di depan pintu gerbang. Sambil menjinjing beg plastik berisi daging sapi, ia naik ke tingkat tiga. Flatnya ada di tingkat tiga. Ia masuk. Sepi. Tidak ada orang di ruang tamu. Ia terus memasukkan daging sapi ke dalam peti ais. Ia memeriksa dari bilik ke bilik. Hanya ada Nanang yang sedang duduk di depan komputer milik Fadhil. Kedua telinganya ditutup dengan earphone. Agaknya ia sedang asyik mendengarkan lagu lagu pop Mesir sambil mengetik. Azzam menepuk bahu Nanang. Nanang terhenyak terkejut, lalu tersenyum. Ia melepaskan earphonenya. Azzam memnta Nanang untuk membantunya menaikkan barang barang perbelanjaannya ke atas. Terutama mengangkat kacang soya. Ia sendiri sudah sangat letih.

"Okay bos!" Jawab Nanang riang. Ia mengikuti Azzam turun. Mereka berdua lalu menaikkan barang barang perbelanjaan itu ke dalam Flat.

******

"Semoga ini semua ada hikmahnya," lirih Zahraza selesai mendengar cerita Erna.

"Hikmahnya sudah aku dapatkan. Ini jadi teguran dari Allah atas kebakhilanku selama ini. Sebenarnya duit itu pagi tadi mahu dipinjam oleh kak Hanum dua ratus dolar, tapi aku tidak memberinya. Aku sungguh menyesal," jawab Erna sambil menundukkan kepalanya.

"Sudahlah Erna. Kita cakap perkara yang lain saja. By the way, siapa tadi pemuda yang menolong kalian?" tanya Zahraza.

"Namanya Abdullah."

"Kau kenal dia tak?" Erna menggelengkan kepala.

"Sst... by the way dia handsome tak?"

Erna membulatkan matanya. Namun Zahraza tidak takut. Ia malah memberi pandangan.

"Wah, bererti pemuda itu kacak. Terus terang aku suka sekali kepada oemuda yang baik hati dan berani seperti pemuda yang menolong kalian tadi. Apalagi kalau dia handsome. Kalau tidak handsome aku pasti menaruh simpati saja. Kalau aku yang jadi kau sudah aku kejar pemuda itu. Zaman sekarang, tidak mudah cari calon suami yang baik hati dan penuh perhatian seperti pemuda itu. Semoga Allah mempertemukan aku dengan dia dalam pertemuan yang penuh barakah."

Komen daripada mahasiswi Malaysia itu didengari dengan Anna dari biliknya. Entah kenapa, ia begitu cemburu mendengar pandangan itu. Ia jadi hairan sendiri kenapa ia mesti cemburu. Padahal ia bukan ada hubungan apa apa dengannya. Ia juga baru bertemu dengannya hari itu. Ia tidak tahu identitinya. Juga tidak tahu rumahnya. Pemuda itu pun tidak tahu siapa dia. sebab ia tidak memperkenalkan namanya, dan pemuda itu juga tidak bertanya namanya. Anna cepat cepat menyingkirkan perasaan itu.

Hairannya, setiap kali zahraza bercerita tentang kebaikan mahasiswa Indonesia, ia selalu cemburu. Gaya dan loghat gadis Malaysia yang halus itu, kalau bercerita tentang mahasiswa Indonesia memang punya kekuatan yang membangkitkan rasa cemburu bagi mahasiswi Indonesia. Apalagi ia memang mempunyai pengalaman indah dengan mahasiswa Indonesia. Saat awal awal di Mesir, ia tinggal di rumah Negeri Kedah yang ada di daerah Thub Ramly, Hay El Ashir.

Suatu hari ia pulang dari belanja di kedai Misr wa Sudan menjelang Isya'. Ketika ia berjalan berdua dengan temannya melalui shahra yang sepi, tiba tiba ada orang Mesir yang hendak berbuat jahat padanya. Ia menjerit jerit. Nasib baik waktu itu ada mahasiswa Indonesia yang lalu. Mahasiswa itu terus memukul orang Mesir tersebut. Orang Mesir memukul mereka balik. Terjadilah perkelahian. Ternyata mahasiswa Indonesia itu ada ilmu bela diri, sehingga orang Mesir itu akhirnya lari. Mahasiswa Indonesia itu juga menghantarkan mereka berdua sampai di rumahnya. Sejak itulah di mata Zahraza, pemuda Indonesia yang belajar di Mesir adalah manusia berani yang baik hati.

"Bodohnya awak ni. Awak tidak tanya siapa nama pemuda itu. Dan di mana alamat dia duduk. Awak benar benar bodoh. Padahal pemuda itu sangat berjasa bagi awak. Jika tidak ada pemuda itu mungkin kesucian awak sudah hilang." Begitu pandangan Zahraza setiap kali mengulang ceritanya itu. Entah sudah berapa kali Zahraza bercerita tentang kejadian itu. Dan sampai sekarang, mahasiswa Indonesia yang menolong Zahraza juga tidak diketahui siapa. Tidak ada khabar dan desas desus berita mahasiswa Indonesia yang mengaku atau bercerita pernah menolong mahasiswi Malaysia si Shahra dekat Thub Ramli.

Shahra, tanah yang sangat lapang, padang pasir. Anna tahu, kecemburuannya merupakan hal yang tidak perlu. Mahasiswi Malaysia menaruh simpati pada mahasiswa Indonesia kerana kebaikan, adalah hal yang bukannya tidak boleh terjadi. Jika yang jadi landasannya adalahh kebaikan, jalannya adalah kebaikan, dan tujuannya adalah kebaikan. Apanya yang salah.

Anna merasa ia telah berlebihan dengan merasa cemburu, hanya kerana komen yang boleh jadi juga sekadar cakap biasa : tidak lebih dari sekadar pandangan yang mungkin tujuannya justeru untuk menghangatkan suasana. atau untuk menunjukkan rasa hormatnya pada orang Indonesia. Ia merasa harus meletakkan cemburunya, cintanya, dan bencinya pada tempatnya yang tepat.

******

"Kau sedang tulis apa tu Nang?" tanya Azzam pada Nanang. Keduanya duduk di ruang tamu. Azzam menyandarkan punggungnya. Ia nampak keletihan.

"Anu Kang, lagi suka suka buat cerpen."

"Suka suka?"

"Iya Kang."

"Jangan suka suka sajalah Nang. Kalau nak buat cerpen buatlah bersungguh sungguh. Menulis dengan bersungguh. Kalau suka suka itu percuma! Komputernya bukan milik sendiri, elektrik juga dibayar, waktu habis, lah kenapa masih suka suka!"

"Maksudnya latihan Kang. Latihan buat cerpen. Bukan suka suka!"

"Ya, begitulah. Bila kita mahu maju, kalau tidak masih menggunakan waktu kita untuk suka suka terus. Betul tak Nang? Oh ya Nang, kenapa senyap, yang lain sudah pergi ke mana?"

"Fadhil sama Ali pergi main bola. Keduanya sedang bertanding sekarang," jawab Nanang.

"Di Nadi Kahrubai?"

"Bukanlah Kang. Ini pertandingan betul. Team KMA (Keluarga Mahasiswa Acheh) dan Team KEMASS (Keluarga Mahasiswa Sumatera Selatan). Fadhil di dalam pasukan KMA dan Ali di dalam pasukan KEMASS. Mereka bertanding di Nadi Syabab."

"Oh, kenapa mereka tidak beritahu, mereka hendak bertanding."

"Iya la, aku baru saja tahu tadi ketika si Mahmud, kiper KMA datang menjemput Fadhil. Mereka tidak beritahu kepada kita. Katanya, biar kita tidak bingung mahu menyokong siapa."

"Ya sudah, kita tidak usah sokong siapa siapa saja. Habis tu, Hafez dan Nasir ke mana?"

"Hafez tadi keluar mahu ke Katamea. Ke rumah Salman. temannya satu almamater. Kalau Nasir, ya seperti biasa Kang, menghantar tiket. Katanya, ke Abdur Rasul. Ada mahasiswi Indonesia yang akan pulang. Eh Kang, itu di peti ais ada tamar hindi."

"Wah kebetulan. Lagi dahaga ni."

Azzam bergegas ke dapur. Membuka peti ais. Mengambil botol air mineral yang berisi tamar hindi lalu menuangkannya ke gelas. Ia kembali ke ruang tamu dan minum dengan penuh kenikmatan.

"Yang beli kamu Nang?"

"Bukan saya Kang, tapi Ali. Tadi sebelum berangkat ke Nadi Syabab. Ia beli dua botol. Yang satu ia bawa, yang satu untuk kita katanya. Kang, aku mahu meneruskan menulis lagi ya?"

"Ya. Tapi jangan pakai earphone. Nanti kamu tidak dengar azan. Sebentar lagi Maghrib!"

"Iya Kang."

Nanang beranjak menuju komputer yang ditinggalkannya. Sementara Azzam masuk ke biliknya. Ia mengganti bajunya dengan singlet, dan seluar panjangnya dengan kain sarung. Lalu rebahkan diri di atas katil. Ia ingin mengendurkan otot ototnya barang beberapa minit. Sebab petang ini juga ia harus terus menggarap kedelainya untuk mulai diproses menjadi tempe. Lalu malam nanti setelah solat Isya' ia hafus mulai menggarap daging lembunya untuk dijadikan bakso.

Dalam keadaan sangat letih apapun, ia harus tetap sabar dan kuat melakukan itu semua. Jika tidak, ia takkan layak hidup, juga adik adiknya di Indonesia. Namun kerana sudah biasa, itu semua sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang berat baginya.

Dan yang paling pentingbagi dirinya, dengan bekerja keras yang sudah biasa ia lakukan, ia sama sekali tidak risau akan masa depannya. Ia merasa bersyukur dengan apa yang dikurniakan Allah kepadanya saat ini. Ia berani menatap mantap masa depannnya. Ia tidak merasa cemas? Apa yang perlu dirisaukan oleh seorang manusia yang diberi fikiran yang sihat, anggota badan yang cukup, dan mengimani adanya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?

Selain Pak Ali, selama ini ia tidak pernah menceritakan kapada siapa pun mengenai beban beban hidupnya. Juga jalan curam yang harus dilaluinya. Beberapa rang hanya tahu ia adalah jenis mahasiswa yang lebih mementingkan bisnes tempe dan baksonya daripada kuliah. Ia sama sekali bukan mahasiswa yang diperhitungkan dalam kancah dunia pengajian dan intelektual.

Nama asalnya bahkan sedikit yang tahu. Kalaulah memang ada yang tahu, biasanya adalah orang orang seangkatannya. Sementara mereka yang satu angkatan dengannya telah banyak yang menyelesaikan belajar B.A.nya. Bahkan telah banyak yang pulang ke Tanah Air. Tinggal beberapa orang yang tersisa dari mereka, kerana mereka melanjutkan M.A. Yang masih B.A. hanya dirinya.

Beberapa mahasiswa baru yang mengenalnya, lebih banyak mengenalinya sebagai mahasiswa tertua yang belum juga lulus B.A. Padahal ia sudah sembilan tahun di Mesir. Ia sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Baginya, yang penting ia telah melakukan hal yang benar. Benar untuk dirinya, ibunya, adik adiknya dan agamanya. Ia teringat sebuah nasihat dari seorang Syeikh Muda, ketika ia solat Jumaat di Masjid Ar-Rahman Masakin Utsman. Syeikh Muda itu dalam khutbahnya menghuraikan tentang pentingnya banyak kerja sedikit bicara.

"Kenapa Allah mengurniakan kepadakita dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, jutaan saraf otak, tapi hanya mengurniakan kepada kita satu mulut saja? Jawabnya, kerana Allah menginginkan agar kita lebih banyak bekerja, lebih banyak beramal nyata daripada bicara. Maka ada ungkapan, man katsura kalamuhu katsura khatauhu. Siapa yang banyak bicaranya maka banyak dosanya! Dan kerananya Rasulullah Shallaullahu 'alaihi wasallam menasihati kita semua: 'Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam saja!' Umat dan bangsa yang besar adalah umat dan bangsa yang lebih banyak kerjanya daripada bicaranya. Orang orang besar sepanjang sejarah adalah mereka yang lebih banyak bekerja daripada bicara!" kata Syeikh Muda itu.

Lalu sebelum mengakhiri khutbah pertamanya, Syeikh Muda itu mengutip nasihat James Allen : "Jangan biarkan orang lain lebih tahu banyak tentang dirimu. Bekerjalah dengan senang hati dan dengan ketenangan jiwa, yang membuat kami menyedari, bahawa muatan fikiran yang benar dan usaha yang benar akan mendatangkan hasil yang benar!"

Ia merasa yang benar baginya adalah tidak banyak bicara. Banyak kerja. Dan orang tidak perlu tahu kenapa ia tidak juga lulus. Kenapa ia hampir tidak pernah hadir dalam segala hiruk pikuk kegiatan ilmiah mahasiswa Indonesia di Cairo. Kecuali beberapa saja. Hidupnya di Cairo lebih banyak berkisar di rumah, masjid, pasar, rumah para pelanggan tempenya, dan rumah rumah bapak bapak KBRI yang memesan baksonya. Kampus Al-Azhar sendiri jarang ia datangi, apalagi perpustakaan.

Baginya, kampus utamanua justeru masjid. Khutbah Jumaat, ceramah beberapa minit dari imam masjid setelah solat, halaqah membaca Al-Quran setelah solat Subuh adalah tempat utamanya menimba ilmu. Ia menganggap itulah yang terbaik untuk dirinya. Dan berulangkali ia mengatakan pada dirinya sendiri, jangan pernah engkau merasa tersiksa dengan apa yang engkau anggap baik untuk dirimu! Ia tidak mengingkari bahawa ia sebenarnya sangat ingin bergerak dan berdinamik lazimnya mahasiswa. Namun keadaan orang berbeza beza.

Sudah seperempat jam ia berbaring sambil memejamkan mata. Otot otot tubuhnya lebih terasa sihat dan segar. lima minit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cepat cepat bangkit. Menyambar tuala dan ke bilik mandi. Sebaik sahaja ia masuk bulik mandi dan memutar paip air panas, sayup sayup ia mendengar suara heboh Fadhil dan Ali.

"Mereka sudah pulang. Semoga tidak ada yang kalah. Semua menang!" desisnya dalam hati sambil menambah kuatnya aliran air dingin. Setelah ia merasa ukuran panas dinginnya cukup, ia mandi dengan shower. Sentuhan air yang menerpa tubuhnya itu ia rasakan begitu nikmat. Begitu meremajakan saraf saraf dan otot ototnya. Ketika sedang asyik mandi, pintu bilik mandi diketok dengan keras.

"Kang Azzam ada telefon!" Itu suara Ali langsung menjawab dengan suara keras.

"Sedang mandi!"

"Disudahi dulu saja Kang! Ini penting!"

"Disudahi bagaimana, ini tengah pakai shampo!"

"Ini dari Eliana, Kang, puterinya Pak Dubes! Katanya penting!"

"Mahu puterinya Dubes, mahu puterinya Presiden,, suruh telefon selepas Maghrib. Titik!"

"Baik Kang."

******

Matahari perlahan masuk ke peraduannya. lampu lampu di sepanjang Kornes Nil mulai menyala. Azan berkumandang bersahut sahutan. Furqan keluar dari bilik hotelnya. Ia bergegas ke masjid. Di dalam lift ia kembali bertemu dengan mahasiswa dari Jepun. Mahasiswa Jepun itu mengangguk, ia pun mengangguk. Ia sampai di masjid tepat sesaat sebelum iqamat dikumandangkan.

Kali ini, ia solat diimami oleh imam yang agaknya menganut mazhab Imam Malik. Sebab sang imam setelah takbir tidakk meletakkan kedua tangannya di dada, tapu meluruskan tangannya seperti posisi tentera yang sedang siap dalam barisannya. Bacaan Al-Qur'an imam setengah umur itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh.

Selepas solat ia kembali ke hotel. Terus masuk kamar. Membaca Al-Qur'an beberapa halaman, lalu kembali membaca tesisnya. Ia kembali membaca baris demi baris. Sesekali ia berhenti menyemak pertanyaan para penguji yang kira kira akan disampaikan kepadanya lalu ia mempersiapkan jawapan yang ia anggap tepat. Tiba tiba telefon berdering mengganggu konsentrasinya,

"Ya, siapa ini?"

"Ini Sara, Tuan Furqan. Mengingatkan aja. Anda tidak lupa dengan undangan saya bukan? Pukul 19:30 di Abu Sakr Restaurant."

"Saya tidak lupa. Tapi nampaknya saya tidak boleh datang."

"Saya sangat berharap Tuan datang."

"Kalau tidak datang, semoga Nona tidak kecewa."

"Justeru saya risau, jika anda tidak datang anda akan menyesal. Undangan ini mungkin hanya sekali anda dapatkan dalam hidup anda."

"Terima kasih, saya merasa tersanjung."

"Saya merasa lebih tersanjung jika anda sudi datang. Oh ya, anda kenal Prof. Dr. Sa'duddin Zifzaf?"

"Ya, saya kenal. Dia seorang sejarahwan dan penulis terkenal."

"Dia ayah saya."

"Benarkah?"

"Iya tentu saja. Dia akan datang bersama saya."

"Sekali lagi, maafkan jika saya nanti tidak boleh datang."

"Fikirkanlah, saya berharap anda datang. Terima kasih." Klik. Telefon itu diputuskan.

Furqan sedikit bingung antara menyelesaikan persiapannya membaca ulang tesisnya, ataukah memenuhi undangan Sara. Undangan makan malam gadis Mesir sebenarnya sangat menarik. Apalagi ia sedikit terbayang gadis itu juga memiliki pesona yang sangat menarik. Astaghfirullah.

Ia beristighfar ketika kelibat wajah Sara yang menarik hadir di fikirannya. Dan penjelasan Sara bahawa Prof. Sa'duddin Zifzaf, penulis Mesir yag terkenal yang juga stag ahli Menteri Pendidikan itu adalah ayahnya, sungguh mengusik hatinya. Apakah benar? Yang lebih mengusiknya kenapa gadis Mesir itu benar benar tahu banyak tentang dirinya? Ataukah hanya basa basi belaka? Hatinya terus tertanya tanya.


Buat yang rajin & ingin tahu akan maksud / terjemahannya :-

1. Fi eh? - Ada apa?
2. Khamsah junaih kaman ya Abdonesi - Lima pound lagi, hai orang Indonesia
3. La, khalas, mafi ziadah ya Ammu. Haram 'alaik ya Aimmu! - Tidak, sudah, tak ada tambahan lagi pakcik, haram bagimu pakcik!
4. Thayyib, 'ala kulli hal mutasyakkir! Hadza yakfi! - Baik, walau bagaimanapun, terima kasih. Ini sudah cukup!
5. Shahra - tanah yang sangat lapang, padag pasir