Saturday, March 27, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (4) Cerita Furqan

Fuyoooooooooooo lame aku tak menyemakkan blog aku nie dgn bab seterusnya dlm KCB. Aku tak punya waktu pun iye... mate aku nie tak mengizinkan pun... memainkan peranan besar gak. Sejak kena sakit mate ari tu... aku dah tak blh nk tgk skrin komp. lame2... Siksa weii bola mate aku nie... blurrr satu hal... sakit menangkap ke kapla satu hal...Secara tiba2... baru aku tersedar... mungkin Yang Maha Esa telah mengambil sedikit dari kenikmatan yang aku kecapi selama ini... Aku cuba congak & hitung dlm diam... eeee takutnya... apesal mcm uncang dosa tu lbh berat dari pahala?????

Ahhh korang lupakanlah tanda soal tu sementara... kita tanya diri kita masing2 bila dok sorang2 k....


Kepada yang masih setia mengikuti & tertunggu2 akan kisah KCB selanjutnya... hayatilah gelora seterusnya. Terima kasih na.. kerna sudi melawat blog aku yg tak sepertinya ini...
Layannnn


BERULANG kali Eliana menelefon bilik Azzam. tidak ada yang menjawab. Ia ingin membuat perhitungan dengan Azzam. Kata kata Azzam malam tadi, ia anggap sangat memandang rendah terhadapnya. Ia sangat tersinggung. Apalagi malam tadi pemuda kurus itu memutuskan pembicaraan dengannya secara sebelah pihak. Siapakah dia yang berani berlaku tidak sopan terhadapnya? Baginya tindakan Azzam itu tidak hanya tidak sopan, tapi sangat menghinanya. Ia memang orang yang mudah beremosi jika ada sedikit saja hal yang tidak berkenan dengan hatinya.

Eliana mundar mandir di lobby hotel. Ia memperhatikan dengan teliti orang orang yang duduk dan lalu lalang di situ. Ia menanti Azzam untuk diserangnya. Ia hendak memarahinya seperti ia memarahi pembantu pembantunya yang melakukan sesuatu yang membuatnya marah.

Pagi itu suasana hotel sudah terasa sangat panas bagi Eliana. Ia menanyakan keberadaan Azzam kepada semua orang Indonesia. Para mahasiswa, rombongan Penari Saman, para staf KBRI, bahkan ayahnya sendiri. Semua menjawab tidak tahu pasti. Ada yang menjawab mungkin sedang jalan jalan di Pasar El Manshiya. Ada yang menjawab mungkin sedang mencari sesuatu di Abu Qir. Ada yang menjawab mungkin sedang ziarah ke Masjid Nabi Daniyal. Ada yang menjawab mungkin sedang berenang di pantai. Semua jawapan tidak ada yang memuaskannya. Ia ingin segera bertemu dengan pemuda yang tidak tahu dihargai itu. Ia ingin segera menumpahkan segala kemarahannya. Ia ingin segera melumatnya jika boleh.

Sementara Azzam dan Pak Ali berjalan santai menelusuri pantai. Azzam membuka sandalnya dan membiarkan kakinya yang tidak beralas ity menginjak pasir pantai yang lembut.

"Pak Ali." Sapa Azzam perlahan.

"Ya, Mas."

"Pak Ali sudah lapar?"

"Mahu sarapan di hotel?"

"Entah kenapa ya Mas. Aku sudah bosan sangat sarapan di hotel."

"Saya juga Pak Ali. Kalau begitu kita cari tha'miyah bil baidh di luar hotel jom?"

"Jom."

Mereka terus berjalan mencari kedai tha'miyah, kedai yang menjual makanan khas Mesir yang terdekat. Ketika mereka melintas jalan raya menuju ke kedai itu, seseorang memanggil manggil nama mereka. Mereka berpaling ke arah suara itu. Ternyata si Romi. Mahasiswa asal Madura yang dipercayai membuat dan menjaga gerai Satay Madura. Anak asal Pamekasan itu berjalan dengan setengah berlari ke arah mereka. Tubuh kurusnya dibalut baju hitam dan seluar panjang hitam. Tangan kanannya membawa beg plastik hitam.

"Ada apa Mi?" sapa Azzam setelah jaraknya dengan Romi tidak terlalu jauh.

"Anu, anu Mas Khairul. Kami dicari cari oleh Mbak Eliana sejak dari tadi. Kelihatannya dia sedang marah. Baik kamu segera ke lobby hotel. Jika tidak ke sana segera, aku risau dia semakin marah. Dan jika dia marah, celakalah kita semua. Cepat cepatlah kamu minta maaf?"

"Minta maaf atas apa, Mi?"

"Ya, tidak tahu. Yang penting minta maaf. Mungkin dia tersinggung kerana sesuatu yang tidak kamu sedari. Apa sih beratnya minta maaf? Jangan sampai kemarahannya bertempias pada bisnes kita."

"Biar betul Mi, kenapa kamu berfikir terlalu jauh. Kenapa kamu takut sekali rezeki kamu terancam oleh kemarahan seorang seperti Eliana. Lagipun dia marah padaku. Kenapa kamu yang takut?"

"Bukan begitu Mas Khairul. Saya hanya tidak mahu ambil risiko. saya tidak mahu susah. Marahnya orang kaya sering membuat susah kepada orang miskin.Marahnya orang atasan sering membuat susahrakyat. Eliana kalau memberitahu ayahnya kan boleh membuat kita susah. Bukan begitu Pak Ali?" Jelas Romi sambil memandang Pak Ali. Pak Ali hanya menyahut ringan: "Itu urusan kalian."

Azzam memandang Pak Ali. Wajah Pak Ali tetap seperti asal, tidak ada perubahan. Lalu sambil menepuk bahu Romi, Azzam menenangkannya.

"Jangan berfikir yang bukan bukan. Tenanglah, tidak akan terjadi apa apa. Aku akan segera temui Eliana."

Romi hanya diam saja.

"Kau mahu ke mana, Mi? Kau ke mari hanya untuk menemui kami atau ada keperluan lain?" Tanya Azzam mengalihkan pembicaraan.

"Aku mahu berenang di pantai. Terakhir sebelum pulang."

"Bawa baju tak?"

"Bawa. Ini." Jawab Romi sambil mengangkat beg plastiknya.

"Kenapa sendirian? Tidak mengajak kawan yang lain?"

"Ya, yang lain tak ada yang mahu ikut. Katanya sudah bosan. Ya sudah, aku berangkat sendiri saja. Atau kau mahu menemani?"

"Aduh, aku masih ada banyak hal yang harus aku selesaikan. Ya, sudah. Hati hati."

"Ya."

Azzam dan Pak Alu meneruskan perjalanan ke kedai tha'miyah. Romi semakin mendekati pantai. Udara belum terasa hangat lagi. Orang yang berenang di pantai boleh dihitung dengan jari. Saat itu belum ramai pengunjung yang datang. Sebab masih ada sisa sisa musim dingin. Pantai itu akan menjadi sangat ramai ketika cuti musim panas akan datang.

"Mas Khairul. Saya sarankan kau berdamai saja dengan puterinya Pak Dubes itu. Tidak payah cari penyakit. Aku tidak tahu masalahmu dengannya. Tapi damai adalah hal yang disukai oleh fitrah umat manusia di mana saja", saran Pak Ali.

Azzam lalu menjelaskan kejadian malam tadi setelah pulang dari El Muntazah. Tentang telefon dari Eliana. Tentang hadiah istimewa berupa ciuman khas Perancis. Tentang jawapannya. Tentang pemutusan pembicaraan secara sebelah pihak darinya. Pak Ali mendengarkan sambil berjalan.

"Ada saranan tambahan Pak ALi?" Tanya Azzam sambil menyamakan langkahnya dengan langkah Pak Ali yang agak lambat.

"Sarananku. Sebaiknya kau minta maaf. Lalu jelaskan dengan betul dan baik baik kenapa menolak ciuman itu. Tidak usah dihadapi dengan emosi. Api bertemu api akan semakin panas. Emosi lebih banyak merugikan daripada menguntungkan."

"Aku sangat yakin dia sangat marah Pak. Terus bagaimana cara meredakannya?"

"Senang. Hati wanita mudah diluluhkan. Belikan dia hadiah kejutan. Dia akan merasa senang. Rasa senang dapat meredakan amarah. Sebab amarah itu datang biasanya kerana rasa tidak senang."

"Sebaiknya hadiahnya apa, ya Pak?"

"Apa saja yang boleh didapati pagi ini. Tidak harus mahal."

"Pak Ali punya cadangan, mahu beli barang apa?"

Pak Ali mengerutkan dahi sesaat. Tiba tiba wajahnya seperti bersinar.

"Ya, ini saja. Belikan saja makanan khas Mesir kesukaannya. Ia mudah didapati pagi ini dan murah."

"Kalau dia sudah makan pagi bagaimana? Apa tidak jadi membazir?"

"Percayalah, dia belum makan pagi. Orang kalau sedang marah malas makan. Dia akan makan kalau marahnya mulai reda. Percayalah, dia belum makan pagi. Dan percayalah, dia juga sudah bosan dengan menu hotel."

"Apa makanan kesukaannya Pak?"

"Habasy takanat"

"Biar betul, Pak? Takkan gadis selangsing dia suka habasy takanat?"

"Ya. Habasy takanat itu tidak otomatik membuat badan menjadi gemuk. Menjadi kenyang, iya. Tapi jadi gemuk belum tentu."

"Ayuh Pak, kalau begitu kita segera beli."

Mereka berdua mempercepatkan langkah. Sampai di kedai yang dituju, mereka memesan empat tha'miyah bil baidh untuk dimakan di situ dan dua habasy takanat untuk dibungkus. Pemilik kedai itu adalah orang Mesir gemuk dengan janggut hampir menutupi setengah wajahnya. Kebengisan wajahnya sirna oleh senyum dan keramahannya. Azzam senang dengan keramahan itu. Sebab tidak sedikit pemilik kedai tha'miyah yang tidak ramah. Ia masih ingat dengan pemilik kedai tha'miyah di kawasan Hay El Ashir Cairo yang sangat tidak ramah. Tidak pernah senyum. Ia pernah tidak dipedulikan. Benar benar tidak dipedulikan. Pemilik itu melayani semua orang Mesir, tapi seolah olah tidak melihat keberadaannya. Ia sama sekali tidak dianggap ada. Ia sendiri tidak tahu, apa sebabnya.

Azzam memakan tha'miyah bil baidh dengan lahap. Pak Ali juga. Setelah kenyang mereka menuju hotel. Di tengah jalan pak Ali menghentikan langkahnya dan berkata :

"Mas, Habasy takanatnya biar saya saja yang memberikan. Kalau sudah dia makan, saya akan mengatakan itu hadiah darimu. Kau jalan jalan saja dulu. Kira kira satu jam. Setelah itu kau boleh datang. Dan insya'Allah, semua akan damai dan aman."

"Wah, idea yang bagus itu Pak", sahut Azzam berbinar . Ia lalu menyerahkan bungkusan berisi habasy takanat itu kepada Pak Ali. Pak Ali tersenyum. Lalu berjalan ke hotel. Sementara Azza, terus naik Eltramco ke Pasar El Manshiya. Ia ingin membeli buah tangan untuk teman teman serumahnya.

Sebaik saja melangkah masuk ke hotel, Pak Ali terus ditanya oleh Eliana seolah olah Eliana sudah lama menantinya.

"Pak Ali ke mana saja? Nampak tak tukang masak yang kurus itu atau tidak?" Nadanya tidak lembut seperti biasanya.

"Saya dari jalan jalan menghirup udara pantai. Biar segar. Tukang masak kurus itu yang Mbak Eliana maksud siapa? Si Romi?"

"Bukan si Romi. Itu si Khairul."

"Kalau si Romi saya tahu. Dia sedang berenang di pantai. Kalau Khairul sekarang, secara pastinya saya tidak tahu. Tadi ni, saya bertemu dengannya di tengah jalan. Dia naik Eltramco ke El Manshiya."

Eliana mendengus. Wajah yang biasanya putih cemerlang itu nampak merah padam. Ia lalu duduk di sofa. Tidak jauh darinya dua remaja puteri Mesir sedang berbincang bincang dengan rancaknya. Sesekali terdengar suara gelak dari mereka. Pak Ali duduk di depan Eliana.

"Eh ngomong ngomong, Mbak Eliana sudah sarapan pagi?" Tanya Pak Ali.

"Belum Pak. Tak ada selera. Apalagi menu hotel. Sudah bosan sekali rasanya."

Pak Ali tersenyum, lalu berkata: "Kalau habasy takanat mahu?"

Mendengar tawaran Pak Ali, wajah Eliana sedikit cerah.

"Wah, itu boleh Pak. Sebenarnya saya sudah lapar. Jom kita keluar cari habasy takanat Pak Ali, ayuh?"

"Tidak usah keluar. Ini saya sudah bawakan. Tadi saya baru saja makan tha'miyah bil baidh. Ini saya bawa untuk Mbak Eliana", jawab Pak Ali sambil menyerahkan bungkusan dalam plastik hitam berisi habasy takanat.

"Wah, terima kasih banyak Pak ya. Wah, enaknya kalau terus dimakan saja ni. Pak temani saya ke restoran. Biar ini saya makan di sana sambil minum teh panas."

Mereka berdua lalu masuk le Lourantos Restaurant. Desain interior restoran itu memadukan Arab dan Eropah. Menu yang dihidangkan pagi itu adalah menu Arab dan Itali. Tapi habasy takanat tidak ditemukan di situ. Eliana menyantap habasy takanat dengan lahap dan penuh semangat. Selesai menyantap makanan khas Mesir itu, lalu Eliana menghirup teh panasnya yang kental. Gadis itu kelihatan begitu menikmati makan paginya. Dan Pak Ali melihatnya dengan hati lega.

"Ada apa sih Mbak, kok mencari Mas Insinyur Khairul? Kelihatannya ada urusan penting ya?"

"Ya. Aku sedang marah padanya."

"Kenapa?"

"Dia berani menghinaku malam tadi."

"Ah, yang benar saja Mbak. Saya sama sekali tidak percaya anak itu berani menghina kamu."

"Pak Ali percaya atau tidak percaya, itu tidak penting."

"Bukan begitu nak Eliana. Saya khuatir Mbak Eliana salah faham. Sebab waktu bertemu saya tadi, Khairul justeru memperlihatkan hal yang sebaliknya pada saya. Khairul begitu prihatin sama kamu. Tadi saya dan Mas Khairul juga bertemu Romi. Romi beritahu Mbak Eliana marah besar pada Khairul. Khairul malah tersenyum saja. Lalu Khairul mengirimkan pada saya habasy takanat ini pada Mbak."

"Apa!? Jadi bukan Pak Ali yang membelikannya untuk saya?"

"Bukan. Yang membelikan itu adalah Khairul. Yang membawanya ke mari adalah saya."

"Pak Ali, Pak Ali kenapa tidak beritahu dari tadi. Aduh, aduh aduh! Saya ingat ini dari Pak Ali."

"Saya tadikan sudah beritahu, ini saya bawa habasy takanat. Yang membelikan adalah Khairul. Dikirimkan pada saya."

"Kenapa tidak dia sendiri yang memberikan pada saya!?" Tanya Eliana tajam.

"Saya tidak tahu Mbak Eliana. Kelihatannya dia tergesa gesa. Dia kata mahu beli barang barang di pasar. Tidak ada waktu lagi katanya. Yang penting ini menunjukkan bahawa Mas Khairul sendiri tidak merasa mempunyai masalah dengan Mbak Eliana. Kalau dia merasa mempunyai masalah, bagaimana mungkin mahu membelikan habasy takanat, makanan kesukaan kamu. Justeru kelihatannya dia sangat menghormati kamu. Dan ingin membuat kamu merasa senang."

Eliana diam. Kata kata pak Ali menusuk ke dalam hatinya. Menyejukkan panas amarahnya. tapi ia belum boleh tenang sepenuhnya. Amarahnya belum mahu juga sirna seluruhnya.

"Tapi malam tadi dia berkata masar di telefon pada saya Pak. Dia juga memutuskan pembicaraan seenaknya saja! Apakah itu tidak dikatakan menghina Pak Ali!?"

Pak Ali tersenyum.

"Mungkin saat itu Mas Khairul sedang penat. Letih. Orang kalau letih, fikirannya tidak akan jernih. Cubalah ingat, kelmarin ia kerja sejak pagi sampai malam."

Penjelasan Pak Ali semakin meluluhkan hatinya.

"Semestinya Mbak Eliana harus berterima kasih pada Mas Khairul. Enam hari ini tenaga dan waktunya, ia surahkan untuk membantu Mbak Eliana. Bahkan dalam keadaan sangat letih, dia masih mahu membakarkan ikan untuk membantu Mbak Eliana. Dan pagi ini, dia mengirim sesuatu yang sangat kamu suka. Semestinya kamu berterima kasih sama dia. Saya dengar orang Barat yang terdidik itu mudah mengucapkan terima kasih pada orang yang membantunya", sambung Pak Ali.

Amarah Eliana perlahan mereda. Ruang di hatinya yang asalnya berisi amarah yang meluap luap pada Azzam, perlahan lahan berubah diisi rasa kasihan. Ia menyesal kerans telah beremosi dan marah, sementara orang yang akan dimarahinya sedemikian tulus padanya. Diam diam menyusup ke dalam dadanya rasa malu pada dirinya sendiri. Ia menye dari apa yang disampaikan Pak Ali ada benarnya. Penjual tempe yang pandai masak itu memang sudah banyak membantunya.

"Pak Ali. Nanti kalau bertemu dengan Mas Khairul sampaikan terima kasih saya ya atas habasy takanatnya. Saya mahu mandi dan berkemas kemas". kata Eliana dengan wajah lebih ceria.

"Insya'Allah, tapi kalau sampaikan sendiri tentunya lebih baik", jawab Pak Ali dengan senyum mengembang.

"Ya. Nanti kalau bertemu dia", tukas Eliana sambil bangkit dari duduknya.


***

Di sebuah kedai buku di El Manshiya, Azzam bertemu dengan Furqan. Setelah berpelukan, Furqan mengajak Azzam menemaninya makan roti
kibdah di sebelah sebuah masjid tua sambil berbincang bincang. Azzam menuruti ajakan teman lamanya itu dengan senang.

"Saya ini sedang bingung menentukan pilihan", kata Furqan sambil mengunyah roti
kibdahnya.

"Pilihan apa?" Sahut Azzam tenang. Matanya memandang ke arah seorang datuk berjubah kelabu yang menjual tasbih dan kopiah putih. Datuk itu duduk termenung. Matanya memandang ke arah jalan. Azzam berusaha mereka reka apa yang ada dalam fikiran datuk itu saat itu.

"Bingung memilih dua gadis yang sama sama memiliki kelebihan untuk aku nikahi." Jawab Furqan membuat Azzam terus mengalihkan pandangannya dari datuk berjubah kelabu itu ke wajah Furqan yang masih asyik dengan roti
kibdahnya.

"Ceritanya bagaimana?" Tanya Azzam dengan nada serius.

Furqan menghentikan makannya. Ia meneguk air putih untuk membasahi tekaknya. lalu memandang Azzam dengan tepat.

"Aku akan cerita. Tapi janji jangan kau bocorkan kepada siapa siapa.
Masyi!"

"
Masyi>."

"Begini. Aku saat ini sedang dikejar Eliana Puteri Pak Dubes itu."

Dikejar Eliana? Ah yang benar Fur!?" Azzam terkejut mendengar penuturan sahabatnya itu.

"Benar. Aku tidak bohong. Kau tahu sendirilah Rul. Eliana itu bukan mahasiswi Al-Azhar yang sangat menjaga. Ia lulusan Perancis. Ia telah berbicara terus terang padaku. Malam tadi dia menanyakan lagi jawapanku. Aku belum jawab. Eliana aku lihat sudahberusaha adil dan jujur. Ia telah menceritakan semua hubungannya dengan teman lelakinya yang telah gagal. Ia pernah bertukar ganti teman lelaki sebanyak lima kali. Sekali waktu di SMA. Empat kali waktu di Perancis. Dua teman lelakinya yang terakhir adalah orang Mat Salih. Eliana menyedari bahawa ia sama sekali tidak sepadan dengan mereka. Ia ingin hidup yang lurus lurus saja. Dia katakan bahawa ingin memiliki suami yang dapat membimbingnya. Jujur saja Rul. Aku tertarik padanya. Aku tertarik tidak semata mata kerana kecantikan wajahnya. Tapi aku tertarik kerana potensi yang ada dalam dirinya yang jika diarahkan pada jalan yang benar boleh membawa manfaat bagi umat."

"Potensi itu misalnya apa, Fur?"

"Kau tahu sendiri kepiawaiannya menulis dalam bahasa Inggeris dan Perancis. Pesona keartisan dirinya. Dia bercerita akan berlakon dalam sebuah filem garapan sutradara Mesir. Dan ia juga sudah ditawarkan berlakon filem di Indonesia. Tidak lama lagi dia akan menjadi seorang artis Rul. Dan kau bayangkan jika artis itu boleh memberikan teladan yang baik. Maka masyarakat yang mengkaguminya akan meniru kebaikannya. Jika keartisannya nanti digunakan untuk berdakwah, apa tidak dasyat Rul."

"Kalau yang terjadi sebaliknya bagaimana? Misalnya ia jadi artis terus gaya hidupnya yang kebaratan sebagai mana artis pada umumnya bagaimana? Apakah kau sudah benar benar tahu siapa Eliana?"

Furqan terdiam sesaat. Ia lalu berkata: "Aku melihat kesungguhan Eliana untuk menjadi seorang yang baik. Itu yang meyakinkan aku. Dan akan baik jika dibimbing oleh yang mampu membimbingnya."

"Habis tu, apa yang kau bingungkan? Kelihatannya kau sudah mantap begitu."

"Masalahnya aku sudah terlanjur melamar seseorang. Dia mahasiswi Al-Azhar. Tapi sampai sekarang dia belum memberi jawapan. Aku bingung. Kalau aku hendak batalkan lamaranku dan aku memilih Eliana yang sudah jelas mengejarku, aku takut dianggap lelaki tiada pendirian. Aku takut dianggap memainkan ank orang. Tapi kalau aku menunggu terlalu lama, aku takut akhirnya lamaranku itu ditolak, dan aku risau Eliana juga sudah berubah fikiran. Aku bingung Rul."

"Macam tu pun kau dah bingung. Percayalah padaku, tidak ada mahasiswi Cairo yang akan menolak lamaranmu kecuali mahasiswi itu sudah punya calon, ia sudah dilamar orang. Siapa yang menolak lamaran pemuda tampan, cerdas, kaya dan kelulusan master di Cairo university? Siapa? Hanya gadis tolol yang menolaknya. yang cerdas itu, ya Eliana. Dia mengejar kamu kerana dia cerdas. Aku yakin Eliana sudah tahu reputasi kamu dengan baik. Maka percayalah mahasiswi yang kau lamar itu pasti tidak akan menolakmu. Kalau begitu sebenarnya kau sudah memutuskan apa yang harus kau putuskan."

"Kau tidak dahu siapa mahasiswi itu."

"Memamngnya dia itu siapa?" Furqan ragu ragu untuk menjawab. Akhirnya dia tidak mahu berterus terang.

"Ah, sudahlah kalau itu rahsia. Tidak elok aku menyebutnya", lirihnya.

"Ya sudah. Kalau begitu, ya Istikharah saja."

"Ya, insya' Allah. Kau ada nasihat untukku?"

Azzam tersenyum.

"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu, dan ambillah yang tidak meragukan bagimu."

"Terima kasih. Jom kita ke hotel. Guna teksi saja. Biar aku yang bayar."

Sebelum pergi, terlebih dahulu Furqan membayar roti kibdah yang dibawanya. Cerita Furqan semakin mengukuhkan hati Azzam bahawa ia tidak boleh mengharapkan Eliana. Boleh jadi Eliana akan menjadi isteri sahabatnya itu. Ia tidak mahu mengarag apa yang kelihatannya diarah juga oleh sahabatnya. Namun ia masih ragu ragu apakah orang seperti Eliana boleh diajak untuk berdakwah dan berkomitmen menjalankan ajaran agama dengan baik. Apakah orang seperti Eliana tidak akan melihat aturan aturan agama sebagai dogma yang membatasi kebebasannya sebagai manusia? Apa reaksi Furqan jika Eliana hendak memberi hadiah ciuman khas Perancis padanya? Ia hanya boleh berharap bahawa sahabatnya itu akan ditunjukkan yang terbaik oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab tidak ada yang baik di dunia ini kecuali datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Buat rujukan yg nak menambah2 ilmu bahasa Arab ye :

1. Tha'miyah bil baidh - masakan khas Mesir, berbentuk sandwich isinya antara lain sayur, kentang goreng dan telur rebus yang dihancurkan bersama isi lainnya.
2. Habasy takanat - makanan mirip tha'miyah bil baidh, hanya isinya lebih bermacam macam sehingga bahagiannya lebih besar.
3. Roti kibdah - termasuk makanan khas Mesir berbentuk roti panjang, diisi hati lembu.
4. Masyi - setuju.



Friday, March 5, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (3) Bidadari Dari Darul Qur'an


AZZAM bangun sepuluh minit sebelum azan Subuh berkumandang. Ia masih punya kesempatan buang hajat dan gosok gigi. Setelah itu ia mengambil air wudhu'. Ia teringat belum solat Witir. Ia sempatkan untuk Witir tiga rakaat. Selesai solat, ia sempatkan untuk menyebut nyebut ibu dan adik adiknya dalam munajat.

Azan Subuh berkumandang. Ia bangkit membuka langsir biliknya. Jalan utama Kota Alexandria masih lengang. Hanya satu dua buah kereta yang berjalan. Kabut tipis nampak rata menyelimuti gedung gedung. Kaca jendela sedikit mengembun. Udara di luar bererti dingin. Alexandria memang sedang memasuki peralihan musim. Peralihan dari musim dingin ke musim menuai. Sisa sisa musim dingin masih terasa. Waktu subuh tiba, udara masih menyengatkan hawa dinginnya. Dalam keadaan seperti itu, melingkarkan tubuh di tempat tidur dengan kehangatan selimut tebal terasa sangat nyaman. Lebih nyaman daripada bangkit menuju masjid.

Hayya 'alash shalaah.
Hayya 'alash shalaah.
Hayya 'alah falaah.
Hayya 'alah falaah.
Ash shalaatu khairun minan nauum.
Ash shalaatu khairun minan nauum.

Suara azan bergema, memantul dari gedung ke gedung. Menyusup masuk ke rumah rumah menggugah jiwa jiwa yang lelap. Suara itu nyaring bagai burung camar, terbang ke tengah laut. Dan mencumbui laut dengan mesra. Solat itu lebih baik dari tidur. Solat itu lebih baik dari tidur.

Allahu akbar.
Allahu akbar.
Laa ilaaha illallah.

Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam. Menyapa pasir pasir di pantai. Menyapa kerikil kerikil. Menyapa tar. Menyapa pohon pohon kurma. Menyapa embun embun. Menyapa ombak yang berdesir. Menyapa gelombang yang naik turun. Menyapa kabut yang lembut. Menyapa udara. Menyapa alam semesta. Menyapa apa saja. Semuanya menjawab. Semuanya solat. Semuanya menyucikan dan mengagungkan asma' Allah. Semuanya bertakbir kecuali yang tetap tidur.

Seolah mengiringi takbir alam di pagi itu, bibir Azzam bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan tenang ia melangkahkan kedua kakinya meninggalkan hotel yang masih lengang. Sampai di masjid ia mendapati Pak Ali yang sedang sujud di saf depan. Azzam solat Tahiyatul Masjid. Lalu solat Qabliyyah Subuh. Sambil menunggu imam berdiri di mihrabnya ia mengulan ngulang membaca doa Nabi Yunus. Doa itulah yang telah menyelamatkan Nabi Yunus dari kegelapan di perut ikan. Doa yang mampu menurunkan kasih-sayang Tuhan. Doa yang mampu mendatangkan keajaiban keajaiban. Doa yang ni'mat dilantunkan dan terasa sejuk di hati dan fikiran.

Laa ilaaha illa anta.
Subhanaka inni kuntu minadzdzaalimiin.

Orang orang Mesir berdatangan. Ada dua puluh orang. Seorang lelaki separuh umur dengan janggut yang telah memutih sebahagian menuju ke depan. Solat Subuh didirikan. Sang imam membaca surah An.Najm. Azzam larut dalam penghayatan. Orang Mesir yang solat di sebelah kanannya menangis kesenggukan. Bacaan sang imam memang menyentuh perasaan. Apalagi orang Mesir biasanya faham makna ayat ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan.

Azzam sendiri hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca sang imam. Hati dan fikirannya terlarut dalam tadabbur yang dalam. Ia merasakan seolah olah Tuhan yang menurunkan Al-Qur'an mengkhabarkan kepadanya bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menerima wahyu yang diturunkan.

Demi bintang ketika terbenam.
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
Dan tiadalah yang ia ucapkan itu (Al-Qur'an) menurut
kemahuan hawa nafsunya.

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).

Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) itu menampakkan
diri dengan rupa yang asli. (An-Najm: 1-6)


Ia seolah olah turut berada di zaman kenabian. Seolah olah ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Shallalahu'alaihi wasallam menerima ayat ayat suci Al-Qur'an. Seolah olah ia mendengar suara Jibril membacakan Al-Qur'an, sampai Rasulullah Shallalahu'alaihi wasallam hafal tanpa keraguan. Seolah olah ia mendengar bagaimana Rasulullah Shallalahu'alaihi wasallam mengajarkan Al-Qur'an kepada sahabat sahabatnya yang selalu haus hikmah dan ilmu pengetahuan.

Ayat demi ayat dibaca sang imam. Orang Mesir sebelah kanannya terus meangangguk anggukkan kepalanya. Fikiran dan hatinya masih larut dalam tadabbur dan penghayatan. Surah An-Najm membuatnya menggigil ketika menghuraikan untuk apa Islam diturunkan. Demi kebahagiaan manusia dan alam semesta, Islam diturunkan. Tuhan menurunkannya dengan segenap rasa cinta dan kasih sayangNya. Tidak ada sedikit pun Tuhan memiliki keinginan mengambil keuntungan dari makhlukNya. Allah yang menggenggam langit dan bumi serta isinya sama sekali tidak memerlukan makhluk makhlukNya. Justeru makhluk makhlukNyalah yang memerlukan Allah, Tuhan Yang Maha Kaya dan Maha Penyayang. Allah memberi kebebasan seluas luasnya kepada makhluk makhlukNya untuk memilih berbuat baik atau kejahatan. Semua ada balasannya masing masing. Adil. Tidak ada kezaliman. Setiap orang menuai apa yang ia tanam.

Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereke kerjakan. Dan memberi balasan kepada orang orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik. (An-Najm : 31)


******

Sambil menyenandungkan zikir pagi, Azzam berjalan di atas pasir yang lembut. Ia berjalan di samping Pak Ali. Hari masih sangat pagi. Pantai Cleopatra masih sepi. Udara berkabut tipis. Desau angin laut yang berhembus terasa membelai dengan lembut relung relung jiwa. Kedamaian yang hampir sempurna. Tiga orang gadis Mesir dengan lari lari kecil melintasi mereka berdua. Sambil berlari mereka bergurau bahagia. Tubuh mereke tertutup rapat dengan seluar sukan panjang dan baju lengan panjang. Yang dua menutup kepala dengan tudung Turki. Sedangkan yang satu lagi membiarkan rambutnya terurai diterpa angin ke sana ke mari. Salah seorang di antara mereka memandang ke belakang. Sekilas Azzam menatap wajahnya. Putih bersih khas Mesir. Gadis itu terus menarik wajahnya dan tertawa sambil terus berlari bersama dua temannya. Meskipun cuma melihat sekilas gadis Mesir itu tak kalah mempersonanya dibandingkan dengan Eliana.

"Cantik ya Mas?" Suara Pak Ali menyedarkan Azzam bahawa ia bukan sedang berjalan sendirian.

"Siapa Pak yang cantik?" Sahut Azzam.

"Ya gadis Mesir itu, yang memandang dan menatap kamu."

"Kalau gadis Mesir, ya jangan ditanyalah Pak. Katanya kalau ada gadis Mesir tiga, maka yang cantik enam", jawab Azzam santai.

"Kok begitu. Tiga orang kok, yang cantik enam."

"Bayangnya juga cantik."

"Wah, kau ada ada saja."

"Saya kan cuma beritahu katanya tho Pak. Katanyakan boleh benar, boleh tidak."

"Ngomong ngomong cantik mana gadis tadi sama anaknya Pak Dubes, Eliana."

Azzam terhenyak, ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Pak Ali. Entah mengapa ia sebenarnya tidak ingin berbicara tentang Eliana. Sudah terlalu sering Eliana dijadikan topik pembicaraan di kalangan mahasiswa, putera mahupun puteri, juga di kalangan masyarakat Indonesia. Baik di dalam mahupun di luar KBRI. Azzam sudah bosan, apalagi jika teringat kejadian malam tadi. Ia sama sekali sudah tidak tertarik dengan Eliana.

"Apa tidak ada topik lain Pak, selain Eliana? Pagi pagi begini sudah membahas pasal Eliana. Eliana lagi, Eliana lagi."

Pak Ali tersenyum mendengar jawapan Azzam.

"Aku ingin menceritakan hal penting padamu. Untuk kebaikanmu."

"Tentang Eliana?"

"Boleh dikatakan tentang Eliana, boleh juga dikatakan tidak."

"Mendengar nama Eliana saja saya sudah bosan Pak."

"Ah, yang benar?"

"Benar Pak, sungguh."

"Mas, bapak ini sudah makan garam lebih darimu. Bapak tidak boleh kau bohongi. Jujur saja, bapak sudah memperhatikanmu sejak empat hari ini. Dan bapak melihat kamu itu sebenarnya sangat mengkagumi Puteri Pak Dubes itu. Bahkan bapak berani menyimpulkan kamu itu sebenarnya suka sama dia."

"Bererti bapak salah menganalisis dan salah menyimpulkan!"

"Itu tak penting. Yang penting bapak ingin memberi saranan kepadamu. Ini serius, sebaiknya orang seperti kamu jangan sekali jatuh cinta sama sekali dengan Eliana, dan orang seperti kamu jangan sekali kali memimpikan isteri model macam Eliana. Itu saja!"

Seketika Azzam menghentikan langkahnya. Kerana ada larangan dalam saranan Pak Ali ia menjadi terhenyak penasaran. Seperti Nabi Adam ketika dilarang makan buah Khuldi malah jadi penasaran. Dan begitulah manusia jika mendapat larangan seringkali reaksi yang pertama kali timbul adalah justeru penasaran ingin tahu. Ada apa dilarang? Kenapa dilarang?

"Memangnya kenapa Pak Ali?"

Pak Ali tersenyum mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Azzam.

"Sudahku duga, pasti pertanyaan itu yang akan terus keluar, kau pasti penasaran kenapa aku sarankan sebaiknya jangan memimpikan isteri model seperti Eliana, alasan utamanya adalah agar kau tidak sengsara, tidak hidup sia sia. Agar kau bahagia! Aku melihat kau sangat tidak sesuai jika mempunyai isteri gadis model macam Eliana. Ya, dia cantik dan cerdas. Juga kaya. Anak orang kenamaan. Tapi kebahagiaan rumah tangga tidak cukup hanya dengan memiliki isteri yang cantik, cerdas, kaya dan terhormat. Tidak. Akhir akhir ini Eliana memang jadi buah mulut. Termasuk di kalangan mahasiswa Al-Azhar. Baik putera mahupun puteri. Tidak sedikit yang aku lihat sangat tertarik pada Eliana. Meskipun mereka tahu bagaimana cara berpakaiannya yang terkadang tidak kalah beraninya dengan artis Hollywood. Yang aku hairan, bagaimana mungkin ada mahasiswa Al-Azhar tertarik dengan gadis model itu. Mana Al-Qur'an dan Hadith yang telah kalian pelajari? Dan aku lihat kamu sendiri sebenarnya terpikat dengan kecantikan Eliana. Aku dapat melihat dari bahasa tubuhmu, pandangan matamu, dan getar suaramu. Kau boleh saja mengatakan bosan mendengar namanya. Tapi aku lebih tua darimu."

"Tapi Eliana itu kalau pakai tudung seperti ketika menjadi pengerusi peringatan tahun baru hijriyah nampak anggun dan cantikkan Pak?"

"Ya, boleh dikatakan begitu kok mengingkari kalau tertarik pada Eliana. Ya, Nicole Kidman kalau pakai tudung juga cantik. Eliana juga. Tapi kalau di kelab malam tidak kalah dengan penari gelek. Kau mahu punya isteri seperti itu?"

"Pak, jangan membuka aib orang, jangan memfitnah orang dong!"

Pak Ali malah tersenyum.

"Kalau aku mengatakan si Tiara, mahasiswi Al-Azhar yang biasa mengajar Al-Qur'an di Masjid SIC itu tatkala di kelab malam tak kalah dengan penari perut barulah aku dikatakan memfitnah dia. Lah, orang seperti Eliana sendiri bangga cerita ke mana mana. Bahkan ia sudah cerita di website peribadinya. Ayahnya yang jadi Dubes itu juga bangga. Bahkan ia pernah meminta puterinya menunjukkan kebolehannya di hadapan diplomat diplomat asing. Sampai ada seorang sutradara Mesir yang akan memintanya ikut berlakon filem. Kalau kemungkaran itu ditutu tutupi saya akan berusaha ikut menutupi. Ini kemungkarannya malah dipropagandakan, dibangga banggakan. Cuba kau renungkan, apakah ketika aku menasihati anak perempuanku agar tidak mencontohi Nicole Kidman yang sangat bangga tampil tanpa berpakaian di sebuah pertunjukan teater di Inggeris, aku katakan : "Jangan mengkagumi orang yang suka bermaksiat terang terangan itu!", apakah itu bererti aku memfitnah bintang Hollywood itu? Padahal berita perbuatan gilanya itu dimuatkan di akhbar akhbar dan internet di seluruh dunia."

"Kok saya tidak pernah tahu hal hal seperti itu Pak?"

"Sebaiknya memang kamu tidak tahu yang begitu begitu. Kalau tahu nanti jadi susah, kau tidak jadi buat tempe. Tidak juga jadi kuliah. Adik adikmu di Indonesia boleh kelaparan. Kerana fikiranmu ke mana mana. Aku hanya ingin mengingatkan padamu jangan mudah tertarik pada perempuan cantik. Di akhir zaman itu tidak sedikit perempuan yang cantik mempersona, namun sebenarnya adalah seorang pelacur. Na'udzubillaah!"

"Tapi perempuan cantik yang solehah, benar benar solehah dan menjaga kesuciannya banyak Pak."

Pak Ali kembali tersenyum.

"Ya, bapak percaya itu. Kerana itulah kamu harus benar benar matang dalam memilih isteri. Jangan asal cantik. Kebetulan bapak punya cerita tentang gadis yang cantik, solehah, mempersona dan cerda.s Kau mahu mendengarkan?"

"Wah, boleh Pak."

"Kalau begitu mari kita duduk di sana. Bapak akan cerita panjang lebar." Kata Pak Ali sambil menunjuk pembatas jalan di pinggir jalan yang boleh diduduki. Mereka berdua berjalan ke sana. Alexandaria semakin terang. Kabus mulai hilang perlahan lahan. Pantai mulai ramai. Jalan jalan sudah mulai dipenuhi kenderaan yang lalu lalang. Di kejauhan nampak Benteng Qaitbey berdiri di hujung tanjung. Gagah dan menawan. Mereka duduk menghadap laut yang bergelombang tenang. Azzam memandang ke arah kiri, ke arah benteng. Sementara Pak Ali memandang ke arah kanan.

"Kalau mereka itu, aku yakin wanita wanita solehah." Gumam Pak Ali sambil memandang Azzam, mengalihkan pandangan.

"Itu mana Pak?"

"Itu." Tunjuk Pak Ali ke arah rombongan gadis gadis bertudung. Dan cara mereka memakai tudung dan cara mereka berjalan menunjukkan mereka dari Asia. "Mereka anak anak Malaysia. Hampir semua yang kuliah di Al-Azhar Banat di sini adalah mahasiswi dari Malaysia. Indonesia boleh dikatakan tidak ada. Semua mahasiswinya berkumpul di Cairo," Pak Ali menjelaskan panjang lebar seolah olah Azzam bukan mahasiswa Al-Azhar. Azzam diam saja, tanpa dijelaskan pun ia sudah tahu. Ia sudah sembilan tahun tinggal di Mesir.

"Sudah Pak, tidak usah membahas mahasiswi Malaysia itu. Terus saja pada cerita yang ingin Pak Ali sampaikan tadi. Matahari sudah bersinar terang. Kita masih belum sarapan."

"Baiklah nak. Dengarkan baik baik ya. Ceritanya ada sangkut paut sedikit dengan hidupku."

"Namanya Pak Ahmad. Pak Ahmad memerlukan pembantu peribadi yang boleh berbahasa Inggeris. Dan ia meminta pada Pak Ustaz kalau ada di antara pelajarnya yang boleh diharapkan. Pak Ustaz menawarkan padaku. Aku menerimanya dengan harapan dapat ke Tanah Suci untuk menangis kepada Allah di depan Ka'bah."

"Aku pun berangkat ke Saudi. Teman Pak Ustaz yang membiayai tiketnya. Aku berkerja di Jeddah. Sangat seronok. Aku merasakan hidup tenang. Hubungan dengan Pak Ahmad juga sangat baik. Aku sudah dianggap saudara sendiri oleh keluarga Pak Ahmad. Aku berdoa di depan Ka'bah agar diberi pendamping hidup yang setia dan baik. Doa itu dikabulkan oleh Allah. Suatu pagi, ya pagi seperti ini, aku dipanggil Pak Ahmad. Pak Ahmad berkata: "Li, kamu mahu bernikah?"

Aku terkejut sekali. Memang itulah doaku setiap kali aku ada kesempatan berdoa di Multazam. "Mahu, Pak," jawabku.

"Tapi dia janda beranak dua. Tidak perawan. Bagaimana? Mahu?"

"Asal solehah mahu Pak."

"Dia solehah, insya Allah. Begini Li. Kalau kau mahu, kau harus pergi ke Mesir. Perempuan itu sekarang berada di Mesir. Suaminya telah meninggal setengah tahun yang lalu. Dua anaknya masih kecil kecil. Dan ia tetap ingin berada di Mesir sampai mempunyai bekalan yang mencukupi untuk menjalani hidup di Indonesia."

Aku terus bertanya: "Jadi saya nanti harus meninggalkan Jeddah dan tinggal di Mesir Pak?"

"Tidak apa apa. Kalau kau mahu, bererti kau telah menolong janda dan dua orang anaknya. Kalau ikhlas besar pahalanya. Dan kau di Mesir sana akan terus mendapat pekerjaan. Jangan risau."

"Apa pekerjaannya Pak?"

"Menggantikan pekerjaan almarhum suami janda itu. Iaitu cleanning service merangkap pemandu KBRI. Bagaimana Li, kamu mahu?"

Aku lalu menjawab: "Baiklah, bismillah saya mahu."

"Akhirnya aku bernikah dengan orang yang sekarang menjadi isteriku. Allah tidak hanya memberiku isteri solehah. Tapi Allah juga memberiku isteri yang cantik, penyabar, dan sangat memahami. Lebih dari itu Allah menganugerahiku dua orang anak yang sangat menyejukkan hati. Dua orang anak itu tidak pernah menganggap aku bukan ayahnya. Mereka tahu, ayah mereka adalah aku ini. Inilah jalan hidup yang diatur oleh Allah. Sebab sekian tahun aku berumahtangga tidak juga punya keturunan. Ternyata setelah menjalani pemeriksaan doktor, aku diberitahu tidak dapat mempunyai keturunan. Aku semakin sayang pada isteri dan anak anakku. Mereka pun semakin sayang padaku. Anakku yang pertama sekarang sedang belajar di Malaysia. Anak yang kedua kuliah di Fakulti Kedoktoran UNS Solo. Seperti yang kau ketahui, di sini aku hidup berdua bersama isteri. Sesekali kami yang menjenguk mereka atau mereka yang menjenguk kami. Kini aku sangat bahagia. Tahun depan aku dan isteri merancang untuk meninggalkan Mesir. Alhamdulillah, kami sudah mempunyai rumah di Solo Baru."

Pak Ali menghela nafas. Ada gurat kepuasan yang tergurat di wajahnya. Pak Ali membetulkan letak kaca matanya. Azzam merasa belum puas. Ia merasa belum mendapatkan apa yang dijanjikan Pak Ali.

"Cerita gadis cantik solehahnya mana Pak?"

Pak Ali tersenyum.

"Sabarlah nak. Gadis cantik saja yang kau fikir."

"Pak Ali tadikan beritahu mahu cerita tentang gadis cantik yang solehah. Sekarang ini sudah ke mana mana belum muncul muncul juga."

"Kau ini kok inginnya meloncat. Langsung ke intinya. Filem kalau langsung ke intinya tidak menarik. Novel kalau langsung kau baca intinya juga tidak menarik. Kau harus sabar membacanya. Baca mengikut urutan bab demi bab. Paragraf demi paragraf. Kata demi kata. Huruf demi huruf. Baru akan kau temukan keindahan rangkaian novel itu. Keutuhan cerita novel itu. Jangan lompat lompat. Jangan main potong langsung ke inti. Cerita tentang gadis solehah yang indah ini juga begitu. Ada rangkaian ceritanya yang tidak boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan ceritanya tidak utuh."

"Sudahlah Pak, ayoh dilanjutkan saja ceritanya. Jangan malah berceramah tentang novel pulak. Apa hubungannya. Macam sasterawan saja!"

"Lho, erat sekali hubungannya cerita dengan novel lho Mas. Begini..."

Azzam terus memotong.

"Dilanjut saja ceritanya Pak. Tentang sastera, hubungan cerita dengan novel, biar nanti saya baca sendiri saja di perpustakaan SIC. Dah nak siang Pak."

"Baiklah. Anakku yang kuliah di Malaysia itu lelaki, namanya Amir. Dulu selesai SPM (Sek. Men. Pertama) di SIC (Sek. Indonesia Cairo) terusku hantar ke Al-Munawwir Krapyak Jogja. Selesai Madrasah Aliyah terus dapat biasiswa ke Madinah. Sekarang mengambil M.A. di Malaysia. Dia belum berkahwin. Dia sendiri tidak tahu kisah sejarah masa laluku sebelum taubat. Dia hanya tahu aku adalah seorang ayah yang dulu pernah menuntut di Pesantren. Dan aku fikir dia tidak perlu tahu. Biar dia tahu yang baik baik saja. Nanti kalau dia mahu cari isteri, baru akan bapak beritahu."

"Bererti kira kira dia seusia dengan saya ya Pak."

"Lebih tua daripada kamu dua tahun. Aku lanjutkan ya. Sedangkan adiknya yang kini kuliah di Fakulti Kedoktoran UNS, sejak SMP sudahku letakkan di Pesantren."

"Di pesantren mana Pak?"

"Di pesantren tempat aku belajar dulu. Aku amanahkan pada Ustaz yang mengurusku selama setahun itu. Pak Ustaz itu namanya K.H. Luthfi Hakim. Nama pesantrennya, Daarul Qur'an. Terletak di Desa Wangen, Polanharjo."

"Oh ya, saya tahu Pak. Saya dulu pernak ke sana sekali. Itu kan letaknya dari Popongan terus ke Barat. Dekat dengan daerah Janti, Kiaten."

"Ya benar."

"Terus, apa hubungannya pesantren itu dengan cerita gadis cantik yang solehah itu? Apa yang Pak Ali maksudkan adalah anak gadis Pak Ali itu?" Azzam sudah tidak sabar. Ia merasa cerita Pak Ali melingkar lingkar tidak segera sampai kepada apa yang dimaksudkan.

"Tidak. Sama sekali tidak. Aku sudah tahu standard kecantikan yang kau pakai. Standard kamu adalah Eliana dan gadis gadis Mesir. Maka anak gadisku meskipun menurutku cantik, tapi jika standardnya dengan Eliana boleh dikatakan tidak cantik. Bersabarlah sedikit, sudah hampir sampai pada tujuan. Aku kembali ke alur cerita. Anak gadisku itu aku amanahkan kepada Pak Kiyai Luthfi. Beliau jaga dan beliau didik dengan baik. Pada saat yang sama Pak Kiyai Luthfi mempunyai anak gadis yang sangat cerdas. Dan sangat cantik. Sungguh sangat cantik. Kecantikannya ibarat permata maknun yang mengalahkan semua permata yang ada di dunia. Aku berani bertaruh kecantikannya dapat mengatasi Eliana. Ini menurutku lho. Sebab kecantikan seorang perempuan di mata lelaki itu benar. Dan untuk kecerdasannya aku berani bertaruh tidak banyak gadis seperti dia. Aku tahu sangat, sebab aku pernah belajar dengan ayahnya selama setahun. Jika Eliana boleh berbahasa Perancis dan Inggeris, maka Puteri Pak Ustaz Luthfi ini juga boleh berbahasa Arab, Inggeris dan Mandarin. Ketika menuntut di Madrasah Aliyah, dia pernah ikuti program pertukaran pelajar ke Wales, U.K. Dan apa kau tahu di mana dia sekarang?"

Azzam menggelengkan kepala.

"Dia sekarang ada di Cairo. Sedang melanjutkan M.A.nya di Kuliyyatul Banat, Al Azhar. Dia sedang mengajukan judul tesisnya."

"Sedang mengambil M.A.? Siapa namanya? Kenapa saya tidak pernah dengar ceritanya."

"Namanya Anna Althafunnisa."

"Anna Althafunnisa?"

"Baru kali ini saya dengar nama itu. Aneh sekali. Padahal orang orang di rumah saya semuanya aktivis. Tapi mereka tidak pernah menyebut nama itu ya?"

"Tidak banyak orang yang tahu. Sebab Anna Althafunnisa menyelesaikan B.A.nya bukan di Cairo. Tapi di Alexandaria sini. Ia lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswi Malaysia dari mahasiswi Indonesia. Dan Anna lebih memilih menutup diri dari kegiatan kegiatan yang bersifat glamour. Kalau kau sempat membaca majalah Al-Wa'yu Al-Islami, cubalah cari edisi bulan lalu. Ada artikelnya yang dimuatkan di sana. Dia memakai nama pena Anna Luthfi Hakim."

"Sekarang dia tinggal di Cairo?"

"Ya. Dialah gadis cantik dan solehah yang aku maksudkan. Dan saat ini ayahnya menginginkan dia segera bernikah. Aku fikir kamu lebih baik bernikah dengan orang yang sebaik Anna daripada dengan model Eliana. Kalau kamu mendapatan Anna, kamu telah mendapatkan syurga sebelum ke syurga. Percayalah padaku. Aku tahu betul kualiti Anna, ayahnya, dan keluarganya. Mereka dari golongan orang orang yang ikhlas. Saranan saya khitbahlah Anna Althafunnisa itu sebelum bidadari dari Pesantren Daarul Qur'an itu dikhitbah orang lain."

Hati Azzam berbunga bunga. Ada rasa sejuk yang tiba tiba menyelinap ke dalam dadanya. Namun ia tiba tiba diserang rasa ragu.

"Apakah saya layak melamarnya Pak? Apakah saya layak untuknya? Saya ini mengambil B.A. pun sudah sembilan tahun belum juga selesai. Dan apa prestasi saya? Apa yang boleh saya andalkan? Membuat tempe? Apakah ada ustadz yang mahu anaknya bernikah dengan penjual tempe?"

"Kenapa kamu jadi rendah diri begitu. Percayalah padaku, Pak Kiyai Luthfi itu tidak pernah memandang dunia. Dunia itu remeh bagi beliau. Datanglah, lamarlah. Belilah tiket, pulanglah ke Indonesia dan lamarlah bidadari itu!"

"Waduh, kalau kena pulang, berat Pak. Apakah tidak ada cara lain selain pulang?"

Pak Ali diam mengerutkan keningnya, sebentar kemudian, wajahnya cerah. Setengah berteriak ia menjawab: "Ada! Kau boleh melamar melalui Ustadz Mujab. Ustadz Mujab itu keluarga dekat Ustads Luthfi. Kau temui saja Ustadz Mujab dan sampaikan maksudmu untuk disampaikan kepada Ustadz Luthfi dan Anna. Insya' Allah semua akan mudah. Ustadz Mujab, kau kenalkan?"

"Wah, lebih dari kenal. Saya sangat rapat dengannya tapi yang membuat saya hairan, kenapa beliau sama sekali tidak pernah menyebut nama Anna Althafunnisa sama sekali ya?"

"Itulah mahalnya Anna Althafunnisa. Tidak sembarangan dibicarakan. Tidak sembarangan dikatakan. Bukankah permata yang sangat mahal itu jarang dipamirkan orang?"

"Pak Ali ada gambarnya?"

"Aduh, sayang sekali tidak ada. Tapi itu tidak penting. Terus saja kau lamar. Kalau setelah menyuntingnya kamu menyesal, akan aku serahkan leherku ini untuk kau pancung. Sungguh!"

Azzam tersenyum. Kata kata terakhir Pak Ali semakin membuatnya mantap sekaligus penasaran. Seperti apa Anna itu? Namun, ia merasa telah mendapat jawapan atas tekad yang ia ikrarkan sebelum tidur malam tadi. Tekad yang ia sertai dengan doa.

Ia yakin Anna adalah jawapan atas doanya yang ia bawa sampai tidur. Ia yakin bukanlah suatu kebetulan jika pagi itu Pak Ali akan bercerita tentang Anna Althafunnisa. Itu bukanlah kebetulan belaka. Sebab ia menyakini bahawa segala yang terjadi di alam semesta ini tidak ada yang kebetulan. Semuanya sudah ditulis takdirnya dan diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tekadnya telah bulat.

Setelah sampai di Cairo, ia akan datang ke rumah Ustadz Mujab. Datang untuk menanyakan gadis yang disebut sebut Pak Ali sebagai "Bidadari dari Pesantren Daarul Qur'an."

Ia akan menanyakan apakah gadis itu masih kosong belum dikhitbah orang? Apakah gadis itu boleh dipinangnya? Kalau ya, maka ia akan terus meminangnya. Saat itu juga kalau boleh. Tidak ada lagi keraguan dalam hatinya.

******

Apa agaknya yg dpat korang kutip dari 3 bab yg sempat aku paparkan ini??? Klu aku... pertama kali membacanya terasa bagai ada sesuatu yg menyusup halus dan amat perlahan dlm diri...