Friday, March 11, 2011

KETIKA CINTA BERTASBIH - (13) Tetamu Tak Diundang


Waktu malas bikin kerja... ini yg aku usahakan... jiwa aku damai dgn ini... moga kalian juga sedemikian dlm pembacaan...

MALAM itu Anna tidak boleh tidur gara gara pertanyaan Laila tentang lamaran Furqan itu. Fikirannya tidak tenang. Sudah tiga bulan lamaran itu disampaikan kak Zulfa kepadanya, tapi ia belum juga boleh mengambil keputusan. Ini adalah waktu terlama baginya dalam menimbang sesuatu. Entah kenapa kali ini tidak mudah baginya untuk mengatakan 'tidak', seperti sebelum sebelumnya.

Ia benar benar belum menemukan alasan untuk menolak lamaran Mantan Ketua PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia) yang terkenal cerdas dan kaya itu. Juga tidak mudah mengatakan 'ya'. Ia belum merasakan kemantapan hati untuk menjadi pendamping hidupnya. Ia sendiri tidak mengerti kenapa tidak juga merasakan kemantapan hati. Ia tidak mungkin melangkah tanpa kemantapan hati. Baginya menerima lamaran seseorang kemudian bernikah adalah ibadah. Dan ibadah tidak sempurna jika tidak disertai kemantapan hati dan jiwa.

Jarum jam dinding di biliknya menunjukkan pukul dua dinihari. Matanya tidak mahu terpejam. Bagaimana jika Furqan, atau kak Zulfa mendesaknya lagi untuk memberi kepastian? ia bangkit dari katil. Duduk dan menunduk. Kedua matanya yang sedikit merah mengguratkan rasa kepenatannya. namun sama sekali tidak mengurangi pesona kecantikannya. Dari kamr sebelah, sayup sayup ia mendengar suara detak keyboard komputer. Dari kamar Wan Aina. Mahasiswi berasal dari Selangor, Malaysia yang pernah belajar di Diniyah Putri Padang Panjang itu memang seorang yang bekerja keras.

Anna tahu bahawa gadis Melayu pencinta lagu lagu Ummi Kultsum itu beristirehat hanya dua jam. Ia sangat bangga padanya. Wajar, jika tahun pertama M.A. Al-Azhar dilaluinya dengan mudah. Tidak ada satu mata kuliah pun yang tertinggal. Anna beranjak ke kamar Wan Aina. Mengetuk pintunya perlahan.

"Masuk saja!" Suara Wan Aina dari dalam kamar.

Anna membuka pintu dan masuk perlahan. Wan Aina duduk di depan komputer tanpa bertudung. Rambutnya dipotong pendek. Sedikit di atas bahu. Matanya terfokus pada buku yang ia letakkan di samping kanan monitor komputernya. Sementara sepuluh jarinya yang lentik menari nari indah di atas tuts tuts keyboard komputer. Anna mendekat berdiri di samping Wan Aina.

"Terjemah apa Wan?"

"Ini Kak, terjemahkan cerpenya Ibrahim Ashi," jawab Wan Aina. Ia memang biasa memanggil Anna kakak, "Nak ku kirim ke majalah sastera milik Dewan Bahasa dan Pustaka diKL," lanjut Wan Aina sambil sesekali membetulkan tulisan yang salah.

"Apa judulnya Fat?"

"Alal Mughtasal. Sebuah cerpen yang penuh kritik sosial. Ada kalimat dari Ibrahim Ashi yang menggelitik sekali." Jelas Wan Aina sambil tetap mengetik.

"Kalimat apa itu Wan?"

"Ibrahim Ashi menulis: Orang orang kaya tidak mati mati.... Orang orang kaya boleh menyuap Izrail."

"Ada ada sja saterawan itu. Eh Fat, sembang sembang kamu pernah tidak dikhitbah seseorang?"

"Apa Kak? Dikhitbah?" Wan Aina menghentikan jari jemarinya. Ia memalingkan wajahnya ke Anna.

"Ya. Dikhitbah. Dilamar. Pernah tak kamu dilamar seseorang untuk dijadikan isterinya." Anna mengulang pertanyaan dengan lebih jelas.

"Ya pernahlah. Sudah dua kali. Tapi dua duanya aku tolak mentah mentah!"

"Kenapa?"

"Sebab aku tidak yakin boleh mencintai dia."

"Meskipun agamanya baik?"

"Ya. Yang ku cari adalah yang agamanya baik dan aku yakin boleh mencintainnya. Aku dapat berbakti padanya dengan penuh rasa suka, rasa cinta dan ikglas. kenapa Kak Anna tiba tiba bertanya khitbah padaku? Apa ada orang yang mengkhitbah lagi?"

"Iya. Tapi yang ini membuatku susah."

"Kenapa?"

"Aku belum yakin boleh mencintainya. Namun aku juga masih merasa berat jika menolaknya." Terang Anna pada Wan Aina. Selama ini Wan Aina adalah teman yang paling aman diajak bicara dari hati ke hati. Ia sangat dewasa dan boleh menjaga rahsia.

"Menurutku kakak tidak usah tergesa gesa. Kak Anna tunggu dulu sampai benar benar sedia mengambil keputusan yang matang. Jika yang mengkhitbah tidak sabar, ya biar mundur. Jangan tergesa gesa memutuskan Kak. Tergesa gesa itu datangnya dari syaitan. Menentukan siapa yang jadi pasangan hidup kita itu ibarat sama dengan menentukan nasib kita selanjutnya. Harus benar benar matang dan penuh pertimbangan. Oh ya Kak, bagaimana tiketnya? Sudah selesai?"

"Besok saya bayar insya Allah. Dua hari lagi boleh saya ambil."

"Baguslah. Tiker Aina sudah Aina ambil. Kita jadi ke Kuala Lumpur awal pekan depan, insya Allah. Hari Ahad kita ikuti seminar sehari tentang Ulama Perempuan di Asia Tenggara yang diadakan PMRAM, HW, PPMI, Wihdah dan ICMI di Auditorium Shalah Kamil. Hari Isninnya kita terbang ke KL. Keluarga saya akan menanti kita di Air Port. Kak Anna tak usah risau. Saya sudah cerita semua pada mereka. Mereka sangat gembira dengan kedatangan Kakak."

"Terima kasih Wan. Mungkin dengan pergi ke Malaysia fikiranku boleh lebih jernih dan tenang. Dan ku fikir masalah khitbah ini perlu aku musyawarahkan dengan abah dan ummiku di Indonesia."

"Itu lebih baik Kak."

"Kau sudah Tahajjud Wan?"

"Belum Kak."

"Kita Tahajuud bersama yuk. Kita bergantian jadi imam, biar sekalian muraja'ah."

"Boleh Kak. Tapi aku selesaikan satu halaman ini dulu ya. Kakak ambil wudhu' dan solat dulu saja di bilik kakak. Nanti saya ke sana."

"Baiklah." Jawab Anna dan terus bergegas mengambil wudhu'.

******

Jam loceng di bilik Azzam terus berdering. Azzam masih tidur nyenyak. Jarum menunjukkan pukul dua empat puluh minit. Tidak lama kemudian jam loceng itu berhenti. Lima minit kemudian jam loceng yang satunya berdering. Sudah menjadi kebiasaan Azzam memasang dua jam loceng untuk mengejutkannya agar boleh bangun malam. Ia masih ingat pesanan ibunya sebelum berangkat ke Mesir.

"Jangan tinggalkan solat malam!"

Jam loceng kedua sudah dua minit berdering, Azzam tidak juga bangun. Tiba tiba...

Dar.. dar.. dar...!

Azzam tersentak. Seluruh penghuni tumah ini juga terbangun terkejut! Dan...

Dar... dar... dar...!

Iftahil baab! Iftahil baab!

Ada suara mengetuk pintu dengan keras disertai perintah untuk membuka pintu juga dengan suara keras. Mata Azzam masih berkunang kunang. Kepalanya masih terasa sangat berat. Namun telinganya boleh menangkap jelas suara perintah membuka pintu itu. Ia boleh menangkap dengan jelas itu adalah suara orang Mesir. Belum sempat beranjak dari tempat tidur, ketukan keras kembali terdengar.

Dar... dar... dar....!

Iftahil baab! Iftahil baab!

Ia tersedar dengan membawa kemarahan di ubun ubun kepalanya.

"Orang Mesir tidak tahu adab dan sopan santun. Malam malam mengetuk ngetuk rumah orang seenaknya. Memang rumah neneknya apa!" Geramnya pada diri sendiri seraya berjalan cepat ke ruang tamu. Teman temannya yang lain sudah bangun. Hafez mengikutinya di belakang. Ketika ia hendak membuka pintu, ketukan di pintu mengejutkannya :

Dar... dar... dar....!

Iftahil baab! Iftahil baab!

Spontan ia berteriak keras :

"Na'am, ya alilal adab!"

Lalu membuka pintu. Sebaik saja pintu terbuka ia terkejut bukan kepalang. Seorang berpakaian seragam hitam terus menudingkan senjata kepadanya dan membentak:

"Mana Wail!"

Ia mundur. Ali menyalakan lampu. Seketika tiga orang berseragam hitam menerajang masuk dan terus menutup pintu. Azzam berusaha tenang, meskipun hatinya takut saat itu.

"Di rumah ini tidak ada yang bernama Wail! Kami juga tidak mengenali Wail kecuali Wail Kafuri, penyanyi pop yang terkenal itu." Jawab Azzam tenang dengan suara sedikit bergetar.

"Jangan bohong! Kami yakin Wail El Ahdali ada di rumah ini! Kami akan periksa. Jika ia ada di rumah ini, kalian semua akan kami bawa! Kami mabahits dari Amn Daulah! Orang Mesir tinggi besar dan berkumis tipis itu menjelaskan siapa mereka dengan nada ancaman yang membuat Azzam tersedar dengan siapa dia berhadapan.

Azzam terus pasrah. Jika Nasir mengabaikan perintahnya dan Wail masih ada di situ, menginap di situ, maka habislah orang satu rumah. Ia sangat berharap Nasir mematuhi perintahnya. Entah kenapa, ia yakin Wail tidak ada di situ, maka dengan tegas ia menjawab :

"Kapten, meskipun kalian mabahits, kalian tidak boleh sesuka hati masuk ke rumah kami tanpa izin. Tidak boleh sesuka hati menginjak injak kehormatan kami. Kami tidak kenal siapa itu Wail yang kalian maksudkan. Di rumah ini tidak ada yang bernama Wail. Sebaiknya kalian segera keluar dari rumah ini. Kerana kami tidak mengizinkan kalian masuk!"

"Sebaiknya kau diam saja di tempatmu. jangan macam macam!" bentak si Kumis Tipis pada Azzam, lalu memerintahkan tiga anak buahnya untuk memeriksa seluruh sudut ruangan.

Ali, Nanang dan Fadhil berdiri gementar. Bibir mereka biru. Tidak sepatah kata pun mereka ucapkan. Tidak terasa ada yang membasahi seluar Fadhil. Anak Aceh itu didera ketakutan yang amat sangat. Trauma beberapa tahun silam terus hadir kembali. Kejadian waktu itu terus mengingatkannya pada kejadian tujuh tahun silam di Aceh, waktu rumahnya didatangi tentera berseragam tengah malam. Mereka menuduh ayahnya sebagai anggota gerakan pengacau keamanan yang dianggap paling menyengsarakan rakyat Aceh dan dianggap membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ayahnya yang hanya seorang guru mengaji biasa, dan pedagang biasa, jadi sasaran (soal siasat) tentera tentera itu. Ayahnya lalu dibawa pergi. Satu bulan kemudian tentera tentera itu datang lagi membawa ayahnya ke rumah dalam keadaan antara hidup dan mati. Satu hari berikutnya ayahnya meninggal dunia di pangkuannya dengan meninggalkan pesanan ringkas :

"Jangan menyimpan dendam. Jadilah Muslim sejati! Jadilah orang Aceh sejati!:

Tiba tiba Fadhil merasa tulang tulangnya seperti hilang. Ia merasa seperti lumpuh. Lalu ingatannya hilang. Ia pengsan. Tubuhnya terjelepuk di atas lantai. Azzam terkejut. Demikian juga Ali dan Nanang. Azzam terpaku sesaat di tempatnya. Ia ragu ragu untuk mendekati Fadhil. Namun sebagai ketua rumah tangga ia harus bertanggung jawab. Maka dengan cepat ia melihat keadaan Fadhil. Ali dan Nanang masih mematung di tempatnya.

"Jika ada apa apa dengan temanku ini, kalian harus bertanggungjawab. Jika misalnya ia terkena serangan jantung dan mati, maka kalianlah pembunuhnya dan itu akan diselesaikan secara diplomatik!" Geram Azzam sambil memandang si Kumis Tipis. Lalu ia memeriksa denyutan nadinya. Masih ada. Si Kumis Tipis ikut memeriksa lalu berkata :

"Dia hanya terkejut. Tidak apa apa. Nanti dia sedar!"

Tiga orang intelijen berseragam hitam masih memeriksa di dalam bilik. Mereka meneliti keadaan bilik dengan teliti. Termasuk buku buku yang ada di semua bilik. Lima belas minit kemudian, mereka keluar dan memberikan laporan pada si Kumis Tipis.

"Komandan, yang kita cari tidak ada di rumah ini. Setelah kami periksa juga tidak ada yang mencurigakan. Buku buku yang mereka baca biasa saja!"

"Hmm bagitu ya! Tapi kenapa aku masih merasa laporan kepada kita bahawa Wail ke sini adalah benar. Tukang sayur itu sangat tajam dan jarang meleset!" Kata si Kumis Tipis yang ternyata adalah komandan operasi mabahits itu.

Azzam mendengar dengan teliti. Kalimat terakhir yang disampaikan sang komandan menjadi catatan baginya. Tukang sayur yang mana yang menjadi anggota mabahits itu. Azzam meminta Ali dan Nanang mengangkat Fadhil ke tempat tidurnya. Dalam hati ia bersyukur. Nasir dan Wail yang beberapa jam yang lalu ada di sini, waktu itu tidak ada di situ.

Komandan berkumis tipis itu melakukan pemeriksaan sekali lagi dengan lebih teliti. Ia juga melihat ke bawah tempat tidur, bilik mandi, dapur dan dua balkoni. Ia tidak menemukan apa yang ia cari. Ia lalu mengorek ngorek tempat sampah. Dan menemukan sesuatu. Beberapa batang besi mencucuk kanan, dan bungkusan roti. Ia bawa barang bukti yang membuatnya merasa menang.

Di bilik Fadhil, Azzam memberitahu kepada Ali dan Nanag agar lebih banyak diam. Biar dia nanti yang bicara menghadapi para mabahits itu. Mereka diminta mengiyakan apa yang dikatakannya dan menidakkan apa yang ditidakannya. Azzam menduga komandan mabahits itu akan melakukan penyelidikan serius dan akan menyoal siasat dirinya dan teman temannya untuk mendapatkan apa yang dicari. Ia sendiri tidak mahu tahu apa urusan mabahits Mesir itu dengan Wail, pemuda yang dibawa Nasir. Yang paling pemting baginya adalah menyelamatkan dirinya dan seluruh anggota keluarganya dari bahaya yang sedang mengancam mereka.

Dugaan Azzam benar.

"Kalian bertiga kemari! Temanmu yang pengsan itu biar ditunggu oleh anak buahku. Tenang, aku akan bertanggungjawab jika ada apa apa berlaku terhadap temanmu yang penakut itu!" Kata komandan itu pada Azzam, Ali dan Nanang tegas.

Azzam bangkit ke ruang tamu diikuti Ali dan Nanang. Meskipun ia sebenarnya sangat marah dan jengkel, tapi ia sedar bahawa dirinya tinggal di negeri orang.

Azzam duduk di hadapan sang komandan. Ali dan Nanang duduk di sampingnya. Sang komandan memegang besi mencucuk kabab sambil tersenyum :

"Tolong jawab, siapa yang membeli kabab dan roti ini?"

Azzam terus sedar akan digiring ke mana ia dan teman temannya. Maka dengan tegas Azzam menjawab :

"Saya!" Dalam hati ia meneruskan : "Tidak mebelinya." Sebab ia tahu yang membeli adalah orang yang dicari mabahits itu.

"Kamu?!" Komandan itu terkejut dengan ketegasan Azzam.

"Ya." tegas Azzam. Ali dan Nanang tegang.

"Benarkah perkataannya? Hei kau, siapa namamu?" tanya komandan kepada Ali.

"Nama saya Ali. Jika dia yang mengatakan "ya" bererti ya." Jawab Ali perlahan.

"Apa kau tahu bila dia membelinya?"

"Persisnya saya tidak tahu. saya tidur awal tadi. Dan dia selalu tidur paling akhir. Boleh jadi waktu saya tidur dia membeli kabab dan roti itu untuk mengisi perutnya yang lapar. Sebab dia tidak boleh tidur jika perutnya lapar." Jawab Ali datar dan lancar. Komandan itu mengerutkan dahi. Dengan sedikit mengejek Azzam berkomentar santai :

"Malam ini adalah malam yang tak akan kami lupakan. Selama ini kami merasa berada di sebuah negara yang sangat menjaga sopan santun. Dugaan kami ternyata keliru. Malam ini kami dibangunkan dengan paksa hanya untuk ditanya tentang siapa yang membeli tusuk kabab. Kenapa tidak memerintahkan kepada semua penjual kabab agar setiap pembelinya menyerahkan tanda pengenal diri untuk didaftarkan. Sehingga dengan mudah akan diketahui siapa saja yang membeli kabab."

Kata kata Azzam itu membuat telinga komandan mabahits panas. Serta merta ia menunjukkan bahawa dialah sebenarnya sang tuan rumah.

"Tolong tunjukkan pasport kalian! Saya ingin tahu apakah kalian membawa dokumen yang sah berada di negeri ini!" Kata sang komandan dengan nada marah.

"Sebentar. Kami ambilkan!" Jawab Azzam. Lalu ia bangkit menuju biliknya untuk mengambil pasport. Hal yang sama dilakukan oleh Ali dan Nanang. Mereka bertiga menyerahkan pasport kepada komandan itu. Sang komandan lalu memeriksa pasport pasport itu dengan teliti. Tidak ada yang tidak beres. Namun komandan itu masih belum puas hati.

"Kalian satu rumah ini berapa orang?" Selidik komandan itu.

Dengan tegas Azzam menjawab : "Lima orang!"

Azzam tidak berani berbohong. Sebab ia yakin komandan itu akan mencari kepastian dengan melihat aqad kontrak sewa rumah. Yang biasanya, pada aqad kontrak itu, tertera berapa orang yang menyewa rumah itu.

"Lima orang?" Ulang komandan.

"Bererti dua orang tidak ada di rumah?"

"Di mana mereka?"

Azzam pura pura bertanya pada Ali : "Di mana mereka Ali?"

Ali menjawab jujur seperti yang ia ketahui : "Yang satu pergi Tanta dan yang satunya di Katamea."

"Di Tanta dan Katamea?" Ulang komandan.

"Ya." Jawab Ali tegas.

"Untuk apa kira kira teman kamu pergi ke Tanta? Dan untuk apa pergi ke Katamea," tanya komandan dengan tetap mengarahkan pandangan kepada Ali.

"Ya, biasanya berkunjungan ke rumah teman. Sesama orang Indonesia. Mahasiswa Indonesia kan tidak hanya di Cairo."

"Siapa nama teman kalian yang ke Tanta itu?"

"Nasir."

"Yang ke Katamea?"

"Hafez."

"Tolong saya ingin lihat surat aqad perjanjian sewa rumah ini!" Pinta Sang Komandan.

Dugaan Azzam kembali benar. Azzam terus bergegas mengambil surat yang diminta. Sejurus kemudian surat aqad sewa rumah itu telah berada di tangan sang komandan berkumis tipis. Surat itu diteliti dengan teliti terutama nama nama penghuni rumah. Semua seduai dengan keterangan Azzam. Komandan itu mengangguk anggukkan kepala.


"Mungkin benar kata anak buah saya, kami salah rumah. Kami minta maaf atas kelancangan kami malam ini. Kami minta diri!" Kata sang komandan dengan wajah lebih bersahabat.

"Bagaimana dengan teman kami yang kalian buat pengsan. Kami minta dipertanggungjawabkan!" tukas Azzam.

"Dia tidak apa apa. Hanya ketakutan saja. Kau lihat kan dia sampai terkencing. Nanti dia akan sedar dan kembali normal. Anggap saja ini sebagai latihan membina mental dia," jawab komandan itu diplomatik.

"Kalau ada apa apa dengan dia bagaimana? Apa kalian akan lepas tangan begitu sja? Kalau kalian tidak mahu bertanggungjawab, kejadian ini akan kami bawa ke pengadilan. Akan kami tulis di surat khabar surat khabar dunia. Kami akan minta wartawan yang boleh menulis untuk menulisnya." Azzam tidak mahu kalah, sebab ia merasa benar. Sudah menjadi watak Azzam untuk sebuah kebenaran ia sedia berlawan sampai mati.

"Baiklah. Jika ada apa apa temui saya di pejabat mabahits Abbasea. Nama saya Hosam. Lengkapnya Leftenan Kolonel Hosam Qatimi. Saya akan urus semua. Sekarang kau rawat dia dulu. Jangan banyak berbuat masalah di Mesir. Izin kalian di sini hanya untuk belajar. Ingat itu!"

Tanpa menunggu jawapan Azzam, komandan itu bangkit dan mengajak ketiga tiga anak buahnya meninggalkan rumah itu. Ali dan Nanang cepat cepat ke bilik Fadhil. Azzam mengucap hamdalah dalam hati. Ia tidak boleh membayangkan apa yang akan dialaminya jika Wail El Ahdali jadi menginap di situ. Ia menyandarkan punggungnya ke kerusi. Tiba tiba ia teringat sesuatu : Nasir dalam bahaya. Dalam bahaya jika terus bersama Wail. Tetapi, di mana Nasir berada malam itu? Ia tidak tahu. Yang jelas ia harus secepatnya tahu di mana Nasir berada. Baru ia boleh mengambil langkah.

Azzam melihat jam dinding. Sudah jam empat setengah lebih dan ia belum solat malam. Ia pernah mendengar dari seorang ulama bahawa solat malam dapat menghapuskan kegelisahan dan mendatangkan ketenangan. Ia ingin solat beberapa rakaat saja, baru ikut mengurus Fadhil yang masih pengsan.


Tejemahan Corner :

1.
Muraja'ah - Mengulang hafalan (Al-Qur'an)
2. Iftahil baab! Iftahil baab! - Buka pintu! Buka pintu!
3. Na'am, ya alilal adab! - Ya, hai orang yang kurang ajar!
4. Mabahits - Perisik
5. Amn Daulah - Keamanan Negara


0 comments:

Post a Comment