Monday, March 28, 2011

KETIKA CINTA BERTASBIH - (15) Pesona Gadis Aceh

Silakan terus dengan pembacaannya... Mohon doanya aku punya kelapangan di lain waktu....


SEBAIK sampai di SIC, Azzam terus membuat kuah untuk baksonya. Beberapa siswa SIC minta merasa bebola bakso yang telah jadi. Ia tidak memenuhi permintaan mereka. Sebab jika satu anak diberi, yang lain pasti akan minta. Dengan bijak ia menjawab :

"Jangan risau, nanti kalian semua akan mendapat bahagiannya, masing masing anak satu mangkuk bakso. Sabar sedikit ya."

Seorang anak yang terkenal suka mengusik membantah :

"Walah minta satu saja tidak boleh. Dasar kedekut!"

Azzam tersenyum mendengarnya. Ia tidak terkejut mendengarnya. Sudah selalu dan biasa terjadi. Maka ia tidak menjawab apa apa. Sebab setelah majlis selesau nanti dan masih ada sisa bakso, anak anak itu akan minta lagi. Biasanya ia akan memperkenankan permintaan mereka. Dan mereka akan berkata padanya : "Bang Insinyur memang pemurah dan baik hati. Terima kasih ya bang."

Majlis di SIC selesai tepat pukul dua belas tengah hari. Dan majlis itu Azzam mendapat keuntungan bersih sebanyak tujuh puluh dolar. Azzam terus pulang ke Mutsallats. Nasir ternyata telah ada di rumah. Sedang menanak nasi dan memasak telur mata kerbau.

"Eh Kang Azzam, baru pulang. Teman teman ada di mana Kang, kenapa sepi?" tanya Nasir santai sambil membalik telur mata kerbaunya. Kelihatannya ia sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi di rumah itu.

"Mereka sedang berada di hospital Rab'ah." jawab Azzam sambil meletakkan periuk besar dan perkakasnya pada tempatnya.

"Di hospital? Siapa yang sakit Kang?" Nasir terkejut. Pandangan matanya beralih dari telur mata kerbaunya ke wajah Azzam.

"Fadhil." Ucap Azzam datar.

"Fadhil?! Sakit apa Kang?"

"Sudahlah, kau makanlah dulu. Fadhil akan baik baik saja. Sudahlah, nanti ku ceritakan semuanya."

Azzam maduk ke biliknya untuk beristirehat. Sementara Nasir makan dengan sangat lahap. Nasi panas, telur mata kerbau dan kicap terasa begitu nikmat bagi pemuda yang pernah belajar di Pesantren Buntet Cirebon itu. Guratan keletihan masih nampak jelas di wajahnya. Namun guratan keletihan itu masih belum seberapa jika dibandingkan guratan keletihan pada wajah Azzam yang kini menelentangkan tubuhnya di atas tempat tidurnya.

Azzam memejamkan mata, tapi fikirannya mengembara ke mana mana. Mengembara ke ruang ruang keletihan demi keletihan, tanggungjawab demi tanggungjawab, bakti demi bakti. Perjalanan hidup yang harus ditempuhnya di Cairo adalah kerja keras, titisan keringat, mata yang kurang tidur, fikiran yang penuh, dan doa yang dibalut tangis jiwa. Ingatannya pada ibu dan adik adiknya adalah tanggung jawab sebagai seorang lelaki sejati yang beriman. Ingatan pada ayahnya adalah kewajipan bakti seorang anak mengalirkan doa pembuka rahmat Allah di alam baka.

"Kang, apa yang sebenarnya terjadi pada Fadhil?" Nasir duduk di samping Azzam. Ia tahu Azzam tidak tidyr. Azzam bangkit perlahan lalu duduk.

"Lebih tepat kalau kau bertanya, apa sebebnarnya yang telah terjadi di rumah ini," jawab Azzam. Nasir diam saja, ia tahu Azzam belum selesai bicara. Justeru baru memulai bicara. "Malam tadi terjadi peristiwa besar di rumah ini. Peristiwa yang tidak lain adalah getah dari tindakan ketidak hati hatianmu," lanjut Azzam. Nasir terkejut mendengarnya.

"Tindakan saya yang mana Kang?!" tanya Nasir dengan nada protes.

Azzam lalu menceritakan semua yang terjadi dengan detail. Tidak dikurangi dan tidak juga dilebihi. Mata Nasir berkaca kaca. Ia baru mengerti dengan 'tindakan ketidak hati hatiannya' yang dimaksudkan Azzam.

"Maafkan saya kang. Saya tidak tahu kalau akan sampai terjadi seperti ini. Saya beruntung dapat tinggal satu rumah bersama orang yang berjiwa menjaga dan melindungi seperti kamu. Sekarang apakah yang senaiknya yang perlu saya buat, Kang?" Ucap Nasir dengan disertai tasa penyesalan yang dalam.

"Untuk sementara, selama kau di Mesir hapuskan nama Wail El Ahdali dari ingatanmu. Dan bergaullah dengan orang Mesir dan orang asing sewajarnya saja. Jangan terlalu akrab. bergaul sewajarnya selain membuat kita waspada, juga membuat kita lebih dihormati di negeri orang. Yang jelas mungkin kau sedang dicari mabahits. Bersikap biasa saja. Jika suatu hari diperiksa mabahits, jawablah yang wajar saja. Yakinkan mereka bahawa kau tidak berbuat yang bukan bukan di tanah air mereka ini. Yakinkan mereka bahawa tumpuanmu adalah hanya untuk belajar di Al-Azhar. Jangan pernah mengisyaratkab kau kenal dan mempunyai hubungan dengan Wail El Ahdali." Azzam menasihati panjang lebar. Nasihat yang sangat penting bagi orang yang terlalu akrab dengan siapa saja seperti Nasir. Sikap akrab yang terkadang berlebihan, sehingga berpeluang mengundang hal hal yang tidak diinginkan.

"Baik Kang. Tapi Wail itu orangnya baik Kang. Dia bukan penjahat. Aku pernah ke rumahnya di daerah Mahallet Marhum, dekat Tanta."

"Aku tidak mengatakan Wail itu tidak baik Sir. Aku percaya bahawa teman teman mu baik. Tapi yang terbaik bigi kita saat ini adalah tidak kenal Wail dulu. Amn Daulah Mesir merasa mempunyai urusan dengan Wail. Kita biarkan itu sebagai urusan mereka. Kita di sini adalah tetamu. Dia orang Mesir. Dia lebih tahu Mesir daripada kita. Wail pasti mempunyai cara untuk menyelesaikan urusannya. Kita urus saja urusan kita sebaik baiknya. Bukankah urusan kita sendiri masih banyak?" tegas Azzam.

"Ya Kang."

"Sekarang kita ke Mustasyfa Rab'ah."

"Baik Kanh. Aku mandi dulu sebentar dan ganti pakaian ya Kang? Pagi tadi aku belum mandi."

"Ya. Tapi cepat ya."

"Ya Kang."

Ketika Nasir mandi, Azzam teringat akan tempe yang ia serahkan pembuatannya pada Rio. Ia harus memeriksanya untuk lebih merasa yakin bahawa pekerjaan anak buahnya beres seperti yang ia harapkan. Ia melihat beberapa calon calon tempe di rak. Ia ambul satu, ia teliti.

"Bagus. Rio boleh diharapkan," lirihnya.

Ia merasa tenang, jika suatu saat nanti ia tidak boleh membuat sendiri tempenya, ia boleh menyerahkannya pada Rio. Dengan begitu bisnesnya akan tetap lancar. Dan Rio juga senang, sebab dia akan mendapat tambahan gaji.

Nasir mandi dengan bagitu cepat. Entah apa yang ia lakukan di bilik mandi. Rasanya baru masuk, sudah keluar pula. Ia terus masuk ke biliknya dan mengganti pakaian.

Sepuluh minit kemudian, mereka berdua sudah keluar rumah. Mereka berjalan kaki menuju jalan raya.

sebaik ada bas nombor 65, mereka naik. Selama dalam perjalanan yang tidak lama itu Azzam tertidur. Nasir masih didera rasa bersalah. Malam tadi ia hampir mahu nekad tetap mengizinkan Wail menginap di rumah. Namun ia ingat, jika Azzam marah, maka seisi rumah pasti akan juga marah.

Kerana itulah, sebaik selesai makan roti dan kabab, ia mengajak Wail jalan kaki ke Tub Ramli. Ia dan Wail akhirnya menginap di rumah Mat Nazri, mahasiswa berasal dari Pahang, Malaysia yang sama sama agen tiket Malaysia Air Lines. Mat Nazri percaya saja padanya, bahkan sangat senang dengan kedatangan Wail. Mereke bertiga tidak tidur. Sebab Wail banyak bercerita tentang masa kecilnya dan juga kedamaian desanya. Cerita yang seronok didengar dan mengasyikkan, kerana Wail sering menyelitkan dengan lawak lawak yang menyegarkan. Ia masih teringat cerita Wail tentang Abu Nuwas. Wail berkata :

"Waktu kecil dulu aku paling suka mendengarcerita cerita lucu Abu Nuwas. Yang paling menarik membawakan cerita adalah Ammu Husni. Dulu dia yang mengajari anak anak desa kami membaca Al-Quran. Sekarang dia bekerja di Kementrian Wakaf di cairo. Saya masih ingat satu cerita dari Ammu Husni tentang Abu Nawas. Cerita yang jika saya mengingatkannya masih boleh tertawa, paling tidak tersenyum sendiri. Ammu Husni bercerita begini :

'Suatu petang Khalifah Harun Ar rasyid berjalan jalan mencari angin di luar istananya. Ia jalan melalui pasar. Di sana, ia bertembung dengan Abu Nuwas. Sang Khalifah sangat terkejut melihat Abu nuwas membawa sebuah botol yang kelihatannya berisi arak dalam ukuran yang besar. Untuk meyakinkan apa yang dilihatnya, sang Khalifah pun menghampiri Abu Nuwas.

"Sejak bila kamu jadi pemabuk Abu Nuwas?" selidik Khalifah.

"Saya tidak pernah mabuk. Khalifah jangan sembarangan menuduh sesuka hati!" jawab Abu Nuwas berbelit.

"Lalu apa yang kamu bawa itu?"

"Botol."

"Lalu apa isi botol itu?"

"Susu, Khalifah."

"Susu kok warnanya merah? Sungguh aneh, bukankah di mana mana susu warnanya putih?"

"Harap maklum Khalifah. Susu ini mulanya berwarna putih. Tapi kerana malu pada Khalifah, jadi berubah merah. Ia lebih pemalu daripada gadis pingitan, Khalifah," jawab Abu Nuwas diplomatik.

Mendengar jawapan Abu nuwas itu, Sang Khalifah tertawa terbahak bahak. kenapa boleh susu memiliki sifat malu. Sungguh jawapan yang bodoh, namun menyegarkan. Sang Khalifah lalu meneruskan perjalanannya setelah tahu ternyata yang dibawa Abu Nuwas memang bukan arak, tapi minuman sejenis sirap dari kurma.'

Nasir tersenyum sendiri. Cerita tentang abu Nuwas, yang kalau di Indonesia lebih dikenali dengan Abu Nawas, sudah sangat sering ia dengar. Tapi cerita tentang susu yang boleh ebrubah merah warnanya kerana malu, baru ia dengar saat itu. Mesir memang kaya dengan cerita cerita lucu, di samping juga kaya akan kisah romantik dan juga epik yang menggetarkan jiwa.

Beberapa puluh meter sebelum sampai Mahattah Rab'ah, ia membangunkan Azzam. Azzam bangun dengan mata merah. Mereka turun dan terus ke hospital. Di depan bilik Fadhil, mereka melihat Nanang dan Ali berdiri di samping pintu.

"Kenapa di luar? Siapa yang di dalam?" tanya Azzam.

"Fadhil sedang ditunggui dua perempuan," jawab Nanang.

"Cut Mala, adik perempuannya dan Cut Rika teman Cut Mala."

"Fadhil bagaimana keadaannya?"

"Sudah sedar. Kata doktor akan baik baik saja. Tapi pagi tadi sempat diinfus dengan vitamin otak. Setelah di-scan, ada gegaran ringan. Mungkin kerana kepalanya terhantuk di lantai waktu dia terjatuh malam tadi. Oh ya Kang, dia menanyakan kamu terus sejak sedar," kata Nanang menjelaskan.

"Baik, kalau begitu aku masuk dulu."

Azzam terus masuk. Dua mahasiswi bertudung duduk di samping Fadhil. yang bertudung biru muda bercakap cakap dengan Fadhil. Sementara yang bertudung putih membaca majalah.

"Assalamu'alaikum?" sapa Azzam.

Seketika yang ada di bilik itu menjawab salam. Fadhil tersenyum melihat siapa yang datang. Ia terus berkata pada gadis bertudung biru muda :

"Dik Mala, itu Kang Azzam, senior saya di rumah." Gadis bertudung biru mengangguk kepada Azzam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Azzam juga melakukan hal yang sama sambil memperkenalkan diri :

"Ya, saya Azzam."

"Saya adiknya bang Fadhil. Cut Mala. Lengkapnya Cut Malahayati." Tukas gadis bertudung biru berwajah putih bersih. Azzam melihat sesaat, ia tertegun sesaat. Baru kali ini ia bertatap muka dan melihat terus wajah adik perempuan Fadhil yang membuat Hafez hampir gila. Ia harus mengakui, memang mempesona. Ia terus menundukkan kepala, lalu tanpa sedar ia mengalihkan pandangan ke arah gadis yang satunya yang sedang menghadap ke arahnya dengan menundukkan kepala.

"Dia teman Mala. Masih ada hubungan keluarga dengan saya meskipun jauh. Namanya Cut Rika." fadhil memperkenalkan. Sebab ia tahu teman adiknya itu sangat pemalu. Azzam hanya mengangguk angguk. Gadis yang bernama Cut Rika itu diam saja. Maka Azzam mengalihkan perhatiannya pada Fadhil.

"Bagaimana keadaan Dhil?"

"Baik kang. Tidak ada yang perlu dicemaskan. tapi aku perlu berbicara dengan kamu tentang satu hal penting." jawab Fadhil.

"Apa itu?" tanya Azzam penasaran.

"Sebentar Kang," jawab Fadhil sambil memberi isyarat kepada adiknya agar ia dan temannya meninggalkan bilik. Setelah keduanya keluar, Fadhil berkata :

"Boleh tak kang saya pulang petang ini?"

"Kenapa Dhil? kau masih perlu rawatan?"

"Terus terang Kang, saya tidak mempunyai wang. Adik saya juga. Kami tidak mungkin minta ibu kami di Indonesia."

"Sudahlah, kau jangan memikirkan hal itu dulu. Biar hal itu aku yang memikirkan, yang penting kamu sihat kembali. Ujian tidak lama lagi. Ingat itu."

"Kalau boleh pulang secepatnya. Cubalah bicara dengan doktor, jika dia datang nanti."

"Baiklah."

"Terima kasih Kang."

"Ya, sama sama. Adikmu biar masuk kembali ya. Soalnya, ia kelihatan ingin terus dekat denganmu. Aku dan teman teman solat Ashar dulu."

"Iya Kang."

Azzam beranjak keluar memanggil dua gadis Aceh, lalu mengajak teman serumahnya solat Ashar. Sebab saat itu azan sedang berkumandang.

Setelah Ashar, doktor datang. Azzam membicarakan kemungkinan Fadhil dibawa pulang.

"Dia boleh pulang, paling cepat besok siang." Jelas doktor berambut putih meyakinkan.

Menjelang Maghrib, Cut Mala dan Cut Rika minta diri. Tidak lama setelah Azzam dan Nanang juga minta diri. Untuk jaga malam, Nasir dan Ali menawarkan diri. Atas permintaan Azzam, Hafez memanh sejak awal tidak perlu diberitahu dahulu. Biar dia menyelesaikan urusannya di Katamea dulu. Azzam tidak ingin Hafez tahu lalu terus ke hospital dan bertemu Cut Mala.

Saat Azzam pergi pada Fadhil, dengan nada bergurau Fadhil berkata :

"Menurutmu Cut Mala, adikku, cantik tidak Kang?" Azzam menjawab dengan gurauan :

"Tanyakan saja pada Nasir, dia paling tahu tentang perempuan cantik. Kelihatannya tadi, dia memerhatikan adikmu itu."

Nasir tidak menduga akan jadi sasaran tembak. Serta merta ia berkata :

"Ya, kalau belum ada yang mengkhitbah, cantik sih. Tapi kalau sudah ada yang mengkhitbah, ya, tidak cantiklah!"

Azzam tersenyum lalu pergi. Ia jadi teringat dua orang adiknya kembali. Husna dan Lia. Apa mereka secantik Cut Mala, atau malah lebih cantik? Tiba tiba ia malu pada diri sendiri. Hatinya benar benar mengakui pesona gadis Aceh bertudung biru mda itu tadi. Fadhil memang telah berkali kali bercerita tentang adiknya yang baru setahun setengah menyusulnya kuliah di Cairo. Namun baru petang itu ia bertatap muka dengan gadis yang kata Fadhil, saat di Madrasah Aliyah pernah menjuarai MTQ (Musabaqah Tilawah Al-Qur'an) se-Tanah Rencong, Aceh. Ia boleh memahami kenapa Hafez sedemikian jatuh hati padanya.


Terjemahan Corner :

1. Diinfus - Dimasuk melalui tiub



Monday, March 14, 2011

KETIKA CINTA BERTASBIH - (14) Hari Yang Menegangkan

Ni tak sempat nk edit pebenda... Ada masa je aku publish... Pandai2 koranglah ye... Mana yg tak betul ejaan harap beno dimaapkan...

MATAHARI pagi mulai menyinari bumi Kinanah. Sinarnya hangat, sehangat celoteh anak anak Mesir yang keluar dari rumahnya untuk berangkat ke sekolah. Di rumah Azzam suasana tegang belum hilang. Fadhil belum juga sedar sampai jam enam pagi.

"Bagaimana ini Kang?" tanya Nanang cemas.

Azzam berfikir sebentar. Memang dia yang harus memutuskan. Sebab ia yang paling tua di rumah itu.

"Kita bawa ke hospital. Kau cari teksi sana sama Ali. Fadhil biar aku yang tunggu!" kata Azzam.

"Baik Kang."

Nanang dan Ali lalu keluar untuk mencari teksi. Lima belas minit kemudian mereka kembali dengan membawa teksi. Pagi itu juga Fadhil mereka bawa ke Mustasyfa Rab'ah El Adawea. Doktor yang memeriksa mengatakan, fadhil harus dirawat di hospital.

Pagi itu menjadi pagi yang sangat sibuk bagi Azzam. Ia teringat bahawa ia harus menyelesaikan pekerjaan pekerjaannya. Rendaman kacang soya yang harus ia olah jadi tempe. Tempe tempe yang sudah jadi yang harus ia agihkan. Kemudian acara di Sekolah Indonesia cairo (SIC) yang memesan bakso padanya. Jam sebelas ia dan baksonya harus siap di SIC. Jika tidak ia akan dimarahi ramai orang.

Ia merasa perlu membahagikan tugas dan pekerjaan. yang boleh dilakukan orang lain biar dilakukan orang lain. Sementara ia akan menangani yang hanya boleh ia tangani. Ia bertindak segera. Ia meminta Ali menjaga Fadhil. Nanang ia minta menghubungi KMA (Keluarga Mahasiswa Aceh), juga adik perempuannya yang tinggal di Makram Abied. Sementara ia sendiri harus segera kembali ke rumah untuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Aku kembali ke sini selepas Zohor, insya Allah. habis dari KMA, kau terus balik ke sini ya Nang?" kata Azzam.

Nanang mengangguk.

"Nasir bagaimana Kang?" Tanya Ali.

"Biar aku yang mengurus. baik, aku tinggal dulu." Jawab Azzam.

Sampai di rumah, Azzam terus menghubungi Anam, Yayan dan Rio. Tiga orang yang selama ini ikut mengedar tempe tempenya. Agar mudah Azzam membahagi wilayah operasi mereka. Tugas mereka sebenarnya menjadi mudah, kerana hanya menghantar ke rumah rumah para pelanggan yang telah dirintis Azzam. Namun mereka juga diberi kebebasan mencari pelanggan baru di wilayahnya masing masing. Manakala Anam, Azzam memberi kepercayaannya beroperasi di Abdul Rasul, Rab'ah, Haidar Tuni. Sedangkan Yayan, beroperasi di Masakin Ustman, Hay Zuhur dan Hay Sabe'. Adapun Rio beroperasi di Katamea.

Tiga mahasiswa itu terus datang. Azzam meminta mereka segera mengedar tempe tempe yang telah jadi ke wilayah masing masing, kecuali Rio.

"Sementara Rio, kau membantuku membuat tempe saja." Ujar Azzam pada Rio. Rio pun mengangguk setuju. Azzam terus memberi petunjuk pada Rio. Pertama ia minta Rio merebus kacang soya yang direndam sampai matang.

"Tanda kacang soyanya sudah masak, jika wapnya sudah berbau kacang soya," jelas Azzam pada Rio. "Jika sudah masak, tapiskan sampai dingin. baru diletakkan raginya," lanjut Azzam.

"Raginya sebanyak mana Kang?" tanya Rio.

"Jangan banyak banyak. Ini ragi keras. Begini saja." jawab Azzam sambil memberi contoh sukatan ragi dengan mengambil ragi dengan tangannya.

"Baru setelah itu dibungkus dengan plastik itu. Ukurannya seperti bias," terang Azzam. Untuk membuat tempe, Azzam hanya boleh percaya pada Rio. Anak dari Tuban itulah yang paling sering membantunya membungkus tempe. Dan hasil bungkusannya kemas dan rapi.

Setelah semuanya ia rasa beres, ia menyiapkan segala keperluannya untuk membuat bakso. Semua barang dan alat yang ia perlukan, ia masukkan ke dalam periuk besar. Lalu ia memanggil teksi. Dengan teksi ia membawa periuk besar itu menuju SIC yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Dalam perjalanan, ingatannya tertuju pada fadhil yang saat ia tinggalkan masih pengsan. Ia berharap tidak terjadi apa apa dengannya.


******

Pukul lapan Furqan baru terbangun. Ia sangat terkejut. Bagaimana boleh terjadi? Seharusnya ia bangun pukul empat. Bagaimana boleh tertidur sampai pukul lapan. Ia merasa ada yang sangat menyiksanya. Ia tidak hanya kehilangan solat Tahajjud. namun ia juga kehilangan solat Subuhnya.

Ia beristighfar berulang kali. Belum juga kekejutannya reda. Ia terkejut dengan keadaannya.

"Laa haula wa la quwwata illa billaj! Inna lillah!" Ia berkata setengah teriak. Ia terkejut bagai kejutan elektrik. bagaimana mungkin ia boleh tidur tanpa pakaian. Tidur hanya bertutupkan selimut saja. padahal ia tidur bukan dalam keadaan seperti itu. Ia tidur dengan baju panjang dan seluar panjang. Ia melihat baju panjang dan seluar panjangnya bersepah di lantai. Ia bingung dengan dirinya sendiri. Apakah waktu tidur tadi dia mengigau dan melepaskan pakainnya tanpa sedar. Ia merasa tidak yakin. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia bangun tidur dengan keadaan yang menurutnya sangat memalukan.

Ia terus bangkit, mencuci muka dan mengambil air wudhu'. Ia harus segera mengqadha' solat Subuh. Fikirannya benar benar kacau. Hatinya tidak tenang. Ia solat dengan tidak boleh khusyu' sama sekali. Perasaan berdosa kerana solat tidak tepat pada waktunya terus berlegar di fikirannya. Pagi yang bagi sebahagian besar penduduk kota Cairo sangat cerah itu, baginya terasa sangat suram.

Perasaan terkejutnya tidak berhenti sampai di situ. Selesai solat ia ingin menghidupkan laptopnya dan untuk mendengarkan nasyid Raihan dengan winamp, namun ia tersentak dengan adanya sebuah foto di atas laptopnya yang terletak di atas meja. Foto itu adalah foto dirinya dengan seorang perempuan berambut perang dalam keadaan sangat memalukan. Foto yang membuatnya gementar dan didera kecemasan luar biasa, juga rasa geram yang menyala. Sesaat ia bingung harus berbuat apa. Ia sendiri tidak tahu perempuan berambut perang itu siapa? Bagaimana itu semua boleh terjadi? Dan dirinya? apa yang sebenarnya telah dilakukan perempuan itu pada dirinya? Dan apa yang telah dilakukannya dengan perempauan itu?

Serta merta ia ditimpa rasa sedih yang menusuk nusuk jiwa. Air matanya meleleh. Ia merasa telah ternoda. Harga diri dan kehormatannya telah hancur. Ia merasa tidak memiliki apa apa. Ia merasa menjadi manusia paling kotor dan terhina di dunia. Sesaat lamanya ia bingung. Ia didera rasa cemas dan ketakutan yang begitu besar sehingga ia tidak tahu harus berbuat apa? Foto itu ia rasakan bagaikan pedang yang siap memenggal lehernya. Dunia terasa hitam pekat baginya.

Ia berusaha mengendalikan dirinya. Ia meyakinkan dirinya bahawa ia adalah seorang lelaki. Ya. Seorang lelaki sejati tepatnya. Seorang yang berani menghadapi masalah yang ada di hadapannya. Ia adalah Mantan Ketua PPMI yang disegani. Ia harus boleh menguasai diri. Harus boleh bertindak tepat, cepat dengan akal yang sihat. Ia amati foto itu sekali lagi. Ia membalikkan. Ia menagkap sesuatu. Sebuah pesanan ringkas :

Please read "myoptions.doc" in ur notebook!

Furqan terus menyalakan laptopnya dan mencari fail yang berjudul myoptions.doc. Lalu ketemu. Ia buka. Sebuah pesanan dengan bahasa Arab muncul di layar laptopnya.

Tuan Furqan, setelah bangun dari tidur anda pasti terkejut dengan keadaanmu dan dengan apa yang kau temukan. Saya sudah tahu siapa anda. Tidak usah berbelit belit. Kita terus ke inti masalah. Ini murni masalah bisnes. Bisnes kecil kecilan antara Tuan dan saya. saya sudah mempunyai foto foto "menarik" dengan Tuan. Jika Tuan ingin foto foto ini tidak jadi bahan perbincangan umum, maka sebaiknya Tuan melakukan dua hal ini :

Pertama, jangan lapor kepada polis.

Kedua, silakan transfer wang sebanyak 200,000 USD ke nombor akaun ini : 68978967605323 Banca Commerciale Italiana Roma (Jangan dupa dicatat, sebab sebaik fail ini Tuan tutup, fail ini akan terus musnah). Saya beri tempoh waktu 2 x 24 jam untuk mentrasfer.

Ketiga, setelah wang masuk akaun saya, maka saya akan kirim seluruh filem negatif dari foto foto tersebut dan saya jamin tidak ada yang saya simpan.

Terima kasih atas kerjasamanya.

Miss Italiana.

Furqan terpaku di depan layar laptopnya. Ia ditekan. Ia mahu diperas ugut. Ia tidak percaya ini akan terjadi padanya. Ini berlaku seperti di filem filem yang pernah ia tonton. Siapakab Miss Italiana itu? Tiba tiba ia teringat Sarah. Apakah ini semua ada hubungannya dengan undangan Sarah? Juga kekecewaan Sarah? Siapakah Sarah sebenarnya? Benarkah ia puteri Prof. Sa'duddin seperti yang diakuinya? Akal sihatnya mulai berjalan. Namun ia tetap dicengkam kecemasan dan ketakutan. Ia seperti diseret masuk ke dalam dunia yang kelam.

Tejemahan Corner :

1. Mustasyfa - Hospital


Friday, March 11, 2011

KETIKA CINTA BERTASBIH - (13) Tetamu Tak Diundang


Waktu malas bikin kerja... ini yg aku usahakan... jiwa aku damai dgn ini... moga kalian juga sedemikian dlm pembacaan...

MALAM itu Anna tidak boleh tidur gara gara pertanyaan Laila tentang lamaran Furqan itu. Fikirannya tidak tenang. Sudah tiga bulan lamaran itu disampaikan kak Zulfa kepadanya, tapi ia belum juga boleh mengambil keputusan. Ini adalah waktu terlama baginya dalam menimbang sesuatu. Entah kenapa kali ini tidak mudah baginya untuk mengatakan 'tidak', seperti sebelum sebelumnya.

Ia benar benar belum menemukan alasan untuk menolak lamaran Mantan Ketua PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia) yang terkenal cerdas dan kaya itu. Juga tidak mudah mengatakan 'ya'. Ia belum merasakan kemantapan hati untuk menjadi pendamping hidupnya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa tidak juga merasakan kemantapan hati. Ia tidak mungkin melangkah tanpa kemantapan hati. Baginya menerima lamaran seseorang kemudian bernikah adalah ibadah. Dan ibadah tidak sempurna jika tidak disertai kemantapan hati dan jiwa.

Jarum jam dinding di biliknya menunjukkan pukul dua dinihari. Matanya tidak mahu terpejam. Bagaimana jika Furqan, atau kak Zulfa mendesaknya lagi untuk memberi kepastian? ia bangkit dari katil. Duduk dan menunduk. Kedua matanya yang sedikit merah mengguratkan rasa kepenatannya. namun sama sekali tidak mengurangi pesona kecantikannya. Dari kamr sebelah, sayup sayup ia mendengar suara detak keyboard komputer. Dari kamar Wan Aina. Mahasiswi berasal dari Selangor, Malaysia yang pernah belajar di Diniyah Putri Padang Panjang itu memang seorang yang bekerja keras.

Anna tahu bahawa gadis Melayu pencinta lagu lagu Ummi Kultsum itu beristirehat hanya dua jam. Ia sangat bangga padanya. Wajar, jika tahun pertama M.A. Al-Azhar dilaluinya dengan mudah. Tidak ada satu mata kuliah pun yang tertinggal. Anna beranjak ke kamar Wan Aina. Mengetuk pintunya perlahan.

"Masuk saja!" Suara Wan Aina dari dalam kamar.

Anna membuka pintu dan masuk perlahan. Wan Aina duduk di depan komputer tanpa bertudung. Rambutnya dipotong pendek. Sedikit di atas bahu. Matanya terfokus pada buku yang ia letakkan di samping kanan monitor komputernya. Sementara sepuluh jarinya yang lentik menari nari indah di atas tuts tuts keyboard komputer. Anna mendekat berdiri di samping Wan Aina.

"Terjemah apa Wan?"

"Ini Kak, terjemahkan cerpenya Ibrahim Ashi," jawab Wan Aina. Ia memang biasa memanggil Anna kakak, "Nak ku kirim ke majalah sastera milik Dewan Bahasa dan Pustaka diKL," lanjut Wan Aina sambil sesekali membetulkan tulisan yang salah.

"Apa judulnya Fat?"

"Alal Mughtasal. Sebuah cerpen yang penuh kritik sosial. Ada kalimat dari Ibrahim Ashi yang menggelitik sekali." Jelas Wan Aina sambil tetap mengetik.

"Kalimat apa itu Wan?"

"Ibrahim Ashi menulis: Orang orang kaya tidak mati mati.... Orang orang kaya boleh menyuap Izrail."

"Ada ada sja saterawan itu. Eh Fat, sembang sembang kamu pernah tidak dikhitbah seseorang?"

"Apa Kak? Dikhitbah?" Wan Aina menghentikan jari jemarinya. Ia memalingkan wajahnya ke Anna.

"Ya. Dikhitbah. Dilamar. Pernah tak kamu dilamar seseorang untuk dijadikan isterinya." Anna mengulang pertanyaan dengan lebih jelas.

"Ya pernahlah. Sudah dua kali. Tapi dua duanya aku tolak mentah mentah!"

"Kenapa?"

"Sebab aku tidak yakin boleh mencintai dia."

"Meskipun agamanya baik?"

"Ya. Yang ku cari adalah yang agamanya baik dan aku yakin boleh mencintainnya. Aku dapat berbakti padanya dengan penuh rasa suka, rasa cinta dan ikglas. kenapa Kak Anna tiba tiba bertanya khitbah padaku? Apa ada orang yang mengkhitbah lagi?"

"Iya. Tapi yang ini membuatku susah."

"Kenapa?"

"Aku belum yakin boleh mencintainya. Namun aku juga masih merasa berat jika menolaknya." Terang Anna pada Wan Aina. Selama ini Wan Aina adalah teman yang paling aman diajak bicara dari hati ke hati. Ia sangat dewasa dan boleh menjaga rahsia.

"Menurutku kakak tidak usah tergesa gesa. Kak Anna tunggu dulu sampai benar benar sedia mengambil keputusan yang matang. Jika yang mengkhitbah tidak sabar, ya biar mundur. Jangan tergesa gesa memutuskan Kak. Tergesa gesa itu datangnya dari syaitan. Menentukan siapa yang jadi pasangan hidup kita itu ibarat sama dengan menentukan nasib kita selanjutnya. Harus benar benar matang dan penuh pertimbangan. Oh ya Kak, bagaimana tiketnya? Sudah selesai?"

"Besok saya bayar insya Allah. Dua hari lagi boleh saya ambil."

"Baguslah. Tiker Aina sudah Aina ambil. Kita jadi ke Kuala Lumpur awal pekan depan, insya Allah. Hari Ahad kita ikuti seminar sehari tentang Ulama Perempuan di Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW, PPMI, Wihdah dan ICMI di Auditorium Shalah Kamil. Hari Isninnya kita terbang ke KL. Keluarga saya akan menanti kita di Air Port. Kak Anna tak usah risau. Saya sudah cerita semua pada mereka. Mereka sangat gembira dengan kedatangan Kakak."

"Terima kasih Wan. Mungkin dengan pergi ke Malaysia fikiranku boleh lebih jernih dan tenang. Dan ku fikir masalah khitbah ini perlu aku musyawarahkan dengan abah dan ummiku di Indonesia."

"Itu lebih baik Kak."

"Kau sudah Tahajjud Wan?"

"Belum Kak."

"Kita Tahajuud bersama yuk. Kita bergantian jadi imam, biar sekalian muraja'ah."

"Boleh Kak. Tapi aku selesaikan satu halaman ini dulu ya. Kakak ambil wudhu' dan solat dulu saja di bilik kakak. Nanti saya ke sana."

"Baiklah." Jawab Anna dan terus bergegas mengambil wudhu'.

******

Jam loceng di bilik Azzam terus berdering. Azzam masih tidur nyenyak. Jarum menunjukkan pukul dua empat puluh minit. Tidak lama kemudian jam loceng itu berhenti. Lima minit kemudian jam loceng yang satunya berdering. Sudah menjadi kebiasaan Azzam memasang dua jam loceng untuk mengejutkannya agar boleh bangun malam. Ia masih ingat pesanan ibunya sebelum berangkat ke Mesir.

"Jangan tinggalkan solat malam!"

Jam loceng kedua sudah dua minit berdering, Azzam tidak juga bangun. Tiba tiba...

Dar.. dar.. dar...!

Azzam tersentak. Seluruh penghuni tumah ini juga terbangun terkejut! Dan...

Dar... dar... dar...!

Iftahil baab! Iftahil baab!

Ada suara mengetuk pintu dengan keras disertai perintah untuk membuka pintu juga dengan suara keras. Mata Azzam masih berkunang kunang. Kepalanya masih terasa sangat berat. Namun telinganya boleh menangkap jelas suara perintah membuka pintu itu. Ia boleh menangkap dengan jelas itu adalah suara orang Mesir. Belum sempat beranjak dari tempat tidur, ketukan keras kembali terdengar.

Dar... dar... dar....!

Iftahil baab! Iftahil baab!

Ia tersedar dengan membawa kemarahan di ubun ubun kepalanya.

"Orang Mesir tidak tahu adab dan sopan santun. Malam malam mengetuk ngetuk rumah orang seenaknya. Memang rumah neneknya apa!" Geramnya pada diri sendiri seraya berjalan cepat ke ruang tamu. Teman temannya yang lain sudah bangun. Hafez mengikutinya di belakang. Ketika ia hendak membuka pintu, ketukan di pintu mengejutkannya :

Dar... dar... dar....!

Iftahil baab! Iftahil baab!

Spontan ia berteriak keras :

"Na'am, ya alilal adab!"

Lalu membuka pintu. Sebaik saja pintu terbuka ia terkejut bukan kepalang. Seorang berpakaian seragam hitam terus menudingkan senjata kepadanya dan membentak:

"Mana Wail!"

Ia mundur. Ali menyalakan lampu. Seketika tiga orang berseragam hitam menerajang masuk dan terus menutup pintu. Azzam berusaha tenang, meskipun hatinya takut saat itu.

"Di rumah ini tidak ada yang bernama Wail! Kami juga tidak mengenali Wail kecuali Wail Kafuri, penyanyi pop yang terkenal itu." Jawab Azzam tenang dengan suara sedikit bergetar.

"Jangan bohong! Kami yakin Wail El Ahdali ada di rumah ini! Kami akan periksa. Jika ia ada di rumah ini, kalian semua akan kami bawa! Kami mabahits dari Amn Daulah! Orang Mesir tinggi besar dan berkumis tipis itu menjelaskan siapa mereka dengan nada ancaman yang membuat Azzam tersedar dengan siapa dia berhadapan.

Azzam terus pasrah. Jika Nasir mengabaikan perintahnya dan Wail masih ada di situ, menginap di situ, maka habislah orang satu rumah. Ia sangat berharap Nasir mematuhi perintahnya. Entah kenapa, ia yakin Wail tidak ada di situ, maka dengan tegas ia menjawab :

"Kapten, meskipun kalian mabahits, kalian tidak boleh sesuka hati masuk ke rumah kami tanpa izin. Tidak boleh sesuka hati menginjak injak kehormatan kami. Kami tidak kenal siapa itu Wail yang kalian maksudkan. Di rumah ini tidak ada yang bernama Wail. Sebaiknya kalian segera keluar dari rumah ini. Kerana kami tidak mengizinkan kalian masuk!"

"Sebaiknya kau diam saja di tempatmu. jangan macam macam!" bentak si Kumis Tipis pada Azzam, lalu memerintahkan tiga anak buahnya untuk memeriksa seluruh sudut ruangan.

Ali, Nanang dan Fadhil berdiri gementar. Bibir mereka biru. Tidak sepatah kata pun mereka ucapkan. Tidak terasa ada yang membasahi seluar Fadhil. Anak Aceh itu didera ketakutan yang amat sangat. Trauma beberapa tahun silam terus hadir kembali. Kejadian waktu itu terus mengingatkannya pada kejadian tujuh tahun silam di Aceh, waktu rumahnya didatangi tentera berseragam tengah malam. Mereka menuduh ayahnya sebagai anggota gerakan pengacau keamanan yang dianggap paling menyengsarakan rakyat Aceh dan dianggap membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ayahnya yang hanya seorang guru mengaji biasa, dan pedagang biasa, jadi sasaran (soal siasat) tentera tentera itu. Ayahnya lalu dibawa pergi. Satu bulan kemudian tentera tentera itu datang lagi membawa ayahnya ke rumah dalam keadaan antara hidup dan mati. Satu hari berikutnya ayahnya meninggal dunia di pangkuannya dengan meninggalkan pesanan ringkas :

"Jangan menyimpan dendam. Jadilah Muslim sejati! Jadilah orang Aceh sejati!:

Tiba tiba Fadhil merasa tulang tulangnya seperti hilang. Ia merasa seperti lumpuh. Lalu ingatannya hilang. Ia pengsan. Tubuhnya terjelepuk di atas lantai. Azzam terkejut. Demikian juga Ali dan Nanang. Azzam terpaku sesaat di tempatnya. Ia ragu ragu untuk mendekati Fadhil. Namun sebagai ketua rumah tangga ia harus bertanggung jawab. Maka dengan cepat ia melihat keadaan Fadhil. Ali dan Nanang masih mematung di tempatnya.

"Jika ada apa apa dengan temanku ini, kalian harus bertanggungjawab. Jika misalnya ia terkena serangan jantung dan mati, maka kalianlah pembunuhnya dan itu akan diselesaikan secara diplomatik!" Geram Azzam sambil memandang si Kumis Tipis. Lalu ia memeriksa denyutan nadinya. Masih ada. Si Kumis Tipis ikut memeriksa lalu berkata :

"Dia hanya terkejut. Tidak apa apa. Nanti dia sedar!"

Tiga orang intelijen berseragam hitam masih memeriksa di dalam bilik. Mereka meneliti keadaan bilik dengan teliti. Termasuk buku buku yang ada di semua bilik. Lima belas minit kemudian, mereka keluar dan memberikan laporan pada si Kumis Tipis.

"Komandan, yang kita cari tidak ada di rumah ini. Setelah kami periksa juga tidak ada yang mencurigakan. Buku buku yang mereka baca biasa saja!"

"Hmm bagitu ya! Tapi kenapa aku masih merasa laporan kepada kita bahawa Wail ke sini adalah benar. Tukang sayur itu sangat tajam dan jarang meleset!" Kata si Kumis Tipis yang ternyata adalah komandan operasi mabahits itu.

Azzam mendengar dengan teliti. Kalimat terakhir yang disampaikan sang komandan menjadi catatan baginya. Tukang sayur yang mana yang menjadi anggota mabahits itu. Azzam meminta Ali dan Nanang mengangkat Fadhil ke tempat tidurnya. Dalam hati ia bersyukur. Nasir dan Wail yang beberapa jam yang lalu ada di sini, waktu itu tidak ada di situ.

Komandan berkumis tipis itu melakukan pemeriksaan sekali lagi dengan lebih teliti. Ia juga melihat ke bawah tempat tidur, bilik mandi, dapur dan dua balkoni. Ia tidak menemukan apa yang ia cari. Ia lalu mengorek ngorek tempat sampah. Dan menemukan sesuatu. Beberapa batang besi mencucuk kanan, dan bungkusan roti. Ia bawa barang bukti yang membuatnya merasa menang.

Di bilik Fadhil, Azzam memberitahu kepada Ali dan Nanag agar lebih banyak diam. Biar dia nanti yang bicara menghadapi para mabahits itu. Mereka diminta mengiyakan apa yang dikatakannya dan menidakkan apa yang ditidakannya. Azzam menduga komandan mabahits itu akan melakukan penyelidikan serius dan akan menyoal siasat dirinya dan teman temannya untuk mendapatkan apa yang dicari. Ia sendiri tidak mahu tahu apa urusan mabahits Mesir itu dengan Wail, pemuda yang dibawa Nasir. Yang paling pemting baginya adalah menyelamatkan dirinya dan seluruh anggota keluarganya dari bahaya yang sedang mengancam mereka.

Dugaan Azzam benar.

"Kalian bertiga kemari! Temanmu yang pengsan itu biar ditunggu oleh anak buahku. Tenang, aku akan bertanggungjawab jika ada apa apa berlaku terhadap temanmu yang penakut itu!" Kata komandan itu pada Azzam, Ali dan Nanang tegas.

Azzam bangkit ke ruang tamu diikuti Ali dan Nanang. Meskipun ia sebenarnya sangat marah dan jengkel, tapi ia sedar bahawa dirinya tinggal di negeri orang.

Azzam duduk di hadapan sang komandan. Ali dan Nanang duduk di sampingnya. Sang komandan memegang besi mencucuk kabab sambil tersenyum :

"Tolong jawab, siapa yang membeli kabab dan roti ini?"

Azzam terus sedar akan digiring ke mana ia dan teman temannya. Maka dengan tegas Azzam menjawab :

"Saya!" Dalam hati ia meneruskan : "Tidak mebelinya." Sebab ia tahu yang membeli adalah orang yang dicari mabahits itu.

"Kamu?!" Komandan itu terkejut dengan ketegasan Azzam.

"Ya." tegas Azzam. Ali dan Nanang tegang.

"Benarkah perkataannya? Hei kau, siapa namamu?" tanya komandan kepada Ali.

"Nama saya Ali. Jika dia yang mengatakan "ya" bererti ya." Jawab Ali perlahan.

"Apa kau tahu bila dia membelinya?"

"Persisnya saya tidak tahu. saya tidur awal tadi. Dan dia selalu tidur paling akhir. Boleh jadi waktu saya tidur dia membeli kabab dan roti itu untuk mengisi perutnya yang lapar. Sebab dia tidak boleh tidur jika perutnya lapar." Jawab Ali datar dan lancar. Komandan itu mengerutkan dahi. Dengan sedikit mengejek Azzam berkomentar santai :

"Malam ini adalah malam yang tak akan kami lupakan. Selama ini kami merasa berada di sebuah negara yang sangat menjaga sopan santun. Dugaan kami ternyata keliru. Malam ini kami dibangunkan dengan paksa hanya untuk ditanya tentang siapa yang membeli tusuk kabab. Kenapa tidak memerintahkan kepada semua penjual kabab agar setiap pembelinya menyerahkan tanda pengenal diri untuk didaftarkan. Sehingga dengan mudah akan diketahui siapa saja yang membeli kabab."

Kata kata Azzam itu membuat telinga komandan mabahits panas. Serta merta ia menunjukkan bahawa dialah sebenarnya sang tuan rumah.

"Tolong tunjukkan pasport kalian! Saya ingin tahu apakah kalian membawa dokumen yang sah berada di negeri ini!" Kata sang komandan dengan nada marah.

"Sebentar. Kami ambilkan!" Jawab Azzam. Lalu ia bangkit menuju biliknya untuk mengambil pasport. Hal yang sama dilakukan oleh Ali dan Nanang. Mereka bertiga menyerahkan pasport kepada komandan itu. Sang komandan lalu memeriksa pasport pasport itu dengan teliti. Tidak ada yang tidak beres. Namun komandan itu masih belum puas hati.

"Kalian satu rumah ini berapa orang?" Selidik komandan itu.

Dengan tegas Azzam menjawab : "Lima orang!"

Azzam tidak berani berbohong. Sebab ia yakin komandan itu akan mencari kepastian dengan melihat aqad kontrak sewa rumah. Yang biasanya, pada aqad kontrak itu, tertera berapa orang yang menyewa rumah itu.

"Lima orang?" Ulang komandan.

"Bererti dua orang tidak ada di rumah?"

"Di mana mereka?"

Azzam pura pura bertanya pada Ali : "Di mana mereka Ali?"

Ali menjawab jujur seperti yang ia ketahui : "Yang satu pergi Tanta dan yang satunya di Katamea."

"Di Tanta dan Katamea?" Ulang komandan.

"Ya." Jawab Ali tegas.

"Untuk apa kira kira teman kamu pergi ke Tanta? Dan untuk apa pergi ke Katamea," tanya komandan dengan tetap mengarahkan pandangan kepada Ali.

"Ya, biasanya berkunjungan ke rumah teman. Sesama orang Indonesia. Mahasiswa Indonesia kan tidak hanya di Cairo."

"Siapa nama teman kalian yang ke Tanta itu?"

"Nasir."

"Yang ke Katamea?"

"Hafez."

"Tolong saya ingin lihat surat aqad perjanjian sewa rumah ini!" Pinta Sang Komandan.

Dugaan Azzam kembali benar. Azzam terus bergegas mengambil surat yang diminta. Sejurus kemudian surat aqad sewa rumah itu telah berada di tangan sang komandan berkumis tipis. Surat itu diteliti dengan teliti terutama nama nama penghuni rumah. Semua seduai dengan keterangan Azzam. Komandan itu mengangguk anggukkan kepala.


"Mungkin benar kata anak buah saya, kami salah rumah. Kami minta maaf atas kelancangan kami malam ini. Kami minta diri!" Kata sang komandan dengan wajah lebih bersahabat.

"Bagaimana dengan teman kami yang kalian buat pengsan. Kami minta dipertanggungjawabkan!" tukas Azzam.

"Dia tidak apa apa. Hanya ketakutan saja. Kau lihat kan dia sampai terkencing. Nanti dia akan sedar dan kembali normal. Anggap saja ini sebagai latihan membina mental dia," jawab komandan itu diplomatik.

"Kalau ada apa apa dengan dia bagaimana? Apa kalian akan lepas tangan begitu sja? Kalau kalian tidak mahu bertanggungjawab, kejadian ini akan kami bawa ke pengadilan. Akan kami tulis di surat khabar surat khabar dunia. Kami akan minta wartawan yang boleh menulis untuk menulisnya." Azzam tidak mahu kalah, sebab ia merasa benar. Sudah menjadi watak Azzam untuk sebuah kebenaran ia sedia berlawan sampai mati.

"Baiklah. Jika ada apa apa temui saya di pejabat mabahits Abbasea. Nama saya Hosam. Lengkapnya Leftenan Kolonel Hosam Qatimi. Saya akan urus semua. Sekarang kau rawat dia dulu. Jangan banyak berbuat masalah di Mesir. Izin kalian di sini hanya untuk belajar. Ingat itu!"

Tanpa menunggu jawapan Azzam, komandan itu bangkit dan mengajak ketiga tiga anak buahnya meninggalkan rumah itu. Ali dan Nanang cepat cepat ke bilik Fadhil. Azzam mengucap hamdalah dalam hati. Ia tidak boleh membayangkan apa yang akan dialaminya jika Wail El Ahdali jadi menginap di situ. Ia menyandarkan punggungnya ke kerusi. Tiba tiba ia teringat sesuatu : Nasir dalam bahaya. Dalam bahaya jika terus bersama Wail. Tetapi, di mana Nasir berada malam itu? Ia tidak tahu. Yang jelas ia harus secepatnya tahu di mana Nasir berada. Baru ia boleh mengambil langkah.

Azzam melihat jam dinding. Sudah jam empat setengah lebih dan ia belum solat malam. Ia pernah mendengar dari seorang ulama bahawa solat malam dapat menghapuskan kegelisahan dan mendatangkan ketenangan. Ia ingin solat beberapa rakaat saja, baru ikut mengurus Fadhil yang masih pengsan.


Tejemahan Corner :

1.
Muraja'ah - Mengulang hafalan (Al-Qur'an)
2. Iftahil baab! Iftahil baab! - Buka pintu! Buka pintu!
3. Na'am, ya alilal adab! - Ya, hai orang yang kurang ajar!
4. Mabahits - Perisik
5. Amn Daulah - Keamanan Negara


Thursday, March 10, 2011

KETIKA CINTA BERTASBIH - (12) Formula Kejayaan



FURQAN
baru saja pulang dari masjid ketika hand phonenya berdering. Ia lihat di layar. Panggilan dari Indonesia. Ibunya.

"Ini ibu Nak."

"Ya ada apa Bu?"

"Mungkin ayah dan ibu tidak boleh ke Cairo."

"Kenapa Bu? Apakah Ibu tidak mahu melihat munaqasyah M.A. Furqan yang seumur hidup cuma sekali?"

"Sebenarnya ayah dan ibu teringin sangat pergi. Tapi ini kakakmu sedang berada di rumah sakit."

"Ada apa dengan kakak Bu?"

"Kakakmu mengalami pendarahan serius. Padahal usia kandungannya baru lima bulan. Ia perlu ibu di sampingnya.

Sebab suaminya sedang ditugaskan di Aceh. Ia tidak boleh minta cuti untuk menunggu isterinya."

"Kalau ibu tidak boleh, apakah ayah tidak boleh ke Cairo sendiri?"

"Ayahmu tidak mahu pergi sendirian tanpa ibu. Sudahlah, kami yang di Indonesia mendoakanmu semoga kau lulus munaqasyah dengan hasil yang terbaik. Rakamkan saja guna handycam, biar nanti ibu dan ayah boleh melihat."

"Iya Bu, baik. Semoga kakak dan kandungannya selamat."

"Amin."

Ada rasa kecewa yang menyusup ke dalam hatinya. Ia ingin sekali, munaqasyah tesis M.A.nya dihadiri oleh kedua orang tuanya. Ia telah menyiapkan semuanya. Termasuk pergi ke Alexandaria bersama ayah dan ibunya setelah selesai sidang. Tapi benarlah kata orang bijak, manusia boleh merancang dan merencanakan, namun Tuhanlah yang menentukan.

Ia mengambil nafas panjang. Meskipun kecewa, ia tidak ingin rasa kecewanya mempengaruhi tumpuannya menyiapkan diri menghadapi pertarungan dalam sidang tesisnya. Sudah setengah dari isi tesisnya yang ia baca. Ia merasa perlu istirehat. Perutnya juga terasa lapar.

Ia melihat jam tangannya. Jam menunjukkan pukul tujuh suku. Ia teringat undangan makan malam Sara. Tapi ia ragu. Ia belum kenal siapa itu Sara. Ia juga merasa undangan itu tidaklah terlalu penting. Meskipun Sara adalah puteri Prof. Dr. Sa'duddin. Ia tidak mahu kehilangan fokus. Ia tidak mahu kehilangan konsentrasi. Ia teringat pesanan guru bahasa Inggerisnya waktu di Pesantren Modern dulu. Pesanan yang membuatnya sangat terinspirasi dan tergugah :

The formula for success is simple : practice and concentration then more practice and more concentration. (Formula kejayaan adalah ringkas saja, iaitu praktik dan tumpuan, kemudian meningkatkan praktik dan meningkatkan tumpuan).

Undangan Sara ia anggap sebagai hal yang akan merosakkan konsentrasinya. Dan itu bererti hal yang akan merosakkan kejayaannya. Maka ia putuskan untuk tidak mempedulikannya sama sekali. Ia memilih untuk makan malam bersendirian di restoran hotel. Lalu kembali ke bilik untuk berehat melihat Nile TV sebentar, lalu tidur. Ia jadualkan jam tiga pagi untuk bangun.

Ia turun ke restoran. Memilih meja yang masih kosong berdekatan tingkap kaca yang menghadap ke sungai Nil. Panorama malam sungai Nil begitu indah. Suasananya begitu romanatis. Entah kenapa ia tiba tiba teringat lamarannya terhadap Anna Althafunnisa. Wajah Anna berkelibat di depan matanya. Wajah yang luar biasa daya pesonanya. Ia merasa di dunia ini tidak ada gadis yang seperti Anna. Ia sangat yakin lamarannya akan dipertimbangkan oleh Anna. Ia bahkan yakin lamarannya diterima.

"Ia sudah tahu reputasi dan sepakterajangku selama ini," gumamnya.

Ia merasa akan sangat berbahagia jika suatu saat nanti boleh makan berdua di tempat yang begitu romantis dan indah bersama Anna. Anna yang telah ia sunting menjadi isterinya. Ia merasa keindahan tempat itu masih kurang tanpa adanya Anna. Ia geleng geleng kepala sendiri.

"Ini sudah dosa. Astaghfirullah. Saya tidak boleh membayangkan yang tidak tidak," gumamnya dalam hati. Sementara matanya masih asyik melihat panorama Sungai Nil dengan lampu lampu yang berjajar di tepinya. Indah seperti taburan mutiara.

"Boleh saya duduk di sini?" Suara itu mengejutkan lamunannya. Ia terhenyak sesaat. Yang berbicara dengan bahasa Indonesia itu adalah pelancong Jepun yang sudah dua kali ia temui. Rambutnya kerinting mengerbang, berkaca mata minus agak tebal.

"Oh boleh. Silakan," jawabnya agak gugup.

"Terima kasih."

"Anda boleh berbahasa Indonesia?" tanyanya dengan nada hairan.

"Saat di SMA (Sek. Men. Atas) dulu saya pernah iku program pertukaran pelajar. Dan saya ditempatkan di Indonesia selama satu tahun."

"Di mana?"

"Di Yogyakarta."

"Oh pantas. Anda juga boleh berbahasa Arab."

"Boleh juga."

"Wah, boleh juga. Berapa lama anda belajar bahasa Arab?"

"Satu tahun. Saya belajar bahasa Arab di Universiti Aleppo, Suriah."

Furqan mengangguk anggukan kepala. Dalam hati ia kagum dengan orang Jepun di hadapannya. Bahasa Indonesianya bagus. Ia yakin bahasa Arabnya bagus. Bahasa Inggerisnya sangat lancar. Sebab ketika berkenalan di lift, orang Jepun itu menggunakan bahasa Inggeris.

"Kalau boleh saya tahu, apakah rancangan anda ketika berada di Cairo ini?" tanya Furqan.

"Emm, pertama, memang untuk jalan jalan. Saya sudah pergi ke Luxor. Sant Caterine, dan Alexandaria. Kedua, saya sedang mengadakan penelitian sejarah."

"Penelitian apa kalau boleh saya tahu."

"Saya sedang meneliti bagaimana cara beribadahnya orang orang Mesir kuno yang menyembah matahari. Apa persamaan dan perbezaannya dengan orang orang Jepun yang juga mendewakan matahari. Apakah ada interaksi antara Mesir kuno dan Jepun kuno? Apakah dewa matahari yang disembah orang Mesir dan orang Jepun memiliki sifat sifat dan deskripsi yang sama. Di samping itu saya juga menemani adik saya."

"Yang bersamamu itu."

"Iya. Namanya Fujita Kotsuhito. Anda masih ingat nama saya?"

"Masih, nama anda Eiji Kotsuhiko kan?"

"Ya. Ingatan anda kuat. Anda berbakat jadi intelektual dal ilmuan besar."

"Terima kasih."

"Adik saya sedang tertarik pada Islam."

"Ya. Itu setelah dia membaca buku buku karangan Maryam Jamela dalam bahasa Inggeris. Kebetulan ia kuliah di Fakulti Sastera, jurusan Santera Inggeris. Kalau saya jurusan Sejarah. Kami sama sama di Kyoto University. Ia ingin lebih tahu tentang Islam. Apakah anda boleh membantu mempertemukan dia dengan orang yang tepat?"

"Boleh boleh. Oh ya. Anda mahu makan?"

"Wah, iya. Kerana asyik bersembang sampai lupa makan. Jom."

Keduanya lalu bangkit dan mengambil makanan. Orang Jepun itu memilih spagheti. Sedangkan Furqan memilih nasi daging khas Yaman dengan ulam gargit dan buah Zaitun. Minumannya ia pilih syai bil halib panas. Keduanya kembali ke tempat mereka semula.

"Sewaktu di Jogja, saya paling suka makan Cap Jay rebus," kata Eiji.

"Oh ya/"

"Menurutku Cap Jay rebus termasuk makanan paling enak di dunia."

"Oh ya."

"Sewaktu di Jogja dulu, saya mempunyai langganan Cap Jay di daerah Sapen. Belakang IAIN Suka. Cap Jay Mbah Giman. Rasanya mantap."

"Wah, jadi teringin hendak ke Jogja."

"Tapi mungkin kau takan dapat merasakan Cap Jay Mbah Giman."

"Kenapa?"

"Empat bulan yang lalu, saya ke Jogja dan Mbah Giman telah tiada. Yang menggantikan Mbah Giman puteri bongsunya. Namanya Minarti. Hasil masakannua tidak boleh menyamai Mbah Giman. Sedap, tapi tetap sahaja tidak sesedap buatan Mbah Giman."

"Kelihatannya anda tahu banyak tentang Jogja ya."

"Jogja telah jadi kota kedua bagi saya setelah Kyoto. Saya lahir dan membesar di Kyoto. Dan saya sangat terkesan dengan Jogja."

Keduanya terus berbincang sambil makan.

"Adikmu tidak makan?"

"Sebentar lagi dia datang. Dia masih asyik menonton filem Lion of Desert di biliknya."

"Filem perjuangan rakyat Libya?"

"Ya. Kami membelinya di Attaba pagi tadi."

"Sebentar, saya ambil buah Xaitun lagi."

"Oh ya, silakan."

Furqan beranjak mengambil buah Zaitun hijau. Ketika ia kembali, Fujita telah duduk di samping abangnya.

"Fujita, ini Furqan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Cairo University, yang berjumpa dengan kita di lift siang tadi. Masih ingat?" kata eiji dalam bahasa inggeris.

"Tentu," jawab Fujita sambil mengangguk pada Furqan. "Saya sering dapat cerita tentang Indonesia dari abang saya ini. Tapi saya belum pernah pergi ke sana sambung Fujita sambil menatap Furqan.

"Oh ya," jawab Furqan sambil menatap Fujita sesaat. Mata keduanya bertemu. Furqab dengan secara spontan menundukkan pandagannya ke beberapa butir buah Zaitun yang ada di piringnya. Ia harus mengakui adik Eiji ini layak jadi model. Ketika di lift, ia sama sekali tidak memperhatikannya. Wajah Fujita mengingatkannya pada bintang filem Mandarin, Rosamund Kwan. Tapi jauh lebih muda Fujita.

Ia merasa tidak boleh berlama lama berbincang bincang dengan dua orang Jepun adik beradik itu. Ia boleh mengukur imannya. Imannya tidak akan kuat berhadapan dengan gadis secantik Fujita. Ia makan dengan lebih cepat. Sesaat lamanya keheningan tercipta. Tiba tiba Fujita membuka suara :

"Dari kad nama anda yang anda berikan kepada eiji, saya tahu anda kuliah di jurusan sejarah. Jurusan yang sama dengan Eiji. Kalau boleh tahu, menurut anda apa dia istimewanya mempelajari sejarah? Apakah mempelajari sejarah tidak hanya membuang buang waktu, sebab membuat orang terpaku pada masa lalu. Masa yang memang sudah hilang dan tidak perlu dibicarakan? Apakah tidak lebih baik mempelajari kemungkinan kemungkinan untuk kekal di masa yang akan datang?"

"Itu lagi yang kau diskusikan. bukankah sudah sering aku jelaskan Fujita?" potong Eiji.

"Iya. Aku sudah mendengar panjar lebar jawapanmu. Tapi menurutku terlalu teoritikal. Aku belum puas. Siapa tahu mahasiswa Cairo University dari Indonesia ini mempunyai jawapan lain yang lebih ringkas dan meyakinkan," debat Fujita.

Furqan memasukkan sudu terakhir ke mulutnya dan mengunyahnya dengan tenang. Dua adik beradik Jepun itu menunggu apa yang akan diucapkan Furqan.

"Sejarahlah yang memberitahu kepada kita siapa sebenarnya kedua orang tua kita. Siapa nama datuk dan nenek kita. Sejarah jugalah yang memberitahu kepada kita tempat dan tanggal lahir kita. Sejarah juga yang akan memberitahu kepada generasi mendatang bahawa mereka ada, sebab kita lebih dulu ada. Jika mereka maju, maka sejarah yang akan memberitahukan kepada mereka bahawa kemajuan yang mereka capai tidak lepas dari keringat kita dan orang orang yang lebih dulu ada. Orang yang tidak memperhatikan sejarah masa lalu sangat memungkinkan jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali, bahkan mungkin berkali kali. Dan itu sungguh suatu kecelakaan yang pasti sangat menggelikan. Kira kira itulah jawapan sederhana atas pertanyaan anda, Nona Fujita."

"Eemm, Sederhana penjelasannya, tidak teoritikal, tapi dalam muatannya. Terima kasih," tukas Fujita seraya mengangguk anggukkan kepalanya.

Furqan melihat jam tangannya, ia harus kembali ke biliknya.

"Maafkan saya. Saya harus kembali ke bilik. Saya ada pekerjaan yang harus saya selesaikan," kata Furqan undur diri.

"Wah, sayang, sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin sayaa tanyakan. Bolehkan lain kali saya menghubungi anda?" tanggap Fujita.

"Oh, tentu, boleh saja. Nama dan alamat saya di Mesir mahupun di Indonesia ada di kad nama yang telah saya berikan kepada kalian."

"Baik, terima kasih kerana sudi meluangkan waktu," kata Fujita.

"Dua bulan lagi saya ada perancangan ke Bandung dan Jogja. Semoga saat itu kau berada di Indonesia," sambung Eiji sambil tersenyum.

"Semoga. Yang penting kalau kalian sedang berkunjung di Indonesia hubungi saya. Kalau kebetulan saya ada di Indonesia kalian boleh saya ajak jalan jalan di Jakarta dab sekitarnya. Baik saya naik dulu. Mari."

"Mari!" Sahut Fujita dan Eiji hampir beriringan.

Furqan bergegas naik. sampai di bilik ia terus merebahkan tubuhnya di atas katil. Keinginannya untuk menonton Nile TV telah hilang. Ia meniatkan diri untuk bangun jam empat pagi. Ketika hendak memejamkan mata, telefon biliknya berdering. dengan sangat malas ia angkat :

"Siapa ya?"

"Sara."

"Oh Nona Sara. Maaf saya tidak boleh menghadiri undangan Nona."

"Saya sangat kecewa! Dan saya yakin suatu saat nanti anda akan sangat menyesal!"

Dan klik. Telefon itu diputuskan. Ada nada kemarahan yang sangat dalam pada kalimat yang didengar oleh Furqab. Furqan hanya menarik nafas panjang lalu kembali merebahkan badan. Sebelum memejamkan mata, bayangan wajah Sara hadir sesaat lalu disapu hadirnya wajah Fujita yang sangat ketimuran. Ia teringat lamarannya pada Anna, segera ia mengucapkan istighfar. Lalu tertidur dengan bibir melafaz zikir.


******

Azzam masih bekerja di dapur. Sementara teman temannya satu eumah sudah tidur nyenyak. Nasir belum pulang. Masih ada satu periuk adunan bakso yang harus ia selesaikan. Tangan kirinya comot dengan adunan. Ia ambil adunan. Ia tekan. Adunan itu pun keluar dari sela ibu jari telunjuknya. terus berbentuk bulat. Dengan sudu ia pegang dengan tangan kanan ia ambil adunan itu dan terus ia masukkan ke dalam air panas yang telah mendidih.

Begitulah cara membuat bebola bakso yang betul. Menekan adunan harus dengan tangan kiri. Menyeduknya dengan tangan kanan. Kalau sebaliknya hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Itu ilmu sederhana, namun sangat penting bagi pembuat bakso. Ilmu yang mungkin tidak ditulis dalam buku buku resipi masakan, apalagi dalam buku buku ilmiah.

Azzam terus membuat bebola demi bebola dan memasukkannya ke dlam air panas. Kepalanya sudah terasa panas. Matanya telah merah. Tubuhnya telah minta untuk istirehat. Tapi malam itu juga harus selesai. Ia tidak boleh kalah oleh matanya yang merah. Ia harus disiplin. Jika tidk, besok pagi pekerjaannya akan menumpuk, dan akibatnya boleh berserabut. Tapi jika ia tetap teguh, disiplin dan menyelesaikan pekerjaan yang harus selesai malam itu, maka semua akan lebih mudah. Pekerjaan pekerjaabbya yang lain akan selesai pada waktunya. Memang, satu disiplin akan mendatangkan disiplin yang lain. Itu yag ia rasakan.

Ia melihat jam tangannya. Sudah pukul sepuluh setengah malam. Ia istirehat sebentar, berjalan ke balkoni melihat je jalan raya yang nampak sepi. Tapi kedai kopi di samping jalan masih buka dan ramai orang. Beberapa orang duduk menghisap shisha. yang lain main kad. Satu orang kelihatan asyik duduk menonton telivisyen yang sedang memutar filem hitam putih yang dibintangi Fatin Hamama, bintang filem legenda Mesir. Ia menghela nafas. Dalam hati ia berkata :

"Kenapa mereka boleh hidup dengan begitu santainya. Hidup di dunia seolah olah sudah berada di syurga. Membuang buang waktu dengan percuma begitu saja. Ah, andai waktu mereka boleh aku beli dengan beberapa pound pasti saja aku beli. Sehingga aku boleh kuliah setiap hari, membaca buku yang banyak setiap hari, tapi juga boleh membuat bakso dan tempe setiap hari."

Ia kembali ke dapur. Kembali membuat adunan baksonya. Meskipun mata telah merah, dan kepala terasa panas, tapi ia merasa bahagia. Ia tidak merasakan apa yang ia lakukan itu sebagai penderitaan.

Baginya kebahagiaan bukanlah sekadar mengerjakan apa yang ia senangi, atau kebahagiaan adalag menyenangi apa yang ia kerjakan. Ia yakin bahawa kekuatan yang diberikan oleh Allah kepadanya lebih besar berbanding apapun. Jadi, segala jenis pekerjaan harus diselesaikannya dengan baik dan sempurna. Kemampuan yang diberikan Allah kepadanya lebih besar dari tentangan yang harus diatasinya. Ia yakin Allah selalu bersamanya. Allah sangat memperhatikannya. Dan Allah tidak akan menyengsarakannya kerana bekerja keras. Justeru sebaliknya, Allah akan memberikan keberkatan kerana bekerja keras.

Waktu terus berjalan. Ia mendengar pintu diketuk. Ia beranjak ke pintu. Ia lihat siapa yang mengetuk dari lubang yang berisi lensa pembesar di pintu. Di negeri orang, kewaspadaan harus sentiasa dijaga. Keselamatan terjaga kerana sikap yang waspada. Ternyata Nasir. Ia buka pintu.

"Assalamualaikum, Kang," sapa Nasir sebaik saja pintu terbuka.

"Wa'alaikumussalam. Malam sekali Sir, dari Tanta pukul berapa?" tanya Azzam sambil perlahan menutup pintu.

"E... jangan ditutup Kang, saya bawa teman, ia sedang beli sesuatu. Tadi dari Tanta selepas Maghrib," jawab Nasir.

"Teman? Orang Indonesia?" tanya Azzam menyelidik.

"Bukan. Orang Mesir. Orang Tanta."

"Orang Mesir?" Azzam terkejut.

"Iya, tidak apa apa kan Kang? Dia orang baik baik saja."

"Sir, kamu kan sudah lama di Mesir. Dan kamu sudah tahu bagaimana kita harus berhati hati. Kenapa kamu tidak minta izin kami dulu!" Azzam berkata tegas sebagai ketua rumah tangga.

"Afwan Kang. Ini juga tidak saya sengaja. Kami bertemu di Ransis. Saya kenal baik dengannya. Saya pernah ke rumahnya dan saya dijamu oleh keluarganya. Saya mulanya basa basi saja menawarkan dia berkunjung ke rumah dan bermalam. Saya kira dia pasti tidak mahu. Ee ternyata dia mahu. Lah bagaimanna lagi? Takkkan harus menjilat ludah sendiri. Ya, akhirnya saya ajak dia."

"Kamu tidak berhati hati Sir! Kalau kau boleh menemukan jalan keluar agar dia tidak menginap di rumah ini sebaiknya kau lakukan! Sebagai imam di rumah ini aku tidak mengizinkan!" tegas Azzam. Ia merasa, sudah menjadi tanggungjawabnya untuk menjaga keselesaan dan keamanan anggota keluarganya.

"Tolonglah Kang! Sekali ini saja! Apalagi kita kan harus menghormati tetamu!"

"Apa kau mengira aku tidak boleh menghormati tetamu, Sir?" Suara Azzam meninggi. Nasir pucat. Azzam adalah orang yang dulu menjemputnya di bandar waktu pertama kali ia datang. Azzam juga yang dulu sangat sabar mengajarinya memahami beberapa muqarrar awal awal masuk kuliah. Ia sangat segan kepadanya. Ia sangat takut jika Azzam yang telah ia anggap sebagai abangnya itu marah.

"Bukan negitu Kang. Baiklah saya akan berusaha dia tidak menginap di sini. Tapi tidak apa apa kan beberapa minit dia masuk dan minum teh di sini?"

"Ya, boleh. Besok besok lagi lebih berhati hati. Kita ini di negeri orang, jangan bayak basa basi seperti di kampung sendiri! Saya ke dapur dulu menyelesaikan pekerjaan ya. Biar saya masakkan air," kata Azzam seraya berjalan ke dapur.

Nasir duduk di ruang tamu. Tidak lama kemudian seorang pemuda Mesir, bertubuh agak gempal memakai baju hijau tua datang. Nasir mempersilakan masuk. Pemuda Mesir itu membawa roti dan kabab.

"Teman temanmu sudah tidur ya?" tanya pemuda Mesir itu pada Nasir.

"Iya. Sudah malam. Tadi masih ada seorang yang belum tidur," jawab Nasir seraya memberi isyarat kepada pemuda itu untuk duduk. Ia lalu menutup pintu.

"Kalian berapa orang di rumah ini?"

"Kami berlima."

"Ada berapa bilik?"

"Tiga."

"Jadi satu bilik dua orang. Dan ada satu orang yang satu bilik sendiri. Apakah itu kau?"

"Tidak. Saya juga berdua."

"Lalu nanti aku tidur dengan siapa?"

"Itu senang. Sebentar ya, saya buatkan teh," Nasir bangkit ke dapur.

"Jangan lupa, saya tehnya yang kental dan gulanya banyak.," seru pemuda itu.

Tidak lama kemudian Nasir keluar diiringi Azzam. Tangan Azzam telah bersih. Ia telah selesai dari pekerjaannya. Azzam keluar dengan melemparkan senyuman. Pemuda Mesir itu berdiri dengan tersenyum.

"Ana minm Tanta. Ismi Wail. Wail El Ahdali." (Tejemahannya : Saya dari Tanta. Nama saya Wail El Ahdali) Pemuda itu menjabat tangan Azzam dan memperkenalkan diri.

"Ahlan wa sahlan. Syaraftana bi ziyaratik. Ismi Azzam. Khairul Azzam," (Tejemahannya : Ahlan wa sahlan. Engkau telah memuliakan kami dengan kunjunganmu. Nama saya Azzam. Khairul Azzam) jawab Azzam .


"Masya Allah. Namamu bagus sekali. Kau pasti orangnya yang memiliki kemahuan keras dan karakter yang kuat." Ujar pemuda Mesir bernama Wali. Orang Mesir memang paling suka memuji orang yang diajak bicara.

"Doanya. Maaf saya tinggal dulu ya. Terus terang saya harus istirehat. Jika perlu apa apa minta saja sama Nasir." Azzam minta diri. Ia benar benar letih. Ia tidak mahu terlalu lama di ruang tamu. Sebab orang Mesir jika diajak bersembang boleh berjam jam tidak selesai.

"Tidak makan roti dan kabab ini bersama kami?" Wail berusaha menahan.

"Terima kasih. Saya masih kenyang. Saya tinggal dulu ya." Jawab Azzam sambil tersenyum.

"Ya. Terima kasih. Semoga istirehatmu selesa," jawab Wail.

Sebelum masuk ke bilik, Azzam sempat berkata pada Nasir dengan bahasa Jawa:
"Sir, ojo lali yo. Ojo kok inepke neng kene. Orak tak ijini! Wis aku tak turu ndisik" (Tejemahannya : Sir, jangan lupa. Jangan kau tumpangkan tidur kawan kau tu di sini. Aku tidak izinkan. Sudah, aku tidur dulu)

Nasir mengangguk, Azzam mengangguk sekali lagi ke Wali. Wali pun mengangguk dengan tersenyum .

Dalam hati Azzam minta maaf kerana melakukan hal itu. Tetapi ia merasa sudah menjadi tugas dan kewajipannua menjaga keamanan rumahnya. Bukan ia berburuk sangka pada pemuda Mesir itu, tetapi bersikap waspada adalah jalan terbaik untuk tidak berburuk sangka pada siapa saja.


Jahitan Kemasan Leher - Pucuk Rebung