Wednesday, May 19, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (7) SMS Untuk Anna


Errmmm bab nie ada ckit boring a... meleret2... Apa2 pun anda punya nilaian sendiri... Teruskan membaca....

GADIS itu berjalan dengan hati berselimut cinta. Hatinya berbunga bunga. Siang itu, Cairo ia rasakan tidak seperti biasanya. Musim dingin yang sejuk, matahari yang ramah, serta senyum dari Professor Amani saat memberinya ucapan selamat dan doa barakah. Semua melukiskan suasana indah yang belum pernah ia rasakan sebelumya. Ia merasakan begitu dalam rahmat dan kasih sayang Allah kepadanya.

Ia berjalan dengan hati berselimut cinta. Kedua matanya basah oleh airmata haru dan bahagia. Itu bukan kali pertama ia menangis bahagia. Ia pernah beberapa kali menangis bahagia.

Dulu apabila kedua kakinya untuk pertama kalinya menginjak tanah Mesir, ia menangis. Juga saat berjaya lulus B.A., dua tahun yang lalu dengan pangkat mumtaz, atau summa cumlaude. Ialah mahasiswi dari Asia Tenggara pertama yang berjaya meraih prestasi ini. Ia juga menangis penuh rasa syukur ketika berjaya lulus ujian tahun kedua Pasca-Sarjana. Lulus setelah melalui ujian tulis dan ujian lisan yang berat. Dalam ujian lisan ia harus berhadapan dengan empat professor. Lulus juga dengan darjat mumtaz, sehingga ia berhak untuk mengajukan judul tesis. Saat itu ia merasakan betapa dekatnya Allah 'Azza wa Jalla. Betapa sangat sayang Allah kepadanya. Doa dan usaha kerasnya sentiasa diijabahi olehNya.

Dan hari ini, ia kembali menangis. Menangis bahagia. Hatinya dipenuhi keharuan luar biasa. Batinnya terus bertasbih dan bertahmid. Jiwanya mengalunkan gerimis. Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhanna Rabbiyal a'la wa bihamdih... ia bertasbih. Proposal tesisnya terus diterima tanpa menunggu waktu yang lama. Hanya satu bulan saja sejak proposal tesisnya itu ia ajukan ke Qism Diraasat 'Ulya.

Ia kembali menangis. Ia kembali teringat kata kata abahnya tercinta :

"Anakku, alangkah indah jika apa saja yang kau temui. Apa saja yang kau rasakan. Suka, duka, nikmat, musibah, marah, lega, kecewa, bahagia. yang pentingnya apa saja, anakku. Boleh kau hubungkan dengan akhirat, dengan hari akhir. Dengan begitu, hatimu akan sangat peka dan lembut. Selembut namamu. Dan tingkah lakumu juga akan tertib, setertib namamu!"

Wajah abahnya seperti di depan mata. Waktu itu ia binggung dengan maksud menghubungkan yang ditemui dan dirasakan dengan akhirat. Abah sepertinya tahu akan kebingungannya, maka abah terus menyambung :

"Begini anakku, jika suatu ketika kau dimurkai ibumu misalnya, carilah sebab kenapa kau dimurkai ibumu. Hayati perasaanmu saat itu, saat kau dimurkai. Ibumu murka kemungkinan besar kerana kau melakukan suatu kesalahan, yang kerana kesalahanmu itu ibumu murka. Dan saat kau dimurkai pasti kau merasakan kesedihan, bercampur ketakutan dan juga penyesalan atas kesalahanmu. Itulah yang kau temui dan kau rasakan, saat itu. Lalu hayati hal itu sungguh sungguh, dan hubungkan dengan akhirat. Bagaimana rasanya jika yang murka kepadamu adalah Allah. Murka atas perbuatan perbuatanmu yang membuatNya murka. Bagaimana perasaanmu saat itu. Mampukah kau menanggungnya. Jika yang murka adalah ibumu, kau boleh minta maaf. Kerana kau masih ada di dunia. Jika di akhirat bolehkah meminta maaf kepada Allah saat itu?"

Air matanya kembali menitis.

"Terima kasih, abah!" Lirihnya.

Kata kata abahnya itu memang sangat membekas dalam dirinya. Kata kata abah saat berusaha menghiburnya di kala ia dimurkai ibunya pada cuti tahun lalu. Ia dimurkai gara gara asyik membaca waktu diminta ibunya mengupaskan mangga anak saudaranya si Kecil Tiham, putera abang sulungnya. Saat itu ia hanya menjawab:

"Inggih, sekedap" dan ia masih menumpukan membaca buku yang baru ia beli dari Shopping Centre Jogja. Ia tidak memperhatikan pisau dan mangga yang diletakkan oleh Ibu di sebelah kanannya. Sementara ia terus asyik membaca, si kecil rupanya tidak sabar. Diam diam dia mengambil pisau dan berusaha mengupas sendiri. Akibatnya, jari si kecil terluka, darah mengalir dari jarinya dan perlu dibawa ke klinik. Ia dimarahi oleh ibunya habis habisan, buku yang ia baca dibakar oleh ibunya.

"Buku syaitan! Apa hidup hanya untuk membaca! Apa belajarmu bertahun tahun di Mesir masih kurang hah! Apa ilmu hanya ada dalam buku! Peka pada anak kecil, apa juga tidak perlu ilmu! Apa gunanya jadi sarjana, lulusan Al-Azhar kalau tidak peka dengan keadaan, kalau disuruh ibunya tidak segera menunaikannya!"

Saat itu ia benar benar sangat menyesal. Ia merasa begitu kerdil. Kesalahannya seolah tidak dapat ditebus, tidak termaafkan. Merasa menjadi orang paling berdosa di dunia. Ibu tidak pernah marah apabila ia membaca buku. Tapi waktu itu beliau sangat marah justeru kerana keasyikannya membaca buku.

Abah menghiburkannya. Itu baru ibu yang murka, bagaimana jika Allah yang murka? Dan hari berikutnya, ibu sudah tersenyum padanya, sudah melupakan semua kesalahannya. Si kecil Tiham seperti tidak merasakan sakit pada jarinya saat ia diajak main bongkar-susun bongkah kayu.

Dia terus berjalan. Kakinya melangkah menyeberangi jalan raya dan rel metro yang melintas di depan Kuliyyatul Banat. Sinar matahari begitu cerah dan bening, tidak seperti saat musim panas atau musim dingin. sesekali ia mengusap matanya yang sembab dengan sapu tangannya.

Sesungguhnya yang membuat dia menangis tidaklah semata mata rasa bahagia kerana proposal tesisnya diterima dalam waktu begitu singkatnya, sementara ada mahasiswi yang sudah dua kali mengajukan proposal tesis dan telah menunggu setahun tapi belum juga diterima. Namun yang membuatnya menangis, kerana ia teringat, bahawa yang dirasakannya barulah kebahagiaan duniawi, belum ukhrawi.

Begitu bahagianya ia, ketika jerih payahnya, kerja kerasnya memerah otak, tungkus-lumusnya ke perpustakaan Shalah Kamil dan IIIT Zamalek, membuka dan menganalisis ratusan rujukan, akhirnya membuahkan hasil yang melegakan jiwa. Begitu bahagianya hatinya saat diberi ucapan selamat oleh Professor Amani. Benarlah kata pepatah, siapa menanam, dia menuai.

Baru proposal tesis yang diterima, begitu bahagianya ia. Baru ucapan selamat dari professor Amani, begitu bangganya ia. Kalimat Guru Besar Ushul Fiqh yang sangat dicintai para mahasiswinya itu masih bergema dalam jiwanya:

"Selamat, anakku, semoga umurmu penuh barakah, ilmumu bermanafaat. Teruslah belajar dan belajar!" Air matanya kembali mengalir. Ia lalu berkata pada diri sendiri, "Lantas seperti apakah rasanya ketika nanti di hari akhir seseorang mengetahui amalnya diterima Allah. Ia menerima catatan amalnya dengan tangan kanan. Dan mendapatkan ucapan selamat dari Allah, dari Baginda Nabi, dari malaikat penjaga syurga, dan dari seluruh malaikat, para nabi dan orang orang soleh. Saat syurga menjadi tempat tinggal selama lamanya. Kebahagiaan semacam apakah yang dirasa?"

Ia melangkah. Matanya basah : "Rabbana taqabbal minna innaka antas sami'ul 'aliim. Tuhan terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui." Lirihnya dalam hati, sambil menghayati dengan sepenuh jiwa bahawa tiada prestasi yang lebih tinggi dan diterimanya amal soleh oleh Allah dan dibalas dengan keredhaanNya.

Ia terus melangkah menapaki laluan kaki lima di depan gedung Muraqib Al-Azhar, ke arah Abdul Rasul. Ia memandang ke kiri, memandang gedung Muraqib sekejap. Di gedung itulah dulu bekas bekasnya masuk Universiti Al-Azhar diproses. Di gedung itulah ia pertama kali kenal tempat beratur yang boleh tahan panjangnya di Mesir. Di gedung itu juga ia berkenalan dengan Wan Najibah Wan Ismail, mahasiswi dari Kedah, Malaysia yang kini menjadi salah seorang sahabat karibnya. Saat itu ia juga beratur untuk mendaftarkan diri masuk Al-Azhar.

Bagi mahasiswa dan pelajar Al-Azhar, gedung Muraqib atau nama rasminya Muragabatul Bu'uts Al-Islamiyyah pasti menyisakan kenangan tersendiri. Bagi yang dapat biasiswa maka mengurus biasiswanya juga tidak lepas dari Muraqib. Bahkan bagi yang tidak mendapatkan biasiswa dari Al-Azhar dan ingin mengajukan permohonan biasiswa ke lembaga lain, juga harus mendapatkan surat keterangan tidak menerima biasiswa dari Muraqib. seluruh lembaga pendidikan di dunia yang ingin menyamakan ijazah mereka dengan ijazah Al-Azhar, harus melalui proses di Muraqib.

"Pentingnya Muraqib bagi Al-Azhar lebih kurang sama seperti tangan bagi msnusia", begitu kata Zuleyka, seorang mahasiswi dari Turki, suatu kali kepadanya waktu bertemu di depan Muraqib. Mungkin ungkapan itu terlalu berlebihan. Namun memang Muraqib jadi bahagian pusat pentadbiran dan birokrasi yang sangat penting bagi Al-Azhar.

Apabila sampai di Tayaran Street, ia melihat jam tagannya. Empat minit lagi pukul sebelas. Ia ingin segera sampai di rumah, dan mengkhabarkan kebahagiannya kepada seluruh teman rumah. Nanti setelah solat Zohor dia akan ke Daarut Tauzi', membeli beberapa buah buku dan kitab. Ia belum pernah ke kedai buku yang satu itu. Pulang dari Daarut Tauzi' setelah Ashar. Dan si Zahraza, mahasiswi berasal dari Kedah yang serumah dengannya tidak usah susah susah masak. Setelah solat Maghrib, ia mahu mengajak orang satu rumah makan di Palace, restoran milik mahasiswi Thailand di kawasan Rab'ah El Adawea yang terkenal dengan Tom Yam dan nasi gorengnya.

Dan saat pulang dari Palace ia akan singgah ke rumah Laila, yang menjadi agen Malaysia Air Lines. Ia akan pesan tiket pulang ke Tanah Air dengan transit dua minggu di Kuala Lumpur. Kallau tidak, ia akan pesan pada laila melalui telefon saja. Ranncangannya ia hendak melakukan penelitian di Malaysia untuk bahan tesisnya. Maka ia merasa, sebaiknya ia berangkat minggu ini. Sebab Wan Aina, mahasiswa yang berasal dari Selangor yang tinggal serumah dengannya mahu pulang ke Malaysia minggu ini.

Puteri bungsu orang penting di Malaysia itu pulang hanya dua minggu untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Fikirnya, ia dapat bersama Wan Aina selama di Kuala Lumpur. Sehingga urusan penelitian untuk tesisnya tentang 'Insuran Syari'ah di Asia Tenggara' akan menjadi lebih mudah. Ia merancang hendak melakukan penyelidikan di Perpustakaan IIUM di Petaling Jaya, dan Perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia di Kajang. Dan kakak Wan Aina yang hendak bernikah adalah pensyarah di IIUM. Wan Aina sendiri berjanji akan menemaninya selama melakukan penyelidikan di Malaysia.

Itulah rancangannya yang telah tersusun dalam kepalanya saat ini. Yang paling penting ia harus segera pulang ke Tanah Air sambil melakukan penyelidikan serius untuk tesisnya. Ia ingin segera pulang untuk berbahagi rindu, cinta, dan rasa bahagia dengan abah dan ibundanya tercinta.

Ketika menyeberang Tayaran Street, hand phonenya berbunyi. Ada SMS masuk. Ia menghentikan langkah dan melihat layar hand phone, dari Kak Zulfa, isteri Ustadz Mujab, yang masih dapat digolongkan sepupu dengannya. Datok ayah Ustadz Mujab adalah juga datok abahnya. Jadi antara dirinya dan Ustadz Mujab masih erat pertalian darahnya. Ia buka mesej yang masuk:

'Ass. Wr. Wb. Dik Anna, bagaimana dengan Istikharahnya. Sdh ada kepastian? Td Ust. Furqan tlphone ke Ust. Mujab, katanya besok mahu dtg berkunjung. Mungkin mahu menanyakan hasilnya.'

Ia termenung sesaat, sesuatu yang hampir dia lupakan, kini ditanyakan kembali. Memang sudah tiga bulan yang lalu ia diberitahu kak Zulfa tentang keseriusan Furqan yang ingin mengkhitbahnya. Saat itu ia sedang menumpukan pada ujian, jadi ia anggap angin lalu. Apalagi Furqan bukan orang yang pertama mengutarakan keseriusan kepadanya. Ia telah menerimanya belasan kali. Baik yang melalui orang ketiga seperti Furqan, atau yang berterus terang dengannya, melalui telifon, sms, e-mail, surat mahupun yang disampaikan langsung face to face. Semuanya telah mampu ia selesaikan dengan baik.

Namun lamaran dari Furqan, Mantan Ketua Umum PPMI. dan candidate M.A. dari Cairo University, ia rasakan agak lain. Tidak mudah baginya untuk mengatakan 'tidak', seperti sebelum sebelumnya. Juga tidak mudah untuk mengatakan 'ya'.

Ia sama sekali tidak menemukan alasan untuk menolak. Namun juga belum mendapatkan kemantapan hati untuk menerimanya. Fikirannya masih terpaku pada tesisnya. Namun ia juga sedar bahawa waktu terus berjalan, dan usianya hampir seperempat abad. Memang sudah waktunya ia membina rumahtangga, menyempurnakan separuh agama.

Ia melangkah sambil memasukkan hand phone ke dalam beg birunya. Tudung putih yang menutupi sebahagian jubah biru lautnya berkibaran diterpa hembusan angin sejuk musim bunga. Ia mencuba menghadirkan bayangan wajah Furqan. Namun spontan ada yang menolak dari dalam jiwanya. Ia tersedar, dalam keni'matan, dalam kelapangan selalu ada ujian. Dalam setiap hembusan nafas dan aliran darah selalu ada syaitan yang ingib menyesatkan. Ia terus istighfar dan berta'awwudz. Ia juga sedar bahawa dirinya adalah manusia biasa yang punya nafsu, bukan malaikat suci yang tidak memiliki nafsu.

Yang pasti sunnah Nabi tetap harus diikuti, dan saat saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk Furqan. Ya, suaty saat nanti, bukan saat ini. Musim bunga kali ini ia tidak ingin diganggu sesiapa sahaja, termasuk apa saja yang berkenaan dengan Furqan.

******

Sementara itu di belahan lain Kota Cairo, nampak sebuah kereta sedan Fiat putih keluar dari halaman Fakulti Darul Ulum, Cairo University. Sedan itu melaju di SarwatStreet lalu belok ke kanan ke Gami'at El Qahirah Street, kemudian belok kanan melintas di depan Zoological Garden dan terus menuju ke arah sungai Nil.

Tidak lama kemudian Fiat putih itu telah berada di atas El Gama'a Bridge, salah satu jambatan utama Kota Cairo yang melintang gagah di atas sungai Nil. Apabila sampai di kawasan El Manyal yang berada di Geziret El, roda sedan itu belok ke kanan menyusuri Abdel Aziz Al Saud Street yang terbentang di tepi sungai Nil dan hujung selatan Geziret sampai hujung utara. Sedan putih buatan Itali itu terus melaju ke hujung utara, hingga melintasi Cairo University Hospital. Tepat di hujung utara Geziret, nampak Meridien Hotel berdiri gagah.

Sedan terus melaju dengan tenang hingga masuk di halaman Meridien. Apabila menemukan tempat yang tepat di kawasan parking, sedan itu berhenti. Seorang pemuda berwajah Asia keluar dari Sedan. Ia mengeluarkan beg galas dan beg jinjing hitam. Setelah mengunci kereta ia melangkah ke arah pintu masuk hotel. Dua orang pelayan hotel berkemeja hijau muda dengan vest dan memakai seluar berwarna hijau tua menyambutnya dengan senyum manis. Seorang di antara meeka menawarkan untuk membawakan begnya, tapi ia menolak. Pemuda itu berjalan tenang melalui lobby hotel menuju ke tempat resepsionis. Dua orang petugas penyambut tetamu dengan aura kecantikan khas gadis Mesir menyambutnya dengan senyum. Seorang di antara mereka menyapa "

"Good Afternoon, Sir. Can I help you?"

Pemuda itu membalas dengan senyum seraya menunjukkan pasportnya. Saat menyerahkan pasportnya, ia sempat membaca nama dua penyambut tetamu itu. Dina dan Suzana. Si Dina menerima pasport itu dengan senyum lalu menekan kekunci untuk menulis sesuatu di komputer. Sebelum Dina berkata, sang pemuda telah mendahuluinya dengan sebuah kalimat dalam bahasa Arab :

"Lau samahti ya Anesa Dina..."

"Na'am," Resepsionis bernama Dina nampak terkejut : "Hadratak bitakallim 'arabi?"

"Alhamdulillah, fin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el yom?"

"Heya hategi bil leil, insya Allah."

Dina lalu melihat data di komputer.

"Bilik anda 615, Tuan Furqan"

"Kalau boleh 919."

"Sebentar saya cek dulu."

Furqan menangkap bau semerbak wangi parfume yang menyengat. Bau ini begitu mengancam dirinya. Ia menoleh ke arah datangnya bau itu. Seorang perempuan Mesir berambut jagung dan berpakaian ketat melintas. Tangannya dipaut seorang pelancung Mat Saleh. Dalam hati ia istighfar, ia berdoa semoga suatu hari nanti perempuan itu tahu adab memakai pakaian dan parfume. Mengenai lelaki Mat Saleh yang memautnya, ia tidak mahu berburuk sangka. Mungkin itu adalah suaminya. Ia kembali memperhatikan Dina. Pada saat yang sama Dina menoleh ke arahnya.

"Sudah ada yang menempah, Tuan."

"Kalau begitu cuba 919."

"Baik, sebentar."

Dina kembali melihat layar komputersementara jari jarinya menari di atas keyboard dengan indahnya. Furqan melihat jam tangannya, dua belas lebih tiga minit.

"Alhamdulillah, kosong!"

"Breakfastnya sekali saja ya."

Baik, Tuan."

Dina lalu memasukkan data. Mengambil key card, dan memasukkannya ke dalam bekas berlipat tiga dan kad berwarna keemasan. Menuliskan nama Furqan, nombor bilik dan mengambil kupon merah muda.

"Ini kunci dan kupon breakfastnya."

"Mutasyakkir ya Anesa."

"Afwan."

Furqan memeriksa sebentar key card dan kupon yang ia terima, lalu tersenyum tipis pada Dina dan Suzana. Keduanya membalas dengan senyuman dan anggukan ringan. Furqan lantas melangkahkan kaki ke arah lift. Ia tidak sedar kalau Dina terus mengikuti gerak tubuhnya sampai hilang ditelan pintu lift.

Furqan naik lift bersama dua pelancung dari Jepun. Dua muda mudi yang sedang melakukan kajian tentang alat pengangkutan Mesir kuno. Keduanya ternyata mahasiswa Kyoto University. Bilik mereka di tingkat yang sama dengan bilik Furqan. Mereka begitu tertarik ketika Furqan menjelaskan dia juga seorang mahasiswa. Furqan memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa Pasca-Sarjana Cairo University, jurusan tarikh wal hadharah, sejarah dan peradaban. Sebelum berpisah untuk menuju bilik masing masing, Furqan sempat bertukar kad nama dengan mereka.

Sampai di pintu bilik 819, dengan mengucap basmalah, Furqan membuka pintu bilik dengan key cardnya. Lalu memasukkan key cardnya ke tempat yang tertuliskan 'insert your card here' untuk menyalakan elektrik. Furqan terus merasakan kesejukan dan kemewahan biliknya. Kemewahan Eropah kontemporer hasil gabungan arkitektur Italia dan Turki moden.

Furqan meletakkan beg jinjing dan beg galasnya di atas meja pendek di sebelah kanan almari televisyen. ia lalu beranjak membuka tabir jendela biliknya. Dan terhamparlah di hadapannya panorama sungai Nil. Biliknya tepat menghadap sungai Nil. Dari tingkap biliknya ia dapat melihat hampir semua panorama sungai Nil. Ke arah utara ia boleh melihat El Tahrir Bridge, jambatan paling utama yang melintas sungai Nil. Ia juga boleh melihat Gezira Sheraton, Opera House, Cairo Tower, bahkan menara Television and Broadcasting Studio di kejauhan.

Ke arah barat ia dapat melihat gedung Papyrus Institute, arus lalu lintas di El Nil Street yang berada tepat di sepanjang tepi barat sungai Nil, membentangkan dari Giza hingga Imbaba. Ke arah selatan ia dapat melihat El Gama'a Bridge, bendera Kedutaan Israel, dan terminal pengangkutan air yang letaknya tidak begitu jauh dari El Gama'a Bridge, dan tentu saja beberapa menara masjid.

Cairo memang terkenal dengan kota seribu menara. sangat mudah menemukan menara masjid di kota ini. Sebab hampir di setiap titik ada masjidnya.

Furqan merebahkan badannya di atas springbed. Punggungnya terasa nyaman. Perlahan lahan kedua matanya hendak terpejam. Tiba tiba hand phonenye berdering mengingatkannya waktu solat. Ia bangkit, menggerak gerakkan badannya untuk merenggangkan otot ototnya lalu duduk di kerusi. Di kepalanya telah tergambar jadualnya selama berada di hotel. Setelah wudhu' ia akan keluar sebentar untuk solat Zohor di masjid terdekat dari hotel. Ada masjid berdekatan Cairo University Hospital yang terletak di sebelah selatan Meridien.

Setelah itu istirehat sebentar. Satu jam sebelum Ashar, bangun untuk mulai membaca isi tesisnya. untuk seterusnya memberi tumpuan memperdalam isi tesisnya yang siap diujikan dalam sidang terbuka tiga hari lagi. Hanya diselangi solat, makan dan mandi. Selain tesis yang telah sempurna penyuntingannya, bahan bahan terpenting telah ia bawa, iaitu beberapa buku penting, data data penting yang telah ia simpan rapi dalam laptop serta beberapa data dalam berlembar lembar fotocopy. itulah jadual yang telah tersususn di kepalanya.

Waktu ia bangkit hendak ke bilik mandi, telefon yang ada di biliknya berdering. Ia terkejut, dalam hati ia bertanya siapakan yang telefon, baru saja sampai sudah ada yang telefon.

"Ya, hello. Ini siapa ya?"

"Ini Sara, tuan Furqan."

"Sara, siapa ya?"

"Sara Zifzaf, mahasiswi Cairo University yang berkenalan dengan tuan di perpustakaan dua bulan yang lalu."

"Sebentar, Sara yang tinggal di Mohandisin itu ya?"

"Iya benar."

"Macam mana boleh tahu saya di sini?" Tanya Furqan hairan. Ia hairan bagaimana mungkin ada orang yang tahu ia berada di hotel itu dan tahu nombor biliknya. Apalagi dia adalah gadis Mesir yang dikenali dengan tidak sengaja di perpustakaan. Setelah itu dia tidak pernah bertemu lagi sama sekali. Ia berkenalan dengan Sara di perpustakaan. Gara garanya, saat itu perpustakaan penuh. Tidak ada lagi kerusi kosong kecuali satu kerusi yang berdekatan seorang gadis Mesir. Ia terpaksa duduk di situ. Ia membaca dan menulis hal hal penting dengan laptopnya di samping gadis itu. Entah kenapa gadis itu lalu mengajaknya berbicara dan terjadilah perkenalan itu.

Gadis itu adalah Sara. Dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswi Cairo University yang yang tinggal di Mohandisin. Gadis itu ingin mengajaknya banyak bicara. Tapi ia minta maaf tidak dapat banyak bicara, sebab banyak yang harus ditulisnya.

"Kebetulan tadi saya menemani ayah saya bertemu teman akrabnya di hotel ini. Waktu saya hendak meninggalkan lobby, saya sempat melihat tuan Furqan di meja penyambut tetamu. Maka saya tanya pada penyambut tetamu untuk meyakinkan saya bahawa yang saya lihat tidak salah. dan ternyata benar. Sebenarnya saya ingin bertemu terus dengan tuan Furqan. Tapi sayang saya ada janji dengan seorang teman di Giza. Ini saya menghubungi tuan di jalanan, dalam perjalanan di Giza."

"Ada keperluan apa anda menghubungi saya, nona?"

"Saya ingin mengundang anda makan malam besama?"

"Ya makan malam bersama?"

Furqan terkejut, ia baru sekali bertemu dengan gadis mesir itu. Tapi gadis Mesir itu boleh tidak lupa padanya. Ia, jika bertemu lagi dengan gadis itu di jalanan mungkin sudah lupa. Terus baru sekali bertemu sudah berani mengundang makan malam. Ia hairan. Itu bukanlah watak asal gadis Mesir. Watak asal gadis Mesir adalah menjaga diri dengan rasa malu yang berlapis lapis.

"Saya mengundang tuan malam nanti jam 19.30 di Abu Sakr Restaurant, di Qashr Aini Street, tepat di depan Qashr El Aini Hospital. Setelah berkenalan dengan tuan di perpustakaan itu, lalu saya mencari data lebih jauh tentang tuan di bahagian kemahasiswaan. jadi, saya mengetahui banyak hal tentang tuan. Saya juga sering melihat tuan melintas di gerbang kampus, tapi tuan pasti tidak tahu. Saya harap tuan boleh memenuhi undangan saya malam ini." Suara Sara itu terasa indah di telinga. Bahasa 'Amiyah Mesir jika diucapkan oleh gadis Mesir memiliki sihir tersendiri. Sihir yang tidak dimiliki jika diucapkan oleh kaum lelaki. Furqan berfikir sejenak lalu menjawab dengan tegas :

"Maaf, mungkin saya tidak boleh Nona. Ada yang harus saya kerjakan."

"Tidak harus tuan jawab sekarang. Lihat saja malam nanti, jika ada waktu silakan datang. Jika tidak, tidak mengapa. namun saya sangat senang jika tuan dapat datang. Ini saja tuan, maaf mengganggu. Sampai bertemu malam nanti. Syukran."

"Afwan."

seketika ada tanda tanya besar dalam kepala Furqan kenapa gadis yang baru begitu ia kenali itu mengundangnya makan malam? Sangataneh untuk adat wanita Mesir kebanyakan. Ia merasa hairan.

"Ah, kenapa aku perlu fikirkan. Aku ke sini bukan untuk memenuhi undangan makan. tapi untuk persiapan sidang tesis tiga hari yang akan datang. Ah sekarang solat, makan siang, istirehat lalu belajar dengan tenang." Kata Furqan pada diri sendiri, meskipun undangan makan malam Sara di salah sebuah restoran berkelas itu, mahu tidak mahu, hinggap juga di fikiran dan menimbulkan seribu tanda tanya.

Di luar hotel, angin musim bunga mencumbui sungai Nil dengan mesra. Sinar matahari memancarkan kehangatan dan rasa bahagia.

******
Bahasa Arab & Jawa (Cacamarba da....)

1. Qism Diraasat 'Ulya - Program Pasca-Sarjana
2. Inggih, sekedap - Ya, sebentar
3. Lau samathi ya Anesa Dina - Maaf Nona/ Cik Dina (Anesa atau Anisah adalah sapaan untuk perempuan yang belum bernikah)
4. Hadratak bitakallim 'arabi? - Anda boleh berbahasa Arab?
5. Alhamdulillah, fin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el yom? - Alhamdulillah, mana Nona / Cik Yasmin? Dia tidak datang hari ini?
6. Mutasyakkir ya Anesa - Terima kasih Nona / Cik.
7. Afwan - Maaf


Ha... hambik ko... tergeliat lidah nk nyebutnye....


Tuesday, May 4, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (6) Lagu Lagu Cinta

Ada ke insan yg mengikuti lg blog aku nie???? Apa2 pun... kepada yang tersesat ke cnie tu.. blh le gak cuci mate ke.. cuci ati ke... dgn kisah selanjutnya ini...

JAM menunjukkan pukul dua setengah. Punama bulat sempurna. Bintang bintang bertaburan menghiasi angkasa. Malam itu di Kota Cairo terasa sejahtera. Angin musim sejuk mengalir semilir. Perlahan. Berhembus dari utara ke selatan. Menerobos sela sela pintu dan tingkap apartment. Menebarkan kesejukan kesejukan.

Dua ekor kucing bercengkerama. Sesekali mengiauw. Sesekali menjerit jerit, melengking lengking membahana. Keduanya berkejar kejaran dengan suara yang seolah olah bergaduh bagi yang mendengarnya. Di taman sebuah apartment di kawasan Mutsallats, dua ekor kucing itu menikmati indahnya musim sejuk. Diiringi tasbih daun daun yang dibelai angin musim bunga, mereka saling merayu. Mereka mendendangkan lagu lagu cinta. Ya. Lagu cinta yang sangat indah, yang hanya boleh difahami oleh mereka berdua.

Tidak begitu jauh dari situ, sebuah kedai kopi nampak masih ramai. Belasan orang terjaga menikmati musim sejuk dengan minum kopi, menghisap shisha, main kad dan berbincang tentang apa saja. Ada yang sedang menikmati filem India. Ada juga yang sedang berbincang dengan serius. Temanya meloncat loncat, ke mana mana. Musim bunga memang indah. Paginya indah. Siangnya indah. Petang indah. Malamnya pun indah. Lebih lebih lagi mereka yang menikmatinya dengan penghayatan ibadah.

Namun demikian, ada juga orang orang yang sama sekali tidak peduli dengan datangnya musim bunga. Ada juga bahkan yang tidak pernah merasakan datangnya musim bunga. Mereka bahkan hampir tidak pernah merasakan adanya pergantian musim. Semua itu, lantaran kerasnya kehidupan yang harus mereka hadapi dan lalui. Lantaran mereka harus terus memerah otak, dan menghadapi hidup dengan memerah keringat dan bekerja tiada henti.

Di antara orang orang yang hampir tidak pernah peduli datangnya musim bunga itu adalah 'Mas Insinyur' Khairul Azzam, dan beberapa orang mahasiswa yang bekerja dengannya.

Malam itu, di biliknya yang berada di sebuah apartment, berhadapan dengan taman itu, di mana ada dua ekor kucing yang sedang mendendangkan lagu lagu cinta, ia masih juga belum istirehat dari pekerjaannya. Sementara teman temanya satu rumah sudah lama larut bermesraan dengan mimpi indahnya masing masing.

Azzam masih sibuk mengurus kacang soyanya yang telah ia letakkan ragi. Dengan penuh kesabaran ia harus membungkusnya agar menjadi tempe. Sejak lamaranya pada Anna Althafunnisa telah didahului oleh sahabatnya sendiri, Azzam memutuskan untuk menumpukan sepenuh perhatiannya dalam bekerja. Sejak ustadz Mujab menyarankan agar ia mengukur dirinya, ia memutuskan untuk terus membaktikan diri pada ibu dan adik adiknya di Indonesia. Ia niatkan itu semua sebagai ibadah dan rahmah yang tiada duanya. Ia juga meniatkannya sebagai cubaan dan pelajaran hidup yang harus ia tempuh di universiti besar kehidupan. Ia yakin, semua itu tidak akan sia sia. Bukankah Allah tidak pernah menciptakan segala sesuatu dengan sia sia.

Ia tidak lagi memiliki mimpi yang melangit tentang calon isteri. Ia sudah dapat mengukur diri. Ia yakin jodohnya telah ada, telah disiapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka ia tidak perlu risau. Jodoh adalah sebahagian dari rezeki. Rezeki seseorang sudah ada bahagiannya. Dan bahagian rezeki seseorang tidak akan diambil oleh orang lain. Begitulah yang terlukis dalam fikirannya. Maka ia merasa tenang dan tenteram. Tetapi cubaan hidup, ilmu hidup harus diusahakan. Allah tidak akan menambah ilmu seseorang kecuali seseorang itu berusaha menambah ilmunya. Ia merasa bekerja keras adalah sebahagian dari upaya menambah ilmu dan bahagian dari usaha untuk merubah nasib.

Sejak peristiwa itu, ia merasa harus lebih serius menghadapi hidup. Ia mulai mengatur diri untuk berusaha tidak hanya berjaya dalam bidang bisnes, tapi juga berjaya dalam bidang akademik. Ia mulai mengatur diriuntuk menyelesaikan B.A.nya tahun itu juga. Setelah itu ia tetap akan belajar dan belajar tiada hentinya.

Wajahnya nampak begitu letih. Kedua matanya telah merah. Namun sepertinya ia tidak mahu menyerah kalah. Dalam keadaan sangat letih, ia harus tetap bekerja. Ia tidak mahu kalah oleh keadaan. Ia tidka mahu semangatnya luntur begitu saja, oleh rasa mengantuk yang terus menderanya. Bila sudah begitu, ia selalu ingat perkataan Al-Barudi yang selalu mengobarkan jiwanya :

Orang yang memiliki semangat; ia akan mencintai semua yang dihadapinya.

Ia melihat jam yang tergantung di dinding biliknya. Ia menghela nafas dalam dalam. Sudah masuk penghujung malam, dua jam lagi pagi datang. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan segera. Ia perlu mempunyai waktu untuk istirehat, meskipun cuma satu jam memejam mata.

Ia lalu berdiri dan menggerak gerakkan tubuhnya untuk menghilangkan rasa sengal sengal dan penat yang begitu terasa. Dua minit ia melakukan gerakan senaman ringan. Lalu kembali mencangkung. Dan kembali membungkus kacang soyanya, calon tempe dengan penuh ketelitian dan kesabaran.

Tepat pukul tiga kurang lima minit, ia berdiri dan bernafas lega. Pekerjaannya telah diselesaikannya. Masih ada sedikit waktu untuk istirehat sebelum Subuh tiba. Alat alat kerjanya ia kemaskan. Ia letakkan pada tempatnya. segera ia membersihkan tangannya dan mengambil air wudhu'.

Sebelum merebahkan badannya di atas tempat tidur, terlebih dahulu ia sempurnakan dirinya untuk solat Tahajjud dua rakaat lalu solat Witir. Ia membaca tasbih sambil mengatur jam locengnya. Lalu perlahan tidur.

Baru saja matanya terpejam, ia mendengar namanya dipanggil panggil, perlahan. Pintu biliknya juga diketuk, perlahan.

"Kang Azzam.... Kang Azzam!"

Dengan perasaan sangat berat, kepala sedikit pening, ia bangkit.

"Siapa?" tanyanya.

"Hafez, Kang."

Azzam turun dari tempat tidurnya dan beranjak membuka pintu biliknya. Di depan pintu biliknya berdiri seorang pemuda berkaca mata.

"Ada ape Fez?" tanya Azzam.

"Maaf Kang, saya tidak kuat lagi. Saya tidak boleh tidur Kang. Saya tidak tahu nak buat bagaimana? Saya perlu orang yang boleh saya ajak bicara. Saya mahu minta pertimbangan Kang Azzam. saya ridak kuat lagi Kang", jelas Hafez dengan suara serak.

"Masih tentang perasaanmu pada Cut Mala?"

"Iya Kang."

"Aku tahu kau pasti berat menaggung perasaan itu Fez. Tapi afwan, aku belum tidur. Aku harus istirehat. Jika tidak aku akan mengantuk. Nanti saja kita bicarakan setelah solat Subuh ya. Kau baca Al-Qur'an saja sana untuk menenangkan jiwa sambil menunggu Subuh. Nanti kalau sudah Subuh, aku dan teman teman dikejutkan. Begitu ya?"

"Sekarang, boleh tak Kang?"

"Aku tidak kuat Fez. Aku baru saja selesai membungkus tempe. Aku sangat letih. Aku perlu istirehat sebentar."

"Baiklah Kang. Setelah solat Subuh."

Pemuda berkaca mata itu beranjak ke biliknya. Azzam menutup biliknya. Tanpa dikunci. Ia merebahkan badannya. Ia tahu Hafez menfhadapi masalah berat. Tapi ia perlu istirehat. Dan membicarakannya setelah Subuh ia rasa tidak terlambat. Subuh sudah sangat dekat. Ia kembali berdoa, memejamkan mata dan tidur. Lelap.

Sementara Hafez keluar dari biliknyadengan membawa mushhaf. Ia mengikutu saranan Azzam. Di ruang tamu ia membaca Al-Qur'an dengan suara perlahan. Ia sama sekali tidak boleh menumpukan dalam menghayati dan mentadabburi apa yang dibacanya. Fikirannya tetap saja tertuju pada Cut Mala. Ia sendiri tidak tahu kenapa dalam sebulan ini hati dan fikirannya tidak boleh lepas dari Cut Mala. Mahasiswi Al-Azhar dari Aceh yang tidak lain adalah adik kandung teman yang paling rapat dengannya, iaitu Fadhil. Ia tidak menyedari bahawa perasaan cintanya pada gadis Aceh itu tumbuh dengan bagitu lembut dan perlahan. Dan sekarang perasaan itu sudah sedemikian membuak . Berbunga bunga, bahkan hampir tidak dapat dikuasainya.

Sedemikian membuaknya perasaan itu, hingga ia tidak dapat berbuat apa apa. Padahal waktu itu, ia harus menumpukan sepenuhnya pada ujian Al- Azhar yang tinggal sebulan lagi. Yang ada dalam fikiran dan hatinya selalu saja Cut Mala. Wajah Cut Mala. Suara Cut Mala. Langkak kaki Cut Mala. Budi bahasa Cut Mala. Gaya bahasa Cut Mala. Tingkah laku dan perangainya yang halus, sopan, dan sangat menjaga diri. Prestasi prestasinya yang selalu terukir dengan gemilang. Bahkan pendapat pendapatnya yang terpampar dalam pelbagai buletin kemahasiswaan di Cairo.

Itu semua telah membuat hati Hafez begitu kagum padanya. Ah, bukan hanya kagum, tapi ada sesuatu yang aneh mendera mendera hatinya, entah apa namanya. Ia merasa, di dunia ini tidak ada gadis yang ia anggap sempurna untuk menjadi pendamping hidupnya, menjadi ibu untuk anak anaknya, selain gadis dari Tanah Rencong itu.

Setiap kali ia mendengar nama itu disebut, hatinya selalu bergetar. Berdesir desir. Disebut oleh siapa saja. Termasuk ketika ia mendengar nama itu disebut oleh Fadhil, abang kandung Cut Mala sendiri.

Dan setiap kali ia membaca nama gadis kelahiran Ulee Kareng Banda Aceh itu tertulis di buletin, buletin apa saja, rasa cintanya bertambah tambah. Ia merasa sudah hampir gila. Ia sedar perasaan seperti tu tidak boleh menguasai dirinya. Tapi entah menapa ia merasa sangat tidak berdaya. Ia membaca Al-Qur'an dengan perlahan dan ia kembali tidak berdaya. Cut Mala singgah bermain main lagi di kelopak matanya.

Sudah sekuat tenaga ia mengusir kelibat bayangan Cut Mala, tapi tidak berdaya. Semakin ia cuba mengusirnya, justeru semakin jelas bayangan Cut Mala bersemayam di benaknya. Ia benar benar tidak berdaya.

Dalam ketidakberdayaan, kehadiran bayangan Cut Mala, malah ia rasakan sebagai sebuah kegilaan dan kenikmatan, kenikmatan dan kegilaan. Bagaimana tidak, saat ia berusaha mentadabburi apa yang ia baca,saat itu justeru muncul bayangan yang bukan bukan di benaknya.

"Seandainya ia telah bernikah dengan Cut Mala, lalu di penghujung malam seperti itu ia membaca Al-Qur'an bersama Cut Mala. Bergantian. Terkadang ia yang membaca, Cut Mala yang mendengarkan. Atau Cut Mala yang membaca, ia yang menyemak dengan teliti. Alangkah indahnya. Alangkah indahnya."

Ia memejamkan mata. Setitis air matanya jatuh di mushhaf yang ia baca.

Ia tersedu sedu. Menangis dengan perasaan cinta, sedih, rindu dan merasa berdosa bercampur jadi satu.

"Ya Allah, ampuni dosa hambaMu ini. Ya Allah, jika yang kurasakan ini adalah sebuah dosa, maka ampunilah dosa hambaMu yang lemah ini."

Dalam doa dan istighfarnya, ia sangat berharap bahawa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengasihi orang orang yang sedang jatuh cinta seperti dirinya.


******

Di ufuk Timur, langit menyemburatkan warna merah. Fajar perlahan menyingsing. Sebuah menara pun mengumandangkan azan. Disusuli menara kedua.

Beberapa detik kemudian azan berkumandang dari beribu menara yang menjulang di Kota Cairo. Azan dari menara Masjid Ar-Rahmah membangunkan Cut mala yang tinggal di kawasan Masakin Utsman. Tepatnya Masakin utsman 72/605, tidak jauh dari Masjid Ar-Tahmah, yakni masjid di mana orang orang Indonesia sebut sebagai "Masjid Planet".

Disebut "Masjid Planet" kerana bentuknya yang tidak seperti masjid pada umumnya, tapi menyerupai bangunan dari planet lain. Ada juga yang menyebut "Masjid UFO", kerana reka bentuknya agak serupa dengan UFO.

Gadis Aceh itu membangunkan teman temannya. Ketika ia masuk bilik Tiara, ia mendapati kakak sekelasnya itu masih bersimpuh di atas sajadahnya dengan terisak isak. Ia tidak ingin mengganggunya.

Cut Mala atau lengkapnya Cut Malahayati, tinggal di dalam flat yang cukup luas itu dengan empat orang mahasiswi. Flat itu memiliki tiga bilik tidur berukuran cukup luas. satu dapur. Satu bilik mandi. Balkoni. Dan ruang tamu yang juga luas. Flat itu tergolong mewah. Semua lantainya dilapik dengan karpet. Di ruang tamu ada satu set sofa yang diimport dari Itali. Dapur semua seramik. Dan bilik mandi yang tidak kalah dengan hotel tiga bintang. Flat itu juga dilengkapi dendan telefon, pemanas air, peti ais, dapur gas dan air-cond di ruang tamu.

Cut mala dan teman temannya boleh dikatakan beruntung. Sebab, untuk flat yang semewah itu meraka hanya membayar tiga ratus pound sebulan. Untuk ke kuliah pun seringkali ia memilih jalan kaki. Sebab flatnya dengan kuliah banat tidaklah terlalu jauh sangat.

Pemilik flat itu bernama Madam Zubaida. Seorang pengusaha yang kaya. Ia memiliki perusahaan travel dan beberapa kedai kasut di Cairo dan Alexandaria. Madam Zubaida sangat pemurah dan baik hati. Ia memiliki tiga orang anak, Satu puteri, dua putera. Dua anaknya berada di luar negeri. Yang puteri bernama Yasmin, sedang kuliah di Perancis, dan telah bernikah dengan seorang staf kedutaan Mesir di Paris. Anaknya yang nombor dua kuliah di Istanbul. Hanya si bongsu yang menemaninya. Masih kuliah di Fakulti Kedoktoran di Cairo University. Setahu Cut Mala, Madam Zubaida memiliki tiga rimah di Cairo. Satu di kawasan Mohandisin yang ia tinggal bersama putera bongsunya. Yang kedua di kawasan Ma'adi dan yang ketiga di Masakin Ustman Nasr City yang disewakan kepada mahasiswi dari Indonesia.

Tujuan Madam Zubaida menyewakan flatnya di Masakin Utsman memang bukan semata mata untuk mendapatkan wang, tapi agar flatnya ada yang menjaga dan menguruskannya. Maka ia hanya percaya pada para mahasiswi. Khususnya mahasiswi indonesia. Kebetulan Madam Zubaida pernah memiliki seorang pembantu perempuan dari Indonesia. Madam Zubaida sangat terkesan dengan kehalusan budi dan ketelitian pembantunya itu dalam mengurus rumahnya. Maka sejak itu ia sangat percaya pada perempuan dari Indonesia. Perempuan Indonesia memang luar biasa di mata Madam Zubaida.

Setiap bulan Madam Zubaida datang meninjau keadaan flatnya pada hari yang tidak ia tentukan. Dan ia selalu puas hati, kerana para mahasiswi dari Indonesia yang menyewa flatnya benar benar menjaga dan mengurus flatnya dengan baik. Cut Mala dan teman temannya bahkan selalu menjaga seluruh ruangan flat itu dengan pengharum ruangan, agar selalu segar dan wangi udaranya.

Boleh dikatakan, seluruh penghuni rumah itu adalah mahasiswi yang bernaung dalam Keluarga Mahasiswi Aceh. Cut Mala dari Pidie dan Tiara dari Banda Aceh. Keduanya benar benar berasal dari Aceh. Maksudnya kedua orang tua mereka memang berasal dari Aceh. Selain mereka berdua ada Cut Rika dan Masyithah. Keduanya bukan berdarah Aceh jati, namun tidak ada bezanya dengan yang berdarah Aceh. Cut Rika, lahir di Peukan Bada, Aceh Besar, tapi ia membesar dan menghabiskan masa remajanya di rumah neneknya di Bandung. Ayahnya berasal dari Peukan Bada, ibunya berasal dari Bandung. Dan terakhir adalah Masyithah, gadis paling cantik di rumah itu. Bahkan, mungkin mahasiswi Indonesia paling cantik di Cairo. Hanya saja tidak ramai yang tahu bagaimana kecantikannya yang sebenar. Sebab, dalam seharian ia selalu memakai purdah.

Masyithah lahir di Aceh, ayahnya berasal dari Syria, ibunya pula berasal dari Pakistan. Jadi sama sekali tidak ada darah Aceh yang mengalir dalam dirinya. Tapi sejak pertama kali melihat dunia ia telah jadi orang Aceh.

Masyithah lahir di Bandar Aceh ketika ayahnya mendapat tugas dari Rabithah 'Alam Islami untuk mengajar di IAIN Ar-Raniry. Ketika melahirkannya, ibunya meninggal dunia. Ayahnya tetap teguh untuk menyelesaikan tugasnya berdakwah dan mengajar di Aceh.

Ia dijaga oleh seorang gadis doktor yang membantu kelahirannya. Entah bagaimana awalnya, akhirnya doktor berasal dari Aceh yang menjaganya itu berjaya disunting ayahnya. Dialah ibunya, yang ia kenal sekarang. Meskipun sebenarnya ia seorang ibu tiri, tapi ia tidak pernah merasa menjadi anak tiri. Sejak itu ayahnya pindah kewarganegaraan menjadi orang Indonesia. Sekarang ayahnya bekerja di Kedutaan Besar Syria di Jakarta, Sementara ibunya bekerja di RSCM Jakarta. Masyithah sudah boleh berbahasa Arab sejak kecil. Maka wajar jika ia paling fasih berbahasa Arab di rumah itu. Selain bahasa Arab, ia juga fasih berbahasa Indonesia dan Aceh.

Cut Mala dan teman temannya mengerjakan solat Subuh berjamaah. Mereka membentangkan sajadah di ruang tamu. Yang menjadi imam pagi itu Cut Rika. Mahasiswi tahun tiga jurusan tafsir itu membaca surah An-Nisa'. Bacaannya tartil dan fasih. Suaranya indah. Semuanya larut dalam penghayatan kalam illahi. Selesai solat mereka berzikir, mengingati Allah Subhanahu wa Ta'ala lalu membaca Al-Ma'tsurat. Setelah itu mereka kembali ke biliknya masing masing untuk tilawah.

Cut Mala mengikuti Masyithah masuk ke bilik. Mereka berdua memang tinggal dalam bilik yang sama. Keduanya lalu larut dalam tadarrus Al-Qur'an. Cut Mala terus membaca. Sementara Masyithah menyudahi bacaannya. Ia menyalakan komputernya. Tiara mendekati Cut Mala. Cut Mala menyudahi bacaannya.

"Mahu tak kalau aku ajak jalan jalan Dik Mala?" Lirih Tiara.

"Mahu Kak."

"Jom kita keluar. Kita ke Hadiqah Dauliyah. Sekalian menghirup udara pagi. Aku ingin bicara sedikit dengan mu."

"Jom."

Cut Mala membuka telekungnya. Memakai jubah hijau tuanya dan memakai tudung hijau mudanya. Setelah yakin dengan penampilannya, ia melangkah keluar bilik mengikuti Tiara. Masyithah yang mengetahui ke mana mereka akan pergi lalu berteriak:

"Jangan lupa nanti singgah beli roti."

"Insya'Allah", jawab Cut Mala.

******

Selesai solat Subuh, Azzam tetap di masjid, demikian juga Hafez. Azzam membaca dua halaman mushhafnya lalu mendekati Hafez yang duduk terpaku tidak jauh darinya. Beberapa orang Mesir duduk melingkar untuk membaca Al-Qur'an bergantian. Biasanya Azzam turut ikut sama, tapi kali ini ia sudah berjanji pada Hafez.

"Sebaiknya kita berbincang bincang di luar sana sambil berjalan jalan dan menghirup udara pagi", kata Azzam pada Hafez.

Hafez mengangguk. Keduanya keluar meninggalkan masjid dan berjalan melalui tepian jalan ke arah Mahattah Gami.

"Kau kata, kau akan menumpukan pada pembelajaran mu Fez. Apakah kau sudah lupa?" Kata Azzam seraya menghentikan langkahnya. Hafez juga menghentikan langkahnya.

"Sebenarnya memang begitulah, Kang. Tapi entah kenapa aku sama sekali tidak dapat melupakan dia. Aku tidak mampu berhenti memikirkannya. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Saat solat, aku membayangkan jika solat bersamanya. Saat membaca Al-Quran aku membayangkan jika aku membaca Al-Qur'an bergantian dengannya. Saat berdoa pun, aku juga mengingati dirinya. Apa yang harus aku buat Kang?"

"Ini penyakit, kau harus segera sedar tentang itu Fez."

"Aku sedar Kang, sangat sedar. Aku tidak boleh membayangkan wajahnya. Itu tidak boleh. Itu haram. Tapi bayangan wajahnya datang begitu saja Kang. Aku boleh jadi gila Kang. Aku rasa satu satunya jalan aku harus berterus terang pada Fadhil, bahawa aku mencintai adiknya dan aku terus akan melamarnya dan menikahinya secepatnya."

Azzam tersenyum.

"Itu fikiran yang bagus. Bernikah. Tapi masalahnya apakah kamu yakin adik si Fadhil. Siapa itu namanya Cut Nala?"

"Bukan Nala Kang, Mala."

"Oh ya, Cut Mala. Apa kamu yakin dia bersedia untuk bernikah. Dia baru tahun dua. Sedang asyik asyiknya merasakan dinamik hidupnya sebagai seorang mahasiswi. Bahkan seorang aktivis. Tentu kalau dia bersedia untuk bernikah, apakah kamu yakin dia mahu bernikah dengan mu?"

"Lalu apa yang harus aku lakukan Kang?"

"Kau harus melupakannya. Jika dia jodoh mu percayalah, dia tidak akan ke mana mana. Dia tidak akan diambil siapapun juga."

"Tapi rasanya sangat susah Kang."

"Aku tahu. Selama kau masih satu rumah dengan Fadhil, kau takkan boleh melupakannya. Aku tahu setidak tidaknya setiap dua hari sekali Fadhil mendapat telefon dari adiknya, dan sebaliknya Fadhil juga sering menelefon adiknya. Terkadang tanpa sedar Fadhil menyebut nama adiknya itu di depanmu, di depan kita semua. Bagi orang lain yang tidak memiliki perasaan apa apa, mendengar namanya mungkin tidak ada masalah. Tapi bagi kamu, itu sama saja air hujan menyirami tanaman yang mengharap air. Belum lagi kalau adiknya itu datang menghantar sesuatu, yang terkadang menghantar makanan untuk abangnya. Ya untuk abangnya, tapi kita ikut menjamu masakannya. Bagi yang lain mungkin tidak ada masalah, tapi bagi mu memakan masakannya akan mengobarkan api asmara yang mungkin susah payah kau padamkan. Jika kau nekad berterusterang pada Fadhil saat ini, percayalah kau boleh merosakkan segalanya. Kau boleh merosakkan dirimu sendiri. Merosakkan hubunganmu dengan Fadhil. Bahkan juga boleh merosakkan Cut Mala."

"Kenapa boleh sejauh itu kesannya Kang?"

"Keinginan bernikah itu baik. Keinginan melamar seseorang juga tidak salah. Namun jika waktunya tidak tepat, yang diperolehi akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Kau tentu tahu saat ini sudah sangat hampir dengan ujian. Waktunya orang menumpukan perhatian pada ujian. Kalau kau membuka perasaan dan keinginanmu saat ini, pasti boleh menghilangkan tumpuan Fadhil, juga adiknya Cut Mala. Walaupun jika Cut Mala sedia menerimamu. Keutamannya pada pelajaran akan terganggu dan beralaih memikirkan lamaranmu. Apa lagi ia sebenarnya tidak bersedia untuk bernikah. Fadhil juga akan sangat memikirkan hal itu. Sebab, kau adalah temannya, dan Cut Mala adalah adiknya. Jika Cut Mala menolak lamaranmu, Fadhil pasti akan sangat tidak enak padamu. Belum lagi hal hal lain di luar jangkauan kita. Saya pernah mendapat cerita dari seorang bapak di KBRI, ada seorang mahasiswi gagal ujiannya gara gara dilamar oleh seseorang melalui telefon dan mahasiswi itu tidak sedia menerima lamaran itu. Tumpuannya hilang dan ujiannya gagal. Apakah kau tidak kasihan kalau itu terjadi pada Cut Mala."

"Kalau macam tu, apa yang harus saya lakukan?"

"Kau harus berusaha mengatasi masalah dirimu. Kau harus dapat mengatasi perasaanmu. jangan kau korbankan orang lain. Sebaiknya untuk sementara, kau berpindahlah jauh sedikit supaya dapat mengutamakan pelajaran. Nanti setelah ujian selesai, aku akan membantumu membicarakan hal ini dengan Fadhil. Ini lebih baik bagimu dan bagi semuanya. Percayalah, siapa jodohmu sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Kau jangan risau. Jika memang yang tertulis untukmu adalah Cut Mala, insya'Allah tidak akan ke mana mana."

"Baiklah Kang. Aku ikut sarananmu. Tapi janji ya Kang, setelah ujian selesai nanti, Kang akan bantu berbicara dengan Fadhil."

"Ya, aku janji."

******

Cut Mala dan Tiara keluar flat dan turun menggunakan lift. Lalu mereka berjalan ke selatan menuju Hadiqah Dauliyah. Sebuah taman kota di Nasr City yang sangat dibanggakan oleh orang Mesir. Taman yang terdiri hanya di atas beberapa hektar itu, mereka sebut Hadiqah Dauliyah, ertinya International Garden, Taman Internasional.

Mahasiswa Indonesia sering mentertawakan orang Mesir begini: "Kita orang Indonesia yang memiliki taman yang sangat luas, replika dari suku bangsa Indonesia, untuk mengelilinginya tidak cukup dengan hanya berjalan kaki. Kita masih menamakan Taman Mini. Kita menyebutnya, Taman Mini Indonesia Indah. Sedangkan ini taman yang cuma beberapa hektar saja sudah disebut Taman International." Terkadang orang mesir menjawab dengan santai : "Itulah bezanya orang Indonesia dengan orang Mesir. Orang Indonesia terlalu rendah diri, terlalu merendah diri dengan kemampuannya, dan tidak boleh memotivasi diri. Sedangkan orang Mesir salalu yakin pda diri. Selalu boleh memotivasi diri! Kita dapat menginternasionalkan yang kecil." Maka biasanya orang Indonesia akan diam sambil terus menggerutu di dalam hati: "Dasar orang Mesir anak Fir'aun, sombong sekali."

Cut Mala dan Tiara sudah sampai di gerbang Hadiqah. gerbang baru saja dibuka. Beberapa orang Mesir masuk. Mereka berpakaian sukan. Dua gadis Aceh itu masuk. Tiara mengajaknya duduk di sebuah bangku panjang. Langit nampak cerah. Burung burung berterbangan dari pohon ke pohon. Dari arah timur, di antara gedung gedung bertingkat muncul cahaya kemerahan yang perlahan menjadi kekuning kuningan. Matahari muncul seolah tersenyum pada bumi.

"Mahu bicara tentang apa tadi kak?" Tanya Cut Mala.

"Aku mahu minta tolong sedikit padamu Dik", jawab Tiara.

"Apa itu Kak?"

"Begini, aku sedang menghadapi masalah serius. Aku minta kamu tidak menceritakan hal ini kepada sesiapapun juga. Kelmarin aku mendapat telefon dari Aceh. Dari ayah. Beliau beritahu, aku dilamar oleh seorang Ustadz. Namanya ustadz Zulkifli. Dia adalah salah seorang ustadz di pesantren kakak dulu. Namun dia tidak pernah mengajar kakak. Kerana ketika dia masuk pesantren, kakak sudah berada di kelas dua aliyah. Dan dia mengajar di kelas satu. Jadi kakak tidak tahu bagaimana sebenarnya dia. Ayah cerita, katanya Ustadz Zulkifli pernah satu pesantren dengan bang Fadhil, abangmu. Aku minta tolong sampaikanlah keadaanku ini pada bang Fadhil. Apakah keputusan yang sebaiknya yang perlu aku ambil? Apakah aku harus terima lamarannya atau bagaimana? Dua hari lagi ayah mahu menelefon untuk meminta kepastianku. Ayah menyerahkan sepenuhnya padaku."

"Sebenarnya dari dalam hati nurani paling dalam Kak Tiara rasakan bagaimana? Menerima atau menolak?"

"Aku tidak tahu Dik."

"Reaksi hati pertama kali mendengar lamaran itu bagaimana Kak?"

"Biasa biasa saja. Kerana sebenarnya aku belum ingin bernikah. Aku ingin bernikah setelah selesai kuliah. Tapi ayah memberitahuku jika aku mahu, ustadz Zulkifli akan menyusul ke Mesir. Aku belum boleh mengambil keputusan. Tolong ya sampaikan hal ini pada Abang Fadhil. Aku ingin tahu pendapat dia sebagai pertimbangan. Dia mungkin kenal baik dengan Ustadz Zulkifli, dan dia juga tahu tentang diriku."

"Baiklah Kak, amanah kakak segera saya tunaikan, insya'Allah."

Hati Tiara merasa lega mendengar jawapan Cut Mala. Sebenarnya ia ingin mengatakan pada Cut Mala, bahawa ia mencintai Fadhil, abangnya, tapi dia tidak sampai hati untuk menyampaikannya. Rasa malulah yang menghalanginya. Selama ini ia hanya boleh meraba tanpa boleh memastikan apakah Fadhil memiliki perasaan yang sama ataukah tidak. Ia ingin mendengar pandangan Fadhil tentang masalahnya untuk sedikit mencari petunjuk dan isyarat bagaimana sebenarnya sikap Fadhil terhadapnya.

Ia ingin mencari petunjuk bahawa Fadhil juga mencintainya. Jika ya, ia akan lebih memilih hidup bersama orang yang dicintainya. Ia sangat yakin Fadhil orang yang baik dan soleh, demikian juga Ustadz Zulkifli. Jika demikian, apabila disuruh memilih yang sama baiknya, tentu ia akan memilih yang telah diterima oleh hatinya. Namun, ia merasa jodoh terkadang tidak dapat dipilih. Jodoh dalam keyakinannya adalah dipilihkan. Ya, dipilihkan oleh Allah. Manusia hanya berusaha, berikhtiar. Dan apa yang ia lakukan pada pagi buta di musim bunga itu, ia yakin sebagai salah satu dari ikhtiarnya.

Ia tidak boleh menafikan bahawa ia mencintai Fadhil dengan diam diam. Namun ia tidak yakin cinta seperti yang ia rasakan akan kekal. Baginya, cinta yang kekal adalah untuk orang yang secara sah menjadi suaminya. Dan ia tidak dapat nafikan, ia ingin orang itu adalah Fadhil. Sekali lagi jika boleh memilih.

Tiara bangkit diikuti Cut Mala. Keduanya berjalan mengelilingi taman. Orang orang Mesir semakin ramai yang datang. Ada yang berlari lari kecil. Ada yang hanya berjalan jalan.

"Bererti Ustadz Zulkifli itu pernah belajar di Pesantren Ar-Risalah Medan Kak?" tanya Cut Mala. Ia bertanya begitu kerana Fadhil, abangnya menyelesaikan pendidikan menengahnya di pesantren itu.

"Iya. Setahu saya, dia waktu MT's dan Aliyahnya di Pesantren Ar-Risalah, lalu kuliah di LIPIA Jakarta Program I'dadul Lughah, setelah itu ia mengajar di pesantren kakak." Jelas Tiara panjang lebar.

"Dia tampan ke Kak?"

"Aku tak ingat wajahnya Dik. Kenapa kau tanya begitu?"

"Memang tidak boleh tanya, Kak?!"

"Ya, boleh saja. Tapi kenapa kau tanya begitu?"

"Kalau dia tampan, ya terima saja Kak."

"Kalau tidak tampan?"

"Ya, terserah kakak. Kan kakak yang mengambil keputusan, dan kakak pula yang akan menjalaninya bukan Mala hi hi hi...." Cut Mala ketawa mengusik. Dua lesing di pipinya menambahkan pesona wajahnya.

Tiara geram dibuatnya.

******

Bahasa Arab Corner :

1. Afwan - maaf
2. Al-Ma'tsurat - kumpulan zikir dan doa dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang dibaca pada pagi dan petang hari