Tuesday, August 24, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (10) Pengejaran Dengan Teksi

Kekangan waktu mendesak aku melupakan seketika soal blog aku ini. Tiba2 baru kini aku faham betapa masa itu lbh berharga dari emas sebenarnya... Buat rakan taulan yang masih mengikuti kisah KCB harap diteruskan pembacaannya... aku akan senantiasa mengintai waktu utk sambungannya...


PEMANDU
teksi itu mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengejar. Ia sangat hafal dengan jalan jalan pintas yang paling selesa dari kesibukan dan kesesakan. Dalam waktu seperempat jam, teksi itu telah sampai di Hay El Sades ke arah kawasan kampus Al-Azhar Nasr City. Lalu melaju kencang ke arah Masjid Nun Khithab. Selama dalam perjalanan Azzam diam. Tidak banyak berbicara. Dua penumpang di belakangnya juga melakukan hal yang sama. Kalaupun Azzam bicara hanya untuk menjawab pertanyaan pemandu teksi sesekali sahaja.


Tiga minit kemudian teksi hitam putig itu sampai di simpang empat Masjid Nun Khithab. Azzam minta supaya belok ke kiri menyusuri Thayaran Street ke arah Ta'min Shihi. Azzam mengarahkan teksi berhenti di Halte jalan ke Hay El Sabe dekat Muraqib supaya mudah menahan bas enam lima. Pemandu minta tambah duit. Akhirnya Azzam kembali harus sepakat memberi tambahan.

Beberapa minit menunggu, dari arah Rab'ah sekonyong konyong Azzam melihat bas enam lima datang.

"Ukhti, kamu lihat kitabmu di pintu belakang. Saya akan naik dari pintu depan minta agar pemandunya berhenti beberapa saat. Semoga itu bas kamu tadi!" Seru Azzam apabila bas itu merapat di Halte mahu berhenti.

Mahasiswi bertudung biru itu mengangguk dan bersiap sedia.

Bas berhenti. Azzam menuju ke pintu depan. Apabila pintu dibuka, ia terus melompat. Ia hampir berlanggar dengan penumpang yang mahu turun. Ia rapat bergantung di pinggir pintu dan minta sang pemandu berhenti sebentar. Mahasiswi bertudung biru sudah naik. Ia melihat lihat di bawah kerusi dekat kondektur duduk. Kedua matanya terus menangkap buku dan kitabnya dalam dua plastik putih. Hatinya sangat bahagia. Ketika hendak mengambilnya sang kondektur mempersilakan. Agaknya sang kondektur belum lupa dengan musibah yang menimpa dua mahasiswi beberapa saat yang lalu.

"Maafkan kami atas musibah tadi," kata kondektor itu.

"Tidak apa apa. Semoga diganti yang lebih baik oleh Allah," jawab mahasiswi itu lalu turun.

Sambil bergayut di pintu depan, Azzam melihat mahasiswi itu membawa dua plastik putih berisi kitab. Ia terus melompat turun dan mempersilakan pemandu menjalankas basnya.

"Bagaimana masih lengkap, tidak ada yang hilang?" tanya Azzam.

Mahasiswi itu lalu memeriksa sebentar. Dan dengan wajah bersinar, ia menjawab :

"Alhamdulillah. Masih lengkap. Terima kasih ya atas segalanya. Kalau boleh tahu nama situ siapa?"

"Aku Abdullah." Jawab Azzam. Nama kecilnya memang Abdullah Khairul Azzam. entah kenapa ketika dibuat daftar kelahiran yang tertulis hanya Khairul Azzam saja, Abdullahnya hilang. Jadi dengan mengatakan namanya Abdullah, ia sama sekali tidak berbohong. Namun mahasiswi di Cairo tidak ada yang mengenalinya sebagai Abdullah. Ia memang tidak ingin namanya diketahui dua mahasiswi itu. Ia mahu menjaga keikhlasannya. Maka meskipun mahasiswi cantik bertudung biru itu bertanya namanya, ia tidak bergantian menanyakan namanya.

"Tinggal di mana?" tanya mahasiswi itu lagi. Sementara mahasiswi yang satunya diam saja. Kelihatannya ia masih sedih kehilangan dompetnya yang berisi dua ratus lima puluh dolar dan tujuh puluh lima pound.

"Di Madrasah Hay El Ashir. Ini sudah petang. Kalian ikut sampai sini saja ya. Saya harus segera meneruskan perjalanan. Pemandu teksinya sudah menunggu. nanti kalau lama, dia minta tambah lagi." Jawab Azzam sambil melihat jam tangannya.

"Iya Mas. .a.. Abdullah. Terima kasih banyak ya."

"Ya sama sama. Lain kali lebih berhati hati ya. Mari. Assalamu'alaikum."

"Wa 'alaikumussalam wa rahmatullah."

Azzam terus masuk ke dalam teksi. Teksi berjalan lurus ke arah Hay El Sabe'. Dua mahasiswi itu memandang teksi itu sampai menghilang di kejauhan. Nama Abdullah membuka satu lembaran catatan dalam hati mereka.

Matahari semakin kekuning kuningan. Senja menunjukkan tanda tanda segera datang. bas bas penuh dengan orang orang yang keletihan. Dua mahasiswi itu melangkah perlahan ke arah Abdul Rasul. Letaknya tidak jauh. Tiga ratus meter ke depan. angin musin bunga yang sejuk membelai tudung mereka dengan penuh kasih sayang. Cairo kembali menggores episod yang indah untuk dikenang.

******

Dua mahasiswi itu sampai di rumah sewa mereka di Abdul Rasul. Rumah yang besar berada di tingkat dua sebuah villa anggun bercat putih. Rumah itu terdiri daripada tiga buah bilik. Satu bilik mandi. Dapur, ruang tamu. Dan dua balkoni. Dihuni oleh lima orang mahasiswi. Tiga orang dari Indonesia dan dua orang dari Malaysia.

Erna sudah lebih ceria meskipun guratan kesedihannya masih nampak jelas. Mereka pulang disambut oleh Zahraza, mahasiswi tahun tiga dari Negeri Kedah, Malaysia.

"Erna, kenapa muka awak pucat macam tu? Fi eh?" tanya Zahraza, teman satu bilik Erna. Loghat Malaysianya sama sekali tidak berubah meskipun sudah dua tahun tinggal satu rumah dengan orang Indonesia. Selain Zahraza, mahasiswi Malaysia yang tinggal di situ adalah Wan Ama, berasal dari Negeri Selangor. Zahraza masih Sarjana Muda, tahun akhir. Sedangkan Wan Aina sudah masuk tahun pertama Sarjananya. Dua penghuni lainnya adalah Hanum dari Bandung, dan Sholihati dari Kudus. Keduanya satu kelas dengan Erna.

Jadi, di rumah itu yang paling senior secara akedemik adalah Anna. Adapun yang paling senior secara umur adalah Sholihati. Sebelum kuliah di Al-Azhar, gadis yang pernah belajar di Madrasah Banat Kudus itu pernah menjadi tenaga kerja di Kuwait lebih dari dua tahun. Kerana cintanya pada ilmu, sebaik sahaja ia memiliki dana untuk terbang ke Mesir, ia tinggalkan pekerjaannya untuk menuntut ilmu. Semangat belajarnya yang luar biasa itu membuat banyak orang kagum padanya. Namun Anna tetaplah yang paling disegani di rumah itu, selain kerana ia paling berprestasi dan paling boleh memimpin, ia adalah puteri seorang kiai. Anna tinggal seorang satu bilik. Erna satu bilik dengan Zahraza. Sedangkan Wan Aina satu bilik dengan Sholihati. Mereka hidup di rumah itu bagaikan seperti saudara sendiri.

"Tidak usah risau. Tidak ada apa apa. Hanya musibah sikit aje," jawab Anna, sedikit terpengaruh oleh loghat Malaysia.

"Musibah apa tu?" kejar Zahraza.

"Tanya aja sama Erna. Saya nak ke bilik dulu ya," jawab Anna bergegas ke biliknya.

Zahraza terus minta penjelasan Erna. Erna lalu menjelaskan dengan detail semua peristiwa yang baru saja dialaminya. Termasuk juga pertolongan yang tidak disangka dari seorang mahasiswa Indonesia bernama Abdullah. Zahraza mendengarkan dengan penuh perhatian.

Sementara itu, teksi berwarna hitam putih yang membawa Azzam meluncur memasuji kawasan Hay El Ashir. Melewati Bawwabah Tsalitsah, terus melaju ke timur. Melalui kawasan yang oleh mahasiswa Asia Tenggara disebut Nadi Kahrubai. Sebuah kawasan luas yang dilalui arus elektrik tegangan tinggi. Daerah itu berupa jalan tar yang lebar. Dan oleh penduduk setempat, juga oleh mahasiswa Asia Tenggara, sering digunakan untuk bermain bola sepak. Maka disebut Nadi Kahrubai atau stadium elektrik.

Kawasan ini juga sering disebut Suq Sayyarah, atau Pasar Kereta. Sebab, pada hari Jumaat kawasan ini berubah menjadi tempat jual beli kereta terpakai terbesar di Cairo. Kawasan yang luasnya berhektar hektar itu penuh dengan pelbagai macam kereta. Bagi yang ingin mendapatkan kereta yang bagus dan murah, di sinilah tempatnya. Syaratnya tentu saja harus boleh memilih dan boleh menawar dengan baik. Jika tidak, justeru boleh sebaliknya.

Azzam melihat ke arah Nadi Kahrubai, dan dari kejauhan dia melihat ramai mahasiswa Asia Tenggara di sana. Ada juga mahasiswa berkulit hitam. Mereka sedang bermain bola sepak. Di sebelah Nadi tampak Masjid Sarbini yang pada bulan Ramadhan biasa menyediakan buka puasa secara percuma. Masjid itu menjadi salah satu tempat kesukaan bagi mahaiswa Asia Tenggara, di samping masjid masjid yang lain. Azzam sendiri juga sering berbuka di masjid itu bersama teman teman satu rumahnya.

Tidak lama kemudian, teksi itu sampai di Mutsallats. Azzam memberi petunjuk kepada pemandu teksi agar belok ke kanan. Teksi berjalan perlahan memasuki kawasan Mutsallats. Rumah rumah penduduk berbentuk kotak kotak berwarna coklat. Warna khas pasir dan debu padang pasir di Mesir. Azzam kembali meminta teksi belok ke kanan. Sampai di depan apartment bertingkat enam yang menghadap ke selatan, Azzam menyuruh teksi itu berhenti.

Azzam keluar dari teksi. Pemandu teksi membantu mengeluarkan barang barang Azzam dari bonet. Azzam memeriksa barangnya. Semua sudah cukup, Azzam menyerahkan duit tambang kepada pemandu teksi. Pemandu gendut berwajah bundar itu terus menghitung.

"Khamsahjunaih kaman ya Indonesi!"

"La, khalas, mafi zaidah ya Ammu. Haram 'alaik ya Aimmu!"

Pemandu teksi itu tersenyum.

"Thayyib, 'ala kulli hal mutasyakkir! Hadza yakfi!" Ia lalu masuk ke dalam teksi dan pergi.

Azzam meletakkan barang barangnya di depan pintu gerbang. Sambil menjinjing beg plastik berisi daging sapi, ia naik ke tingkat tiga. Flatnya ada di tingkat tiga. Ia masuk. Sepi. Tidak ada orang di ruang tamu. Ia terus memasukkan daging sapi ke dalam peti ais. Ia memeriksa dari bilik ke bilik. Hanya ada Nanang yang sedang duduk di depan komputer milik Fadhil. Kedua telinganya ditutup dengan earphone. Agaknya ia sedang asyik mendengarkan lagu lagu pop Mesir sambil mengetik. Azzam menepuk bahu Nanang. Nanang terhenyak terkejut, lalu tersenyum. Ia melepaskan earphonenya. Azzam memnta Nanang untuk membantunya menaikkan barang barang perbelanjaannya ke atas. Terutama mengangkat kacang soya. Ia sendiri sudah sangat letih.

"Okay bos!" Jawab Nanang riang. Ia mengikuti Azzam turun. Mereka berdua lalu menaikkan barang barang perbelanjaan itu ke dalam Flat.

******

"Semoga ini semua ada hikmahnya," lirih Zahraza selesai mendengar cerita Erna.

"Hikmahnya sudah aku dapatkan. Ini jadi teguran dari Allah atas kebakhilanku selama ini. Sebenarnya duit itu pagi tadi mahu dipinjam oleh kak Hanum dua ratus dolar, tapi aku tidak memberinya. Aku sungguh menyesal," jawab Erna sambil menundukkan kepalanya.

"Sudahlah Erna. Kita cakap perkara yang lain saja. By the way, siapa tadi pemuda yang menolong kalian?" tanya Zahraza.

"Namanya Abdullah."

"Kau kenal dia tak?" Erna menggelengkan kepala.

"Sst... by the way dia handsome tak?"

Erna membulatkan matanya. Namun Zahraza tidak takut. Ia malah memberi pandangan.

"Wah, bererti pemuda itu kacak. Terus terang aku suka sekali kepada oemuda yang baik hati dan berani seperti pemuda yang menolong kalian tadi. Apalagi kalau dia handsome. Kalau tidak handsome aku pasti menaruh simpati saja. Kalau aku yang jadi kau sudah aku kejar pemuda itu. Zaman sekarang, tidak mudah cari calon suami yang baik hati dan penuh perhatian seperti pemuda itu. Semoga Allah mempertemukan aku dengan dia dalam pertemuan yang penuh barakah."

Komen daripada mahasiswi Malaysia itu didengari dengan Anna dari biliknya. Entah kenapa, ia begitu cemburu mendengar pandangan itu. Ia jadi hairan sendiri kenapa ia mesti cemburu. Padahal ia bukan ada hubungan apa apa dengannya. Ia juga baru bertemu dengannya hari itu. Ia tidak tahu identitinya. Juga tidak tahu rumahnya. Pemuda itu pun tidak tahu siapa dia. sebab ia tidak memperkenalkan namanya, dan pemuda itu juga tidak bertanya namanya. Anna cepat cepat menyingkirkan perasaan itu.

Hairannya, setiap kali zahraza bercerita tentang kebaikan mahasiswa Indonesia, ia selalu cemburu. Gaya dan loghat gadis Malaysia yang halus itu, kalau bercerita tentang mahasiswa Indonesia memang punya kekuatan yang membangkitkan rasa cemburu bagi mahasiswi Indonesia. Apalagi ia memang mempunyai pengalaman indah dengan mahasiswa Indonesia. Saat awal awal di Mesir, ia tinggal di rumah Negeri Kedah yang ada di daerah Thub Ramly, Hay El Ashir.

Suatu hari ia pulang dari belanja di kedai Misr wa Sudan menjelang Isya'. Ketika ia berjalan berdua dengan temannya melalui shahra yang sepi, tiba tiba ada orang Mesir yang hendak berbuat jahat padanya. Ia menjerit jerit. Nasib baik waktu itu ada mahasiswa Indonesia yang lalu. Mahasiswa itu terus memukul orang Mesir tersebut. Orang Mesir memukul mereka balik. Terjadilah perkelahian. Ternyata mahasiswa Indonesia itu ada ilmu bela diri, sehingga orang Mesir itu akhirnya lari. Mahasiswa Indonesia itu juga menghantarkan mereka berdua sampai di rumahnya. Sejak itulah di mata Zahraza, pemuda Indonesia yang belajar di Mesir adalah manusia berani yang baik hati.

"Bodohnya awak ni. Awak tidak tanya siapa nama pemuda itu. Dan di mana alamat dia duduk. Awak benar benar bodoh. Padahal pemuda itu sangat berjasa bagi awak. Jika tidak ada pemuda itu mungkin kesucian awak sudah hilang." Begitu pandangan Zahraza setiap kali mengulang ceritanya itu. Entah sudah berapa kali Zahraza bercerita tentang kejadian itu. Dan sampai sekarang, mahasiswa Indonesia yang menolong Zahraza juga tidak diketahui siapa. Tidak ada khabar dan desas desus berita mahasiswa Indonesia yang mengaku atau bercerita pernah menolong mahasiswi Malaysia si Shahra dekat Thub Ramli.

Shahra, tanah yang sangat lapang, padang pasir. Anna tahu, kecemburuannya merupakan hal yang tidak perlu. Mahasiswi Malaysia menaruh simpati pada mahasiswa Indonesia kerana kebaikan, adalah hal yang bukannya tidak boleh terjadi. Jika yang jadi landasannya adalahh kebaikan, jalannya adalah kebaikan, dan tujuannya adalah kebaikan. Apanya yang salah.

Anna merasa ia telah berlebihan dengan merasa cemburu, hanya kerana komen yang boleh jadi juga sekadar cakap biasa : tidak lebih dari sekadar pandangan yang mungkin tujuannya justeru untuk menghangatkan suasana. atau untuk menunjukkan rasa hormatnya pada orang Indonesia. Ia merasa harus meletakkan cemburunya, cintanya, dan bencinya pada tempatnya yang tepat.

******

"Kau sedang tulis apa tu Nang?" tanya Azzam pada Nanang. Keduanya duduk di ruang tamu. Azzam menyandarkan punggungnya. Ia nampak keletihan.

"Anu Kang, lagi suka suka buat cerpen."

"Suka suka?"

"Iya Kang."

"Jangan suka suka sajalah Nang. Kalau nak buat cerpen buatlah bersungguh sungguh. Menulis dengan bersungguh. Kalau suka suka itu percuma! Komputernya bukan milik sendiri, elektrik juga dibayar, waktu habis, lah kenapa masih suka suka!"

"Maksudnya latihan Kang. Latihan buat cerpen. Bukan suka suka!"

"Ya, begitulah. Bila kita mahu maju, kalau tidak masih menggunakan waktu kita untuk suka suka terus. Betul tak Nang? Oh ya Nang, kenapa senyap, yang lain sudah pergi ke mana?"

"Fadhil sama Ali pergi main bola. Keduanya sedang bertanding sekarang," jawab Nanang.

"Di Nadi Kahrubai?"

"Bukanlah Kang. Ini pertandingan betul. Team KMA (Keluarga Mahasiswa Acheh) dan Team KEMASS (Keluarga Mahasiswa Sumatera Selatan). Fadhil di dalam pasukan KMA dan Ali di dalam pasukan KEMASS. Mereka bertanding di Nadi Syabab."

"Oh, kenapa mereka tidak beritahu, mereka hendak bertanding."

"Iya la, aku baru saja tahu tadi ketika si Mahmud, kiper KMA datang menjemput Fadhil. Mereka tidak beritahu kepada kita. Katanya, biar kita tidak bingung mahu menyokong siapa."

"Ya sudah, kita tidak usah sokong siapa siapa saja. Habis tu, Hafez dan Nasir ke mana?"

"Hafez tadi keluar mahu ke Katamea. Ke rumah Salman. temannya satu almamater. Kalau Nasir, ya seperti biasa Kang, menghantar tiket. Katanya, ke Abdur Rasul. Ada mahasiswi Indonesia yang akan pulang. Eh Kang, itu di peti ais ada tamar hindi."

"Wah kebetulan. Lagi dahaga ni."

Azzam bergegas ke dapur. Membuka peti ais. Mengambil botol air mineral yang berisi tamar hindi lalu menuangkannya ke gelas. Ia kembali ke ruang tamu dan minum dengan penuh kenikmatan.

"Yang beli kamu Nang?"

"Bukan saya Kang, tapi Ali. Tadi sebelum berangkat ke Nadi Syabab. Ia beli dua botol. Yang satu ia bawa, yang satu untuk kita katanya. Kang, aku mahu meneruskan menulis lagi ya?"

"Ya. Tapi jangan pakai earphone. Nanti kamu tidak dengar azan. Sebentar lagi Maghrib!"

"Iya Kang."

Nanang beranjak menuju komputer yang ditinggalkannya. Sementara Azzam masuk ke biliknya. Ia mengganti bajunya dengan singlet, dan seluar panjangnya dengan kain sarung. Lalu rebahkan diri di atas katil. Ia ingin mengendurkan otot ototnya barang beberapa minit. Sebab petang ini juga ia harus terus menggarap kedelainya untuk mulai diproses menjadi tempe. Lalu malam nanti setelah solat Isya' ia hafus mulai menggarap daging lembunya untuk dijadikan bakso.

Dalam keadaan sangat letih apapun, ia harus tetap sabar dan kuat melakukan itu semua. Jika tidak, ia takkan layak hidup, juga adik adiknya di Indonesia. Namun kerana sudah biasa, itu semua sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang berat baginya.

Dan yang paling pentingbagi dirinya, dengan bekerja keras yang sudah biasa ia lakukan, ia sama sekali tidak risau akan masa depannya. Ia merasa bersyukur dengan apa yang dikurniakan Allah kepadanya saat ini. Ia berani menatap mantap masa depannnya. Ia tidak merasa cemas? Apa yang perlu dirisaukan oleh seorang manusia yang diberi fikiran yang sihat, anggota badan yang cukup, dan mengimani adanya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?

Selain Pak Ali, selama ini ia tidak pernah menceritakan kapada siapa pun mengenai beban beban hidupnya. Juga jalan curam yang harus dilaluinya. Beberapa rang hanya tahu ia adalah jenis mahasiswa yang lebih mementingkan bisnes tempe dan baksonya daripada kuliah. Ia sama sekali bukan mahasiswa yang diperhitungkan dalam kancah dunia pengajian dan intelektual.

Nama asalnya bahkan sedikit yang tahu. Kalaulah memang ada yang tahu, biasanya adalah orang orang seangkatannya. Sementara mereka yang satu angkatan dengannya telah banyak yang menyelesaikan belajar B.A.nya. Bahkan telah banyak yang pulang ke Tanah Air. Tinggal beberapa orang yang tersisa dari mereka, kerana mereka melanjutkan M.A. Yang masih B.A. hanya dirinya.

Beberapa mahasiswa baru yang mengenalnya, lebih banyak mengenalinya sebagai mahasiswa tertua yang belum juga lulus B.A. Padahal ia sudah sembilan tahun di Mesir. Ia sama sekali tidak mempedulikan hal itu. Baginya, yang penting ia telah melakukan hal yang benar. Benar untuk dirinya, ibunya, adik adiknya dan agamanya. Ia teringat sebuah nasihat dari seorang Syeikh Muda, ketika ia solat Jumaat di Masjid Ar-Rahman Masakin Utsman. Syeikh Muda itu dalam khutbahnya menghuraikan tentang pentingnya banyak kerja sedikit bicara.

"Kenapa Allah mengurniakan kepadakita dua tangan, dua kaki, dua mata, dua telinga, jutaan saraf otak, tapi hanya mengurniakan kepada kita satu mulut saja? Jawabnya, kerana Allah menginginkan agar kita lebih banyak bekerja, lebih banyak beramal nyata daripada bicara. Maka ada ungkapan, man katsura kalamuhu katsura khatauhu. Siapa yang banyak bicaranya maka banyak dosanya! Dan kerananya Rasulullah Shallaullahu 'alaihi wasallam menasihati kita semua: 'Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata yang baik atau diam saja!' Umat dan bangsa yang besar adalah umat dan bangsa yang lebih banyak kerjanya daripada bicaranya. Orang orang besar sepanjang sejarah adalah mereka yang lebih banyak bekerja daripada bicara!" kata Syeikh Muda itu.

Lalu sebelum mengakhiri khutbah pertamanya, Syeikh Muda itu mengutip nasihat James Allen : "Jangan biarkan orang lain lebih tahu banyak tentang dirimu. Bekerjalah dengan senang hati dan dengan ketenangan jiwa, yang membuat kami menyedari, bahawa muatan fikiran yang benar dan usaha yang benar akan mendatangkan hasil yang benar!"

Ia merasa yang benar baginya adalah tidak banyak bicara. Banyak kerja. Dan orang tidak perlu tahu kenapa ia tidak juga lulus. Kenapa ia hampir tidak pernah hadir dalam segala hiruk pikuk kegiatan ilmiah mahasiswa Indonesia di Cairo. Kecuali beberapa saja. Hidupnya di Cairo lebih banyak berkisar di rumah, masjid, pasar, rumah para pelanggan tempenya, dan rumah rumah bapak bapak KBRI yang memesan baksonya. Kampus Al-Azhar sendiri jarang ia datangi, apalagi perpustakaan.

Baginya, kampus utamanua justeru masjid. Khutbah Jumaat, ceramah beberapa minit dari imam masjid setelah solat, halaqah membaca Al-Quran setelah solat Subuh adalah tempat utamanya menimba ilmu. Ia menganggap itulah yang terbaik untuk dirinya. Dan berulangkali ia mengatakan pada dirinya sendiri, jangan pernah engkau merasa tersiksa dengan apa yang engkau anggap baik untuk dirimu! Ia tidak mengingkari bahawa ia sebenarnya sangat ingin bergerak dan berdinamik lazimnya mahasiswa. Namun keadaan orang berbeza beza.

Sudah seperempat jam ia berbaring sambil memejamkan mata. Otot otot tubuhnya lebih terasa sihat dan segar. lima minit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cepat cepat bangkit. Menyambar tuala dan ke bilik mandi. Sebaik sahaja ia masuk bulik mandi dan memutar paip air panas, sayup sayup ia mendengar suara heboh Fadhil dan Ali.

"Mereka sudah pulang. Semoga tidak ada yang kalah. Semua menang!" desisnya dalam hati sambil menambah kuatnya aliran air dingin. Setelah ia merasa ukuran panas dinginnya cukup, ia mandi dengan shower. Sentuhan air yang menerpa tubuhnya itu ia rasakan begitu nikmat. Begitu meremajakan saraf saraf dan otot ototnya. Ketika sedang asyik mandi, pintu bilik mandi diketok dengan keras.

"Kang Azzam ada telefon!" Itu suara Ali langsung menjawab dengan suara keras.

"Sedang mandi!"

"Disudahi dulu saja Kang! Ini penting!"

"Disudahi bagaimana, ini tengah pakai shampo!"

"Ini dari Eliana, Kang, puterinya Pak Dubes! Katanya penting!"

"Mahu puterinya Dubes, mahu puterinya Presiden,, suruh telefon selepas Maghrib. Titik!"

"Baik Kang."

******

Matahari perlahan masuk ke peraduannya. lampu lampu di sepanjang Kornes Nil mulai menyala. Azan berkumandang bersahut sahutan. Furqan keluar dari bilik hotelnya. Ia bergegas ke masjid. Di dalam lift ia kembali bertemu dengan mahasiswa dari Jepun. Mahasiswa Jepun itu mengangguk, ia pun mengangguk. Ia sampai di masjid tepat sesaat sebelum iqamat dikumandangkan.

Kali ini, ia solat diimami oleh imam yang agaknya menganut mazhab Imam Malik. Sebab sang imam setelah takbir tidakk meletakkan kedua tangannya di dada, tapu meluruskan tangannya seperti posisi tentera yang sedang siap dalam barisannya. Bacaan Al-Qur'an imam setengah umur itu sungguh indah. Ia larut dan tersentuh.

Selepas solat ia kembali ke hotel. Terus masuk kamar. Membaca Al-Qur'an beberapa halaman, lalu kembali membaca tesisnya. Ia kembali membaca baris demi baris. Sesekali ia berhenti menyemak pertanyaan para penguji yang kira kira akan disampaikan kepadanya lalu ia mempersiapkan jawapan yang ia anggap tepat. Tiba tiba telefon berdering mengganggu konsentrasinya,

"Ya, siapa ini?"

"Ini Sara, Tuan Furqan. Mengingatkan aja. Anda tidak lupa dengan undangan saya bukan? Pukul 19:30 di Abu Sakr Restaurant."

"Saya tidak lupa. Tapi nampaknya saya tidak boleh datang."

"Saya sangat berharap Tuan datang."

"Kalau tidak datang, semoga Nona tidak kecewa."

"Justeru saya risau, jika anda tidak datang anda akan menyesal. Undangan ini mungkin hanya sekali anda dapatkan dalam hidup anda."

"Terima kasih, saya merasa tersanjung."

"Saya merasa lebih tersanjung jika anda sudi datang. Oh ya, anda kenal Prof. Dr. Sa'duddin Zifzaf?"

"Ya, saya kenal. Dia seorang sejarahwan dan penulis terkenal."

"Dia ayah saya."

"Benarkah?"

"Iya tentu saja. Dia akan datang bersama saya."

"Sekali lagi, maafkan jika saya nanti tidak boleh datang."

"Fikirkanlah, saya berharap anda datang. Terima kasih." Klik. Telefon itu diputuskan.

Furqan sedikit bingung antara menyelesaikan persiapannya membaca ulang tesisnya, ataukah memenuhi undangan Sara. Undangan makan malam gadis Mesir sebenarnya sangat menarik. Apalagi ia sedikit terbayang gadis itu juga memiliki pesona yang sangat menarik. Astaghfirullah.

Ia beristighfar ketika kelibat wajah Sara yang menarik hadir di fikirannya. Dan penjelasan Sara bahawa Prof. Sa'duddin Zifzaf, penulis Mesir yag terkenal yang juga stag ahli Menteri Pendidikan itu adalah ayahnya, sungguh mengusik hatinya. Apakah benar? Yang lebih mengusiknya kenapa gadis Mesir itu benar benar tahu banyak tentang dirinya? Ataukah hanya basa basi belaka? Hatinya terus tertanya tanya.


Buat yang rajin & ingin tahu akan maksud / terjemahannya :-

1. Fi eh? - Ada apa?
2. Khamsah junaih kaman ya Abdonesi - Lima pound lagi, hai orang Indonesia
3. La, khalas, mafi ziadah ya Ammu. Haram 'alaik ya Aimmu! - Tidak, sudah, tak ada tambahan lagi pakcik, haram bagimu pakcik!
4. Thayyib, 'ala kulli hal mutasyakkir! Hadza yakfi! - Baik, walau bagaimanapun, terima kasih. Ini sudah cukup!
5. Shahra - tanah yang sangat lapang, padag pasir

Thursday, June 10, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (9) Perjalanan ke Sayyeda Zainab

Lanjutan kisah KCB... ade ke yg ternanti2 akannya????


AZZAM melihat jam tangannya. Sudah seperempat jam ia menunggu, bas ke Sayyeda Zaenab tidak juga datang, padahal bas ke Atabah sudah berkali kali lalu. Halte bas di depan Masjid Al-Azhar itu ramai manusia. Sebahagian duduk di kerusi halte, tapi yang berdiri jauh lebih banyak. Bas menuju Imbaba datang. Orang orang berlarian naik. Seorang ibu sekuat tenaga berusaha menggapai pintu bas. Tangannya telah meraih pegangan, dan ketika kakinya hendak naik, bas itu berjalan. Ibu itu tidak melepaskan pegangannya. Jadilah ia terseret. Para penumpang dan orang orang yang melihatnya berteriak teriak marah. Seorang lelaki setengah umur menjerit keras marah :

"Hasib ya hayawan!"

Bas itu berhenti, dan pemandu bas tertawa sengih tanpa kelihatan berdosa sama sekali. Ibu tersebut berjaya naik dan kemarahannya tidak juga berhenti. Azzam melihat hal itu dengan hati sesak. Sudah tidak terhitung lagi ia melihat kejadian seperti itu. Seorang pelancong mat saleh nampak asyik mengabdikan adegan kurang sopan tersebut. Nampaknya pelancong itu mendapatkan oleh oleh yang sangat unik untuk dia bawa je negaranya. Azzam merasakan dadanya semakin sesak. Layakkah adegan kurang sopan seumpama ini terjadi di depan kampus Islam tertua di dunia? Tanyanya dalam hati.

Bas menuju Imbaba itu telah hilang dari pandangan. Tidak lama kemudian sebuah bas datang. Ia sangat kenal dengan nombor bas itu. Lapan puluh coret. Bas yang sangat legenda dan terkenal bagi mahasiswa Asia Tenggara yang tinggal di kawasan Hayy El Ashir. Legenda kerana murahnya. Jauh dekat sama saja. Cuma sepuluh piester. Apa tidak murah. Dan terkenal, kerana melalui jalan strategik bagi mahasiswa. Bas itu dari Hayyul Ashir Nasr City melalui Hayyu Thamin, Masakin Ustman, kampus Al-Azhar Maydan Husein, dan berakhir di Attaba. Selain itu juga terkenal kerana sering terjadi penyeluk saku di dalamnya. Maka seringkali mahasiswaIndonesia menyebutnya 'bas lapan puluh copet', bukan 'lapan puluh coret.' Meskipun demikian, bas itu tetap saja dicintai dan dekat di hati.

Apabila lapan puluh coret berhenti, dan pintu depan banyak penumpang yang turun. Dan di pintu belakang penumpang bersesak naik. Ia melihat seorang pensyarah ikut berdesakan naik. Ia amati dengan teliti, ternyata Prof. Dr. Hilal Hasouna, Ketua Professor Ilmu Hadith. Ia selalu dibuat takjub oleh sikap tawadhu' dan kesahajaan para syeikh dan ketua professor Universiti Al-Azhar. Di Indonesia mana ada seorang ketua professor yang mahu berdesakan naik bas.

Perlahan lapan puluh coret pergi. Lima detik kemudian datang bas bernombor empat puluh lima. "Ini dia," desis Azzam lirih. Hatinya begitu lega dan bahagia. Selalu saja di dunia ini, jika seseorang menanti sesuatu dan sesuatu yang dinanti itu hadir, maka hadir pulalah kebahagiaab yang susah digambarkan. Di antara bas bas yang lain, enam puluh lima adalah yang paling dicintai Azzam. Kerana bas itulah yang sentiasa menghantarkannya ke Pasar Sayyeda Zaenab. Bas itu telah menjadi alat yang sangat akrab dalam menunjang bisnesnya. Bisnes tempe da bakso.

Sebaik sahaja bas berhenti, beberapa orang naik dari pintu belakang. Azzam ikut naik. Bas tidak berapa sesak. Tidak ada penumpang yang berdiri. Namun tidak banyak tempat duduk yang kosong. Semua penumpang yang baru naik mendapatkan tempat duduk, kecuali Azzam. Ia harus berdiri. Bas beranjak pergi menyusuri Al-Azhar Street. Azzam berdiri agak di tengah. Sekilas ia melihat ke depan. Beberapa mahasiswi Asia Tenggara duduk di barisan depan.

"Mungkin mereka juga mahu berbelanja di Sayyeda Zaenab." Gumamnya dalam hati.

Ia yakin mereka mahasiswi Indonesia, meskipun tidak menutup kemungkinan ada mahasiswi Malaysia. Yang lebih sering kreatif belanja ke Pasar Sayyeda Zaenab biasanya mahasiswa dan mahasiswi dari Indonesia. Sementara mahasiswa dan mahasiswi dari Malaysia lebih memilih belanja di tempat yang dekat dengan flat mereka di Nasr City seperti Swalayan Misrwa Sudan di Hayye El Sabe. Meskipun tentu saja harganya lebih mahal.

Perlahan bas beranjak menyusuri Al-Azhar Street. Dari jendela Azzam boleh melihat bangunan bangunan tua yang kusam. Di antara bangunan itu banyak yang dijadikan kedai dan gudang tekstil. Sampai di El Muski belok kiri menyusuri Port Said Street.

Bas terus melaju melalui Museum of Islamic Art. Di halte dekat Maidan Ahmad Maher bas berhenti. Seorang perempuan Mesir turun. Tidak ada penumpang naik. Bas kembali berjalan. Azzam duduk di kerusi yang baru saja ditinggalkan perempuan Mesir. Kerusinya masih terasa hangat. Ia merasa lega. Sekilas ia tahu bahawa yang duduk di sampingnya adalah seorang mahasiswi Asia Tenggara. Ia tidak merasa harus menyapa. Fikirannya sudah ada di Pasar Sayyeda Zaenab. Ia melihat jam tangannya. Ia berharap tidak terlambat sampai di sana. Kalau terlambat ia akan bertambah letih kerana tidak mendapatkan barang yang ia inginkan.

"Semoga Ammu Ragab belum pulang," doanya dalam hati. Jika Ammu Ragab pedagang kedelai itu sudah pulang ia harus ke Pasar Attaba. Harga kedelai di Attaba lebih mahal dan kualiti kacang soyanya di bawah Sayyeda Zaenab. Dan ia sebagai pengeluar ingin memberikan yang terbaik kepada pelanggan. Terbaik dalam harga, juga terbaik dalam kualiti barang. Selisih harga sekecil apapun harus ia perhatikan. Ia memang berusaha professional mungkin. Meskipun cuma bisnes tempe.

Ia ingin memposisikan diri sebagai pengeluar tempe terbaik dan termurah. Ia berusaha memposisikan tempenya adalah tempe dengan kualiti kedelai nombor satu. Rasa nombor satu. Rasa khas tempe Candiwesi Salatiga yang sangat terkenal itu. Dan kelebihan lainnya adalah bentuknya paling besar di antara tempe yang lain, isinya paling padat, dan harganya paling murah. Inilah keunikan yang dimiliki hasil keluarannya. Keunikan inilah yang menjadi positioning bisnesnya. Dan ia akan terus mempertahankan positioning ini terus terukir dalam benak para pelanggannya. Sehingga para pelanggan itu percaya penuh padanya dan pada produk produknya.

Untuk menjaga hal itu memang perlu keseriusan dan kerja keras. Tidak hanya konsep dalam fikiran atau di atas kertas. Ia teringat satu ajaran dari Cina kuno : 'Kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan, jika kamu bekerja keras dan tidak tergesa gesa mati dulu.'

Ajaran itu senada dengan kata mutiara bangsa Arab yang sangat dahsyat : Man jadda wajada. Siapa yang bersungguh sungguh berusaha akan mendapatkan yang diharapkannya.

Bas terus berjalan.

"Maaf, anda dari Indonesia ya?"

Ia mendengar suara perlahan di sampingnya.

"Iya benar. Anda juga dari Indonesia?" Jawabnya tenang.

"Iya. Maaf kalau boleh tanya kedai buku Daarut Tauzi' itu di mana ya?"

"Sebentar." Ia melihat ke depan dan ke kiri jalan.

"Halte depan. Sebelah kiri jalan ada tulisannya. Pokoknya kira kira seratus meter dari Masjid Sayyeda Zaenab." Lanjutnya.

"Terima kasih."

"Sama sama. Belum pernah ke Daarut Tauzi' ya?"

"Iya, belum pernah. Biasanya saya beli buku di kedai kedai buku dekat kampus Al-Azhar Maydan Husein."

Setelah itu keduanya diam. Masing masing mengikuti fikirannya sendiri. Setiap kali bertemu dengan mahasiswi Indonesia Azzam terus teringat dengan kedua adiknya yang sudah gadis. Husna dan Lia. Husna pastilah sudah sampai waktunya untuk bernikah. Dan Lia telah meninggalkan waktu remaja. Genap sembilan tahun sudah, ia tidak bertemu mereka berdua. Adapun adiknya yang ketiga, si bongsu Sarah. sudah masuk usia sembilan tahun. Ia sama sekali belum pernah melihatnya, kecuali melalui gambar. Ketika ia meninggalkan Indonesia dulu, Sarah masih berada dalam kandungan ibunya. Seperti apakah wajah ketiga tiga adiknya itu.

"Semoga ada jalan untuk pulang. Aku rindu pada mereka. Juga pada ibu," katanya dalam hati. Dan jalan pulang yang paling realitis baginya adalah membuat tempe sebanyak banyaknya dan berdoa semoga mendapatkan pesanan membuat bakso yang juga sebanyak banyaknya. Hasil dari usahanya itu akan ia gunakan membeli tiket. Jika kurang, semoga boleh minta bantuan ke Baituz Zakat yang bersyarikat di Muhandisin. Namun, sesungguhnya dalam hati ia ingin dapat membeli tiket sendiri tanpa minta bantuan kepada sesiapapun. Itu bererti ia harus benar benar membanting tulang dan memeras keringat.

Di samping itu semua, yang paling penting adalah, ia harus selesai Sarjana Muda tahun ini. Jika tidak, rancangan untuk pulang akan hancur musnah. Ia harus menahan rindu satu tahun ke depan. Dan ia tidak mahu hal itu terjadi.

Maka ia harus melakukan sesuatu.

Kalau kamu ingin menciptakan sesuatu, kamu harus melakukan sesuatu! Demikian kata Johann Wolfgang von Goethe yang pernah disinggung oleh Prof. Dr. Hamdi Zaqzuq dalam kuliahnya.

Sekali lagi ia harus melakukan sesuatu. Iaitu bekerja lebih tekun, belajar lebih serius, dan berdoa lebih serius. Tidak ada yang lain.

Tidak terasa bas telah sampai di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Azzam perlu turun, kerana bas akan ke Terminal Abu Raisy dan tidak melalui pasar. Para penumpang turun. Lima orang mahasiswi itu turun, termasuk yang duduk di samping Azzam. Azzam yang paling akhir turun. Beberapa mahasiswi mwmandang ke kiri dan ke kanan.

"Maaf Daarut Tauzi'-nya ke sana ya?" mahasiswi bertudung biru muda yang tadi duduk di sampingnya kembali bertanya padanya.

Secara spontan Azzam memandang wajahnya sekilas. Subhanallah, cantik. Mahasiswi Indonesia Indonesia di Cairo ada yang cantik juga. Bahkan ia merasa belum pernah melihat wanita Indonesia secantik gadis bertudung biru muda ini. Azzam cepat cepat mengalihkan pandangannya. Lalu dengan memandang ke arah Daarut Tauzi', ia menjelaskan ke mana mereka harus melangkah dan bagaimana ciri ciri gedungnya. Kerana Daarut Tauzi' memang tidak terlalu kelihatan lazimnya seperti kedai buku. Sebab, tempatnya ada di tingkat dua sebuah gedung yang agak tua.

"Syukran, ya."

"Afwan. Oh ya, sampaikan salam buat Hosam Ahmad. Penjaga Daarut Tauzi'?"

"Dari siapa?"

"Katakan saja dari thalib dzu himmah. Dia pasti tahu."

"Baik. insya' Allah." Jawab gadis bertudung biru muda itu. Ia dan teman temannya menuju ke arah yang dijelaskan Azzam. Sementara Azzam segera bergegas ke pasar. Ia melalui jalan masjid. Pasar itu ada di sebelah selatan masjid.


Pasar Sayyeda Zaenab masih ramai orang meskipun tidak seramai ketika pagi hari, sebelum Zohor. Beberapa pedagang ikan dan daging ayam sudah mengemas tempat mereka. Dagangan mereka telah habis. Azzam terus menuju kedai Ammu Ragab. Ammu Ragab memang khusus menjual segala jenis tepung, kacang kacang dan beras. Ia menjual kacang jenis ful sudani, ful soya, adas dan sebagainya.

"Assalamu 'alaikum ya Ammu."

"Wa 'alaikumussalam, oh anta ya Azzam. Kaif hal?"

"Ana bi khair. Alhamdulillah. Andak ful shiya?"

"Thab'an 'andi. 'Aisy kam kilo?"

"Khamsah wa 'isyrin kilo kal 'adah."

Azzam lalu menjelaskan sebentar. Kerana waktu sudah dekat Ashar, ia akan mengambil barangnya setelah solat Ashar. Setelah itu ia bergegas ke gerai penjual daging. Ia sudah pesan daging pagi tadi melalui telifon. Jika tidak pesan terlebih awal, jelas ia tidak akan mendapatkan daging yang diinginkan. Ternyata gerai penjual daging sudah siap tutup. Dagingnya juga telah habis.

"Kami masih buka kerana menunggu kamu Akhi." Kata Ibrahim yang kini menjalankan gerai daging milik ayahnya itu.

"Maaf. Saya sedikit terlambat." Jawab Azzam. Ia memang terlambat setengah jam mengambil pesanannya.

Ibrahim nampak sudah kemas dan bersih, tidak nampak kotor seperti penjual daging. Separuh gerainya sudah ditutup. Ia duduk di kerusi, di depan gerainya sambil membaca surat khabar.

Ibrahim masih muda. Umurnya masih di bawah tiga puluh tahun. Ayahnya tidak boleh lagi bekerja kerana terkena penyakit stroke. Ibrahim anak sulung. Masih memiliki empat adik. Dua perempuan dan dua lelaki. Yang paling besar namanya Sami, kumudian Yasmin, Heba dan yang paling kecil bernama Samir. Dialah yang kini menjadi kepala rumahtangga. Ia bermati matian menanggung adik adiknya. Juga bermati matian menjaga mereka agar tetap memperoleh pendidikan yang sepatutnya. Semua adiknya bersekolah di Al-Azhar, kerana memang tidak ada yang lebih murah dari Al-Azhar.

Yang ia tahu, Sami baru saja selesai Fakulti Dirasat Islamiyyah. Yasmin tahun akhir di Kuliyah Banat Al-Azhar. Heba baru masuk kuliah. Dan Samir masih di Madrasah Ibtidaiyyah. Ibrahim sendiri lulusan Fakulti Syariah. Sebagaimana ia boleh akrab dengan mahasiswa Mesir bernama Khaled, ia boleh rapat dengan Ibrahim, juga kerana bertemu di masjid. Tepatnya Ramadhan dua tahun lalu, ketika i'tikaf dua hari di Masjid Amru bin Ash. Biasanya Ibrahim dibantu oleh Sami, tapi kali ini kelihatannya ia tidak ada.

"Mana Sami, kenapa tidak kelihatan?"

"Sedang ada keperluan keluarga di Giza."

"O begitu. Kau tergesa gesa?"

"Sebenarnya tidak. Tapi saya dan Heba harus segera menyusul Sami sebelum Maghrib tiba."

Azzam lalu faham bahawa Ibrahim tidak mempunyai banyak waktu. Ia terus mengambil pesanannya dan membayar harganya. Azzam ingin segera beranjak, namun seorang gadis remaja bertudung khas Mesir datang dengan membawa dua gelas karikade dingin di atas dulang.

"Minum dulu Akhi." Ibrahim mempersilakan.

Sekilas Azzam melihat gadis remaja itu menatapnya sambil mengangguk lalu masuk ke dalam. Ini adalah kali ketiga ia bertatapan dengan gadis remaja itu. Ia yakin itu adalah Heba. Kalau boleh jujur, ia harus mengakui, bahawa ia belum pernah melihat gadis secantik Heba. Cantik dan cerdas. Sebab Ibrahim pernah cerita, di usia tujuh tahun, Heba telah menghafal Al-Quran. Hal itulah yang membuatnya mempunyai keinginan terhadap adiknya yang paling kecil supaya boleh menghafal Al-Quran seperti Heba.

Ibrahim mengambil gelas dan meminumnya. Tanpa banyak bicara, Azzam terus melakukan hal yang sama. Tujuh minit kemudian gelas itu telah kosong.

Azan Ashar mengalun dari Masjid Sayyeda Zaenab.

"Terima kasih Akhi. Saya pulang dulu," kata Azzam setelah itu.

"Maaf kalau kita tidak boleh banyak berbicara seperti biasa. Waktunya memang singkat. Jangan lupa doakan kami. Doa penuntut ilmu dari jauh yang ikhlas sepertimu pasti didengar Allah," tukas Ibrahim.

"Sama sama. Kita saling mendoakan."

Azzam lalu bergegas kembali ke gerai Ammu Ragab dan menyimpankan dagingnya di sana. Ia hendak ke masjid solat Ashar dulu. Ia berjalan melalui lorong pasar. Terus ke tempat wudhu' masjid. Dan waktu kaki kanannya menginjak pintu masjid, sang mu'azzin melantunkan iqamat.

Selepas solat dan berzikir secekupnya, ia terus kembali ke pasar. Membeli bahan bahan untuk membuat bakso. Dan dengan langkah yang cepat, ia kembali ke gerai Ammu Ragab. Seorang pembantu Annu Ragab membantu mengangkatkan kacang soyanya ke pinggir jalan raya. Ia memang berbelanja cukup banyak dan berat. Ia merasa perutnya sangat lapar, tapi tidak ada waktu lagi buat makan siang. Nanti saja jika suda sampai rumah.

Tidak lama kemudian baas enam lima datang. Namun sudah penuh sesak. Ia tidak jadi naik. Jika ia tidak membawa barang pasti sudah naik. Seperempat jam berlalu dan bas enam lima berikutnya tidak juga datang. Tidak ada pilihan, ia harus juga menaii teksi. Tidak ada salahnya ia realistik. Duit biaya produksi dalam keadaan tertentu susah untuk ditekan. Yang jelas selama dalam perhitungan masih ada keuntungan sesuai dengan margin yang ditetapkan tidak jadi problem.

Sebuah teksi melintas. Ia hentikan dan dengan cepat terjadi kesepakatan. Pemandu teksi membantu memasukkan barang barang perbelanjaan Azzam ke dalam bonet kereta. Azzam duduk di depan. Teksi melaju perlahan. Menyusuri Port Said Street. Pemandu teksinya seorang lelaki gendut setengah umur. Wajahnya bundar. Hidungnya besar. Rambutnya keriting kecil kecil. Khas keturunan Afrika. Kulitnya sedikit hitam, tapi tidak legam. Agaknya ia lelaki ramah :

"Kamu mahasiswa Al-Azhar ya?"

"Benar, Paman."

"Belajarlah dengan rajin agar tidak susah. Agar tidak jadi pemandu teksi seperti saya."

"Memamngnya jadi pemandu teksi susah, Paman?"

Pemandu teksi malah bercerita :

"Kalau dulu saya rajin berlajar dan mahu kuliah, pasti sudah jadi pegawai bank dengan gaji tinggi dan tidak susah seperti sekarang. kalau saja..."

Azzam terus sahaja memotong cerita itu. Ia tahu orang Mesir kalau cerita pasti akan ke mana mana. Kalau cerita bahagia akan melangit, kalau cerita susah akan sangat melankolis. Azzam tidka mahu dengar cerita itu. Ia sendiri juga sedamh susah. Maka dengan cepat ia memotong :

"E... Paman asal Cairo ya?" tanya Azzam.

"Ah tidak. Saya lahir di Sohag. Besar di Tanta dan bernikahdi Cairo."

"Sudah punya anak berapa, Paman?"

"Baru satu dan baru berumur satu tahun."

"Yah. Saya termasuk yang terlambat bernikah. Saya bernikah waktu berumur 46 tahun. Tahu sendiri. Bernikah di sini tidak mudah."

Ini bukan kali pertama Azzam mendengar cerita seperti ini. Di Mesir dan negara Arab lainnya, bernikah memang sangat mahal. Sehingga tidak sedikit tang terlambat bernikah. Golongan yang hanya cukup cukup, tapi tidak kaya, biasanya banyak terlambat. Baik lelaki mahupun perempuan. Justeru sekalian golongan yang miskin malah banyak yang bernikah muda. Mereka bernikah dengan sesama orang miskin, sehingga syarat syarat bersifat material sama sama dimudahkan.

Banyak ulama Mesir yang menyeru supaya memurahkan mahar dan memudahkan syarat. Tapi seruan itu seperti angin yang belalu tanpa bekas. Si Ibrahim, penjual daging langganannya ingin sekali segera bernikah. Namun belum juga boleh ebrnikah kerana persoalan material.

"Saya sarankan kamu jangan sekali kali punya fikiran menikah gadis Mesir." Gumam sang pemandu.

"Kenapa, Paman?"

"Susah 99.9 peratus perempuan Mesir itu menyusahkan. Keluarga mereka juga menyusahkan."

"Ah biar betul, Paman."

"Benar. Serius!"

"Termasuk isteri Paman?" Entah kenapa spontan ia bertanya begitu.

"Iya. Apalagi dia. Rasanya tidak pernah dia buat suami bahagia, kecuali saat bulan madu dulu."

"Ah, Paman bohong. Tuan rumah saya di Hay El Ashir, seorang perempuan. Asal Mesir, Paman. Namanya Madam Rihem. Dia sangat baik. Kepada siapa saja. Kepada kami yang bukan ada hubungan dengannya, juga kepada para tetangga. Dia membuat kami bahagia, Paman. Dia sangat memahami jika kami lambat membayar wang sewa."

"Dia masuk dalam kelompok 0.001 peratus. Sudahlah, percayalah padaku. Jangan sekali kali kamu berfikiran mahu menikah gadis Mesir. Saya dengar nikah di Asia Tenggara itu mudah. Perempuan perempuannya juga sangat taat pada suami. Kamu orang mana?"

"Indonesia, Paman."

"Apalagi Indonesia. Sebaik baik manusia adalah orang Indonesia."

"Ah, Paman boleh saja basa basinya."

Teksi terus melaju melewati Maydan Ahmad Maher.

"Saya tidak basa basi. Saya serius. Tetangga saya yang baru naik haji tahun ini yang memberitahukan hal ini kepda saya. Ia melihat selama haji, jamaah haji yang paling lembut dan paling penurut adalah jamaah haji Indonesia."

Azzam tidak tahu harus menjawab apa. Tiba tiba matanya menangkap sesuatu di depan. Dua mahasiswi Indonesia di pinggir jalan tidak jauh dari Museum of Islamic Art. Kelihatannya ada sesuatu dengan mereka. Kedua duanya duduk. Yang satu, yang bertudung coklat muda kelihatannya menangis. Sementara yang satunya, yang bertudung biru kelihatannya sedang berusaha menenangkan temannya. "Masya Allah, dia kan mahasiswi yang tadi duduk di sebelahku," lirih Azzam.

"Paman, berhenti sebentar ya. Kelihatannya ada masalah dengan mahasiswi dari Indonesia itu." Pinta Azzam.

"Baik. Tapi jangan lama lama ya."

"Baik, Paman."

Azzam turun dan mendekati mereka berdua. Ia mendengar suara sesenggukan dari gadis bertudung coklat muda.

"Mmm, maaf Ukhti. Ada apa ya? Ada yang boleh saya bantu?" sapa Azzam sesopan mungkin. Beberapa orang Mesir melihat mereka. Gadis yang bertudung biru menjawab:

"Kami kena musibah. Dompet Ukhti Erna ini dicuri. Tadi basnya penuh sesak. Kami berdiri berdekatan pintu. Saya melihat pencuri itu mengambil dompet Ukhti Erna. Saya menjerit. Si pencuri terus melompat dari bas dan lari. Saya minta bas berhenti dan minta orang orang membantu mengejar pencuri itu. Tapi mungkin pemandunya tidak mendengar, soalnya kami berada di pintu belakang. Kami baru boleh turun di halte depan. Kami lari ke sini kerana pencurinya tadi melompat di sini. Dengan harapan ada orang Mesir yang menangkapnya. Tapi jejaknya saja tidak ada. Padahal dalam dompet itu ada wang dua ratus lima puluh dolar dan tujuh puluh lima pound. Sekarang kami baru sedar kami tidak punya wang sama sekali. Kami tak boleh pulang. Wangku sendiri sudah habis untuk beli kitab."

Azzam tahu kenapa mahasiswi itu sampai menangis. Dua ratus lima puluh dolar dan tujuh puluh lima pound itu sangat banyak bagi mahasiswa Indonesia di Cairo. Kalau bagi mahasiswa Brunei mungkin lain.

"Sudahlah diikhlaskan saja. Semoga diganti yang lebih baik oleh Allah. Oh ya, bukankah kalian tadi berlima atau berenam?"

"Ya tadi kami berenam. Ketika pulang kami berpisah di depan Masjid Sayyeda Zaenab. Mereka berempat naik teksi ke Dokki, sementara kami naik bas enam lima."

"Kalau boleh tahu, kalian tinggal di mana?"

"Di Abdul Rasul."

"Oh, baik. Kebetulan saya naik teksi. Tempat duduk belakang masih kosong. Kalian boleh ikut." Kata Azzam.

"Erna, ayuh sudahlah, kita ikut dia saja." Tanpa bicara sepatah pun mahasiswi bernama Erna itu perlahan bangkit. Azzam berjalan di depan. Ia membukakan pintu teksi. Dua mahasiswi itu masuk. Azzam melihat dua mahasiswi itu tidak membawa apa apa, selain yang bertudung biru membawa beg sandang hitam kecil.

"Lah, buku dan kitab yang dibeli mana?" Tanya Azzam.

"Tertinggal di dalam bas. Saat kami berdiri, kitab dalam beg plastik itu saya letakkan di bawah, kerana agak berat. Apabila saya melihat penjahat itu mencuri dompet Erna, saya sudah tidak ingat apa apa kecuali menjerit dan merebut dompet itu kembali. Dan ketika kami turun dari bas, kitab itu tertinggal di dalam bas." Jawab nahasiswi bertudung biru.

"Oh ya sudah. Semoga boleh dikesan." Sahut Azzam sambil menutup pintu teksi. Teksi perlahan bergerak. Fikiran Azzam juga bergerak bagaimana mendapatkan kembali kitab itu.

"Kitab apa saja yang kamu beli kalau boleh tahu?" Dan dari belakang terdengar jawapan :

"Lathaiful Ma'arif-nya Ibnu Rajab Al Hanbali, Fatawa Mu'ashirah-nya Yusuf Al-Qardhawi, Dhawabithul Mashlahah-nya Al Buthi, Al-Qawaid Al Fiqhiyyah-nya Ali An- Nadawi, Ushulud Dakwah-nya Doktor Abdul Karim Zaidan, Kitabul Kharraj-nya Imam Abu Yusuf, Al-Qamus-nya Fairuzabadi dan Syarhul Maqashid-nya Taftazani."

Azzam tidak berkomentar. Dari jawapan yang ia dengar, ia terus boleh memastikan tiga perkara. Pertama, jumlah harga kitab itu ratusan pound. Kedua, mahasiswi yang membeli kitab itu adalah orang yang sangat cibta ilmu. Ketiga, ia kemungkinan besar adalah mahasiswi Syari'ah.

"Basnya sudah lama jalan?" tanya Azzam.

"Kira kira lima belas minit yang lalu."

Tiba tiba sebuah idea berputar di kepalanya. Bas itu mungkin boleh dikejar jika teksi boleh memotong jalan. Apalagi bas itu padat. Pasti lebih lambat kerana akan banyak menurunkan penumpang. Itu jangkaannya.

"Paman boleh mengejar dan memotong jalan ke Masjid Nuril Kulliyatul Banat Nasr City?"

"Tentu boleh. Kejar mengejar dan memotong jalan itu kebiasaanku waktu masih muda."

"Lakukan itu, Paman, saya tambah lima pound."

"Tidak. Kalau mahu tampah sepuluh pound." Azzam berfikir sebentar.

"Baik."

Dan seketika itu, teksi tersebut menambahkan kelajuannya. Azzam memperbanyakkan membaca shalawat. Sementara dua penumpang di belakangnya diam dalam rasa sedih berselimut cemas. Tidak ada yang mereka lakukan kecuali menyerahkan semuanya kepada Allah yang Maha Menentukan Takdir.


Tuesday, June 1, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (8) Siang di Kampus Maydan Husein


Dalam cbuk2 sempat gak aku kerah jemari aku nie utk hidangkan kisah seterusnya dlm KCB utk kalian... diharap yg masih mengikuti kisah ini dpt bersabar dgn kelembapan aku... Ha.. ape lg... pederas.. p baca... hehehee

SELEPAS
solat Zohor di Masjid Al-Azhar, Azzam melangkahkan kakinya menuju ke kampus Fakulti Ushuluddin, Al Azhar University. Ia keluar masjid melalui pintu utara. Menyusuri kaki lima Al-Azhar Street yang melintas tepat di uatara masjid. Jalan raya itulah yang memisahkan Masjid Al-Azhar dengan pejabat Grand Syeikh Al- Azhar yang lama, pejabat yang biasa disebut Masyikhatul Azhar. Masjid Al-Azhar, Universiti Al-Azhar, pasar tradisional Al-Azhar, serta Mustasyfa Husein berada di sebelah selatan jalan.


Sedangkan Masyikhatul Azhar yang lama, Masjid Sayyidina Husein, Khan Khalili, dan kedai buku paling popular di sekitar kampus Al-Azhar, iaitu Dar El Salam berada di sebelah utara jalan. Lalu lintas di jalan ini cukup padat. untuk menghubungkan kawasan utara dan selatan ada terowong bawah tanah yang tepat berada di halaman barat Masjid Al-Azhar. juga ada jambatan yang berada di sebelah barat kedai buku Dar El Salam. Kawasan ini, semuanya dikenali dengan Maydan Husein.

Masjid Al-Azhar, dan kampus Universiti Al-Azhar yang lama dikenali berada di kawasan Maydan Husein. Sedangkan kampus Al-Azhar yang baru, termasuk rektor Al-Azhar berada di Madinat Nasr atau dikenali juga dengan sebutan Nasr City. Sedangkan pejabat Grand Syeikh Al-Azhar yang baru berada tepat di sebelah selatan Daarul Ifta'.

Dararul Ifta' adalah tempat di mana terletaknya pejabat Mufti Mesir. Keduanya berdiri tepat di tepi barat Shalah Salim Avenue, yang membentang dari kawasa Cairo lama, tepatnya dari kawasan malik El Shaleh, terus melintas di depan Benteng Shalahuddin hingga ke kawasan Abbasea. salah Salim Avenue, itu termasuk jalan raya yang paling terkenal di Cairo, kerana banyak melintasi daerah daerah penting dan bersejarah. Melintas di kawasan yang dianggap paling tua hingga kawasan yang dianggap metropolis.

Letak Masyikhatul Azhar yang baru dari Daarul Ifta' tidak begitu jauh dari kampus Al-Azhar, masih boleh ditempuh dengan berjalan kaki. Tepat di depan Masyikhatul Azhar yang baru dari Daarul Ifta' terbentang perkuburan terluas di Cairo. Orang yang pertama kali datang ke cairo dan melalui daerah ini tidak akan terus tahau bahawa kawasan itu adalah perkuburan. Sebab banyak sekali bangunan berkubah. Beberapa bangunan malah ada yang mempunyai menara. Ternyata bangunan yang berkubah itu adalah kuburan para khalifah dan orang orang penting. Bagi umat islam, perkuburan ini adalah perkuburan tertua setelah perkuburan yang ada di sebelah timur Mesir lama atau Fusthath.

Di sebelah timur Mesir lama, ada daerah yang dikenali dengan sebutan City of The Dead. Sebuah kawasan yang manyatu antara perkuburan dan perkampungan. Makam yang dikenali sebagai salah seorang guru Imamm Syafi'i juga ada di sini. Imam Zakaria Al-Anshari dan Imam Leits juga dimakamkan di sini. Bahkan makam Imam Hasan Al-Banna juga ada di sini. Kawasan ini dulunya, merupakan tempat tinggalnya para imam besar. Di sebelah utara daerah ini ada kawasan perkuburan raja raja Mameluk.

Sedangkan perkuburan di depan Masyikhatul Azhar yang baru dari Daarul Ifta' dikenali sebagai tempat di semayamkannya Dinasti Qaitbay. Perkuburan ini dikelilingi oleh beberapa masjid bersejarah. Masjid Sultan Barquq ada di pinggir utara kawasan ini. Sedangkan Masjid Qaitbay ada di pinggir timur, tepat di samping jalan El Nasr. Dan di sebelah selatan, beberapa ratus meter di utara Benteng Shalahuddin berdiri Masjid Emir Khair Bey.

Kawasan ini, sekarang tidak sesuai sebagai kawasan perkuburan. Bangunan yang nampak seperti kotak kotak dan sebahagian berkubah yang memenuhi kawasan ini, banyak yang telah dijadikan sebagai tempat tinggal orang orang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Daerah ini mungkin dapat disebut kawasan paling aneh di Cairo, manusia yang masih hidup boleh sedemikian selesa dan rapatnya dengan jasad dan tulang belulang orang yang telah mati.

Daerah ini bahkan kini hampir mirip perkampungan. Namun fungsinya sebagai tempat menguburkan orang yang meninggal dunia juga masih berjalan. Hampir semua mahasiswa Asia Tenggara yang tinggal di Nasr City jika pergi kuliah ke Al-Azhar pasti akan melalui daerah ini.

Bagi mahasiswi Indonesia yang berasal dari Solo, atau sangat faham dengan Solo, setiap kali melintasi kawasan ini akan diingatkan dengan kawasan pemakaman terluas di Solo, iaitu makam Bonoloyo. Memang tidak serupa. Paling tidak, diingatkan akan adanya manusia yang tinggal sehari hari di makam Bonoloyo. Makan dan tidur di Bonoloyo. Sehari hari hidup di atas kuburan. Hal itulah paling tidak titik persamaan keduanya.

Ia masuk area kampus melalui pintu gerbang sebelah barat. Seorang duf'ah berseragam putih tersenyum padanya. Ia membalas dengan senyuman seraya mengucapkan salam. Ia terus melangkah menuju gedung Fakulti Ushuluddin. Ia berjalan menuju tempat penjualan muqarrar, atau buku nota kuliah. Buku muqarrar Tafsir Tahlili masih kurang satu.

Tempat penjualan muqarrar Fakulti Ushuluddin itu tidak lain adalah bangunan kecil berukuran kira kira 2 x 2 meter. terbuat dari kayu dan papan. Dicatkan dengan warna hijau. Sangat sederhana untuk nama besar Al-Azhar, sebagai universiti tertua dan paling berpengaruh di dunia Islam. Seorang penjaga berada di dalamnya. tempat itu mirip warung penjual rokok dan makanan kecil di pinggir pinggir jalan di Indonesia. Ada pintu kecil tempat penjaga itu keluar masuk dan ada tingkap tempat melayani mahasiswa yang membeli muqarrar.

Tempat penjualan muqarrar itu agak sepi. hanya satu dua mahasiswa yang membeli. Memang menjelang akhir semester, hampir semua mahasiswa telah memegang muqarrar. bahkan muqarrar itu mungkin telah habis dibaca. Kecuali beberapa mahasiswa yang memang terlambat beli muqarrar, termasuk dirinya.

Buku kedua muqarrar Tafsir Tahlili sebenarnya sudah keluar sebulan yang lalu. Namun ia belum sempat untuk mengambilnya. Kerana keadaan peribadinya menghalanginya untuk membolehkannya benar benar aktif ke kuliah seperti mahasiswa Al-Azhar pada umumnya. Kesibukan hariannya membuat tempe dan memasarkannya nyaris menyita hampir sebahagian waktunya di Cairo. Apalagi jika ada order membuat bakso atau satay ayam dari bapak bapak atau ibu ibu KBRI hampir ia tidak dapat menyentuh buku, termasuk buku muqarrar yang semestinya ia sentuh. Kecuali Al-Qur'an, dalam sesibuk apapun tetap merasa perlu menyentuhnya, membacanya meskipun cuma setengah halaman, lalu menciumnya dengan penuh rasa ta'zim dan kecintaan. Ia merasa, dalam perjuangan beratnya di negeri orang, Al-Qur'an adalah pelipur dan penguat jiwa.

Sampai di depan tingkap tempat penjualan muqarrar, ia mendongak. Sang penjaga sedang menulis sesuatu di atas kertas. Angka angka. Mungkin menghitung wang yang masuk bulan itu, serta membahagi hasilnya kepada para pensyarah penulis muqarrar. Ia nampak begitu serius sehingga tidak menyedari kehadirannya.

Assalamu'alaikum ya Ammu Shabir. Sapanya dengan nada nyaris sama dengan nada orang Mesir asli. Ia sangat kenal nama penjaga itu, meskipun mungkin sang penjaga tidak mengenalinya.

Wa'alaikumussalam. lahzdhah. Ammu Shabir menjawab tanpa melihat ke arah datangnya suara.

Ia tahu Ammu Shabir, penjaga buku muqarrar sedang serius, tidak boleh diganggu. Ia menunggu sambil melihat lihat beberapa buah buku yang dipamer di daun tingkap tempat penjualan muqarrar. Yang dipamir biasanya buku bnuku terbaru karya pensyarah pensyarah Al-Azhar University atau buku penting yang diulang cetak. Ia perhatikan buku buku baru itu dengan teliti.

Prof. Dr. Abdul Muhdi Abdul Qadir Abdul Hadi, Guru Besar Hadith Fakulti Ushuluddin mengeluarkan buku baru yang sangat menarik, Ahaditsu Mu'jizatir Rasul, terdiri atas dua juz, dicetak oleh Mathba'ah Al-Madani, kulit sampul bukunya cukup sedap dipandang. Buku yang disebut sebut juga sebagai salah seorang murid Syeikh Nashiruddin Al-Albani ini termasuk yang banyak diminati. Kepakarannya di dalam bidang sanad dan diiringi kematangannya dalam fiqhul hadits-lah yang membuat karya karyanya dianggap sangat bermutu.

Dalam hal fiqhul hadits bahkan banyak yang berpendapat bahawa beliau lebih matang dibandingkan dengan gurunya, Syeikh Nashiruddin Al-Albani sekalipun. Prof. Dr. Thal'at Muhammad Afifi Salim, Guru Besar Fakulti Dakwah, menulis buku baru berjudul : 'Akhlaqut Du'at Ilallah, An Nadhariyyah wat Tathbiq.' Buku itu berwarna biru tua. Judulnya ditulis dengan warna kuning keemasan. Diterbitkan oleh Maktab Al-Iman, penerbit yang bermarkas di belakang kampus Al-Azhar, di sebuah lorong sempit, dikenal dengan harganya yang selalu murah dari yang lain.

Sementara Sang Maestro Ilmu Tafsir Universiti Al-Azhar, Prof. Dr. Ibrahim Khalifah mengeluarkan buku 'Ad Dakhil fit Tafsir', diterbitkan oleh Fakulti Ushuluddin. Buku tersebut bersampul putih bersih tanpa hiasan apa pun. Buku maestro tafsir ini, meskipun tanpa hiasan dan reka bentuk sampul yang memikat, tetap menunjukkan kelasnya. Nama Ibrahim Khalifah adalah jaminan kualiti.

Prof. Dr. Hamid Zaqzuq, Ketua Jabatan Falsafah, lulusan Muenchen University, Jerman, yang dikenali pakar Orientalis menerbitkan kembali bukunya berjudul 'Al-Istisyraq wal Khalfiyyah Al-Fikriyyah LishShira' Al-Hadhari', diterbitkan oleh Dar El Manar, penerbit yang bermarkas di samping Masjid Sayyidina Husein.

Ia memandang buku buku itu dengan mata berkaca kaca. Ingin sekali rasanya memiliki buku buku baru itu, lalu membacanya dengan penuh tumpuan seperti tahun pertama hidup di Mesir dulu. Tahun pertama yang indah. saat ia dapat menggunakan waktunya untuk belajar, boleh melampiaskan obsesinya membaca buku sebanyak banyaknya.

Dulu, waktu ia tidak harus membanting tulang dan memerah keringat dan otak untuk mempertahankan hidupnya dan adik adiknya di Indonesia. Ia hanya berdoa, semoga kesempatan untuk belajar dan membaca dengan serius itu datang lagi, suatu hari nanti. Dan semoga waktu yang ia jalani selama di bumi Kinanah ini tetap diberkahi ole Dzat yang mengatur hidup ini.

"Na'am ya Andonesia, Enta 'ais eh?" Suara penjaga mengganggu keasyikannya melihat buku buku yang terpamir di daun tingkap tempat penjualan muqarrar.

"Mugarrar Tafsir Tahlili juz dua, jurusan tafsir, tahun empat." Ia menjelaskan spesifikasi buku muqarrar yang ia maksudkan.

"Mana juz pertamanya, kamu bawa?" Ia membuka beg galasnya, dan mengeluarkan buku berwarna biru muda.

"Ini."

Sang penjaga lalu membuka halaman paling akhir. Ia mencoret stempel bertuliskan 'masih ada juz kedua' dengan pen berwarna merah. Kemudian mengambil sebuah buku yang juga berwarna biru muda.

"Tafaddhal, kudz dza ya Andonesi."

Ia merima dua buah buku yang dihulurkan oleh penjaga, dan memeriksa sebentar. Tidak perlu membayar lagi, sebab ia telah membayarnya ketika membeli juz satu.

"Syukran ya Ammu."

"Afwan."

Lalu ia melangkah menaiki anak tangga di depan pintu masuk. Di sana ia mendapati pengumuman ditulis dengan marker warna hitam dan biru. Pengumuman sidang terbuka ujian disertai doktor seorang mahasiswa jurusan hadith dari Syria. Ia baca pengumuman itu dengan teliti. Matanya berkaca kaca. Ia tidak sanggup membayangkan, mungkinkah suatu saat nanti namanya ditulis dalam sebuah pengumuman seperti itu. Pengumuman yang membanggakan, untuk diri sendiri dan bangsa. Pengumuman yang dibaca oleh mahasiswa dari pelbagai penjuru dunia. Ia hanya boleh mengharap, kemudian pasrah pada takdir. Boleh lulus Sarjana Muda tahun ini saja sudah alhamdulillah.

Dulu di awal tahun masuk Al-Azhar, ia mungkin adalah seorang mahasiswa Indonesia yang paling banyak idea. Setelah namanya tercatat sebagai mahasiswa Al-Azhar, Fakulti Ushuluddin, dan apabila ia terima kad mahasiswa, seketika itu ia isytiharkan sebuah cita cita :

AKU TIDAK AKAN PULANG KE INDONESIA SEBELUM MENDAPAT GELARAN DOKTOR. DAN AKAN AKU BUKTIKAN PRESTASI TERBAIK SEBAGAO DOKTOR TERCEPAT DI AL-AZHAR!

Waktu itu ia terus teringat nama nama besar kelulusan Fakulti Ushuluddin, Universiti Al-Azhar. nama nama yang sangat terkenal di dunia Islam, iaitu; Syeikh Abdul Halim Mahmud, Syeikh Muhammad Ghazali, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi, Syeikh Abdullah Darraz, Prof. Dr. M. Al-Azami, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim, Prof. Dr. Hamid Zaqzuq, Prof. Dr. Abdul Muhdi, dan sebagainya. Sementara dari Indonesia ada nama yang sangat terkenal, iaitu Prof. Dr. M. Quraish Shibab dan Prof. Dr. Roem Rowi. Mereka berdua adalah dari Fakulti Ushuluddin Al- Azhar University.

Ia masih ingat, dulu, di atas meja belajarnya ia menulis semboyan yang membuatnya selalu bersemangat, semboyan yang selalu membuatnya merasa optimis. AKU HARUS MENGUKIR SEJARAH! Ia lalu menulis nama nama besar itu dan di barisan paling akhir, ia menulis namanya sendiri; Prof. Dr. Khairul Azzam, M.A. Ia tidak prnah mempedulikan beberapa respon yang negatif dri teman temannya atas sikapnya itu. Baginya itu adalah sebahagian dari stateginya untuk menjaga semangat belajar dan mengejar cita citanya.

Ia tersenyum sendiri mengingat itu semua. Kini semuanya jadi kenangan manis. Ia sangat sedar, betapa jauhnya ia saat ini dari cita citanya. Semuanya telah berubah. Ia tidak boleh lagi menumpukan seratus peratus pada kuliah. Saat ini tumpuannya lebih banyak tercurah bagaimana mencari wang untuk hidupnya sendiri di Cairo, juga terus menanggung hidup adik adiknya di Indonesia. Ia lebih banyak pergi ke Pasar Sayyeda Zaenab untuk membeli bahan asas nenbuat tempe dan bakso daripada ke kampus untuk menghadiri kuliah dan mendengar huraian ilmiah para pensyarah yang seseungguhnya sangat sangat ia cinatai.

Tidak terasa matanya berkaca kaca. Dengan cepat ia mengesat airmatanya yang mahu keluar. Kenapa ia harus menitiskan air mata. Apa yang harus ditangisinya. Ia terus tersedar, kejayaan sejati tidaklah semata mata hanya dapat diraih dengan meraih gelaran Professor Doktor. dan kebahagiaan sejati tidak harus berupa nama besar yang disebut di mana mana. Ia harus tahu siapa dirinya dan seperti apakah keadaan dirinya agar tidak menzalimi dirinya sendiri.

Lalu ia masuk ke gedung Fakulti Ushuluddin. Beberapa mahasiswa lalu lalang. Ada yang turun dari tingkat atas, ada yang mahu naik ke atas. Ada yang baru dari bahagian kemahasiswaan, dan ada yang bergegas keluar mahu pulang. Ketika ia mahu naik ke tingkat satu, sekonyog konyong ia mendengar seseorang memanggil nama terkenalnya di kalangan mahasiswa Indonesia di Cairo.

"Kang Insinyur!"

Ia menoleh ke arah datangnya suara. Seseorang melangkah ke arahnya sambil tersenyum. Ia pun tersenyu,. Ia tidak pernah protes dipanggil 'Kang Insinyur', atau 'Kang Ir.', terkadang ada juga yang membahasa arabkan jadi 'Kang Muhandis'. Tapi oarang orang serumahnya biasa memanggil 'Kang Azzam'.

Pada mulanya panggilan insinyur adalah panggilan gurauan dari teman teman satu angkatan, kerana kepintarannya membuat tempe dan bakso. Mereka menyebutnya insinyur tempe bakso, seringkali disingkatkan Ir. tempe atau Ir. Bakso. Lama lama tinggal insinyur. Tempe dan baksonya tidka ada. Dan setiap kali ada sesuatu majlis, dia selalu dikenalkan dengan nama 'Kang Insinyur Khairul' atau 'kang Insinyur Irul'.

Sekarang panggilan insinyur jadi kebanggaan sekaligus hiburan baginya. Seringkali ia mendapat undangan dari organisasi kekeluargaan dan di sana tertulis : Yth. Kang Ir. H. Khairul Azzam. Siapa tidak bangga tanpa sekali difakulti teknik sudah dapat gelaran Ir. alias Insinyur.

Apapun kata orang tentang dirinya, selama ia merasa dirinya tidak berbuat yang dilarang Allah, ia tidak pernah peduli. Dalam hal ini ia selalu dimotivasi oleh perkataan Pythagoras, seorang ahli falsafah dan ahli matematik Yunani yang hidup 580 - 500 S.M. Pythagoras pernah berkata :

'Tetaplah puas melakukan perbuatan yang baik. Dan biarkanlah orang lain membicarakan dirimu sesuka hati mereka'.

"Hei, kami ke Mif, piye kabarmu?"

"Alhamdulillah, baik baik saja Kang." Kedua duanya lalu berjabat tangan.

"Tumben kuliah Kang?"

"Tidak kuliah kok Mif. Ini baru datang. Ambil muqarrar. Terus mahu menemui si Khaled, anak Mesir yang satu kelas denganku. Mahu minta tahdid. Aku berjanji dengannya di mushalla.

"Kang, ada berita menarik?"

"Apa dia? Malam nanti ada Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi di Darul Munasabat Masjid Utsman bin Affan, Heliopolis. Kalau mahu datang, solat Maghrib di sana. Tempat terbatas. Kamu kan pengkagum habis Yusuf Al-Qaradhawi."

"Tidak tahu lagi ya Mif, boleh datang atau tidak malam nanti."

"Sayang la Kang, kalau tidak datang. Apa lagi selain Syeikh Yusul Al-Qaradhawi, ada Prof. Dr. Murad Wilfred Hofmann, Mantan Dubes Jerman untuk Maroko yang masuk Islam dan kini menjadi pembela Islam di Eropah. Temanya tentang Umat Islam dan Tatanan Dunia Baru."

"Wis, doakan saja boleh datang Mif, eh itu yang kamu pegang apa Mif, tashdiq ya?"

"Iya Kang, ini tinggal minta dishop."

"Cari Tashdiq untuk apaMif? Mahu umrah?"

"Bukang Kang. Ini untuk memperpanjangkan visa. Bulan depan habis."

"Oh, kiranya mahu pergi umrah lagi. Kalau umrah lagi kan boleh kirim."

"Doakan Kang, habis ujian nanti saya mahu umrah insya Allah."

"Masih boleh kirim kan?"

"Sama Miftah beres deh Kang. Saya jalan dulu Kang, mahu mengechop ini. Nanti segara tutup bahagian chop. Ketemu di Heliopolis malam nanti Kang."

"Semoga. Salam untuk teman teman di Darmalak ya Mif."

"Insya' Allah, Kang.

Ia mengiringi langkah Miftah dengan senyum. Miftah, empat tahun yang lalu , dia yang menjemput di Bandara. Dia juga yang membimbingnya empat bulan pertama hidup di Mesir. Setelah itu pindah ke Darmalak bersama abang abang kelasnya dari Pesantren Maslakhul Huda, Pati.

Kini Miftah sudah di tahun akhir sama dengan dirinya. Selama ini hubungannya dengan teman teman dari Pati di Darmalak ibarat seperti saudara. Miftah sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Hanya saja kesibukannya membuat tempe sekaligus memasarkannya ke pelbagai tempat di Kota Cairo, membuatnya tidak punya banyak waktu untuk bersilaturrahim.

Ia sendiri mengakui, bahawa silaturrahimnya ke Darmalak seringkali dilakukannya apabila ada teman Darmalak yang mahu pergi umrah atau haji. Atau saat ada yang datang dari umrah atau haji. Ia seringkali mengirim dibelikan ragi di Tanah Suci. Di Mesir, ia telah mencari ke sana kemari, tidak ada yang menjual ragi yang merupakan bahan utama untuk membuat tempe.

Selain ragi, ia juga biasanya mengirim kicap dan sos yang sangat penting baginya dalam menyajikan baksonya ketika dipesan orang orang KBRI. Kicap juga tidak boleh ia tinggalkan ketika membuat sata ayam. Dan ia tidak boleh menggunakan sembarangan kicap. Kicap Cap Jempol buatan Boyolali yang ia anggap paling sesuai untuk racikan bahannya. Dan kicap Cap Jempol itu tidak boleh ia dapatkan di Mesir. Kicap itu boleh didapatkan dari kedai Asia, dekat Pasar Seng di Makkah. Teman teman yang pergi umrah atau hajilah yang menjadi penolongnya dalam mendapatkan kicap Cap Jempol itu. Biasanya sebagai ucapan terima kasih dia akan membawakan beberapa lembar temper untuk mereka.

Di Cairo, tempe termasuk makanan istimewa bagi mahasiswa Indonesia. Sama istimewanya dengan daging ayam. Bahkan jika disuruh memi;ih antara telur dan tempe, banyak mahasiswa Indonesia yang lebih memilih tempe.

Ia terus melangkah menuju ke surau. Ada yang menyesak dalam dada. Khabar adanya ceramah Dr. Yusuf Al-Qaradhawi yang datang dari Qattar bersama Dr. Murad Wilfred Hofmann di Heliopolis memaksakan keinginannya untuk hadir, tapi ia merasa itu amat sukar. Ulu hatinya seperti tersusuk paku. Pedih dan ngilu. Ia harus bersabar dengan pekerjaan rutinnya menghantar tempe ke beberapa tempat. Masakin Utsman, Abbas Aqqad, dan Hay El Thamin. Paling sepat selesai jam sembilan malam. Ia tidak mungkin mengejar ke Heliopolis.

Matanya kembali berkaca kaca. Ada yang terasa menyesak dalam dada. Sebenarnya ia sangat ingin bertemu terus dengan Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Ulama moderat keluaran Al-Azhar yang sangat brilliant pemikiran pemikirannya. Ia juga sangat ingin bertemu Prof. Dr. Murad Wilfred Hofmann. Bukunya berjudul Islam fil Alfiyyah Ats Tsalitsah atau Islam di Millineum. Ketiga, yang sempat ia baca dua puluh lima halaman sahaja itu sangat mengesan di hatinya. Dan ia harus rela menelan rasa pahit. Keinginannya yang sesungguhnya sangat besar itu harus ia simpan rapat rapat di dalam satu ruang mimpinya.

Itu bukan rasa pahit yang pertama ia rasakan. Telah berkali kali ia merasakan hal seperti itu. Ia hanya berharap semoga suatu hari kelak, Allah memberikan gantinya. Jika pun ia harus pulang ke Tanah Air nanti dengan bekalan yang cukup cukupan, kerana hari harinya lebih banyak ia habiskan dengan usaha berjualan tempe, bakso dan sate daripda membaca kitab, menghadiri kuliah, seminar dan diskusi. Ia berharap yang cukup cukupan, yang sedikit itu barkah dan bermanafaat. Harapan itulah yang menghiburkan hatinya.

Ia terus melangkahkan kakinya menuju mushalla fakulti. Ia berharap semoga Kgaled, mahasiswa Mesir itu masih berada du mushalla. Biasanya majasiswa berwajah putih bersih dari Desa Sunhur yang terletak antara Kota El Faiyum dan Danau Qarun itu memuraja'ah hafalan Qurannya di mushalla. Setiap hari habis solat Zohor. Ia rapat dengannya sejak berkenalan dengannya di dalam majlis i'tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan di Masjid Ar-Ridhwan, Hayyu Tsabe tahun lalu. Sudah beberapa kali Khaled mengunjungi flatnya dan sudah dua kali ia diajak Khaled ke desanya sekaligus melihat Danau Quran yang letaknya hanya beberapa kilometer dari desabya. Tempat yang kini wujudnya danau itu diyakini sebagai tempat ditenggelamkannya seluruh harta Qarun ke dalam bumi oleh Allah kerana Qarun mengingkari nikmat Allah. Danau itu kini menjadi salah satu tempat pelancongan yang cukup terkenal di Mesir.

Ia terus nelangkah. Mushalla ada di depan mata. Tiga mahasiswa dari Rusia keluar dari mushalla. Seorang mahasiswa dari Rusia keluar dari mushalla. Seorang mahasiswa berkulit hitam sedang menanggalkan kasutnya. Masih ada jamaah yang sedang solat. Ia masuk dengan tenang. Hatinya senang ketika matanya menangkap sosok berjalabiyah putih dan berkopiah putih duduk di salah satu sudut mushalla menghadap kiblat. Matanya terpejam dan mulutnya terkumat kamit melantunkan ayat ayat suci Al-Qur'an dengan irama cepat. Ia mendekat. Benar dugaannya. Sosok itu adalah Khaled.

Ia meletakkan beg, dan duduk di sbelah Khaled. Punggungnya ia rebahkan ke dinding surau. Kedua kakinya ia lunjurkan. Ia menarik nafas perlahan. Memejamkan mata. Lalu larut khusyuk mendengarkan bacaan ayat ayat suci Al-Qur'an. Bacaan yang cepat, fasih dan sedap didengar. Tidak keras juga tidak lirih. Ia menyemak dengan sepenuh hati. Kesejukan yang tiada terkira. Kesejukan yang melebihi embun pagi musim bunga.

Sepuluh minit kemudian bacaan ayat ayat Ilahi itu berhenti. Ia membuka mata dan menyapa :

"Assalamu'alaikum ya Akhi." Khaled menoleh ke arahnya. Sedikit terkejut.

"Wa'alaikumussalam wa rahmatullah. Masya Allah, Akhi Azzam, sudah lama?"

Khaled selalu menyambutnya mesra dan selalu memanggilnya dengan sebutan akhi di depan namanya Azzam. Itulah nama yang ia kenalkan pada Khaled saat pertama kali kenalan tiga tahun yang lalu. Setiap kali Khaled memanggil namanya, ia merasakan ada keakraban yang kuat terjaga.

"Ada sedikit waktu untuk berbincang, Akhi Khaled?"

"Tentu, denga senang hati. Seluruh waktuku untukmu. Akhi."

"Boleh dijelaskan tahdid yang telah ada. Mana mana muhim, muhim jiddan, makhdzuf, dan mana yang qira'ah faqad?"

"Dengan senang hati, ya Siddi."

Khaled lalu membuka buku catatannya, dan menjelaskan kepada Azzam tahdid semua mata kuliah yang telah ia dapatkan selama mengikuti kuliah. Ia menjelaskan satu persatu dengan sempurna dan sabar. Ia juga memberi kesempatan kepada Azzam untuk bertanya. Dan semua pertanyaan itu, ia jawab dengan panjang lebar, sampai Azzam merasa puas.

"Ada hal lain yang boleh saya bantu ya Syeikh Azzam?"

"Cukup, insya' Allah. Jangan ambil hati kalau saya tanya ini itu."

"Ana fi khidmatik ya Siddi."

"Jazaakallah khairan."

"Sekarang giliran saya. Sebenarnya sejak dua hari yang lalu aku mencarimu untuk suatu urusan. Boleh kan saya menyampaikan sesuatu padamu?"

"Dengan senang hati jika ada yang boleh saya bantu."

"Masih ingat kunjunganmu ke kampungku dua bulan yang lalu?"

"Ya. Kunjungan yang menyenangkan. Kampung yang mententeramkan. Dan sambutan yang hangat dan penuh persaudaraan. Saya sangat terkesan. Jazakumullah khaira."

"Ingat ketika engkau ku bawa ke rumah Syeikh Abbas."

"Yang Imam masjid itu?"

"Tepat."

"Ingat waktu kita dijamu di runahnya."

"Masya Allah, jamuan yang tidak akan pernah saya lupakan. Keluarga yang ramah dan sangat berpendidikan."

"Ingat seseorang yang menyajikan makanan dan minuman."

"Isteri Syeikh Abbas dan seorang perempuan berpurdah."

"Kau tahu siapa perempuan berpurdah itu?"

"Mungkin puteri beliau."

"Tepat."

"Ada apa dengan puteri beliau?"

"Begini, saudaraku.

Belum sempat Khaled menjelaskan lebih lanjut, seorang mahasiswa Mesir memakai jubah seragam khas Al-Azhar memanggil Khaled dari pintu mushalla :

"Ya Khaled, sur'ah!"

"Ada apa?"

"Doktor Yahya memanggilmu di ruang kerjanya. Kau harus ke sana sekarang. Penting!"

"Sekarang?"

"Ya cepat. Beliau tergesa gesa mahu ada urusan!"

"Mmm. Baik."

Khaled memasukkan buku yang tadi dibacanya ke dalam beg. Lalu berkata perlahan : "Akhi Azzam, afwan, saya tinggal dulu. Kita lanjutkan pembicaraan kita di lain kesempatan ya."

"Oh ya baik. Salam buat Dr. Yahya."

"Insya' Allah."

Khaled bergegas keluar. Sementara Azzam, ia terperuk di mushalla dengan sebahagian hati didera penasaran; apa sebenarnya yang akan dibicarakan Khaled tentang puteri bongsu Syeikh Abbas itu? Sementara sebahagiab hatinya yang lain telah mengembara di Pasar Sayyeda Zainab. Ya, ia harus ke sana untuk membeli bahan utama membuat tempe dan bakso. Ia harus ke sana jika ingin tetap hidup dan menyelesaikan kuliah di Cairo.


******

Penterjemahan :


1. Mustasyfa - hospital
2. Dufah - tentera wajib
3. Lahzdhah - sebentar
4. Ammu - pakcik
5. Obsesi - fikiran yang selalu mengganggu ingatan yang sukar sekali dihilangkan dari kenangan atau ingatan
6. Na'am ya Andonesi, Enta 'ais eh? - orang Indonesia, apa yang kau inginkan
7. Tafaddhal, kudz dza ya Andonesi - silakan, ambil ini hai orang Indonesia
8. Syukran ya ammu - terima kasih, pakcik
9. Piye kabarmu? - apa khabar
10. Darul Munasabat - gedung serba guna
11. Muraja'ah - mengulang kaji hafalan Al-Qur'an agar tidak lupa
12. Siddi - Tuanku
13. Ana fi khidmatik ya Siddi - saya selalu siap membantumu, Tuanku
14. Jazaakallah khairan - semoga Allah membalas (kebaikanmu) dengan kebaikan
15. Sur'ah - cepat