Friday, March 5, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (3) Bidadari Dari Darul Qur'an


AZZAM bangun sepuluh minit sebelum azan Subuh berkumandang. Ia masih punya kesempatan buang hajat dan gosok gigi. Setelah itu ia mengambil air wudhu'. Ia teringat belum solat Witir. Ia sempatkan untuk Witir tiga rakaat. Selesai solat, ia sempatkan untuk menyebut nyebut ibu dan adik adiknya dalam munajat.

Azan Subuh berkumandang. Ia bangkit membuka langsir biliknya. Jalan utama Kota Alexandria masih lengang. Hanya satu dua buah kereta yang berjalan. Kabut tipis nampak rata menyelimuti gedung gedung. Kaca jendela sedikit mengembun. Udara di luar bererti dingin. Alexandria memang sedang memasuki peralihan musim. Peralihan dari musim dingin ke musim menuai. Sisa sisa musim dingin masih terasa. Waktu subuh tiba, udara masih menyengatkan hawa dinginnya. Dalam keadaan seperti itu, melingkarkan tubuh di tempat tidur dengan kehangatan selimut tebal terasa sangat nyaman. Lebih nyaman daripada bangkit menuju masjid.

Hayya 'alash shalaah.
Hayya 'alash shalaah.
Hayya 'alah falaah.
Hayya 'alah falaah.
Ash shalaatu khairun minan nauum.
Ash shalaatu khairun minan nauum.

Suara azan bergema, memantul dari gedung ke gedung. Menyusup masuk ke rumah rumah menggugah jiwa jiwa yang lelap. Suara itu nyaring bagai burung camar, terbang ke tengah laut. Dan mencumbui laut dengan mesra. Solat itu lebih baik dari tidur. Solat itu lebih baik dari tidur.

Allahu akbar.
Allahu akbar.
Laa ilaaha illallah.

Suara suci itu bergerak dengan lembut dan cepat. Menyapa alam. Menyapa pasir pasir di pantai. Menyapa kerikil kerikil. Menyapa tar. Menyapa pohon pohon kurma. Menyapa embun embun. Menyapa ombak yang berdesir. Menyapa gelombang yang naik turun. Menyapa kabut yang lembut. Menyapa udara. Menyapa alam semesta. Menyapa apa saja. Semuanya menjawab. Semuanya solat. Semuanya menyucikan dan mengagungkan asma' Allah. Semuanya bertakbir kecuali yang tetap tidur.

Seolah mengiringi takbir alam di pagi itu, bibir Azzam bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan tenang ia melangkahkan kedua kakinya meninggalkan hotel yang masih lengang. Sampai di masjid ia mendapati Pak Ali yang sedang sujud di saf depan. Azzam solat Tahiyatul Masjid. Lalu solat Qabliyyah Subuh. Sambil menunggu imam berdiri di mihrabnya ia mengulan ngulang membaca doa Nabi Yunus. Doa itulah yang telah menyelamatkan Nabi Yunus dari kegelapan di perut ikan. Doa yang mampu menurunkan kasih-sayang Tuhan. Doa yang mampu mendatangkan keajaiban keajaiban. Doa yang ni'mat dilantunkan dan terasa sejuk di hati dan fikiran.

Laa ilaaha illa anta.
Subhanaka inni kuntu minadzdzaalimiin.

Orang orang Mesir berdatangan. Ada dua puluh orang. Seorang lelaki separuh umur dengan janggut yang telah memutih sebahagian menuju ke depan. Solat Subuh didirikan. Sang imam membaca surah An.Najm. Azzam larut dalam penghayatan. Orang Mesir yang solat di sebelah kanannya menangis kesenggukan. Bacaan sang imam memang menyentuh perasaan. Apalagi orang Mesir biasanya faham makna ayat ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan.

Azzam sendiri hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca sang imam. Hati dan fikirannya terlarut dalam tadabbur yang dalam. Ia merasakan seolah olah Tuhan yang menurunkan Al-Qur'an mengkhabarkan kepadanya bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menerima wahyu yang diturunkan.

Demi bintang ketika terbenam.
Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
Dan tiadalah yang ia ucapkan itu (Al-Qur'an) menurut
kemahuan hawa nafsunya.

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).

Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.
Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril) itu menampakkan
diri dengan rupa yang asli. (An-Najm: 1-6)


Ia seolah olah turut berada di zaman kenabian. Seolah olah ia ikut serta menyaksikan Rasulullah Shallalahu'alaihi wasallam menerima ayat ayat suci Al-Qur'an. Seolah olah ia mendengar suara Jibril membacakan Al-Qur'an, sampai Rasulullah Shallalahu'alaihi wasallam hafal tanpa keraguan. Seolah olah ia mendengar bagaimana Rasulullah Shallalahu'alaihi wasallam mengajarkan Al-Qur'an kepada sahabat sahabatnya yang selalu haus hikmah dan ilmu pengetahuan.

Ayat demi ayat dibaca sang imam. Orang Mesir sebelah kanannya terus meangangguk anggukkan kepalanya. Fikiran dan hatinya masih larut dalam tadabbur dan penghayatan. Surah An-Najm membuatnya menggigil ketika menghuraikan untuk apa Islam diturunkan. Demi kebahagiaan manusia dan alam semesta, Islam diturunkan. Tuhan menurunkannya dengan segenap rasa cinta dan kasih sayangNya. Tidak ada sedikit pun Tuhan memiliki keinginan mengambil keuntungan dari makhlukNya. Allah yang menggenggam langit dan bumi serta isinya sama sekali tidak memerlukan makhluk makhlukNya. Justeru makhluk makhlukNyalah yang memerlukan Allah, Tuhan Yang Maha Kaya dan Maha Penyayang. Allah memberi kebebasan seluas luasnya kepada makhluk makhlukNya untuk memilih berbuat baik atau kejahatan. Semua ada balasannya masing masing. Adil. Tidak ada kezaliman. Setiap orang menuai apa yang ia tanam.

Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereke kerjakan. Dan memberi balasan kepada orang orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik. (An-Najm : 31)


******

Sambil menyenandungkan zikir pagi, Azzam berjalan di atas pasir yang lembut. Ia berjalan di samping Pak Ali. Hari masih sangat pagi. Pantai Cleopatra masih sepi. Udara berkabut tipis. Desau angin laut yang berhembus terasa membelai dengan lembut relung relung jiwa. Kedamaian yang hampir sempurna. Tiga orang gadis Mesir dengan lari lari kecil melintasi mereka berdua. Sambil berlari mereka bergurau bahagia. Tubuh mereke tertutup rapat dengan seluar sukan panjang dan baju lengan panjang. Yang dua menutup kepala dengan tudung Turki. Sedangkan yang satu lagi membiarkan rambutnya terurai diterpa angin ke sana ke mari. Salah seorang di antara mereka memandang ke belakang. Sekilas Azzam menatap wajahnya. Putih bersih khas Mesir. Gadis itu terus menarik wajahnya dan tertawa sambil terus berlari bersama dua temannya. Meskipun cuma melihat sekilas gadis Mesir itu tak kalah mempersonanya dibandingkan dengan Eliana.

"Cantik ya Mas?" Suara Pak Ali menyedarkan Azzam bahawa ia bukan sedang berjalan sendirian.

"Siapa Pak yang cantik?" Sahut Azzam.

"Ya gadis Mesir itu, yang memandang dan menatap kamu."

"Kalau gadis Mesir, ya jangan ditanyalah Pak. Katanya kalau ada gadis Mesir tiga, maka yang cantik enam", jawab Azzam santai.

"Kok begitu. Tiga orang kok, yang cantik enam."

"Bayangnya juga cantik."

"Wah, kau ada ada saja."

"Saya kan cuma beritahu katanya tho Pak. Katanyakan boleh benar, boleh tidak."

"Ngomong ngomong cantik mana gadis tadi sama anaknya Pak Dubes, Eliana."

Azzam terhenyak, ia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Pak Ali. Entah mengapa ia sebenarnya tidak ingin berbicara tentang Eliana. Sudah terlalu sering Eliana dijadikan topik pembicaraan di kalangan mahasiswa, putera mahupun puteri, juga di kalangan masyarakat Indonesia. Baik di dalam mahupun di luar KBRI. Azzam sudah bosan, apalagi jika teringat kejadian malam tadi. Ia sama sekali sudah tidak tertarik dengan Eliana.

"Apa tidak ada topik lain Pak, selain Eliana? Pagi pagi begini sudah membahas pasal Eliana. Eliana lagi, Eliana lagi."

Pak Ali tersenyum mendengar jawapan Azzam.

"Aku ingin menceritakan hal penting padamu. Untuk kebaikanmu."

"Tentang Eliana?"

"Boleh dikatakan tentang Eliana, boleh juga dikatakan tidak."

"Mendengar nama Eliana saja saya sudah bosan Pak."

"Ah, yang benar?"

"Benar Pak, sungguh."

"Mas, bapak ini sudah makan garam lebih darimu. Bapak tidak boleh kau bohongi. Jujur saja, bapak sudah memperhatikanmu sejak empat hari ini. Dan bapak melihat kamu itu sebenarnya sangat mengkagumi Puteri Pak Dubes itu. Bahkan bapak berani menyimpulkan kamu itu sebenarnya suka sama dia."

"Bererti bapak salah menganalisis dan salah menyimpulkan!"

"Itu tak penting. Yang penting bapak ingin memberi saranan kepadamu. Ini serius, sebaiknya orang seperti kamu jangan sekali jatuh cinta sama sekali dengan Eliana, dan orang seperti kamu jangan sekali kali memimpikan isteri model macam Eliana. Itu saja!"

Seketika Azzam menghentikan langkahnya. Kerana ada larangan dalam saranan Pak Ali ia menjadi terhenyak penasaran. Seperti Nabi Adam ketika dilarang makan buah Khuldi malah jadi penasaran. Dan begitulah manusia jika mendapat larangan seringkali reaksi yang pertama kali timbul adalah justeru penasaran ingin tahu. Ada apa dilarang? Kenapa dilarang?

"Memangnya kenapa Pak Ali?"

Pak Ali tersenyum mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Azzam.

"Sudahku duga, pasti pertanyaan itu yang akan terus keluar, kau pasti penasaran kenapa aku sarankan sebaiknya jangan memimpikan isteri model seperti Eliana, alasan utamanya adalah agar kau tidak sengsara, tidak hidup sia sia. Agar kau bahagia! Aku melihat kau sangat tidak sesuai jika mempunyai isteri gadis model macam Eliana. Ya, dia cantik dan cerdas. Juga kaya. Anak orang kenamaan. Tapi kebahagiaan rumah tangga tidak cukup hanya dengan memiliki isteri yang cantik, cerdas, kaya dan terhormat. Tidak. Akhir akhir ini Eliana memang jadi buah mulut. Termasuk di kalangan mahasiswa Al-Azhar. Baik putera mahupun puteri. Tidak sedikit yang aku lihat sangat tertarik pada Eliana. Meskipun mereka tahu bagaimana cara berpakaiannya yang terkadang tidak kalah beraninya dengan artis Hollywood. Yang aku hairan, bagaimana mungkin ada mahasiswa Al-Azhar tertarik dengan gadis model itu. Mana Al-Qur'an dan Hadith yang telah kalian pelajari? Dan aku lihat kamu sendiri sebenarnya terpikat dengan kecantikan Eliana. Aku dapat melihat dari bahasa tubuhmu, pandangan matamu, dan getar suaramu. Kau boleh saja mengatakan bosan mendengar namanya. Tapi aku lebih tua darimu."

"Tapi Eliana itu kalau pakai tudung seperti ketika menjadi pengerusi peringatan tahun baru hijriyah nampak anggun dan cantikkan Pak?"

"Ya, boleh dikatakan begitu kok mengingkari kalau tertarik pada Eliana. Ya, Nicole Kidman kalau pakai tudung juga cantik. Eliana juga. Tapi kalau di kelab malam tidak kalah dengan penari gelek. Kau mahu punya isteri seperti itu?"

"Pak, jangan membuka aib orang, jangan memfitnah orang dong!"

Pak Ali malah tersenyum.

"Kalau aku mengatakan si Tiara, mahasiswi Al-Azhar yang biasa mengajar Al-Qur'an di Masjid SIC itu tatkala di kelab malam tak kalah dengan penari perut barulah aku dikatakan memfitnah dia. Lah, orang seperti Eliana sendiri bangga cerita ke mana mana. Bahkan ia sudah cerita di website peribadinya. Ayahnya yang jadi Dubes itu juga bangga. Bahkan ia pernah meminta puterinya menunjukkan kebolehannya di hadapan diplomat diplomat asing. Sampai ada seorang sutradara Mesir yang akan memintanya ikut berlakon filem. Kalau kemungkaran itu ditutu tutupi saya akan berusaha ikut menutupi. Ini kemungkarannya malah dipropagandakan, dibangga banggakan. Cuba kau renungkan, apakah ketika aku menasihati anak perempuanku agar tidak mencontohi Nicole Kidman yang sangat bangga tampil tanpa berpakaian di sebuah pertunjukan teater di Inggeris, aku katakan : "Jangan mengkagumi orang yang suka bermaksiat terang terangan itu!", apakah itu bererti aku memfitnah bintang Hollywood itu? Padahal berita perbuatan gilanya itu dimuatkan di akhbar akhbar dan internet di seluruh dunia."

"Kok saya tidak pernah tahu hal hal seperti itu Pak?"

"Sebaiknya memang kamu tidak tahu yang begitu begitu. Kalau tahu nanti jadi susah, kau tidak jadi buat tempe. Tidak juga jadi kuliah. Adik adikmu di Indonesia boleh kelaparan. Kerana fikiranmu ke mana mana. Aku hanya ingin mengingatkan padamu jangan mudah tertarik pada perempuan cantik. Di akhir zaman itu tidak sedikit perempuan yang cantik mempersona, namun sebenarnya adalah seorang pelacur. Na'udzubillaah!"

"Tapi perempuan cantik yang solehah, benar benar solehah dan menjaga kesuciannya banyak Pak."

Pak Ali kembali tersenyum.

"Ya, bapak percaya itu. Kerana itulah kamu harus benar benar matang dalam memilih isteri. Jangan asal cantik. Kebetulan bapak punya cerita tentang gadis yang cantik, solehah, mempersona dan cerda.s Kau mahu mendengarkan?"

"Wah, boleh Pak."

"Kalau begitu mari kita duduk di sana. Bapak akan cerita panjang lebar." Kata Pak Ali sambil menunjuk pembatas jalan di pinggir jalan yang boleh diduduki. Mereka berdua berjalan ke sana. Alexandaria semakin terang. Kabus mulai hilang perlahan lahan. Pantai mulai ramai. Jalan jalan sudah mulai dipenuhi kenderaan yang lalu lalang. Di kejauhan nampak Benteng Qaitbey berdiri di hujung tanjung. Gagah dan menawan. Mereka duduk menghadap laut yang bergelombang tenang. Azzam memandang ke arah kiri, ke arah benteng. Sementara Pak Ali memandang ke arah kanan.

"Kalau mereka itu, aku yakin wanita wanita solehah." Gumam Pak Ali sambil memandang Azzam, mengalihkan pandangan.

"Itu mana Pak?"

"Itu." Tunjuk Pak Ali ke arah rombongan gadis gadis bertudung. Dan cara mereka memakai tudung dan cara mereka berjalan menunjukkan mereka dari Asia. "Mereka anak anak Malaysia. Hampir semua yang kuliah di Al-Azhar Banat di sini adalah mahasiswi dari Malaysia. Indonesia boleh dikatakan tidak ada. Semua mahasiswinya berkumpul di Cairo," Pak Ali menjelaskan panjang lebar seolah olah Azzam bukan mahasiswa Al-Azhar. Azzam diam saja, tanpa dijelaskan pun ia sudah tahu. Ia sudah sembilan tahun tinggal di Mesir.

"Sudah Pak, tidak usah membahas mahasiswi Malaysia itu. Terus saja pada cerita yang ingin Pak Ali sampaikan tadi. Matahari sudah bersinar terang. Kita masih belum sarapan."

"Baiklah nak. Dengarkan baik baik ya. Ceritanya ada sangkut paut sedikit dengan hidupku."

"Namanya Pak Ahmad. Pak Ahmad memerlukan pembantu peribadi yang boleh berbahasa Inggeris. Dan ia meminta pada Pak Ustaz kalau ada di antara pelajarnya yang boleh diharapkan. Pak Ustaz menawarkan padaku. Aku menerimanya dengan harapan dapat ke Tanah Suci untuk menangis kepada Allah di depan Ka'bah."

"Aku pun berangkat ke Saudi. Teman Pak Ustaz yang membiayai tiketnya. Aku berkerja di Jeddah. Sangat seronok. Aku merasakan hidup tenang. Hubungan dengan Pak Ahmad juga sangat baik. Aku sudah dianggap saudara sendiri oleh keluarga Pak Ahmad. Aku berdoa di depan Ka'bah agar diberi pendamping hidup yang setia dan baik. Doa itu dikabulkan oleh Allah. Suatu pagi, ya pagi seperti ini, aku dipanggil Pak Ahmad. Pak Ahmad berkata: "Li, kamu mahu bernikah?"

Aku terkejut sekali. Memang itulah doaku setiap kali aku ada kesempatan berdoa di Multazam. "Mahu, Pak," jawabku.

"Tapi dia janda beranak dua. Tidak perawan. Bagaimana? Mahu?"

"Asal solehah mahu Pak."

"Dia solehah, insya Allah. Begini Li. Kalau kau mahu, kau harus pergi ke Mesir. Perempuan itu sekarang berada di Mesir. Suaminya telah meninggal setengah tahun yang lalu. Dua anaknya masih kecil kecil. Dan ia tetap ingin berada di Mesir sampai mempunyai bekalan yang mencukupi untuk menjalani hidup di Indonesia."

Aku terus bertanya: "Jadi saya nanti harus meninggalkan Jeddah dan tinggal di Mesir Pak?"

"Tidak apa apa. Kalau kau mahu, bererti kau telah menolong janda dan dua orang anaknya. Kalau ikhlas besar pahalanya. Dan kau di Mesir sana akan terus mendapat pekerjaan. Jangan risau."

"Apa pekerjaannya Pak?"

"Menggantikan pekerjaan almarhum suami janda itu. Iaitu cleanning service merangkap pemandu KBRI. Bagaimana Li, kamu mahu?"

Aku lalu menjawab: "Baiklah, bismillah saya mahu."

"Akhirnya aku bernikah dengan orang yang sekarang menjadi isteriku. Allah tidak hanya memberiku isteri solehah. Tapi Allah juga memberiku isteri yang cantik, penyabar, dan sangat memahami. Lebih dari itu Allah menganugerahiku dua orang anak yang sangat menyejukkan hati. Dua orang anak itu tidak pernah menganggap aku bukan ayahnya. Mereka tahu, ayah mereka adalah aku ini. Inilah jalan hidup yang diatur oleh Allah. Sebab sekian tahun aku berumahtangga tidak juga punya keturunan. Ternyata setelah menjalani pemeriksaan doktor, aku diberitahu tidak dapat mempunyai keturunan. Aku semakin sayang pada isteri dan anak anakku. Mereka pun semakin sayang padaku. Anakku yang pertama sekarang sedang belajar di Malaysia. Anak yang kedua kuliah di Fakulti Kedoktoran UNS Solo. Seperti yang kau ketahui, di sini aku hidup berdua bersama isteri. Sesekali kami yang menjenguk mereka atau mereka yang menjenguk kami. Kini aku sangat bahagia. Tahun depan aku dan isteri merancang untuk meninggalkan Mesir. Alhamdulillah, kami sudah mempunyai rumah di Solo Baru."

Pak Ali menghela nafas. Ada gurat kepuasan yang tergurat di wajahnya. Pak Ali membetulkan letak kaca matanya. Azzam merasa belum puas. Ia merasa belum mendapatkan apa yang dijanjikan Pak Ali.

"Cerita gadis cantik solehahnya mana Pak?"

Pak Ali tersenyum.

"Sabarlah nak. Gadis cantik saja yang kau fikir."

"Pak Ali tadikan beritahu mahu cerita tentang gadis cantik yang solehah. Sekarang ini sudah ke mana mana belum muncul muncul juga."

"Kau ini kok inginnya meloncat. Langsung ke intinya. Filem kalau langsung ke intinya tidak menarik. Novel kalau langsung kau baca intinya juga tidak menarik. Kau harus sabar membacanya. Baca mengikut urutan bab demi bab. Paragraf demi paragraf. Kata demi kata. Huruf demi huruf. Baru akan kau temukan keindahan rangkaian novel itu. Keutuhan cerita novel itu. Jangan lompat lompat. Jangan main potong langsung ke inti. Cerita tentang gadis solehah yang indah ini juga begitu. Ada rangkaian ceritanya yang tidak boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan ceritanya tidak utuh."

"Sudahlah Pak, ayoh dilanjutkan saja ceritanya. Jangan malah berceramah tentang novel pulak. Apa hubungannya. Macam sasterawan saja!"

"Lho, erat sekali hubungannya cerita dengan novel lho Mas. Begini..."

Azzam terus memotong.

"Dilanjut saja ceritanya Pak. Tentang sastera, hubungan cerita dengan novel, biar nanti saya baca sendiri saja di perpustakaan SIC. Dah nak siang Pak."

"Baiklah. Anakku yang kuliah di Malaysia itu lelaki, namanya Amir. Dulu selesai SPM (Sek. Men. Pertama) di SIC (Sek. Indonesia Cairo) terusku hantar ke Al-Munawwir Krapyak Jogja. Selesai Madrasah Aliyah terus dapat biasiswa ke Madinah. Sekarang mengambil M.A. di Malaysia. Dia belum berkahwin. Dia sendiri tidak tahu kisah sejarah masa laluku sebelum taubat. Dia hanya tahu aku adalah seorang ayah yang dulu pernah menuntut di Pesantren. Dan aku fikir dia tidak perlu tahu. Biar dia tahu yang baik baik saja. Nanti kalau dia mahu cari isteri, baru akan bapak beritahu."

"Bererti kira kira dia seusia dengan saya ya Pak."

"Lebih tua daripada kamu dua tahun. Aku lanjutkan ya. Sedangkan adiknya yang kini kuliah di Fakulti Kedoktoran UNS, sejak SMP sudahku letakkan di Pesantren."

"Di pesantren mana Pak?"

"Di pesantren tempat aku belajar dulu. Aku amanahkan pada Ustaz yang mengurusku selama setahun itu. Pak Ustaz itu namanya K.H. Luthfi Hakim. Nama pesantrennya, Daarul Qur'an. Terletak di Desa Wangen, Polanharjo."

"Oh ya, saya tahu Pak. Saya dulu pernak ke sana sekali. Itu kan letaknya dari Popongan terus ke Barat. Dekat dengan daerah Janti, Kiaten."

"Ya benar."

"Terus, apa hubungannya pesantren itu dengan cerita gadis cantik yang solehah itu? Apa yang Pak Ali maksudkan adalah anak gadis Pak Ali itu?" Azzam sudah tidak sabar. Ia merasa cerita Pak Ali melingkar lingkar tidak segera sampai kepada apa yang dimaksudkan.

"Tidak. Sama sekali tidak. Aku sudah tahu standard kecantikan yang kau pakai. Standard kamu adalah Eliana dan gadis gadis Mesir. Maka anak gadisku meskipun menurutku cantik, tapi jika standardnya dengan Eliana boleh dikatakan tidak cantik. Bersabarlah sedikit, sudah hampir sampai pada tujuan. Aku kembali ke alur cerita. Anak gadisku itu aku amanahkan kepada Pak Kiyai Luthfi. Beliau jaga dan beliau didik dengan baik. Pada saat yang sama Pak Kiyai Luthfi mempunyai anak gadis yang sangat cerdas. Dan sangat cantik. Sungguh sangat cantik. Kecantikannya ibarat permata maknun yang mengalahkan semua permata yang ada di dunia. Aku berani bertaruh kecantikannya dapat mengatasi Eliana. Ini menurutku lho. Sebab kecantikan seorang perempuan di mata lelaki itu benar. Dan untuk kecerdasannya aku berani bertaruh tidak banyak gadis seperti dia. Aku tahu sangat, sebab aku pernah belajar dengan ayahnya selama setahun. Jika Eliana boleh berbahasa Perancis dan Inggeris, maka Puteri Pak Ustaz Luthfi ini juga boleh berbahasa Arab, Inggeris dan Mandarin. Ketika menuntut di Madrasah Aliyah, dia pernah ikuti program pertukaran pelajar ke Wales, U.K. Dan apa kau tahu di mana dia sekarang?"

Azzam menggelengkan kepala.

"Dia sekarang ada di Cairo. Sedang melanjutkan M.A.nya di Kuliyyatul Banat, Al Azhar. Dia sedang mengajukan judul tesisnya."

"Sedang mengambil M.A.? Siapa namanya? Kenapa saya tidak pernah dengar ceritanya."

"Namanya Anna Althafunnisa."

"Anna Althafunnisa?"

"Baru kali ini saya dengar nama itu. Aneh sekali. Padahal orang orang di rumah saya semuanya aktivis. Tapi mereka tidak pernah menyebut nama itu ya?"

"Tidak banyak orang yang tahu. Sebab Anna Althafunnisa menyelesaikan B.A.nya bukan di Cairo. Tapi di Alexandaria sini. Ia lebih banyak berinteraksi dengan mahasiswi Malaysia dari mahasiswi Indonesia. Dan Anna lebih memilih menutup diri dari kegiatan kegiatan yang bersifat glamour. Kalau kau sempat membaca majalah Al-Wa'yu Al-Islami, cubalah cari edisi bulan lalu. Ada artikelnya yang dimuatkan di sana. Dia memakai nama pena Anna Luthfi Hakim."

"Sekarang dia tinggal di Cairo?"

"Ya. Dialah gadis cantik dan solehah yang aku maksudkan. Dan saat ini ayahnya menginginkan dia segera bernikah. Aku fikir kamu lebih baik bernikah dengan orang yang sebaik Anna daripada dengan model Eliana. Kalau kamu mendapatan Anna, kamu telah mendapatkan syurga sebelum ke syurga. Percayalah padaku. Aku tahu betul kualiti Anna, ayahnya, dan keluarganya. Mereka dari golongan orang orang yang ikhlas. Saranan saya khitbahlah Anna Althafunnisa itu sebelum bidadari dari Pesantren Daarul Qur'an itu dikhitbah orang lain."

Hati Azzam berbunga bunga. Ada rasa sejuk yang tiba tiba menyelinap ke dalam dadanya. Namun ia tiba tiba diserang rasa ragu.

"Apakah saya layak melamarnya Pak? Apakah saya layak untuknya? Saya ini mengambil B.A. pun sudah sembilan tahun belum juga selesai. Dan apa prestasi saya? Apa yang boleh saya andalkan? Membuat tempe? Apakah ada ustadz yang mahu anaknya bernikah dengan penjual tempe?"

"Kenapa kamu jadi rendah diri begitu. Percayalah padaku, Pak Kiyai Luthfi itu tidak pernah memandang dunia. Dunia itu remeh bagi beliau. Datanglah, lamarlah. Belilah tiket, pulanglah ke Indonesia dan lamarlah bidadari itu!"

"Waduh, kalau kena pulang, berat Pak. Apakah tidak ada cara lain selain pulang?"

Pak Ali diam mengerutkan keningnya, sebentar kemudian, wajahnya cerah. Setengah berteriak ia menjawab: "Ada! Kau boleh melamar melalui Ustadz Mujab. Ustadz Mujab itu keluarga dekat Ustads Luthfi. Kau temui saja Ustadz Mujab dan sampaikan maksudmu untuk disampaikan kepada Ustadz Luthfi dan Anna. Insya' Allah semua akan mudah. Ustadz Mujab, kau kenalkan?"

"Wah, lebih dari kenal. Saya sangat rapat dengannya tapi yang membuat saya hairan, kenapa beliau sama sekali tidak pernah menyebut nama Anna Althafunnisa sama sekali ya?"

"Itulah mahalnya Anna Althafunnisa. Tidak sembarangan dibicarakan. Tidak sembarangan dikatakan. Bukankah permata yang sangat mahal itu jarang dipamirkan orang?"

"Pak Ali ada gambarnya?"

"Aduh, sayang sekali tidak ada. Tapi itu tidak penting. Terus saja kau lamar. Kalau setelah menyuntingnya kamu menyesal, akan aku serahkan leherku ini untuk kau pancung. Sungguh!"

Azzam tersenyum. Kata kata terakhir Pak Ali semakin membuatnya mantap sekaligus penasaran. Seperti apa Anna itu? Namun, ia merasa telah mendapat jawapan atas tekad yang ia ikrarkan sebelum tidur malam tadi. Tekad yang ia sertai dengan doa.

Ia yakin Anna adalah jawapan atas doanya yang ia bawa sampai tidur. Ia yakin bukanlah suatu kebetulan jika pagi itu Pak Ali akan bercerita tentang Anna Althafunnisa. Itu bukanlah kebetulan belaka. Sebab ia menyakini bahawa segala yang terjadi di alam semesta ini tidak ada yang kebetulan. Semuanya sudah ditulis takdirnya dan diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tekadnya telah bulat.

Setelah sampai di Cairo, ia akan datang ke rumah Ustadz Mujab. Datang untuk menanyakan gadis yang disebut sebut Pak Ali sebagai "Bidadari dari Pesantren Daarul Qur'an."

Ia akan menanyakan apakah gadis itu masih kosong belum dikhitbah orang? Apakah gadis itu boleh dipinangnya? Kalau ya, maka ia akan terus meminangnya. Saat itu juga kalau boleh. Tidak ada lagi keraguan dalam hatinya.

******

Apa agaknya yg dpat korang kutip dari 3 bab yg sempat aku paparkan ini??? Klu aku... pertama kali membacanya terasa bagai ada sesuatu yg menyusup halus dan amat perlahan dlm diri...


0 comments:

Post a Comment