Monday, March 28, 2011

KETIKA CINTA BERTASBIH - (15) Pesona Gadis Aceh

Silakan terus dengan pembacaannya... Mohon doanya aku punya kelapangan di lain waktu....


SEBAIK sampai di SIC, Azzam terus membuat kuah untuk baksonya. Beberapa siswa SIC minta merasa bebola bakso yang telah jadi. Ia tidak memenuhi permintaan mereka. Sebab jika satu anak diberi, yang lain pasti akan minta. Dengan bijak ia menjawab :

"Jangan risau, nanti kalian semua akan mendapat bahagiannya, masing masing anak satu mangkuk bakso. Sabar sedikit ya."

Seorang anak yang terkenal suka mengusik membantah :

"Walah minta satu saja tidak boleh. Dasar kedekut!"

Azzam tersenyum mendengarnya. Ia tidak terkejut mendengarnya. Sudah selalu dan biasa terjadi. Maka ia tidak menjawab apa apa. Sebab setelah majlis selesau nanti dan masih ada sisa bakso, anak anak itu akan minta lagi. Biasanya ia akan memperkenankan permintaan mereka. Dan mereka akan berkata padanya : "Bang Insinyur memang pemurah dan baik hati. Terima kasih ya bang."

Majlis di SIC selesai tepat pukul dua belas tengah hari. Dan majlis itu Azzam mendapat keuntungan bersih sebanyak tujuh puluh dolar. Azzam terus pulang ke Mutsallats. Nasir ternyata telah ada di rumah. Sedang menanak nasi dan memasak telur mata kerbau.

"Eh Kang Azzam, baru pulang. Teman teman ada di mana Kang, kenapa sepi?" tanya Nasir santai sambil membalik telur mata kerbaunya. Kelihatannya ia sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi di rumah itu.

"Mereka sedang berada di hospital Rab'ah." jawab Azzam sambil meletakkan periuk besar dan perkakasnya pada tempatnya.

"Di hospital? Siapa yang sakit Kang?" Nasir terkejut. Pandangan matanya beralih dari telur mata kerbaunya ke wajah Azzam.

"Fadhil." Ucap Azzam datar.

"Fadhil?! Sakit apa Kang?"

"Sudahlah, kau makanlah dulu. Fadhil akan baik baik saja. Sudahlah, nanti ku ceritakan semuanya."

Azzam maduk ke biliknya untuk beristirehat. Sementara Nasir makan dengan sangat lahap. Nasi panas, telur mata kerbau dan kicap terasa begitu nikmat bagi pemuda yang pernah belajar di Pesantren Buntet Cirebon itu. Guratan keletihan masih nampak jelas di wajahnya. Namun guratan keletihan itu masih belum seberapa jika dibandingkan guratan keletihan pada wajah Azzam yang kini menelentangkan tubuhnya di atas tempat tidurnya.

Azzam memejamkan mata, tapi fikirannya mengembara ke mana mana. Mengembara ke ruang ruang keletihan demi keletihan, tanggungjawab demi tanggungjawab, bakti demi bakti. Perjalanan hidup yang harus ditempuhnya di Cairo adalah kerja keras, titisan keringat, mata yang kurang tidur, fikiran yang penuh, dan doa yang dibalut tangis jiwa. Ingatannya pada ibu dan adik adiknya adalah tanggung jawab sebagai seorang lelaki sejati yang beriman. Ingatan pada ayahnya adalah kewajipan bakti seorang anak mengalirkan doa pembuka rahmat Allah di alam baka.

"Kang, apa yang sebenarnya terjadi pada Fadhil?" Nasir duduk di samping Azzam. Ia tahu Azzam tidak tidyr. Azzam bangkit perlahan lalu duduk.

"Lebih tepat kalau kau bertanya, apa sebebnarnya yang telah terjadi di rumah ini," jawab Azzam. Nasir diam saja, ia tahu Azzam belum selesai bicara. Justeru baru memulai bicara. "Malam tadi terjadi peristiwa besar di rumah ini. Peristiwa yang tidak lain adalah getah dari tindakan ketidak hati hatianmu," lanjut Azzam. Nasir terkejut mendengarnya.

"Tindakan saya yang mana Kang?!" tanya Nasir dengan nada protes.

Azzam lalu menceritakan semua yang terjadi dengan detail. Tidak dikurangi dan tidak juga dilebihi. Mata Nasir berkaca kaca. Ia baru mengerti dengan 'tindakan ketidak hati hatiannya' yang dimaksudkan Azzam.

"Maafkan saya kang. Saya tidak tahu kalau akan sampai terjadi seperti ini. Saya beruntung dapat tinggal satu rumah bersama orang yang berjiwa menjaga dan melindungi seperti kamu. Sekarang apakah yang senaiknya yang perlu saya buat, Kang?" Ucap Nasir dengan disertai tasa penyesalan yang dalam.

"Untuk sementara, selama kau di Mesir hapuskan nama Wail El Ahdali dari ingatanmu. Dan bergaullah dengan orang Mesir dan orang asing sewajarnya saja. Jangan terlalu akrab. bergaul sewajarnya selain membuat kita waspada, juga membuat kita lebih dihormati di negeri orang. Yang jelas mungkin kau sedang dicari mabahits. Bersikap biasa saja. Jika suatu hari diperiksa mabahits, jawablah yang wajar saja. Yakinkan mereka bahawa kau tidak berbuat yang bukan bukan di tanah air mereka ini. Yakinkan mereka bahawa tumpuanmu adalah hanya untuk belajar di Al-Azhar. Jangan pernah mengisyaratkab kau kenal dan mempunyai hubungan dengan Wail El Ahdali." Azzam menasihati panjang lebar. Nasihat yang sangat penting bagi orang yang terlalu akrab dengan siapa saja seperti Nasir. Sikap akrab yang terkadang berlebihan, sehingga berpeluang mengundang hal hal yang tidak diinginkan.

"Baik Kang. Tapi Wail itu orangnya baik Kang. Dia bukan penjahat. Aku pernah ke rumahnya di daerah Mahallet Marhum, dekat Tanta."

"Aku tidak mengatakan Wail itu tidak baik Sir. Aku percaya bahawa teman teman mu baik. Tapi yang terbaik bigi kita saat ini adalah tidak kenal Wail dulu. Amn Daulah Mesir merasa mempunyai urusan dengan Wail. Kita biarkan itu sebagai urusan mereka. Kita di sini adalah tetamu. Dia orang Mesir. Dia lebih tahu Mesir daripada kita. Wail pasti mempunyai cara untuk menyelesaikan urusannya. Kita urus saja urusan kita sebaik baiknya. Bukankah urusan kita sendiri masih banyak?" tegas Azzam.

"Ya Kang."

"Sekarang kita ke Mustasyfa Rab'ah."

"Baik Kanh. Aku mandi dulu sebentar dan ganti pakaian ya Kang? Pagi tadi aku belum mandi."

"Ya. Tapi cepat ya."

"Ya Kang."

Ketika Nasir mandi, Azzam teringat akan tempe yang ia serahkan pembuatannya pada Rio. Ia harus memeriksanya untuk lebih merasa yakin bahawa pekerjaan anak buahnya beres seperti yang ia harapkan. Ia melihat beberapa calon calon tempe di rak. Ia ambul satu, ia teliti.

"Bagus. Rio boleh diharapkan," lirihnya.

Ia merasa tenang, jika suatu saat nanti ia tidak boleh membuat sendiri tempenya, ia boleh menyerahkannya pada Rio. Dengan begitu bisnesnya akan tetap lancar. Dan Rio juga senang, sebab dia akan mendapat tambahan gaji.

Nasir mandi dengan bagitu cepat. Entah apa yang ia lakukan di bilik mandi. Rasanya baru masuk, sudah keluar pula. Ia terus masuk ke biliknya dan mengganti pakaian.

Sepuluh minit kemudian, mereka berdua sudah keluar rumah. Mereka berjalan kaki menuju jalan raya.

sebaik ada bas nombor 65, mereka naik. Selama dalam perjalanan yang tidak lama itu Azzam tertidur. Nasir masih didera rasa bersalah. Malam tadi ia hampir mahu nekad tetap mengizinkan Wail menginap di rumah. Namun ia ingat, jika Azzam marah, maka seisi rumah pasti akan juga marah.

Kerana itulah, sebaik selesai makan roti dan kabab, ia mengajak Wail jalan kaki ke Tub Ramli. Ia dan Wail akhirnya menginap di rumah Mat Nazri, mahasiswa berasal dari Pahang, Malaysia yang sama sama agen tiket Malaysia Air Lines. Mat Nazri percaya saja padanya, bahkan sangat senang dengan kedatangan Wail. Mereke bertiga tidak tidur. Sebab Wail banyak bercerita tentang masa kecilnya dan juga kedamaian desanya. Cerita yang seronok didengar dan mengasyikkan, kerana Wail sering menyelitkan dengan lawak lawak yang menyegarkan. Ia masih teringat cerita Wail tentang Abu Nuwas. Wail berkata :

"Waktu kecil dulu aku paling suka mendengarcerita cerita lucu Abu Nuwas. Yang paling menarik membawakan cerita adalah Ammu Husni. Dulu dia yang mengajari anak anak desa kami membaca Al-Quran. Sekarang dia bekerja di Kementrian Wakaf di cairo. Saya masih ingat satu cerita dari Ammu Husni tentang Abu Nawas. Cerita yang jika saya mengingatkannya masih boleh tertawa, paling tidak tersenyum sendiri. Ammu Husni bercerita begini :

'Suatu petang Khalifah Harun Ar rasyid berjalan jalan mencari angin di luar istananya. Ia jalan melalui pasar. Di sana, ia bertembung dengan Abu Nuwas. Sang Khalifah sangat terkejut melihat Abu nuwas membawa sebuah botol yang kelihatannya berisi arak dalam ukuran yang besar. Untuk meyakinkan apa yang dilihatnya, sang Khalifah pun menghampiri Abu Nuwas.

"Sejak bila kamu jadi pemabuk Abu Nuwas?" selidik Khalifah.

"Saya tidak pernah mabuk. Khalifah jangan sembarangan menuduh sesuka hati!" jawab Abu Nuwas berbelit.

"Lalu apa yang kamu bawa itu?"

"Botol."

"Lalu apa isi botol itu?"

"Susu, Khalifah."

"Susu kok warnanya merah? Sungguh aneh, bukankah di mana mana susu warnanya putih?"

"Harap maklum Khalifah. Susu ini mulanya berwarna putih. Tapi kerana malu pada Khalifah, jadi berubah merah. Ia lebih pemalu daripada gadis pingitan, Khalifah," jawab Abu Nuwas diplomatik.

Mendengar jawapan Abu nuwas itu, Sang Khalifah tertawa terbahak bahak. kenapa boleh susu memiliki sifat malu. Sungguh jawapan yang bodoh, namun menyegarkan. Sang Khalifah lalu meneruskan perjalanannya setelah tahu ternyata yang dibawa Abu Nuwas memang bukan arak, tapi minuman sejenis sirap dari kurma.'

Nasir tersenyum sendiri. Cerita tentang abu Nuwas, yang kalau di Indonesia lebih dikenali dengan Abu Nawas, sudah sangat sering ia dengar. Tapi cerita tentang susu yang boleh ebrubah merah warnanya kerana malu, baru ia dengar saat itu. Mesir memang kaya dengan cerita cerita lucu, di samping juga kaya akan kisah romantik dan juga epik yang menggetarkan jiwa.

Beberapa puluh meter sebelum sampai Mahattah Rab'ah, ia membangunkan Azzam. Azzam bangun dengan mata merah. Mereka turun dan terus ke hospital. Di depan bilik Fadhil, mereka melihat Nanang dan Ali berdiri di samping pintu.

"Kenapa di luar? Siapa yang di dalam?" tanya Azzam.

"Fadhil sedang ditunggui dua perempuan," jawab Nanang.

"Cut Mala, adik perempuannya dan Cut Rika teman Cut Mala."

"Fadhil bagaimana keadaannya?"

"Sudah sedar. Kata doktor akan baik baik saja. Tapi pagi tadi sempat diinfus dengan vitamin otak. Setelah di-scan, ada gegaran ringan. Mungkin kerana kepalanya terhantuk di lantai waktu dia terjatuh malam tadi. Oh ya Kang, dia menanyakan kamu terus sejak sedar," kata Nanang menjelaskan.

"Baik, kalau begitu aku masuk dulu."

Azzam terus masuk. Dua mahasiswi bertudung duduk di samping Fadhil. yang bertudung biru muda bercakap cakap dengan Fadhil. Sementara yang bertudung putih membaca majalah.

"Assalamu'alaikum?" sapa Azzam.

Seketika yang ada di bilik itu menjawab salam. Fadhil tersenyum melihat siapa yang datang. Ia terus berkata pada gadis bertudung biru muda :

"Dik Mala, itu Kang Azzam, senior saya di rumah." Gadis bertudung biru mengangguk kepada Azzam sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Azzam juga melakukan hal yang sama sambil memperkenalkan diri :

"Ya, saya Azzam."

"Saya adiknya bang Fadhil. Cut Mala. Lengkapnya Cut Malahayati." Tukas gadis bertudung biru berwajah putih bersih. Azzam melihat sesaat, ia tertegun sesaat. Baru kali ini ia bertatap muka dan melihat terus wajah adik perempuan Fadhil yang membuat Hafez hampir gila. Ia harus mengakui, memang mempesona. Ia terus menundukkan kepala, lalu tanpa sedar ia mengalihkan pandangan ke arah gadis yang satunya yang sedang menghadap ke arahnya dengan menundukkan kepala.

"Dia teman Mala. Masih ada hubungan keluarga dengan saya meskipun jauh. Namanya Cut Rika." fadhil memperkenalkan. Sebab ia tahu teman adiknya itu sangat pemalu. Azzam hanya mengangguk angguk. Gadis yang bernama Cut Rika itu diam saja. Maka Azzam mengalihkan perhatiannya pada Fadhil.

"Bagaimana keadaan Dhil?"

"Baik kang. Tidak ada yang perlu dicemaskan. tapi aku perlu berbicara dengan kamu tentang satu hal penting." jawab Fadhil.

"Apa itu?" tanya Azzam penasaran.

"Sebentar Kang," jawab Fadhil sambil memberi isyarat kepada adiknya agar ia dan temannya meninggalkan bilik. Setelah keduanya keluar, Fadhil berkata :

"Boleh tak kang saya pulang petang ini?"

"Kenapa Dhil? kau masih perlu rawatan?"

"Terus terang Kang, saya tidak mempunyai wang. Adik saya juga. Kami tidak mungkin minta ibu kami di Indonesia."

"Sudahlah, kau jangan memikirkan hal itu dulu. Biar hal itu aku yang memikirkan, yang penting kamu sihat kembali. Ujian tidak lama lagi. Ingat itu."

"Kalau boleh pulang secepatnya. Cubalah bicara dengan doktor, jika dia datang nanti."

"Baiklah."

"Terima kasih Kang."

"Ya, sama sama. Adikmu biar masuk kembali ya. Soalnya, ia kelihatan ingin terus dekat denganmu. Aku dan teman teman solat Ashar dulu."

"Iya Kang."

Azzam beranjak keluar memanggil dua gadis Aceh, lalu mengajak teman serumahnya solat Ashar. Sebab saat itu azan sedang berkumandang.

Setelah Ashar, doktor datang. Azzam membicarakan kemungkinan Fadhil dibawa pulang.

"Dia boleh pulang, paling cepat besok siang." Jelas doktor berambut putih meyakinkan.

Menjelang Maghrib, Cut Mala dan Cut Rika minta diri. Tidak lama setelah Azzam dan Nanang juga minta diri. Untuk jaga malam, Nasir dan Ali menawarkan diri. Atas permintaan Azzam, Hafez memanh sejak awal tidak perlu diberitahu dahulu. Biar dia menyelesaikan urusannya di Katamea dulu. Azzam tidak ingin Hafez tahu lalu terus ke hospital dan bertemu Cut Mala.

Saat Azzam pergi pada Fadhil, dengan nada bergurau Fadhil berkata :

"Menurutmu Cut Mala, adikku, cantik tidak Kang?" Azzam menjawab dengan gurauan :

"Tanyakan saja pada Nasir, dia paling tahu tentang perempuan cantik. Kelihatannya tadi, dia memerhatikan adikmu itu."

Nasir tidak menduga akan jadi sasaran tembak. Serta merta ia berkata :

"Ya, kalau belum ada yang mengkhitbah, cantik sih. Tapi kalau sudah ada yang mengkhitbah, ya, tidak cantiklah!"

Azzam tersenyum lalu pergi. Ia jadi teringat dua orang adiknya kembali. Husna dan Lia. Apa mereka secantik Cut Mala, atau malah lebih cantik? Tiba tiba ia malu pada diri sendiri. Hatinya benar benar mengakui pesona gadis Aceh bertudung biru mda itu tadi. Fadhil memang telah berkali kali bercerita tentang adiknya yang baru setahun setengah menyusulnya kuliah di Cairo. Namun baru petang itu ia bertatap muka dengan gadis yang kata Fadhil, saat di Madrasah Aliyah pernah menjuarai MTQ (Musabaqah Tilawah Al-Qur'an) se-Tanah Rencong, Aceh. Ia boleh memahami kenapa Hafez sedemikian jatuh hati padanya.


Terjemahan Corner :

1. Diinfus - Dimasuk melalui tiub



0 comments:

Post a Comment