Wednesday, May 19, 2010

KETIKA CINTA BERTASBIH - (7) SMS Untuk Anna


Errmmm bab nie ada ckit boring a... meleret2... Apa2 pun anda punya nilaian sendiri... Teruskan membaca....

GADIS itu berjalan dengan hati berselimut cinta. Hatinya berbunga bunga. Siang itu, Cairo ia rasakan tidak seperti biasanya. Musim dingin yang sejuk, matahari yang ramah, serta senyum dari Professor Amani saat memberinya ucapan selamat dan doa barakah. Semua melukiskan suasana indah yang belum pernah ia rasakan sebelumya. Ia merasakan begitu dalam rahmat dan kasih sayang Allah kepadanya.

Ia berjalan dengan hati berselimut cinta. Kedua matanya basah oleh airmata haru dan bahagia. Itu bukan kali pertama ia menangis bahagia. Ia pernah beberapa kali menangis bahagia.

Dulu apabila kedua kakinya untuk pertama kalinya menginjak tanah Mesir, ia menangis. Juga saat berjaya lulus B.A., dua tahun yang lalu dengan pangkat mumtaz, atau summa cumlaude. Ialah mahasiswi dari Asia Tenggara pertama yang berjaya meraih prestasi ini. Ia juga menangis penuh rasa syukur ketika berjaya lulus ujian tahun kedua Pasca-Sarjana. Lulus setelah melalui ujian tulis dan ujian lisan yang berat. Dalam ujian lisan ia harus berhadapan dengan empat professor. Lulus juga dengan darjat mumtaz, sehingga ia berhak untuk mengajukan judul tesis. Saat itu ia merasakan betapa dekatnya Allah 'Azza wa Jalla. Betapa sangat sayang Allah kepadanya. Doa dan usaha kerasnya sentiasa diijabahi olehNya.

Dan hari ini, ia kembali menangis. Menangis bahagia. Hatinya dipenuhi keharuan luar biasa. Batinnya terus bertasbih dan bertahmid. Jiwanya mengalunkan gerimis. Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhaana Rabbiyal a'la wa bihamdih. Subhanna Rabbiyal a'la wa bihamdih... ia bertasbih. Proposal tesisnya terus diterima tanpa menunggu waktu yang lama. Hanya satu bulan saja sejak proposal tesisnya itu ia ajukan ke Qism Diraasat 'Ulya.

Ia kembali menangis. Ia kembali teringat kata kata abahnya tercinta :

"Anakku, alangkah indah jika apa saja yang kau temui. Apa saja yang kau rasakan. Suka, duka, nikmat, musibah, marah, lega, kecewa, bahagia. yang pentingnya apa saja, anakku. Boleh kau hubungkan dengan akhirat, dengan hari akhir. Dengan begitu, hatimu akan sangat peka dan lembut. Selembut namamu. Dan tingkah lakumu juga akan tertib, setertib namamu!"

Wajah abahnya seperti di depan mata. Waktu itu ia binggung dengan maksud menghubungkan yang ditemui dan dirasakan dengan akhirat. Abah sepertinya tahu akan kebingungannya, maka abah terus menyambung :

"Begini anakku, jika suatu ketika kau dimurkai ibumu misalnya, carilah sebab kenapa kau dimurkai ibumu. Hayati perasaanmu saat itu, saat kau dimurkai. Ibumu murka kemungkinan besar kerana kau melakukan suatu kesalahan, yang kerana kesalahanmu itu ibumu murka. Dan saat kau dimurkai pasti kau merasakan kesedihan, bercampur ketakutan dan juga penyesalan atas kesalahanmu. Itulah yang kau temui dan kau rasakan, saat itu. Lalu hayati hal itu sungguh sungguh, dan hubungkan dengan akhirat. Bagaimana rasanya jika yang murka kepadamu adalah Allah. Murka atas perbuatan perbuatanmu yang membuatNya murka. Bagaimana perasaanmu saat itu. Mampukah kau menanggungnya. Jika yang murka adalah ibumu, kau boleh minta maaf. Kerana kau masih ada di dunia. Jika di akhirat bolehkah meminta maaf kepada Allah saat itu?"

Air matanya kembali menitis.

"Terima kasih, abah!" Lirihnya.

Kata kata abahnya itu memang sangat membekas dalam dirinya. Kata kata abah saat berusaha menghiburnya di kala ia dimurkai ibunya pada cuti tahun lalu. Ia dimurkai gara gara asyik membaca waktu diminta ibunya mengupaskan mangga anak saudaranya si Kecil Tiham, putera abang sulungnya. Saat itu ia hanya menjawab:

"Inggih, sekedap" dan ia masih menumpukan membaca buku yang baru ia beli dari Shopping Centre Jogja. Ia tidak memperhatikan pisau dan mangga yang diletakkan oleh Ibu di sebelah kanannya. Sementara ia terus asyik membaca, si kecil rupanya tidak sabar. Diam diam dia mengambil pisau dan berusaha mengupas sendiri. Akibatnya, jari si kecil terluka, darah mengalir dari jarinya dan perlu dibawa ke klinik. Ia dimarahi oleh ibunya habis habisan, buku yang ia baca dibakar oleh ibunya.

"Buku syaitan! Apa hidup hanya untuk membaca! Apa belajarmu bertahun tahun di Mesir masih kurang hah! Apa ilmu hanya ada dalam buku! Peka pada anak kecil, apa juga tidak perlu ilmu! Apa gunanya jadi sarjana, lulusan Al-Azhar kalau tidak peka dengan keadaan, kalau disuruh ibunya tidak segera menunaikannya!"

Saat itu ia benar benar sangat menyesal. Ia merasa begitu kerdil. Kesalahannya seolah tidak dapat ditebus, tidak termaafkan. Merasa menjadi orang paling berdosa di dunia. Ibu tidak pernah marah apabila ia membaca buku. Tapi waktu itu beliau sangat marah justeru kerana keasyikannya membaca buku.

Abah menghiburkannya. Itu baru ibu yang murka, bagaimana jika Allah yang murka? Dan hari berikutnya, ibu sudah tersenyum padanya, sudah melupakan semua kesalahannya. Si kecil Tiham seperti tidak merasakan sakit pada jarinya saat ia diajak main bongkar-susun bongkah kayu.

Dia terus berjalan. Kakinya melangkah menyeberangi jalan raya dan rel metro yang melintas di depan Kuliyyatul Banat. Sinar matahari begitu cerah dan bening, tidak seperti saat musim panas atau musim dingin. sesekali ia mengusap matanya yang sembab dengan sapu tangannya.

Sesungguhnya yang membuat dia menangis tidaklah semata mata rasa bahagia kerana proposal tesisnya diterima dalam waktu begitu singkatnya, sementara ada mahasiswi yang sudah dua kali mengajukan proposal tesis dan telah menunggu setahun tapi belum juga diterima. Namun yang membuatnya menangis, kerana ia teringat, bahawa yang dirasakannya barulah kebahagiaan duniawi, belum ukhrawi.

Begitu bahagianya ia, ketika jerih payahnya, kerja kerasnya memerah otak, tungkus-lumusnya ke perpustakaan Shalah Kamil dan IIIT Zamalek, membuka dan menganalisis ratusan rujukan, akhirnya membuahkan hasil yang melegakan jiwa. Begitu bahagianya hatinya saat diberi ucapan selamat oleh Professor Amani. Benarlah kata pepatah, siapa menanam, dia menuai.

Baru proposal tesis yang diterima, begitu bahagianya ia. Baru ucapan selamat dari professor Amani, begitu bangganya ia. Kalimat Guru Besar Ushul Fiqh yang sangat dicintai para mahasiswinya itu masih bergema dalam jiwanya:

"Selamat, anakku, semoga umurmu penuh barakah, ilmumu bermanafaat. Teruslah belajar dan belajar!" Air matanya kembali mengalir. Ia lalu berkata pada diri sendiri, "Lantas seperti apakah rasanya ketika nanti di hari akhir seseorang mengetahui amalnya diterima Allah. Ia menerima catatan amalnya dengan tangan kanan. Dan mendapatkan ucapan selamat dari Allah, dari Baginda Nabi, dari malaikat penjaga syurga, dan dari seluruh malaikat, para nabi dan orang orang soleh. Saat syurga menjadi tempat tinggal selama lamanya. Kebahagiaan semacam apakah yang dirasa?"

Ia melangkah. Matanya basah : "Rabbana taqabbal minna innaka antas sami'ul 'aliim. Tuhan terimalah amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui." Lirihnya dalam hati, sambil menghayati dengan sepenuh jiwa bahawa tiada prestasi yang lebih tinggi dan diterimanya amal soleh oleh Allah dan dibalas dengan keredhaanNya.

Ia terus melangkah menapaki laluan kaki lima di depan gedung Muraqib Al-Azhar, ke arah Abdul Rasul. Ia memandang ke kiri, memandang gedung Muraqib sekejap. Di gedung itulah dulu bekas bekasnya masuk Universiti Al-Azhar diproses. Di gedung itulah ia pertama kali kenal tempat beratur yang boleh tahan panjangnya di Mesir. Di gedung itu juga ia berkenalan dengan Wan Najibah Wan Ismail, mahasiswi dari Kedah, Malaysia yang kini menjadi salah seorang sahabat karibnya. Saat itu ia juga beratur untuk mendaftarkan diri masuk Al-Azhar.

Bagi mahasiswa dan pelajar Al-Azhar, gedung Muraqib atau nama rasminya Muragabatul Bu'uts Al-Islamiyyah pasti menyisakan kenangan tersendiri. Bagi yang dapat biasiswa maka mengurus biasiswanya juga tidak lepas dari Muraqib. Bahkan bagi yang tidak mendapatkan biasiswa dari Al-Azhar dan ingin mengajukan permohonan biasiswa ke lembaga lain, juga harus mendapatkan surat keterangan tidak menerima biasiswa dari Muraqib. seluruh lembaga pendidikan di dunia yang ingin menyamakan ijazah mereka dengan ijazah Al-Azhar, harus melalui proses di Muraqib.

"Pentingnya Muraqib bagi Al-Azhar lebih kurang sama seperti tangan bagi msnusia", begitu kata Zuleyka, seorang mahasiswi dari Turki, suatu kali kepadanya waktu bertemu di depan Muraqib. Mungkin ungkapan itu terlalu berlebihan. Namun memang Muraqib jadi bahagian pusat pentadbiran dan birokrasi yang sangat penting bagi Al-Azhar.

Apabila sampai di Tayaran Street, ia melihat jam tagannya. Empat minit lagi pukul sebelas. Ia ingin segera sampai di rumah, dan mengkhabarkan kebahagiannya kepada seluruh teman rumah. Nanti setelah solat Zohor dia akan ke Daarut Tauzi', membeli beberapa buah buku dan kitab. Ia belum pernah ke kedai buku yang satu itu. Pulang dari Daarut Tauzi' setelah Ashar. Dan si Zahraza, mahasiswi berasal dari Kedah yang serumah dengannya tidak usah susah susah masak. Setelah solat Maghrib, ia mahu mengajak orang satu rumah makan di Palace, restoran milik mahasiswi Thailand di kawasan Rab'ah El Adawea yang terkenal dengan Tom Yam dan nasi gorengnya.

Dan saat pulang dari Palace ia akan singgah ke rumah Laila, yang menjadi agen Malaysia Air Lines. Ia akan pesan tiket pulang ke Tanah Air dengan transit dua minggu di Kuala Lumpur. Kallau tidak, ia akan pesan pada laila melalui telefon saja. Ranncangannya ia hendak melakukan penelitian di Malaysia untuk bahan tesisnya. Maka ia merasa, sebaiknya ia berangkat minggu ini. Sebab Wan Aina, mahasiswa yang berasal dari Selangor yang tinggal serumah dengannya mahu pulang ke Malaysia minggu ini.

Puteri bungsu orang penting di Malaysia itu pulang hanya dua minggu untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Fikirnya, ia dapat bersama Wan Aina selama di Kuala Lumpur. Sehingga urusan penelitian untuk tesisnya tentang 'Insuran Syari'ah di Asia Tenggara' akan menjadi lebih mudah. Ia merancang hendak melakukan penyelidikan di Perpustakaan IIUM di Petaling Jaya, dan Perpustakaan Universiti Kebangsaan Malaysia di Kajang. Dan kakak Wan Aina yang hendak bernikah adalah pensyarah di IIUM. Wan Aina sendiri berjanji akan menemaninya selama melakukan penyelidikan di Malaysia.

Itulah rancangannya yang telah tersusun dalam kepalanya saat ini. Yang paling penting ia harus segera pulang ke Tanah Air sambil melakukan penyelidikan serius untuk tesisnya. Ia ingin segera pulang untuk berbahagi rindu, cinta, dan rasa bahagia dengan abah dan ibundanya tercinta.

Ketika menyeberang Tayaran Street, hand phonenya berbunyi. Ada SMS masuk. Ia menghentikan langkah dan melihat layar hand phone, dari Kak Zulfa, isteri Ustadz Mujab, yang masih dapat digolongkan sepupu dengannya. Datok ayah Ustadz Mujab adalah juga datok abahnya. Jadi antara dirinya dan Ustadz Mujab masih erat pertalian darahnya. Ia buka mesej yang masuk:

'Ass. Wr. Wb. Dik Anna, bagaimana dengan Istikharahnya. Sdh ada kepastian? Td Ust. Furqan tlphone ke Ust. Mujab, katanya besok mahu dtg berkunjung. Mungkin mahu menanyakan hasilnya.'

Ia termenung sesaat, sesuatu yang hampir dia lupakan, kini ditanyakan kembali. Memang sudah tiga bulan yang lalu ia diberitahu kak Zulfa tentang keseriusan Furqan yang ingin mengkhitbahnya. Saat itu ia sedang menumpukan pada ujian, jadi ia anggap angin lalu. Apalagi Furqan bukan orang yang pertama mengutarakan keseriusan kepadanya. Ia telah menerimanya belasan kali. Baik yang melalui orang ketiga seperti Furqan, atau yang berterus terang dengannya, melalui telifon, sms, e-mail, surat mahupun yang disampaikan langsung face to face. Semuanya telah mampu ia selesaikan dengan baik.

Namun lamaran dari Furqan, Mantan Ketua Umum PPMI. dan candidate M.A. dari Cairo University, ia rasakan agak lain. Tidak mudah baginya untuk mengatakan 'tidak', seperti sebelum sebelumnya. Juga tidak mudah untuk mengatakan 'ya'.

Ia sama sekali tidak menemukan alasan untuk menolak. Namun juga belum mendapatkan kemantapan hati untuk menerimanya. Fikirannya masih terpaku pada tesisnya. Namun ia juga sedar bahawa waktu terus berjalan, dan usianya hampir seperempat abad. Memang sudah waktunya ia membina rumahtangga, menyempurnakan separuh agama.

Ia melangkah sambil memasukkan hand phone ke dalam beg birunya. Tudung putih yang menutupi sebahagian jubah biru lautnya berkibaran diterpa hembusan angin sejuk musim bunga. Ia mencuba menghadirkan bayangan wajah Furqan. Namun spontan ada yang menolak dari dalam jiwanya. Ia tersedar, dalam keni'matan, dalam kelapangan selalu ada ujian. Dalam setiap hembusan nafas dan aliran darah selalu ada syaitan yang ingib menyesatkan. Ia terus istighfar dan berta'awwudz. Ia juga sedar bahawa dirinya adalah manusia biasa yang punya nafsu, bukan malaikat suci yang tidak memiliki nafsu.

Yang pasti sunnah Nabi tetap harus diikuti, dan saat saat nanti ia harus mengatakan "ya" atau "tidak" untuk Furqan. Ya, suaty saat nanti, bukan saat ini. Musim bunga kali ini ia tidak ingin diganggu sesiapa sahaja, termasuk apa saja yang berkenaan dengan Furqan.

******

Sementara itu di belahan lain Kota Cairo, nampak sebuah kereta sedan Fiat putih keluar dari halaman Fakulti Darul Ulum, Cairo University. Sedan itu melaju di SarwatStreet lalu belok ke kanan ke Gami'at El Qahirah Street, kemudian belok kanan melintas di depan Zoological Garden dan terus menuju ke arah sungai Nil.

Tidak lama kemudian Fiat putih itu telah berada di atas El Gama'a Bridge, salah satu jambatan utama Kota Cairo yang melintang gagah di atas sungai Nil. Apabila sampai di kawasan El Manyal yang berada di Geziret El, roda sedan itu belok ke kanan menyusuri Abdel Aziz Al Saud Street yang terbentang di tepi sungai Nil dan hujung selatan Geziret sampai hujung utara. Sedan putih buatan Itali itu terus melaju ke hujung utara, hingga melintasi Cairo University Hospital. Tepat di hujung utara Geziret, nampak Meridien Hotel berdiri gagah.

Sedan terus melaju dengan tenang hingga masuk di halaman Meridien. Apabila menemukan tempat yang tepat di kawasan parking, sedan itu berhenti. Seorang pemuda berwajah Asia keluar dari Sedan. Ia mengeluarkan beg galas dan beg jinjing hitam. Setelah mengunci kereta ia melangkah ke arah pintu masuk hotel. Dua orang pelayan hotel berkemeja hijau muda dengan vest dan memakai seluar berwarna hijau tua menyambutnya dengan senyum manis. Seorang di antara meeka menawarkan untuk membawakan begnya, tapi ia menolak. Pemuda itu berjalan tenang melalui lobby hotel menuju ke tempat resepsionis. Dua orang petugas penyambut tetamu dengan aura kecantikan khas gadis Mesir menyambutnya dengan senyum. Seorang di antara mereka menyapa "

"Good Afternoon, Sir. Can I help you?"

Pemuda itu membalas dengan senyum seraya menunjukkan pasportnya. Saat menyerahkan pasportnya, ia sempat membaca nama dua penyambut tetamu itu. Dina dan Suzana. Si Dina menerima pasport itu dengan senyum lalu menekan kekunci untuk menulis sesuatu di komputer. Sebelum Dina berkata, sang pemuda telah mendahuluinya dengan sebuah kalimat dalam bahasa Arab :

"Lau samahti ya Anesa Dina..."

"Na'am," Resepsionis bernama Dina nampak terkejut : "Hadratak bitakallim 'arabi?"

"Alhamdulillah, fin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el yom?"

"Heya hategi bil leil, insya Allah."

Dina lalu melihat data di komputer.

"Bilik anda 615, Tuan Furqan"

"Kalau boleh 919."

"Sebentar saya cek dulu."

Furqan menangkap bau semerbak wangi parfume yang menyengat. Bau ini begitu mengancam dirinya. Ia menoleh ke arah datangnya bau itu. Seorang perempuan Mesir berambut jagung dan berpakaian ketat melintas. Tangannya dipaut seorang pelancung Mat Saleh. Dalam hati ia istighfar, ia berdoa semoga suatu hari nanti perempuan itu tahu adab memakai pakaian dan parfume. Mengenai lelaki Mat Saleh yang memautnya, ia tidak mahu berburuk sangka. Mungkin itu adalah suaminya. Ia kembali memperhatikan Dina. Pada saat yang sama Dina menoleh ke arahnya.

"Sudah ada yang menempah, Tuan."

"Kalau begitu cuba 919."

"Baik, sebentar."

Dina kembali melihat layar komputersementara jari jarinya menari di atas keyboard dengan indahnya. Furqan melihat jam tangannya, dua belas lebih tiga minit.

"Alhamdulillah, kosong!"

"Breakfastnya sekali saja ya."

Baik, Tuan."

Dina lalu memasukkan data. Mengambil key card, dan memasukkannya ke dalam bekas berlipat tiga dan kad berwarna keemasan. Menuliskan nama Furqan, nombor bilik dan mengambil kupon merah muda.

"Ini kunci dan kupon breakfastnya."

"Mutasyakkir ya Anesa."

"Afwan."

Furqan memeriksa sebentar key card dan kupon yang ia terima, lalu tersenyum tipis pada Dina dan Suzana. Keduanya membalas dengan senyuman dan anggukan ringan. Furqan lantas melangkahkan kaki ke arah lift. Ia tidak sedar kalau Dina terus mengikuti gerak tubuhnya sampai hilang ditelan pintu lift.

Furqan naik lift bersama dua pelancung dari Jepun. Dua muda mudi yang sedang melakukan kajian tentang alat pengangkutan Mesir kuno. Keduanya ternyata mahasiswa Kyoto University. Bilik mereka di tingkat yang sama dengan bilik Furqan. Mereka begitu tertarik ketika Furqan menjelaskan dia juga seorang mahasiswa. Furqan memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa Pasca-Sarjana Cairo University, jurusan tarikh wal hadharah, sejarah dan peradaban. Sebelum berpisah untuk menuju bilik masing masing, Furqan sempat bertukar kad nama dengan mereka.

Sampai di pintu bilik 819, dengan mengucap basmalah, Furqan membuka pintu bilik dengan key cardnya. Lalu memasukkan key cardnya ke tempat yang tertuliskan 'insert your card here' untuk menyalakan elektrik. Furqan terus merasakan kesejukan dan kemewahan biliknya. Kemewahan Eropah kontemporer hasil gabungan arkitektur Italia dan Turki moden.

Furqan meletakkan beg jinjing dan beg galasnya di atas meja pendek di sebelah kanan almari televisyen. ia lalu beranjak membuka tabir jendela biliknya. Dan terhamparlah di hadapannya panorama sungai Nil. Biliknya tepat menghadap sungai Nil. Dari tingkap biliknya ia dapat melihat hampir semua panorama sungai Nil. Ke arah utara ia boleh melihat El Tahrir Bridge, jambatan paling utama yang melintas sungai Nil. Ia juga boleh melihat Gezira Sheraton, Opera House, Cairo Tower, bahkan menara Television and Broadcasting Studio di kejauhan.

Ke arah barat ia dapat melihat gedung Papyrus Institute, arus lalu lintas di El Nil Street yang berada tepat di sepanjang tepi barat sungai Nil, membentangkan dari Giza hingga Imbaba. Ke arah selatan ia dapat melihat El Gama'a Bridge, bendera Kedutaan Israel, dan terminal pengangkutan air yang letaknya tidak begitu jauh dari El Gama'a Bridge, dan tentu saja beberapa menara masjid.

Cairo memang terkenal dengan kota seribu menara. sangat mudah menemukan menara masjid di kota ini. Sebab hampir di setiap titik ada masjidnya.

Furqan merebahkan badannya di atas springbed. Punggungnya terasa nyaman. Perlahan lahan kedua matanya hendak terpejam. Tiba tiba hand phonenye berdering mengingatkannya waktu solat. Ia bangkit, menggerak gerakkan badannya untuk merenggangkan otot ototnya lalu duduk di kerusi. Di kepalanya telah tergambar jadualnya selama berada di hotel. Setelah wudhu' ia akan keluar sebentar untuk solat Zohor di masjid terdekat dari hotel. Ada masjid berdekatan Cairo University Hospital yang terletak di sebelah selatan Meridien.

Setelah itu istirehat sebentar. Satu jam sebelum Ashar, bangun untuk mulai membaca isi tesisnya. untuk seterusnya memberi tumpuan memperdalam isi tesisnya yang siap diujikan dalam sidang terbuka tiga hari lagi. Hanya diselangi solat, makan dan mandi. Selain tesis yang telah sempurna penyuntingannya, bahan bahan terpenting telah ia bawa, iaitu beberapa buku penting, data data penting yang telah ia simpan rapi dalam laptop serta beberapa data dalam berlembar lembar fotocopy. itulah jadual yang telah tersususn di kepalanya.

Waktu ia bangkit hendak ke bilik mandi, telefon yang ada di biliknya berdering. Ia terkejut, dalam hati ia bertanya siapakan yang telefon, baru saja sampai sudah ada yang telefon.

"Ya, hello. Ini siapa ya?"

"Ini Sara, tuan Furqan."

"Sara, siapa ya?"

"Sara Zifzaf, mahasiswi Cairo University yang berkenalan dengan tuan di perpustakaan dua bulan yang lalu."

"Sebentar, Sara yang tinggal di Mohandisin itu ya?"

"Iya benar."

"Macam mana boleh tahu saya di sini?" Tanya Furqan hairan. Ia hairan bagaimana mungkin ada orang yang tahu ia berada di hotel itu dan tahu nombor biliknya. Apalagi dia adalah gadis Mesir yang dikenali dengan tidak sengaja di perpustakaan. Setelah itu dia tidak pernah bertemu lagi sama sekali. Ia berkenalan dengan Sara di perpustakaan. Gara garanya, saat itu perpustakaan penuh. Tidak ada lagi kerusi kosong kecuali satu kerusi yang berdekatan seorang gadis Mesir. Ia terpaksa duduk di situ. Ia membaca dan menulis hal hal penting dengan laptopnya di samping gadis itu. Entah kenapa gadis itu lalu mengajaknya berbicara dan terjadilah perkenalan itu.

Gadis itu adalah Sara. Dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswi Cairo University yang yang tinggal di Mohandisin. Gadis itu ingin mengajaknya banyak bicara. Tapi ia minta maaf tidak dapat banyak bicara, sebab banyak yang harus ditulisnya.

"Kebetulan tadi saya menemani ayah saya bertemu teman akrabnya di hotel ini. Waktu saya hendak meninggalkan lobby, saya sempat melihat tuan Furqan di meja penyambut tetamu. Maka saya tanya pada penyambut tetamu untuk meyakinkan saya bahawa yang saya lihat tidak salah. dan ternyata benar. Sebenarnya saya ingin bertemu terus dengan tuan Furqan. Tapi sayang saya ada janji dengan seorang teman di Giza. Ini saya menghubungi tuan di jalanan, dalam perjalanan di Giza."

"Ada keperluan apa anda menghubungi saya, nona?"

"Saya ingin mengundang anda makan malam besama?"

"Ya makan malam bersama?"

Furqan terkejut, ia baru sekali bertemu dengan gadis mesir itu. Tapi gadis Mesir itu boleh tidak lupa padanya. Ia, jika bertemu lagi dengan gadis itu di jalanan mungkin sudah lupa. Terus baru sekali bertemu sudah berani mengundang makan malam. Ia hairan. Itu bukanlah watak asal gadis Mesir. Watak asal gadis Mesir adalah menjaga diri dengan rasa malu yang berlapis lapis.

"Saya mengundang tuan malam nanti jam 19.30 di Abu Sakr Restaurant, di Qashr Aini Street, tepat di depan Qashr El Aini Hospital. Setelah berkenalan dengan tuan di perpustakaan itu, lalu saya mencari data lebih jauh tentang tuan di bahagian kemahasiswaan. jadi, saya mengetahui banyak hal tentang tuan. Saya juga sering melihat tuan melintas di gerbang kampus, tapi tuan pasti tidak tahu. Saya harap tuan boleh memenuhi undangan saya malam ini." Suara Sara itu terasa indah di telinga. Bahasa 'Amiyah Mesir jika diucapkan oleh gadis Mesir memiliki sihir tersendiri. Sihir yang tidak dimiliki jika diucapkan oleh kaum lelaki. Furqan berfikir sejenak lalu menjawab dengan tegas :

"Maaf, mungkin saya tidak boleh Nona. Ada yang harus saya kerjakan."

"Tidak harus tuan jawab sekarang. Lihat saja malam nanti, jika ada waktu silakan datang. Jika tidak, tidak mengapa. namun saya sangat senang jika tuan dapat datang. Ini saja tuan, maaf mengganggu. Sampai bertemu malam nanti. Syukran."

"Afwan."

seketika ada tanda tanya besar dalam kepala Furqan kenapa gadis yang baru begitu ia kenali itu mengundangnya makan malam? Sangataneh untuk adat wanita Mesir kebanyakan. Ia merasa hairan.

"Ah, kenapa aku perlu fikirkan. Aku ke sini bukan untuk memenuhi undangan makan. tapi untuk persiapan sidang tesis tiga hari yang akan datang. Ah sekarang solat, makan siang, istirehat lalu belajar dengan tenang." Kata Furqan pada diri sendiri, meskipun undangan makan malam Sara di salah sebuah restoran berkelas itu, mahu tidak mahu, hinggap juga di fikiran dan menimbulkan seribu tanda tanya.

Di luar hotel, angin musim bunga mencumbui sungai Nil dengan mesra. Sinar matahari memancarkan kehangatan dan rasa bahagia.

******
Bahasa Arab & Jawa (Cacamarba da....)

1. Qism Diraasat 'Ulya - Program Pasca-Sarjana
2. Inggih, sekedap - Ya, sebentar
3. Lau samathi ya Anesa Dina - Maaf Nona/ Cik Dina (Anesa atau Anisah adalah sapaan untuk perempuan yang belum bernikah)
4. Hadratak bitakallim 'arabi? - Anda boleh berbahasa Arab?
5. Alhamdulillah, fin Anesa Yasmin? Heya musy gaiya el yom? - Alhamdulillah, mana Nona / Cik Yasmin? Dia tidak datang hari ini?
6. Mutasyakkir ya Anesa - Terima kasih Nona / Cik.
7. Afwan - Maaf


Ha... hambik ko... tergeliat lidah nk nyebutnye....


0 comments:

Post a Comment