Tuesday, November 3, 2009

Sepenggal Kisah Cinta Dari Cairo (1)


"BLARR!"

Dewi membanting pintu dengan keras. Tidak halus seperti biasanya. Ulya dan Dian yang ada di kamar terkejut dan terus bangkit menuju ruang tamu.

Puteri Solo itu memasuki ruang tamu dengan wajah sendu dan mata berkaca kaca. Duka dalam hatinya boleh terbaca melalui gurat wajahnya. Ada kekecewaan luar biasa yang menyesak dalam dadanya.

"Ukthi, ada apa?!" sapa Ulya dengan menghulurkan kedua tangannya memegang kedua bahu Dewi. Ia tatap sahabatnya itu dengan penuh kehairanan dan seratus tanda tanya.

"Aku kecewa! Kecewa sekali. Tak pernah aku kecewa seberat kali ini. Aku se... sedih... sediiihh U!... hik hik... hik...!" tangis Dewi pecah dalam rangkulan Ulya. Ulya jadi gelabah.

Ada masalah berat ini, kata Ulya dalam hati. Dian yang melihat tak jauh dari mereka jadi serba salah. Tak tahu apa yang harus ia perbuat. Ulya memberi isyarat pada Dian agar beredar masuk kamar.

"Ada apa sayang, katakan! Kita bukan orang lain. Kesedihanmu adalah kesedihanku juga. Kekecewaanmu adalah kekecewaanku juga. Kalau kau terus menangis, aku akan menangis melebihi tangismu. Cepat kita sembuhkan kesedihan ini bersama." Pujuk Ulya lembut penuh kasih sayang sambil merangkul Dewi menuju ke kamar.

Sampai di kamar, Dewi terus duduk di ranjang, dan mengambil bantal. Ia tundukkan wajahnya dan ia tutupi dengan bantal. Ia terhanyut dalam tangisnya yang terisak isak. Sementara Ulya menutup pintu dan tingkap kamar rapat rapat. Lalu duduk di sampingnya dengan hati haru. Ia biarkan sahabatnya melepaskan tangisnya. Lama juga Dewi menangis terisak isak. Begitu mengharukan seumpama tangis Dewi Kunti saat ditinggal mati Prabu Pandhu. Ulya jadi tidak tahan, ia ikut menitiskan airmata.

"Sudahlah Wi, berhenti dong, dewasa dong." Pujuk Ulya.

Suara tangis Dewi menurun. Ia lalu mengangkat mukanya dari bantal biru muda yang telah basah airmata. Airmatanya masih meleleh hangat di kedua pipinya. Sesekali ia seka airmata kesedihannya itu.

"Apa yang membuatmu sedih, sayang. Katakan padaku. Kalau aku mampu menghapusnya pasti kuhapuskan. Kalau aku tidak mampu, sekurang kurangnya bagilah kesedihanmu itu separuhnya padaku. Biar kau tidak sendirian menanggungnya. Kita reguk kesedihan itu bersama," pujuk Ulya klasik.

"Aku sedih sekali, kali ini, sedih sekali Ul! sedih campur kecewa!" jawab Dewi.

"Kenapa?"

"Aku putus harapan! Aku putus cinta!"

"Apa?! Putus cinta?!"

"Ya! Putus cinta! Cintaku sirna. Kini yang ada hanya kecewa! Kecewa dan dendam!"

"Ah, jangan bargurau Wi. Aku tidak percaya, muslimah berjilbab selevel kamu bermain cinta."

"Aku tidak main main Ul. Aku putus cinta. Siapa bilang muslimah berjilbab tidak boleh memiliki perasaan cinta. Tunjukkan dalilnya kalau Tuhan melarang manusia bercinta!"

"Ah, sudah, aku percaya cinta seperti apa yang kamu maksudkan. Jangan diteruskan. Aku percaya cinta itu cinta yang direlakan syari'at. Ah, tidak usah berdiskusi ke barat ke timur, tidak usah berbelit belit. Apa maksudmu dengan putus cinta itu. Dan kenapa kamu seemosi ini. Mari ceritakan padaku!"

"Ul, tanpa kau pinta sejatinya aku pun ingin bercerita padamu. Ingin aku tumpahkan semua kesedihan dan kekecewaan ini padamu. Hanya padamu. Kamulah yang mengerti perasaanku. Ul... aku mahu bicara terus terang sama kamu, sebagai seorang wanita. Jawablah dengan jujur. Pernahkan kamu tertarik hati dengan seseorang? Pernahkan kamu mengidamkan seseorang untuk jadi suamimu?

Apa adakah sahabat sejati seperti Ulya itu ??? Dan ape ekk agaknye yg Ulya jawab... kita tunggu sambungan episod akan datang...

0 comments:

Post a Comment