Saturday, March 27, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (4) Cerita Furqan

Fuyoooooooooooo lame aku tak menyemakkan blog aku nie dgn bab seterusnya dlm KCB. Aku tak punya waktu pun iye... mate aku nie tak mengizinkan pun... memainkan peranan besar gak. Sejak kena sakit mate ari tu... aku dah tak blh nk tgk skrin komp. lame2... Siksa weii bola mate aku nie... blurrr satu hal... sakit menangkap ke kapla satu hal...Secara tiba2... baru aku tersedar... mungkin Yang Maha Esa telah mengambil sedikit dari kenikmatan yang aku kecapi selama ini... Aku cuba congak & hitung dlm diam... eeee takutnya... apesal mcm uncang dosa tu lbh berat dari pahala?????

Ahhh korang lupakanlah tanda soal tu sementara... kita tanya diri kita masing2 bila dok sorang2 k....


Kepada yang masih setia mengikuti & tertunggu2 akan kisah KCB selanjutnya... hayatilah gelora seterusnya. Terima kasih na.. kerna sudi melawat blog aku yg tak sepertinya ini...
Layannnn


BERULANG kali Eliana menelefon bilik Azzam. tidak ada yang menjawab. Ia ingin membuat perhitungan dengan Azzam. Kata kata Azzam malam tadi, ia anggap sangat memandang rendah terhadapnya. Ia sangat tersinggung. Apalagi malam tadi pemuda kurus itu memutuskan pembicaraan dengannya secara sebelah pihak. Siapakah dia yang berani berlaku tidak sopan terhadapnya? Baginya tindakan Azzam itu tidak hanya tidak sopan, tapi sangat menghinanya. Ia memang orang yang mudah beremosi jika ada sedikit saja hal yang tidak berkenan dengan hatinya.

Eliana mundar mandir di lobby hotel. Ia memperhatikan dengan teliti orang orang yang duduk dan lalu lalang di situ. Ia menanti Azzam untuk diserangnya. Ia hendak memarahinya seperti ia memarahi pembantu pembantunya yang melakukan sesuatu yang membuatnya marah.

Pagi itu suasana hotel sudah terasa sangat panas bagi Eliana. Ia menanyakan keberadaan Azzam kepada semua orang Indonesia. Para mahasiswa, rombongan Penari Saman, para staf KBRI, bahkan ayahnya sendiri. Semua menjawab tidak tahu pasti. Ada yang menjawab mungkin sedang jalan jalan di Pasar El Manshiya. Ada yang menjawab mungkin sedang mencari sesuatu di Abu Qir. Ada yang menjawab mungkin sedang ziarah ke Masjid Nabi Daniyal. Ada yang menjawab mungkin sedang berenang di pantai. Semua jawapan tidak ada yang memuaskannya. Ia ingin segera bertemu dengan pemuda yang tidak tahu dihargai itu. Ia ingin segera menumpahkan segala kemarahannya. Ia ingin segera melumatnya jika boleh.

Sementara Azzam dan Pak Ali berjalan santai menelusuri pantai. Azzam membuka sandalnya dan membiarkan kakinya yang tidak beralas ity menginjak pasir pantai yang lembut.

"Pak Ali." Sapa Azzam perlahan.

"Ya, Mas."

"Pak Ali sudah lapar?"

"Mahu sarapan di hotel?"

"Entah kenapa ya Mas. Aku sudah bosan sangat sarapan di hotel."

"Saya juga Pak Ali. Kalau begitu kita cari tha'miyah bil baidh di luar hotel jom?"

"Jom."

Mereka terus berjalan mencari kedai tha'miyah, kedai yang menjual makanan khas Mesir yang terdekat. Ketika mereka melintas jalan raya menuju ke kedai itu, seseorang memanggil manggil nama mereka. Mereka berpaling ke arah suara itu. Ternyata si Romi. Mahasiswa asal Madura yang dipercayai membuat dan menjaga gerai Satay Madura. Anak asal Pamekasan itu berjalan dengan setengah berlari ke arah mereka. Tubuh kurusnya dibalut baju hitam dan seluar panjang hitam. Tangan kanannya membawa beg plastik hitam.

"Ada apa Mi?" sapa Azzam setelah jaraknya dengan Romi tidak terlalu jauh.

"Anu, anu Mas Khairul. Kami dicari cari oleh Mbak Eliana sejak dari tadi. Kelihatannya dia sedang marah. Baik kamu segera ke lobby hotel. Jika tidak ke sana segera, aku risau dia semakin marah. Dan jika dia marah, celakalah kita semua. Cepat cepatlah kamu minta maaf?"

"Minta maaf atas apa, Mi?"

"Ya, tidak tahu. Yang penting minta maaf. Mungkin dia tersinggung kerana sesuatu yang tidak kamu sedari. Apa sih beratnya minta maaf? Jangan sampai kemarahannya bertempias pada bisnes kita."

"Biar betul Mi, kenapa kamu berfikir terlalu jauh. Kenapa kamu takut sekali rezeki kamu terancam oleh kemarahan seorang seperti Eliana. Lagipun dia marah padaku. Kenapa kamu yang takut?"

"Bukan begitu Mas Khairul. Saya hanya tidak mahu ambil risiko. saya tidak mahu susah. Marahnya orang kaya sering membuat susah kepada orang miskin.Marahnya orang atasan sering membuat susahrakyat. Eliana kalau memberitahu ayahnya kan boleh membuat kita susah. Bukan begitu Pak Ali?" Jelas Romi sambil memandang Pak Ali. Pak Ali hanya menyahut ringan: "Itu urusan kalian."

Azzam memandang Pak Ali. Wajah Pak Ali tetap seperti asal, tidak ada perubahan. Lalu sambil menepuk bahu Romi, Azzam menenangkannya.

"Jangan berfikir yang bukan bukan. Tenanglah, tidak akan terjadi apa apa. Aku akan segera temui Eliana."

Romi hanya diam saja.

"Kau mahu ke mana, Mi? Kau ke mari hanya untuk menemui kami atau ada keperluan lain?" Tanya Azzam mengalihkan pembicaraan.

"Aku mahu berenang di pantai. Terakhir sebelum pulang."

"Bawa baju tak?"

"Bawa. Ini." Jawab Romi sambil mengangkat beg plastiknya.

"Kenapa sendirian? Tidak mengajak kawan yang lain?"

"Ya, yang lain tak ada yang mahu ikut. Katanya sudah bosan. Ya sudah, aku berangkat sendiri saja. Atau kau mahu menemani?"

"Aduh, aku masih ada banyak hal yang harus aku selesaikan. Ya, sudah. Hati hati."

"Ya."

Azzam dan Pak Alu meneruskan perjalanan ke kedai tha'miyah. Romi semakin mendekati pantai. Udara belum terasa hangat lagi. Orang yang berenang di pantai boleh dihitung dengan jari. Saat itu belum ramai pengunjung yang datang. Sebab masih ada sisa sisa musim dingin. Pantai itu akan menjadi sangat ramai ketika cuti musim panas akan datang.

"Mas Khairul. Saya sarankan kau berdamai saja dengan puterinya Pak Dubes itu. Tidak payah cari penyakit. Aku tidak tahu masalahmu dengannya. Tapi damai adalah hal yang disukai oleh fitrah umat manusia di mana saja", saran Pak Ali.

Azzam lalu menjelaskan kejadian malam tadi setelah pulang dari El Muntazah. Tentang telefon dari Eliana. Tentang hadiah istimewa berupa ciuman khas Perancis. Tentang jawapannya. Tentang pemutusan pembicaraan secara sebelah pihak darinya. Pak Ali mendengarkan sambil berjalan.

"Ada saranan tambahan Pak ALi?" Tanya Azzam sambil menyamakan langkahnya dengan langkah Pak Ali yang agak lambat.

"Sarananku. Sebaiknya kau minta maaf. Lalu jelaskan dengan betul dan baik baik kenapa menolak ciuman itu. Tidak usah dihadapi dengan emosi. Api bertemu api akan semakin panas. Emosi lebih banyak merugikan daripada menguntungkan."

"Aku sangat yakin dia sangat marah Pak. Terus bagaimana cara meredakannya?"

"Senang. Hati wanita mudah diluluhkan. Belikan dia hadiah kejutan. Dia akan merasa senang. Rasa senang dapat meredakan amarah. Sebab amarah itu datang biasanya kerana rasa tidak senang."

"Sebaiknya hadiahnya apa, ya Pak?"

"Apa saja yang boleh didapati pagi ini. Tidak harus mahal."

"Pak Ali punya cadangan, mahu beli barang apa?"

Pak Ali mengerutkan dahi sesaat. Tiba tiba wajahnya seperti bersinar.

"Ya, ini saja. Belikan saja makanan khas Mesir kesukaannya. Ia mudah didapati pagi ini dan murah."

"Kalau dia sudah makan pagi bagaimana? Apa tidak jadi membazir?"

"Percayalah, dia belum makan pagi. Orang kalau sedang marah malas makan. Dia akan makan kalau marahnya mulai reda. Percayalah, dia belum makan pagi. Dan percayalah, dia juga sudah bosan dengan menu hotel."

"Apa makanan kesukaannya Pak?"

"Habasy takanat"

"Biar betul, Pak? Takkan gadis selangsing dia suka habasy takanat?"

"Ya. Habasy takanat itu tidak otomatik membuat badan menjadi gemuk. Menjadi kenyang, iya. Tapi jadi gemuk belum tentu."

"Ayuh Pak, kalau begitu kita segera beli."

Mereka berdua mempercepatkan langkah. Sampai di kedai yang dituju, mereka memesan empat tha'miyah bil baidh untuk dimakan di situ dan dua habasy takanat untuk dibungkus. Pemilik kedai itu adalah orang Mesir gemuk dengan janggut hampir menutupi setengah wajahnya. Kebengisan wajahnya sirna oleh senyum dan keramahannya. Azzam senang dengan keramahan itu. Sebab tidak sedikit pemilik kedai tha'miyah yang tidak ramah. Ia masih ingat dengan pemilik kedai tha'miyah di kawasan Hay El Ashir Cairo yang sangat tidak ramah. Tidak pernah senyum. Ia pernah tidak dipedulikan. Benar benar tidak dipedulikan. Pemilik itu melayani semua orang Mesir, tapi seolah olah tidak melihat keberadaannya. Ia sama sekali tidak dianggap ada. Ia sendiri tidak tahu, apa sebabnya.

Azzam memakan tha'miyah bil baidh dengan lahap. Pak Ali juga. Setelah kenyang mereka menuju hotel. Di tengah jalan pak Ali menghentikan langkahnya dan berkata :

"Mas, Habasy takanatnya biar saya saja yang memberikan. Kalau sudah dia makan, saya akan mengatakan itu hadiah darimu. Kau jalan jalan saja dulu. Kira kira satu jam. Setelah itu kau boleh datang. Dan insya'Allah, semua akan damai dan aman."

"Wah, idea yang bagus itu Pak", sahut Azzam berbinar . Ia lalu menyerahkan bungkusan berisi habasy takanat itu kepada Pak Ali. Pak Ali tersenyum. Lalu berjalan ke hotel. Sementara Azza, terus naik Eltramco ke Pasar El Manshiya. Ia ingin membeli buah tangan untuk teman teman serumahnya.

Sebaik saja melangkah masuk ke hotel, Pak Ali terus ditanya oleh Eliana seolah olah Eliana sudah lama menantinya.

"Pak Ali ke mana saja? Nampak tak tukang masak yang kurus itu atau tidak?" Nadanya tidak lembut seperti biasanya.

"Saya dari jalan jalan menghirup udara pantai. Biar segar. Tukang masak kurus itu yang Mbak Eliana maksud siapa? Si Romi?"

"Bukan si Romi. Itu si Khairul."

"Kalau si Romi saya tahu. Dia sedang berenang di pantai. Kalau Khairul sekarang, secara pastinya saya tidak tahu. Tadi ni, saya bertemu dengannya di tengah jalan. Dia naik Eltramco ke El Manshiya."

Eliana mendengus. Wajah yang biasanya putih cemerlang itu nampak merah padam. Ia lalu duduk di sofa. Tidak jauh darinya dua remaja puteri Mesir sedang berbincang bincang dengan rancaknya. Sesekali terdengar suara gelak dari mereka. Pak Ali duduk di depan Eliana.

"Eh ngomong ngomong, Mbak Eliana sudah sarapan pagi?" Tanya Pak Ali.

"Belum Pak. Tak ada selera. Apalagi menu hotel. Sudah bosan sekali rasanya."

Pak Ali tersenyum, lalu berkata: "Kalau habasy takanat mahu?"

Mendengar tawaran Pak Ali, wajah Eliana sedikit cerah.

"Wah, itu boleh Pak. Sebenarnya saya sudah lapar. Jom kita keluar cari habasy takanat Pak Ali, ayuh?"

"Tidak usah keluar. Ini saya sudah bawakan. Tadi saya baru saja makan tha'miyah bil baidh. Ini saya bawa untuk Mbak Eliana", jawab Pak Ali sambil menyerahkan bungkusan dalam plastik hitam berisi habasy takanat.

"Wah, terima kasih banyak Pak ya. Wah, enaknya kalau terus dimakan saja ni. Pak temani saya ke restoran. Biar ini saya makan di sana sambil minum teh panas."

Mereka berdua lalu masuk le Lourantos Restaurant. Desain interior restoran itu memadukan Arab dan Eropah. Menu yang dihidangkan pagi itu adalah menu Arab dan Itali. Tapi habasy takanat tidak ditemukan di situ. Eliana menyantap habasy takanat dengan lahap dan penuh semangat. Selesai menyantap makanan khas Mesir itu, lalu Eliana menghirup teh panasnya yang kental. Gadis itu kelihatan begitu menikmati makan paginya. Dan Pak Ali melihatnya dengan hati lega.

"Ada apa sih Mbak, kok mencari Mas Insinyur Khairul? Kelihatannya ada urusan penting ya?"

"Ya. Aku sedang marah padanya."

"Kenapa?"

"Dia berani menghinaku malam tadi."

"Ah, yang benar saja Mbak. Saya sama sekali tidak percaya anak itu berani menghina kamu."

"Pak Ali percaya atau tidak percaya, itu tidak penting."

"Bukan begitu nak Eliana. Saya khuatir Mbak Eliana salah faham. Sebab waktu bertemu saya tadi, Khairul justeru memperlihatkan hal yang sebaliknya pada saya. Khairul begitu prihatin sama kamu. Tadi saya dan Mas Khairul juga bertemu Romi. Romi beritahu Mbak Eliana marah besar pada Khairul. Khairul malah tersenyum saja. Lalu Khairul mengirimkan pada saya habasy takanat ini pada Mbak."

"Apa!? Jadi bukan Pak Ali yang membelikannya untuk saya?"

"Bukan. Yang membelikan itu adalah Khairul. Yang membawanya ke mari adalah saya."

"Pak Ali, Pak Ali kenapa tidak beritahu dari tadi. Aduh, aduh aduh! Saya ingat ini dari Pak Ali."

"Saya tadikan sudah beritahu, ini saya bawa habasy takanat. Yang membelikan adalah Khairul. Dikirimkan pada saya."

"Kenapa tidak dia sendiri yang memberikan pada saya!?" Tanya Eliana tajam.

"Saya tidak tahu Mbak Eliana. Kelihatannya dia tergesa gesa. Dia kata mahu beli barang barang di pasar. Tidak ada waktu lagi katanya. Yang penting ini menunjukkan bahawa Mas Khairul sendiri tidak merasa mempunyai masalah dengan Mbak Eliana. Kalau dia merasa mempunyai masalah, bagaimana mungkin mahu membelikan habasy takanat, makanan kesukaan kamu. Justeru kelihatannya dia sangat menghormati kamu. Dan ingin membuat kamu merasa senang."

Eliana diam. Kata kata pak Ali menusuk ke dalam hatinya. Menyejukkan panas amarahnya. tapi ia belum boleh tenang sepenuhnya. Amarahnya belum mahu juga sirna seluruhnya.

"Tapi malam tadi dia berkata masar di telefon pada saya Pak. Dia juga memutuskan pembicaraan seenaknya saja! Apakah itu tidak dikatakan menghina Pak Ali!?"

Pak Ali tersenyum.

"Mungkin saat itu Mas Khairul sedang penat. Letih. Orang kalau letih, fikirannya tidak akan jernih. Cubalah ingat, kelmarin ia kerja sejak pagi sampai malam."

Penjelasan Pak Ali semakin meluluhkan hatinya.

"Semestinya Mbak Eliana harus berterima kasih pada Mas Khairul. Enam hari ini tenaga dan waktunya, ia surahkan untuk membantu Mbak Eliana. Bahkan dalam keadaan sangat letih, dia masih mahu membakarkan ikan untuk membantu Mbak Eliana. Dan pagi ini, dia mengirim sesuatu yang sangat kamu suka. Semestinya kamu berterima kasih sama dia. Saya dengar orang Barat yang terdidik itu mudah mengucapkan terima kasih pada orang yang membantunya", sambung Pak Ali.

Amarah Eliana perlahan mereda. Ruang di hatinya yang asalnya berisi amarah yang meluap luap pada Azzam, perlahan lahan berubah diisi rasa kasihan. Ia menyesal kerans telah beremosi dan marah, sementara orang yang akan dimarahinya sedemikian tulus padanya. Diam diam menyusup ke dalam dadanya rasa malu pada dirinya sendiri. Ia menye dari apa yang disampaikan Pak Ali ada benarnya. Penjual tempe yang pandai masak itu memang sudah banyak membantunya.

"Pak Ali. Nanti kalau bertemu dengan Mas Khairul sampaikan terima kasih saya ya atas habasy takanatnya. Saya mahu mandi dan berkemas kemas". kata Eliana dengan wajah lebih ceria.

"Insya'Allah, tapi kalau sampaikan sendiri tentunya lebih baik", jawab Pak Ali dengan senyum mengembang.

"Ya. Nanti kalau bertemu dia", tukas Eliana sambil bangkit dari duduknya.


***

Di sebuah kedai buku di El Manshiya, Azzam bertemu dengan Furqan. Setelah berpelukan, Furqan mengajak Azzam menemaninya makan roti
kibdah di sebelah sebuah masjid tua sambil berbincang bincang. Azzam menuruti ajakan teman lamanya itu dengan senang.

"Saya ini sedang bingung menentukan pilihan", kata Furqan sambil mengunyah roti
kibdahnya.

"Pilihan apa?" Sahut Azzam tenang. Matanya memandang ke arah seorang datuk berjubah kelabu yang menjual tasbih dan kopiah putih. Datuk itu duduk termenung. Matanya memandang ke arah jalan. Azzam berusaha mereka reka apa yang ada dalam fikiran datuk itu saat itu.

"Bingung memilih dua gadis yang sama sama memiliki kelebihan untuk aku nikahi." Jawab Furqan membuat Azzam terus mengalihkan pandangannya dari datuk berjubah kelabu itu ke wajah Furqan yang masih asyik dengan roti
kibdahnya.

"Ceritanya bagaimana?" Tanya Azzam dengan nada serius.

Furqan menghentikan makannya. Ia meneguk air putih untuk membasahi tekaknya. lalu memandang Azzam dengan tepat.

"Aku akan cerita. Tapi janji jangan kau bocorkan kepada siapa siapa.
Masyi!"

"
Masyi>."

"Begini. Aku saat ini sedang dikejar Eliana Puteri Pak Dubes itu."

Dikejar Eliana? Ah yang benar Fur!?" Azzam terkejut mendengar penuturan sahabatnya itu.

"Benar. Aku tidak bohong. Kau tahu sendirilah Rul. Eliana itu bukan mahasiswi Al-Azhar yang sangat menjaga. Ia lulusan Perancis. Ia telah berbicara terus terang padaku. Malam tadi dia menanyakan lagi jawapanku. Aku belum jawab. Eliana aku lihat sudahberusaha adil dan jujur. Ia telah menceritakan semua hubungannya dengan teman lelakinya yang telah gagal. Ia pernah bertukar ganti teman lelaki sebanyak lima kali. Sekali waktu di SMA. Empat kali waktu di Perancis. Dua teman lelakinya yang terakhir adalah orang Mat Salih. Eliana menyedari bahawa ia sama sekali tidak sepadan dengan mereka. Ia ingin hidup yang lurus lurus saja. Dia katakan bahawa ingin memiliki suami yang dapat membimbingnya. Jujur saja Rul. Aku tertarik padanya. Aku tertarik tidak semata mata kerana kecantikan wajahnya. Tapi aku tertarik kerana potensi yang ada dalam dirinya yang jika diarahkan pada jalan yang benar boleh membawa manfaat bagi umat."

"Potensi itu misalnya apa, Fur?"

"Kau tahu sendiri kepiawaiannya menulis dalam bahasa Inggeris dan Perancis. Pesona keartisan dirinya. Dia bercerita akan berlakon dalam sebuah filem garapan sutradara Mesir. Dan ia juga sudah ditawarkan berlakon filem di Indonesia. Tidak lama lagi dia akan menjadi seorang artis Rul. Dan kau bayangkan jika artis itu boleh memberikan teladan yang baik. Maka masyarakat yang mengkaguminya akan meniru kebaikannya. Jika keartisannya nanti digunakan untuk berdakwah, apa tidak dasyat Rul."

"Kalau yang terjadi sebaliknya bagaimana? Misalnya ia jadi artis terus gaya hidupnya yang kebaratan sebagai mana artis pada umumnya bagaimana? Apakah kau sudah benar benar tahu siapa Eliana?"

Furqan terdiam sesaat. Ia lalu berkata: "Aku melihat kesungguhan Eliana untuk menjadi seorang yang baik. Itu yang meyakinkan aku. Dan akan baik jika dibimbing oleh yang mampu membimbingnya."

"Habis tu, apa yang kau bingungkan? Kelihatannya kau sudah mantap begitu."

"Masalahnya aku sudah terlanjur melamar seseorang. Dia mahasiswi Al-Azhar. Tapi sampai sekarang dia belum memberi jawapan. Aku bingung. Kalau aku hendak batalkan lamaranku dan aku memilih Eliana yang sudah jelas mengejarku, aku takut dianggap lelaki tiada pendirian. Aku takut dianggap memainkan ank orang. Tapi kalau aku menunggu terlalu lama, aku takut akhirnya lamaranku itu ditolak, dan aku risau Eliana juga sudah berubah fikiran. Aku bingung Rul."

"Macam tu pun kau dah bingung. Percayalah padaku, tidak ada mahasiswi Cairo yang akan menolak lamaranmu kecuali mahasiswi itu sudah punya calon, ia sudah dilamar orang. Siapa yang menolak lamaran pemuda tampan, cerdas, kaya dan kelulusan master di Cairo university? Siapa? Hanya gadis tolol yang menolaknya. yang cerdas itu, ya Eliana. Dia mengejar kamu kerana dia cerdas. Aku yakin Eliana sudah tahu reputasi kamu dengan baik. Maka percayalah mahasiswi yang kau lamar itu pasti tidak akan menolakmu. Kalau begitu sebenarnya kau sudah memutuskan apa yang harus kau putuskan."

"Kau tidak dahu siapa mahasiswi itu."

"Memamngnya dia itu siapa?" Furqan ragu ragu untuk menjawab. Akhirnya dia tidak mahu berterus terang.

"Ah, sudahlah kalau itu rahsia. Tidak elok aku menyebutnya", lirihnya.

"Ya sudah. Kalau begitu, ya Istikharah saja."

"Ya, insya' Allah. Kau ada nasihat untukku?"

Azzam tersenyum.

"Tinggalkan apa yang meragukan bagimu, dan ambillah yang tidak meragukan bagimu."

"Terima kasih. Jom kita ke hotel. Guna teksi saja. Biar aku yang bayar."

Sebelum pergi, terlebih dahulu Furqan membayar roti kibdah yang dibawanya. Cerita Furqan semakin mengukuhkan hati Azzam bahawa ia tidak boleh mengharapkan Eliana. Boleh jadi Eliana akan menjadi isteri sahabatnya itu. Ia tidak mahu mengarag apa yang kelihatannya diarah juga oleh sahabatnya. Namun ia masih ragu ragu apakah orang seperti Eliana boleh diajak untuk berdakwah dan berkomitmen menjalankan ajaran agama dengan baik. Apakah orang seperti Eliana tidak akan melihat aturan aturan agama sebagai dogma yang membatasi kebebasannya sebagai manusia? Apa reaksi Furqan jika Eliana hendak memberi hadiah ciuman khas Perancis padanya? Ia hanya boleh berharap bahawa sahabatnya itu akan ditunjukkan yang terbaik oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab tidak ada yang baik di dunia ini kecuali datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Buat rujukan yg nak menambah2 ilmu bahasa Arab ye :

1. Tha'miyah bil baidh - masakan khas Mesir, berbentuk sandwich isinya antara lain sayur, kentang goreng dan telur rebus yang dihancurkan bersama isi lainnya.
2. Habasy takanat - makanan mirip tha'miyah bil baidh, hanya isinya lebih bermacam macam sehingga bahagiannya lebih besar.
3. Roti kibdah - termasuk makanan khas Mesir berbentuk roti panjang, diisi hati lembu.
4. Masyi - setuju.



0 comments:

Post a Comment